Bab IX
Kemarahan Endra tidak terbendung. Bahkan kali ini kemarahannya jauh lebih
besar dari saat dia mengetahui bahwa ayahnya lebih memilih anak angkat untuk
menduduki kursi presiden direktur. Dia
memacu mobil tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri sambil menelpon Sigra dan meminta sepupunya
untuk menemuinya di bar. Sesampainya
di bar, dia memesan tempat private.
Sesaat kemudian
Sigra datang dengan wajah khawatir. Saat menelpon tadi, suara Endra benar-benar
penuh kemarahan. Sesuatu yang belum pernah didengarnya selama ini.
“Kamu nggak
apa-apa?” Sigra duduk sambil memperhatikan wajah sepupunya yang merah karena
marah. Endra sudah lama sekali tidak datang ke tempat seperti ini. Kali ini
pasti ada sesuatu yang sangat besar.
“Kamu bener.”
Endra meneguk minumannya dengan cepat.
“Tenang dulu.
Cerita pelan-pelan.” Disingkirkan gelas dan botol minuman dari Endra.
“Perempuan itu
lebih parah dari yang lain.” Endra berusaha meraih kembali gelasnya.
“Kamu kan udah
tobat, kenapa sekarang minum lagi?” Sigra berusaha mencegah sepupunya.
“Aku udah nggak
peduli, udah nggak ada gunanya tobat.”
“Siapa bilang?
Tobat itu memang berat, tapi justru disitu letak pentingnya tobat. Saat kamu
bisa menahan diri dari godaan yang datang, berarti tobat kamu benar dan
berhasil. Kalau seperti ini, sama
saja kamu jatuh ke lubang yang sama.” Sigra berusaha menenangkan Endra. Dia
tidak rela jika sepupunya itu berkelakuan buruk lagi seperti dulu.
“Gak usah ceramah
deh, masalahnya bukan itu sekarang.”
Sigra sadar bahwa
memang ada masalah lain sampai Endra menjadi seperti ini. Tadi Endra berkata
tentang perempuan, mungkin ini tentang Wafa. “Ada apa sama Wafa?”
“Dia itu pembohong
besar.” Endra masih berusaha meraih gelas yang ada di meja walaupun Sigra
dengan cepat menangkap tangannya.
Endra berusaha keras untuk melepaskan tangannya dari
genggaman Sigra tapi tidak berhasil. Justru sepupunya itu semakin kuat
menggenggam tangan Endra sambil berkata, “Aku nggak akan lepas tangan aku
sebelum kamu janji nggak akan minum lagi.” Endra tidak kuasa melawan Sigra dan
hanya menggangguk. Sigra pun akhirnya melepaskan tangan Endra.
“Haaaahhh.” Endra
berteriak sementara Sigra menarik nafas agar tidak terbawa emosi.
Sigra menyentuh
bahu Endra dan ditatapnya mata Endra untuk menenangkan. “Cerita pelan-pelan.
Aku akan dengerin.”
Keadaan hening
sesaat. Endra seperti mengumpulkan tenaga untuk berbicara sementara
Sigra berusaha untuk tetap tenang agar suasana tidak bertambah panas. “Ternyata… dia udah punya suami.”
Wafa punya suami?
Sigra bertanya dalam hati. Berarti benar apa yang disangkanya selama ini
jika Wafa bukanlah seorang gadis lugu. Sebenarnya Sigra ingin berkata sesuatu, tetapi dia tidak ingin mengganggu
cerita Endra. Dia hanya diam untuk mendengarkan lanjutan ceritanya.
Endra memegangi
kepalanya yang terasa hampir pecah. “Selama ini dia bohongin aku. Dia pura-pura
innocent, padahal dia lebih licik dari aku.”
Kata-kata Endra membuat Sigra berpikir. Licik, iya. Sepertinya Wafa memang licik. Tetapi
tentang berbohong…, Sigra tidak terlalu yakin. “Memang dia berbohong apa?”
“Dia udah punya
suami.. emang dari tadi ga dengerin aku apa.” Endra berteriak tidak percaya
dengan apa yang ditanyakan sepupunya.
“Bukan gitu.”
Sigra berbicara pelan sambil berusaha menurunkan emosi. “Memang dia bilang
kalau dia single?” Sigra menarik nafas untuk melanjutkan. “Kalau nggak salah,
selama ini kamu yang yakin kalau dia itu kayak anak SMA yang baru kenal
laki-laki.”
Endra terdiam.
Sigra selalu berhasil untuk membuatnya kehilangan kata-kata dan menyadari jika
dia salah. Wafa memang tidak pernah mengatakan bahwa dia single. Selama ini,
Endra hanya mengasumsikan dia begitu dari gerak-geriknya.
“Bukannya aku mau bela dia, tapi kamu juga bukan orang suci.”
Sigra berusaha untuk merubah pola pikir sepupunya dengan tujuan untuk
mengurangi kemarahan Endra.
“Ya beda dong, sejak awal dia udah tau kalau aku udah punya
istri.” Endra membela diri.
“Itukan karena berita kamu udah tersebar ke seluruh Indonesia.
Kalau nggak, mungkin kamu juga nggak akan bilang tentang kondisi kamu yang
sebenarnya.” Sigra tidak mau kalah.
“Aku selalu bilang kok ke semua cewek yang aku pacarin kalau
aku udah punya istri.” Endra masih dengan pembelaan dirinya.
“Kalau nggak salah, kamu baru cerita sama mereka kalau kamu
mau ngelamar cewek kamu kan? Waktu pdkt kamu belum cerita apa-apa kan sama
mereka?”
“Sama
mereka kan aku pacaran cuma satu bulan. Tapi sama Wafa beda, kita udah jalan lama banget, kenapa dia nggak bilang kalau dia udah punya
suami?” Endra protes keras.
“Kamu nggak
tanya.” Sigra menjawab singkat. Itu adalah kata-kata yang biasa diucapkan Endra untuk membela diri, tetapi
kali ini justru kata-kata itu diucapkan oleh Sigra untuk mematikannya.
Endra benar-benar
tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Dia ingin melampiaskan
kemarahannya, tetapi justru sepupunya membuatnya menjadi kebingungan apakah
harus marah pada Wafa atau pada dirinya sendiri.
Sigra menepuk
perlahan bahu Endra. “Sebenarnya aku nggak suka kalau harus ngomong ini, tapi
dari dulu aku udah bilang kalau kamu harus hati-hati dan cari tau siapa dia,
latar belakangnya seperti apa.”
“Habis dia keliatan lugu banget sih, lagian Sandra juga
bilangnya dia anak baik.” Endra merasa sangat bodoh karena terlalu terbawa oleh
perasaan sehingga tidak menyadari kebohongan Wafa selama ini.
“Iya sih, itu juga yang bikin aku bingung. Wafa itu keliatan
lugu, santun, dan alim banget. Kayak nggak mungkin aja gitu kalau dia perempuan
nakal.” Kali ini Sigra setuju dengan Endra karena dia juga merasa bahwa Wafa
bukanlah perempuan jahat, tetapi sepertinya dia menyimpan suatu rahasia besar
dalam dirinya.
“Tuh kan kamu juga mikir gitu. Padahal kalau dia jujur dari
awal, aku nggak akan marah kayak gini.” Penyesalan nampak jelas di wajah Endra.
“Emang kamu tau darimana kalau dia udah nikah?” Sigra baru
menyadari bahwa Endra belum menceritakan darimana ia dapat informasi tentang
status Wafa yang sudah bersuami.
“Tadi aku ke apartemennya. Dia lagi telfonan dan aku denger
dia bilang kalau dia benci banget sama suaminya.” Kesedihan dan kemarahan
kembali memenuhi hati Endra saat dia mengingat kejadian beberapa saat lalu.
“Oh.”
“Kayaknya suaminya itu bermasalah dan kayaknya dia mau balas
dendam sama laki-laki. Makanya dia deketin aku dan hancurin aku sedikit demi
sedikit.” Endra membuat kesimpulan sendiri tentang Wafa yang membuatnya semakin
marah dan sedih.
“Jangan berprasangka. Kamu udah bicara sama dia belum?”
Sigra memang tidak suka terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu sebelum dia
mengetahui fakta yang sebenarnya.
“Tadi aku langsung hadapin dia. Aku marah dan dia cuma diem
aja tanpa pembelaan. Berarti bener kan kalau dia udah punya suami dan bohongin
aku?” Endra menerangkan.
“Kamu teteeep aja bilang dia itu bohong. Menyembunyikan
sesuatu itu tidak berarti berbohong.” Sigra tidak suka jika Endra terus saja
menyalahkan Wafa karena mungkin ada penjelasan yang lebih bisa diterima tentang
Wafa yang menyembunyikan status pernikahannya.
“Emang dia bohong.”
“Kalau dia bohong, kamu apa?” Pertanyaan Sigra singkat
tetapi sangat menusuk. Sigra ingin Endra sadar jika bukan hanya Wafa yang
bersalah.
Endra tidak mengerti mengapa Sigra jadi terkesan
menyalahkannya dan membela Wafa. “Maksudnya?”
“Emang kamu udah cerita soal istri kamu?”
Endra masih tidak mengerti mengapa Sigra tidak berhenti
menyerangnya. Bukankah seharusnya Sigra membela sepupunya sendiri yang
jelas-jelas sudah dibohongi? Endra pun hanya bisa membela diri. “Dia udah tau
dari awal tentang istri-istri aku.”
“Bukan mereka, tapi yang tidak dibuka di infotaiment” Sigra
berusaha membuka mata Endra untuk melihat permasalahnya dari sudut yang
berbeda.
Endra terdiam. Dia tidak suka jika diingatkan tentang istri
sahnya. “Maksudnya?”
“Kamu tau apa yang aku maksud.”
Endra tidak mau terbawa oleh pembicaraan Sigra dan berusaha
mengelak. “Ngapain juga aku cerita tentang dia.”
“Kalau kamu bilang Wafa bohong tentang suaminya berarti kamu
juga bohong tentang istri sah kamu karena kamu juga nggak cerita kan?” Sigra
menjelaskan secara logis.
“Kok kamu jadi belain Wafa sih? Bukannya kamu yang dulu
nggak suka sama dia?” Endra protes.
“Bukan aku nggak suka sama dia, aku cuma ngerasa ada yang
nggak beres sama dia.”
“Sama aja kan. Kamu berprasangka buruk dan nggak mau aku
sama dia. Kenapa sekarang malah mojokin aku?” Endra mendapatkan celah untuk
berbalik menyerang.
Sigra merasa tersudut, tetapi ia tidak ingin Endra salah
sangka dengan pemikirannya. “Aduh gimana sih. Hhhhhhh…..Gini loh. Waktu itu aku
cuma mau kamu hati-hati biar hal yang seperti ini nggak kejadian. Bukan aku
nggak suka sama Wafa. Aku liat dia orang yang baik kok.”
“Tuh kan, sekarang kamu malah suka sama dia. Padahal dia
udah nyakitin aku.”
“Gimana kalau keadaannya dibalik?” Sigra kembali mencoba
membuka mata Endra untuk melihat dari sisi berbeda.
“Maksudnya?”
“Gimana kalau ternyata dia yang tau lebih dulu kalau kamu
sebenarnya udah punya istri sah yang nggak kamu urus?”
Pertanyaan Sigra menyerang Endra dengan telak tetapi Endra
tidak ingin menyerah. “Kok malah ngomongin itu sih?”
“Kepikiran nggak sih kalau dia juga akan sakit hati waktu
tau ternyata kamu udah bohongin dia?” Sigra terus saja berusaha untuk membuat
Endra sadar jika Endra juga memiliki kesalahan.
“Ya dia kan udah tau kalau aku poligami.”
“Masalahnya dia taunya kamu punya istri siri bukan istri
sah, beda banget tau.” Sigra mulai tidak sabar menghadapi Endra.
“Ya aku tuh rencananya mau ceritain masalah Misha, tapi
nanti kalau aku udah siap.” Endra membela diri.
“Berarti dia juga mau cerita saat dia siap.” Sigra merasa
akan segera memenangkan perdebatan ini.
Pertahanan Endra mulai goyah, tetapi bukan Endra jika mudah
menyerah begitu saja. “Tapi dia itu perempuan lo.”
Sigra tidak mengerti dengan arah pembicaraan Endra. “Emang
kalau perempuan kenapa?”
“Perempuan kan nggak boleh selingkuh.”
“Emang laki-laki boleh?” Sigra tidak tau mengapa saudaranya
ini menjadi seperti kehilangan kontrol. Untung saja tidak ada perempuan didekat
mereka.
“Kalau kita kan boleh poligami, perempuan ga bisa. Jadi
kalau perempuan yang udah nikah, dia sama sekali nggak boleh deket sama
laki-laki lain.” Endra tetap saja mengeluarkan argumentasi yang tidak
terkontrol.
“Tapi bukan berarti kita sebagai laki-laki boleh selingkuh
sana sini dan nyakitin perempuan.” Sigra mulai kesulitan untuk menjaga
emosinya.
“Susah ya ngomong sama kamu.” Endra akhirnya menyerah.
Sigra tidak mau Endra maupun dirinya kehilangan kendali yang
justru menghancurkan mereka. Sigra berusaha untuk menurunkan ketegangan dan
berbicara dengan pelan. “Ndra. Aku pengennya kamu itu adil sama dia. Kalian kan
sama-sama punya masalah dan rahasia. Sebaiknya kamu tenangin diri kamu dulu dan
setelah itu kamu bicara baik-baik sama dia. Cari jalan keluar terbaik. Kalaupun
harus putus, kalian putuslah baik-baik.”
Mendengar Sigra yang membicarakan masalah putus, hati Endra
bagaikan terhantam dengan keras. Apakah ia dan Wafa harus putus? Memikirkannya
saja sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Namun, apakah ada cara
untuk mempertahankan hubungan yang sudah tidak mungkin ini?
“Kamu kayaknya suka ya sama Wafa?” Endra berusaha untuk
mengalihkan pembicaraan.
“Kok kamu jadi ngomong gitu sih? Aku udah punya Yuvi.” Sigra
tidak tahu apa lagi yang ingin dibicarakan oleh Endra.
“Bukan gitu. Maksud
aku tuh, kamu udah nggak benci sama Wafa.” Endra menjelaskan.
“Denger ya, aku nggak pernah benci sama Wafa, aku cuma
ngerasa ada masalah sama dia dan maunya kamu hati-hati biar nggak nyesel.”
Sigra meluruskan
“Ya itu artinya dulu kamu nggak suka sama Wafa. Tapi
sekarang kayaknya kamu mulai suka sama pribadi Wafa. Buktinya kamu belain dia.”
Sigra mulai terbawa oleh arah pembicaraan Endra. Dia mulai
teringat dengan beberapa pertemuannya dengan Wafa dan beberapa fakta yang
membuat pandangannya pada Wafa sedikit berubah. “Setelah aku ketemu dia
beberapa kali dan aku denger cerita dari kamu, ada sesuatu pada dia yang bikin
aku tertarik. Terutama cara dia ngerubah kamu?”
“Aku berubah?” Endra tertarik mendengar penjelasan Sigra.
Pujian Sigra untuk Wafa membuat hati Endra melunak dan emosinya menurun.
“Kamu sadari atau tidak, kamu banyak berubah sejak kenal
Wafa.”
“Oya?”
Sigra tersenyum sambil membayangkan perubahan Endra. “Kamu
lebih tenang, lebih ceria, lebih gemuk, dan yang pasti lebih bahagia. Sesuatu
yang nggak pernah terlihat sebelumnya.”
Endra tersenyum. Dia juga menyadari bahwa Wafa memang telah
membuatnya begitu bahagia, tetapi dia segera teringat kembali pada kenyataan
yang menyakitkan. “Tapi giliran nyakitin, dia nggak ada tandingannya.” Dan
senyumpun hilang dari wajah Endra.
“Coba deh, kamu turunin emosi kamu. Kamu tadi bilang kalau
dia ada masalah sama suaminya. Mungkin kamu malah bisa bantu dia supaya
masalahnya selesai, jadi kalian bisa berhubungan normal.” Sigra berusaha
memberikan jalan keluar pada masalah yang dialami Endra.
“Dia itu mau bales dendam sama laki-laki bukan mau
berhubungan normal sama aku.” Endra mengelak.
“Kamu yakin?” Sigra bertanya. “Yuvi bilang kalau sorot
matanya bener-bener nunjukin kalau Wafa cinta sama kamu.”
“Yuvi bilang gitu?” Endra menjadi galau. Ingin sekali ia
mempercayai apa yang dikatakan Sigra.
“Iya. Yuvi kan perempuan, dia lebih tau sifat perempuan.”
Sigra meyakinkan Endra dengan harapan saudaranya itu akan mengikuti sarannya.
“Nggak ah, nggak mungkin.” Endra tidak mau berharap. Dia
tidak ingin sakit lagi.
“Kenapa nggak mungkin? Selama ini kalian begitu bahagia.
Cobalah sedikit. Setidaknya ada usahanya. Jadi kamu nggak akan nyesel nanti.” Entah
mengapa sekarang justru Sigra merasa yakin jika Endra akan menjadi lebih baik
bersama Wafa.
“Aku udah nggak bisa percaya lagi sama dia.” Tidak mungkin bagi Endra untuk membuka
kembali hatinya yang sudah tersakiti.
“Ya udahlah, sekarang kamu tenang dulu. Semua akan lebih
baik kalau diselesaikan dengan otak yang dingin dan jernih.” Sigra tidak ingin
memaksa karena dia sangat mengerti bahwa paksaan akan membuat Endra semakin
menutup diri.
“Aku emang bodoh ya.” Endra menutup wajah dengan kedua tangannya dan menunduk.
“Orang memang
menjadi bodoh kalau sedang jatuh cinta.” Sigra tersenyum kecil.
“Aku nggak
percaya bisa jatuh cinta sama dia.” Endra memegangi kepalanya. “Shhh…. Matanya itu
lo….”
“Innocent?” Sigra
menebak.
“Iya sih.. tapi
dia itu bener-bener mirip…” Endra tiba-tiba berhenti berbicara dengan sedikit
gugup. Dia tersadar jika dia kelepasan bicara.
“Kayaknya ada
yang aku ngga tau.” Sigra curiga dan berusaha untuk menangkap pandangan Endra yang bergerak kesana kemari tidak
berani menatap Sigra.
“Mata itu …”
Endra sangat gugup sementara Sigra mendekatkan diri untuk menatap Endra lebih
dalam lagi. Endra tau bahwa tidak ada gunanya berbohong, Sigra pasti akan terus
memaksanya untuk berbicara jujur. “Matanya mirip banget sama mata Misha.”
“Istri kamu?”
Sigra terkejut dan menegakkan duduknya sambil melihat kearah Endra dengan
pandangan tidak percaya.
“Iya.. istri sah
aku.”
Sigra bingung
mengapa tiba-tiba Endra menyebut Misha. Mengapa dia merasa kalau ada suatu
rahasia besar yang disimpan oleh sepupunya?
“Kenapa sih dia
harus punya mata kayak gitu? Kalau bukan karena mata itu, nggak akan aku
tertarik sama dia.” Endra tertunduk lesu.
“Bentar-bentar.
Aku yang salah mikir atau …. kamu suka sama Wafa karena dia mirip .. Misha?” Sigra
tidak ingin sekedar menebak, tetapi logikanya memang seperti itu.
“Ya…. gitulah.”
“Kamu sadar nggak
sih? Kamu tuh kayak mau nyampein kalau kamu itu suka sama Misha.” Sigra
menjadi bersemangat untuk membuka rahasia besar Endra.
Endra tidak
berani menjawab dan hanya tertunduk.
“Jadi selama ini
yang ada di otak kamu itu Misha?” Sigra tertawa karena ternyata Endra memiliki
rahasia yang tidak pernah dipikirkannya sebelumnya.
“Ya nggak juga.”
Endra menggelengkan kepala sambil kurang yakin dengan apa yang dirasakannya.
“Katanya kamu
suka Wafa karena mirip Misha”.
“Awalnya begitu.
Aku tertarik sama dia karena dia ngingetin aku sama Misha. Tapi selanjutnya aku
suka sama… Wa..fa.” Raut wajah Endra terlihat seperti berpikir.
“Kok kayak nggak
yakin sih?”
“Kok kita jadi
ngomongin Misha sih?” Endra tidak mengerti mengapa pembicaraan mereka justru
melebar ke arah yang tidak seharusnya.
“Kan kamu yang
mulai.” Sigra tersenyum lebar.
“Alkohol itu
emang ga bagus… buang-buang.” Endra tidak mau mengakui kesalahannya sehingga
menyalahkan minuman sebagai penyebab kekacauan otaknya.
Sigra tertawa
melihat keanehan Endra. Suasana mendadak cair. “Makanya, aku udah bilang kan
kalau tobat itu baik.”
“Tau ah.” Endra
masih merengut menyadari kesalahannya dan menjadi salah tingkah.
“Jadi sekarang
gimana? Mau cerita Wafa atau Misha?” Sigra masih tidak mampu menahan tawanya.
“Udah ah.. pulang
aja.” Endra berdiri.
“Loh.. tadi
marah-marah. Katanya diboongin abis. Kok cuma sebentar marahnya?” Sigra ikut
berdiri.
“Ngantuk.” Endra
berjalan cepat meninggalkan Sigra yang terpaksa harus membereskan pembayaran
namun bahagia karena berhasil membuat Endra salah tingkah.
Sementara itu
di tempat lain, Wafa tidak bisa
tidur. Dia tidak mengerti bagaimana bisa hatinya berubah-ubah dalam waktu
beberapa jam saja. Tadi pagi dia masih merasa tidak nyaman mengenai hubungannya
dengan Endra, siangnya dia begitu bahagia, sorenya begitu marah, dan malamnya
merasa bersalah.
Mengapa cinta
bisa sesulit ini? Mengapa dia harus mencintai lelaki seperti Endra yang tidak
henti-henti membuat hidupnya
naik turun. Sebentar dia terbang ke langit tinggi dan hanya dalam waktu sesaat,
dia dihempaskan ke bumi sekeras-kerasnya.
Wafa tau bahwa
Endra bukan satu-satunya pihak yang bersalah dalam hal ini. Mungkin Endra
memang bejat, tetapi dia benar bahwa dia telah jujur dari awal tentang
kondisinya atau mungkin terpaksa karena semuanya sudah terbongkar di media. Di
lain pihak, justru Wafa telah berbohong besar pada Endra dan merencanakan sesuatu
yang licik yang sayangnya
tidak berjalan seperti seharusnya.
Akhirnya Wafa pun
tertidur karena sangat lelah. Menjelang subuh, Wafa terbangun. Langsung saja
dia teringat pada kejadian semalam yang membuatnya kembali berpikir. Dia hanya mondar-mandir dari kamar kemudian
keluar.
Dia minum
berulang kali walaupun satu kali minum sudah cukup menghilangkan rasa hausnya.
Beragam makanan di lemari tetapi tidak ada yang bisa membuatnya berselera
walaupun terakhir kali dia makan adalah saat makan siang bersama Sandra
kemarin. Wafa benar-benar tidak tau harus melakukan apa.
Kemudian
terdengarlah adzan subuh yang membuat Wafa tersadar bahwa jalan terbaik
adalah meminta petunjuk pada Tuhan. Ia segera berwudhu dan melakukan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Dalam
doanya, Wafa memohon agar Tuhan memberinya jalan keluar terbaik.
Akhirnya Wafa
mendapatkan ketetapan hati. Menurutnya, ini adalah jalan terbaik karena
keadaannya sudah hancur lebur seperti ini. Memaksakan diri untuk memperbaiki
keadaan sepertinya mustahil.
Wafa mengambil
handphonenya dan menekan tombol untuk menghubungi Om Aswin, seseorang yang
selalu menjadi penghubung antara dia sebagai Misha dengan suaminya.
Om Aswin adalah
pengacara Endra yang masih memiliki hubungan keluarga. Om Aswin selalu baik
padanya, seperti halnya keluarga Endra yang lain.
“Halo.
Assalamu’alaikum” Terdengar jawaban dari seberang.
“Wa’alaikum
salam, Om.” Wafa menjawab salam.
“Apa kabar Mis, udah lama kamu nggak telepon Om?
“Baik Om.., iya nih … Misha lagi agak sibuk akhir-akhir ini.” Jawab
Misha dengan sedikit terbata.
Mendengar cara
bicara Misha yang terbata dan suara yang sedikit bergetar, Om Aswin merasa ada
sesuatu yang sangat mengganggu Misha. “Ada apa Mis, kok kamu telepon om
pagi-pagi? Ada yang penting ya?”
“Iya. Maaf ya om
udah ganggu.”
“Enggak pa
pa.. kalau buat Misha nggak ada tuh
kata ganggu.” Suara Om Aswin selalu terdengar lembut dan nyaman di telinga. Biasanya Wafa akan
menjadi tenang mendengar suara Om Aswin, tetapi kali ini dia benar-benar dalam
keadaan yang terguncang sehingga tidak ada satu hal pun yang bisa
membuat dia tenang.
“Misha? Kok diem?
Ada apa?”
Wafa berusaha
mengumpulkan keberaniannya. “Gini Om.” Rasa takut begitu mengganggunya
tapi Wafa berusaha untuk kuat. “Aku
mau minta cerai sama Endra.”
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar