Jumat, 26 September 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB XI



BAB XI
Wafa duduk di tepi kolam di belakang rumahnya. Wafa memang senang sekali duduk di tepi kolam karena udaranya dingin dan sejuk. Selain itu, ia suka melihat ikan yang berenang kesana kemari. Wafa merasa sangat merindukan suasana seperti ini. Sudah cukup lama dia tidak pulang ke kampung. Pekerjaannya dan juga urusannya dengan Endra membuatnya terlalu sibuk. Namun, kegalauan hati membuatnya meninggalkan semua kesibukan untuk menenangkan diri di kampung.

“Kok ngelamun aja Ca?” Bu Uti, Ibu Wafa menegurnya dari belakang.

Wafa menengok ke arah belakang dan hanya bisa terdiam.

Bu Uti duduk di sebelah Wafa dan dipegangnya tangan Wafa. Melihat Wafa yang begitu murung sejak datang dari kota membuat Bu Uti yakin jika ada masalah yang menimpa anaknya. “Kamu lagi ada masalah ya?”

“Hmmm.” Wafa tidak tahu harus memulai dari mana. Dia  takut mengecewakan orang tuanya.

“Ibu ini kan ibu kandung kamu. Kamu nggak perlu takut buat cerita sama ibu.” Bu Uti berbicara sangat pelan agar tidak menyinggung Wafa.

“Ica…” Wafa menggaruk kepalanya karena gugup dan takut. Suasana menjadi hening beberapa saat. Namun Bu Uti terus menatap mata Wafa dengan lembut. “Ica minta cerai bu.” Akhirnya kata-kata itu terucap dari mulut Wafa.

“Apa? Cerai? Kenapa?” Kata-kata Wafa membuat Bu Uti merasa jantungnya terhenti sesaat. Tiada angin, tiada hujan, anaknya tiba-tiba memberikan berita yang sangat mengejutkan.

“Ica udah nggak tahan lagi sama Endra.”

“Emang dia ngapain Ica, bukannya selama ini dia nggak pernah ganggu Ica?” Bu Uti menatap lekat mata Wafa dengan penuh keingintahuan dan ketidakpercayaan.

“Pokoknya Ica udah nggak tahan.”

“Ica bertemu laki-laki lain?” Bu Uti menebak.

“Nggak.”

“Ada yang tau tentang status Ica trus gangguin Ica?”

“Nggak.”

“Terus kenapa?” Bu Uti sudah mulai tidak sabar. Setelah bertahun-tahun menjadi istri kontrak tanpa ada masalah, mengapa tiba-tiba anaknya ingin cerai?

“Ica udah nggak bisa terusin pernikahan ini bu.” Dada Wafa terasa begitu sesak dan ia ingin sekali menangis tetapi ia berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Iya tapi kenapa? Selama ini Ica kan keliatan santai aja, nggak ada masalah.” Bu Uti semakin penasaran. Pada kenyataannya, Wafa memang tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda adanya masalah pada pernikahannya kepada kedua orang tuanya.

“Dia itu suka maenin perempuan bu. Istrinya disana sini.” Wafa membuka sedikit alasan perceraiannya.

“Apa?”

“Ica nggak suka sama laki-laki macam itu.” Amarah Wafa muncul saat teringat kelakuan Endra sehingga nada bicaranya sedikit meninggi.

“Ya.. sebenarnya sih ibu udah pernah kepikiran dia akan begitu. Kan emang biasa kalau orang kaya punya banyak istri.” Bu Uti memperlihatkan muka sedih. “Tapi Ica nggak pernah diapa-apain sama dia kan?” Bu Uti tiba-tiba merasa khawatir jika terjadi hal-hal buruk pada Wafa karena suaminya.

“Nggak.” Wafa tidak berani untuk menceritakan hal yang sebenarnya pada ibunya. Jika ibunya tahu kalau dia sudah mengerjai Endra, ibunya pasti tidak suka pada perbuataannya itu.

“Terus perjanjian Ica sama dia gimana? Kan masih tiga tahun lagi ya? Terus dia nanti gimana?” Bu Uti menjadi bingung dengan keadaan Wafa yang tiba-tiba berubah.

“Ya perjanjian kita batal.” Wafa menjawab singkat.

“Bukannya Ica harus bayar denda kalau minta cerai?” Bu Uti terlihat sangat khawatir.  

“Sekarang Ica kan udah punya usaha sendiri. Insyaallah Ica sanggup buat bayar itu.” Wafa menjawab kekhawatiran ibunya dengan tenang.

“Kalau urusan dia sama bapaknya gimana? Nanti dia nggak jadi direktur lagi.” Bu Uti berhenti sebentar dan menurunkan nada suaranya. “Ingat nak dia itu penyelamat hidup kita. Bukan hanya masalah dengan rentenir, tapi dia juga yang sudah membuat hidup kita menjadi nyaman seperti ini.”

“Iya Ica ngerti bu. Ica udah ngomong kok sama Bapak Wira. Bapak bisa ngerti kalau Ica minta cerai. Bapak juga setuju buat biarin Endra tetep jadi presiden direktur.”

“Oya? Kamu udah ngomong sama mertua kamu?”

“Iya bu.”

“Tapi tetep aja nggak enak kalau kamu batalin perjanjian secara sepihak. Kalau masalah Endra punya istri banyak, cobalah Ica mengerti sedikit tentang kebutuhan laki-laki. Sejak awal kan sudah ada perjanjiannya”. Bu Uti berusaha untuk membuat Wafa melihat dari sudut pandang lain agar Wafa tidak menyesal dengan keputusannya.

Wafa menarik nafas panjang, kemudian berkata, “Ica tahu konsekuensinya. Ica juga sebenernya bersyukur bisa ketemu sama Endra. Kalau nggak mungkin Ica sekarang udah jadi istri buaya darat paling tidak bertanggung jawab di bumi.” Tiba-tiba Wafa teringat pada mantan pacarnya yang ternyata telah menghamili gadis lain saat mereka masih berhubungan.

“Kok jadi inget sama Umed sih? Katanya mau ngelupain dia?”

“Susah buat ngelupainnya bu. Dia tuh segitu marahnya waktu Ica bilang terpaksa harus nikah sampe Ica ngerasa bersalah banget udah khianatin dia. Eh ternyata dia udah lebih dulu khianatin Ica.” Wafa benar-benar merasa telah menjadi orang tolol karena pernah menyerahkan hatinya pada orang yang paling dibencinya saat ini.

“Iya. Kalau inget sama dia Ibu juga kesel banget. Kok bisa ada laki-laki macam dia. Udah seneng maen perempuan, nggak mau bertanggung jawab lagi. Anak istri juga ditelantarin gitu, sampe buat makan aja susah banget. Untung Ica nggak jadi sama dia. Mending sekarang. Walau nggak normal, tapi hidup Ica kecukupan.” Bu Uti bersyukur bahwa waktu itu dia meyakinkan Wafa untuk memilih Endra dan putus dari Umed.

“Iya Bu. Walaupun Endra juga suka maen perempuan, setidaknya dia udah ngasih tahu sejak awal. Nggak ngebohongin Ica kayak si Umed gila itu.” Kenangan tentang mantan pacarnya itu membuat amarahnya sampai ke ubun-ubun.

“Kalau sama si Umed itu, kamu nggak pernah diapa-apain kan?” Bu Uti kembali takut jika anaknya pernah dinakali oleh Umed. Menurut gosip yang beredar, laki-laki itu selalu berhasil meniduri pacar-pacarnya.

“Ibu udah puluhan kali tanya itu. Ica kan udah bilang kalau Ica selalu jaga diri.” Wafa merengut karna sudah begitu bosan mendengar pertanyaan yang sama dari ibunya, tapi dalam hatinya dia bersyukur bahwa Umed tidak berhasil merayunya untuk melakukan dosa besar.

“Alhamdulillah.” Bu Uti menarik nafas lega.

“Ica masih perawan bu.” Wafa meyakinkan ibunya.

“Iya yah. Padahal kalau Endra ngapa-ngapain Ica juga nggak apa-apa. Kan dia suami Ica.”

Dada Wafa tiba-tiba terasa sesak mendengar perkataan ibunya. Endra ngapa-ngapain dia. Wafa menjadi teringat betapa hangatnya pelukan Endra. Betapa lembut tangan Endra saat membelai rambutnya. Betapa Wafa merasa terlindungi saat Endra selalu menggenggam tangannya erat selama berjalan berdua. Andai saja pernikahan mereka seperti pernikahan normal lainnya, tentunya saat ini dia akan menjadi wanita paling bahagia di dunia.

“Ica lagi mikirin apa?” Bu Uti melihat Wafa yang tiba-tiba termenung.

“Eh… enggak kok bu.. nggak apa-apa.” Wafa jadi gelagapan karena kaget dan malu. Dia takut ibunya tahu apa yang ada dipikirannya.

“Kok ibu jadi kangen ya sama Endra? Dia apa kabarnya yah? Terakhir kesini dia keliatan gendutan. Eh. Astagfirullah…” Bu Uti menjadi ingat kalau dia tidak boleh bercerita tentang Endra yang sering datang ke kampung.

“Terakhir kesini? Endra suka datang ke sini?” Wafa terkejut bukan main. Ada rahasia apa lagi yang tidak dia ketahui tentang Endra?

“Ehh.. nggak gitu. Dia itu kebetulan ada urusan terus mampir gitu." Bu Uti berusaha mengelak.

“Ica itu anak ibu. Ica tau kalau ibu lagi bohong sama Ica.” Wafa menekan ibunya.

Bu Uti begitu gugup dan menjawab dengan terbata, “Iyah.. Endra.. suka.. kesini.”

“Ngapain dia kesini?”

“Ya… maen aja. Bawa oleh-oleh dari kota, terus mancing sama bapak, maen ke sawah, makan rame-rame, ya gitu lah. Dia tuh ramah banget sama semua orang. Makanya semua suka sama dia.”

Wafa memegang kepala dengan kedua tangannya. Bagaimana mungkin dia tidak tahu tentang hal ini. Endra rajin berkunjung ke rumah mertuanya tapi tidak pernah berpikir untuk setidaknya melihat keadaan istrinya sendiri. Tapi… kalau Endra sering kemari, seharusnya dia pernah melihat foto terbarunya. Ibunya kan senang sekali memperlihatkan foto-foto terbaru anaknya ke semua orang. Seharusnya Endra bisa mengenali dirinya saat ini sebagai Misha. Apa selama ini Endra berpura-pura tidak mengenalnya? Tapi kenapa Endra begitu marah saat tau bahwa dia telah bersuami?

“Tapi dia itu aneh. Dia nggak pernah mau bicara tentang kamu. Kalau ibu nyerempet-nyerempet cerita tentang kamu, dia langsung ngomongin yang lain.” Bu Uti menjadi bersemangat untuk bercerita tentang Endra sehingga tidak memperhatikan jika anaknya sedang kebingungan dan emosi. “Pernah suatu saat ibu mau tunjukin foto kamu yang di kota, dia nggak mau liat.”

Wafa kembali terkejut dengan kenyataan yang ada. Jadi Endra tidak pernah tahu bagaimana rupanya saat ini. Tetapi kenapa dia bisa begitu dekat dengan kedua orang tuanya? Apa yang dia inginkan sebenarnya? Apa Endra ingin terlihat sebagai lelaki bertanggung jawab sehingga pernikahan mereka bisa tetap berjalan baik sesuai rencana? Ya. Itu yang terlintas di benak Wafa. Endra hanya berusaha menjaga pernikahannya agar bisa bertahan sampai waktu yang telah disepakati.

“Ca, emang kamu nggak bisa tunggu sampe tiga tahun lagi gitu? Kasian kan Endra.” Bu Uti kembali memikirkan nasib pernikahan Wafa. Sebenarnya Bu Uti begitu ingin pernikahan anaknya bisa menjadi normal karena menurutnya Endra adalah lelaki yang baik.

“Ibu segitu sayangnya sih sama Endra sampe anak sendiri nggak dipikirin.” Wafa cemberut dan merasa dianak-tirikan oleh ibunya sendiri..

“Bukan gitu. Ibu itu kasihan sama dia.” Bu Uti menjadi salah tingkah tetapi tetap berusaha untuk membela diri. Sementara Wafa tetap saja cemberut.

“Ibu itu ngerasa utang nyawa sama Endra.” Bu Uti menambahkan. Kali ini nada suaranya terdengar begitu serius. Wafa pun menjadi tidak enak hati.

“Kalau saja tidak ada Endra yang melunasi hutang Bapak, mungkin sekarang Bapak udah dipenjara atau mungkin malah udah nggak ada.” Bu Uti kembali bicara dengan mata yang berkaca-kaca.

Wafa menjadi teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu saat anak buah rentenir yang berbadan besar dan bermuka garang mendatangi rumah mereka. Rentenir tersebut memang terkenal tidak akan memberikan ampun pada pengutang yang tidak mampu membayar hutang. Walaupun tidak terbukti oleh polisi, ada beberapa orang yang meninggal secara aneh di kampungnya seperti korban pembunuhan. Menurut bisik-bisik warga, orang-orang tersebut tidak sanggup bayar hutang sehingga dihabisi oleh anak buah rentenir itu.

“Ica juga tau bu, tapi…” Wafa pun menjadi ikut sedih. Dia tidak ingin menyalahkan siapapun, tetapi pada kenyataannya kejadian tersebut sangat menyakitkan buat keluarganya.

“Maafin Ibu sama Bapak ya Ca. Gara-gara kami, kamu jadi harus menanggung akibatnya.” Ibunya pun mulai terisak.

Wafa tidak tahan melihat ibunya menangis. “Kok Ibu ngomong gitu sih? Itu udah kewajiban Ica bu buat bantu keluarga. Ica nggak apa-apa kok. Bener deh” Ica pun memeluk ibunya sambil ikut menangis.

Pak Rohim, ayah Ica yang baru pulang dari sawah terkejut melihat istri dan anaknya berpelukan sambil menangis di tepi kolam.

“Kalian kenapa? Ada masalah ya?” Pak Rohim bertanya sambil meletakkan alat-alat bertani yang dibawanya di tempat penyimpanan.

Wafa dan Bu Uti serentak melepaskan pelukan dan melihat ke arah Pak Rohim.

Bu Uti tidak bisa menahan diri dan berkata, “Ica minta cerai.”

Raut wajah Pak Rohim terlihat begitu terkejut tetapi segera berubah menjadi lebih tenang. Pak Rohim melangkah mendekat dan duduk di dekat Wafa.

Sebenarnya, Pak Rohim tahu bahwa Wafa tidak pernah merasakan kebahagiaan dalam pernikahaannya. Walaupun Wafa selalu berusaha untuk menutupi kesedihannya, Pak Rohim sering melihat Wafa melamun di tepi kolam. Pak Rohim tahu bahwa Wafa pasti merasa begitu berat menjadi istri kontrak yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari suaminya. Wafa adalah anak manja, tetapi setelah menikah, dia terlihat terlalu tegar. Sepertinya ketegaran Wafa sudah sampai batas kali ini. “Ica udah nggak tahan ya?”, Pak Rohim bertanya pada Wafa.

Wafa menatap ayahnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin ayahnya begitu mengerti apa yang dirasakannya padahal ia dan ayahnya tidak pernah membahas tentang pernikahannya selama ini?

Pak Rohim menatap mata Wafa dengan kuat, kemudian berkata, “Ica kan udah gede. Ica tahu mana yang baik, mana yang tidak. Kalau Ica merasa ini yang terbaik pasti Ica udah mikirin hal ini masak-masak kan?”

Wafa melihat pandangan ayahnya menyiratkan bahwa ayahnya bisa merasakan kesedihan yang ia rasakan. Selama ini ayahnya tidak pernah ikut campur dalam pernikahannya, tetapi justru ayahnya yang paling mengerti tentang apa yang dirasakannya. Ayahnya memang ayah yang bijak dan tidak pernah menghakimi.

Ica tidak mampu berkata-kata lagi. Matanya berlinangan air mata. Pak Rohim memegang pundak Wafa dan kemudian menariknya ke dalam pelukan. Wafa pun menangis sejadi-jadinya.

Saat tangisan Wafa mereda, Pak Rohim berbicara dengan lembut. “Bapak hanya mau pesan satu hal sama Ica.”

Wafa menatap dalam mata Pak Rohim yang kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Kamu menikah dengan Endra secara baik-baik. Bagaimanapun juga pernikahan kalian saling menguntungkan. Kalau kamu mau bercerai, bercerailah dengan baik-baik. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan.”

Kata-kata ayahnya sangat menyejukkan. Wafa pun semakin kuat dan yakin dengan keputusannya. Kegalauan dalam hatinya berkurang dan ia sudah bisa tersenyum walau sedikit.

***

Setelah beberapa hari menenangkan diri di kampung, Wafa memutuskan untuk kembali ke kota dan mengurusi bisnisnya. Walau hatinya masih kacau, dia tidak boleh larut dalam kesedihan dan melupakan tanggung  jawab pada pekerjaannya. Kehidupan pribadinya boleh saja kacau, tetapi bisnis yang telah dibangunnya dengan susah payah tidak boleh hancur hanya karena satu orang laki-laki.

Saat melangkah ke arah butik, langkah Wafa terhenti begitu ia melihat ada seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu butiknya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Setelah mengumpulkan kekuatan, dia melangkah kembali dan mendekati lelaki tampan yang tersenyum melihatnya.

“Assalamualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

“Apa kabar Wafa?”

“Baik. Sigra apa kabar?”
 _________________________________________________

 Prolog         << Bab Sebelumnya            Bab Selanjutnya >>


Beranda     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar