Jumat, 12 September 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB IX



Bab IX

Kemarahan Endra tidak terbendung. Bahkan kali ini kemarahannya jauh lebih besar dari saat dia mengetahui bahwa ayahnya lebih memilih anak angkat untuk menduduki kursi presiden direktur. Dia memacu mobil tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri sambil  menelpon Sigra dan meminta sepupunya untuk menemuinya di bar. Sesampainya di bar, dia memesan tempat private.

Sesaat kemudian Sigra datang dengan wajah khawatir. Saat menelpon tadi, suara Endra benar-benar penuh kemarahan. Sesuatu yang belum pernah didengarnya selama ini.

“Kamu nggak apa-apa?” Sigra duduk sambil memperhatikan wajah sepupunya yang merah karena marah. Endra sudah lama sekali tidak datang ke tempat seperti ini. Kali ini pasti ada sesuatu yang sangat besar.

“Kamu bener.” Endra meneguk minumannya dengan cepat.

“Tenang dulu. Cerita pelan-pelan.” Disingkirkan gelas dan botol minuman dari Endra.

“Perempuan itu lebih parah dari yang lain.” Endra berusaha meraih kembali gelasnya.

“Kamu kan udah tobat, kenapa sekarang minum lagi?” Sigra berusaha mencegah sepupunya.

“Aku udah nggak peduli, udah nggak ada gunanya tobat.”

“Siapa bilang? Tobat itu memang berat, tapi justru disitu letak pentingnya tobat. Saat kamu bisa menahan diri dari godaan yang datang, berarti tobat kamu benar dan berhasil. Kalau seperti ini, sama saja kamu jatuh ke lubang yang sama.” Sigra berusaha menenangkan Endra. Dia tidak rela jika sepupunya itu berkelakuan buruk lagi seperti dulu.

“Gak usah ceramah deh, masalahnya bukan itu sekarang.”

Sigra sadar bahwa memang ada masalah lain sampai Endra menjadi seperti ini. Tadi Endra berkata tentang perempuan, mungkin ini tentang Wafa. “Ada apa sama Wafa?”

“Dia itu pembohong besar.” Endra masih berusaha meraih gelas yang ada di meja walaupun Sigra dengan cepat menangkap tangannya.

Endra berusaha keras untuk melepaskan tangannya dari genggaman Sigra tapi tidak berhasil. Justru sepupunya itu semakin kuat menggenggam tangan Endra sambil berkata, “Aku nggak akan lepas tangan aku sebelum kamu janji nggak akan minum lagi.” Endra tidak kuasa melawan Sigra dan hanya menggangguk. Sigra pun akhirnya melepaskan tangan Endra.

“Haaaahhh.” Endra berteriak sementara Sigra menarik nafas agar tidak terbawa emosi.

Sigra menyentuh bahu Endra dan ditatapnya mata Endra untuk menenangkan. “Cerita pelan-pelan. Aku akan dengerin.”

Keadaan hening sesaat. Endra seperti mengumpulkan tenaga untuk berbicara sementara Sigra berusaha untuk tetap tenang agar suasana tidak bertambah panas. “Ternyata dia udah punya suami.”

Wafa punya suami? Sigra bertanya dalam hati. Berarti benar apa yang disangkanya selama ini jika Wafa bukanlah seorang gadis lugu. Sebenarnya Sigra ingin berkata sesuatu, tetapi dia tidak ingin mengganggu cerita Endra. Dia hanya diam untuk mendengarkan lanjutan ceritanya.

Endra memegangi kepalanya yang terasa hampir pecah. “Selama ini dia bohongin aku. Dia pura-pura innocent, padahal dia lebih licik dari aku.”

Kata-kata Endra membuat Sigra berpikir. Licik, iya. Sepertinya Wafa memang licik. Tetapi tentang berbohong…, Sigra tidak terlalu yakin. “Memang dia berbohong apa?”

“Dia udah punya suami.. emang dari tadi ga dengerin aku apa.” Endra berteriak tidak percaya dengan apa yang ditanyakan sepupunya.

“Bukan gitu.” Sigra berbicara pelan sambil berusaha menurunkan emosi. “Memang dia bilang kalau dia single?” Sigra menarik nafas untuk melanjutkan. “Kalau nggak salah, selama ini kamu yang yakin kalau dia itu kayak anak SMA yang baru kenal laki-laki.”

Endra terdiam. Sigra selalu berhasil untuk membuatnya kehilangan kata-kata dan menyadari jika dia salah. Wafa memang tidak pernah mengatakan bahwa dia single. Selama ini, Endra hanya mengasumsikan dia begitu dari gerak-geriknya.

“Bukannya aku mau bela dia, tapi kamu juga bukan orang suci.” Sigra berusaha untuk merubah pola pikir sepupunya dengan tujuan untuk mengurangi kemarahan Endra.

“Ya beda dong, sejak awal dia udah tau kalau aku udah punya istri.” Endra membela diri.

“Itukan karena berita kamu udah tersebar ke seluruh Indonesia. Kalau nggak, mungkin kamu juga nggak akan bilang tentang kondisi kamu yang sebenarnya.” Sigra tidak mau kalah.

“Aku selalu bilang kok ke semua cewek yang aku pacarin kalau aku udah punya istri.” Endra masih dengan pembelaan dirinya.

“Kalau nggak salah, kamu baru cerita sama mereka kalau kamu mau ngelamar cewek kamu kan? Waktu pdkt kamu belum cerita apa-apa kan sama mereka?”

Sama mereka kan aku pacaran cuma satu bulan. Tapi sama Wafa beda, kita udah jalan lama banget, kenapa dia nggak bilang kalau dia udah punya suami?” Endra protes keras.

“Kamu nggak tanya.” Sigra menjawab singkat. Itu adalah kata-kata yang biasa diucapkan Endra untuk membela diri, tetapi kali ini justru kata-kata itu diucapkan oleh Sigra untuk mematikannya.

Endra benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Dia ingin melampiaskan kemarahannya, tetapi justru sepupunya membuatnya menjadi kebingungan apakah harus marah pada Wafa atau pada dirinya sendiri.

Sigra menepuk perlahan bahu Endra. “Sebenarnya aku nggak suka kalau harus ngomong ini, tapi dari dulu aku udah bilang kalau kamu harus hati-hati dan cari tau siapa dia, latar belakangnya seperti apa.”

“Habis dia keliatan lugu banget sih, lagian Sandra juga bilangnya dia anak baik.” Endra merasa sangat bodoh karena terlalu terbawa oleh perasaan sehingga tidak menyadari kebohongan Wafa selama ini.

“Iya sih, itu juga yang bikin aku bingung. Wafa itu keliatan lugu, santun, dan alim banget. Kayak nggak mungkin aja gitu kalau dia perempuan nakal.” Kali ini Sigra setuju dengan Endra karena dia juga merasa bahwa Wafa bukanlah perempuan jahat, tetapi sepertinya dia menyimpan suatu rahasia besar dalam dirinya.

“Tuh kan kamu juga mikir gitu. Padahal kalau dia jujur dari awal, aku nggak akan marah kayak gini.” Penyesalan nampak jelas di wajah Endra.

“Emang kamu tau darimana kalau dia udah nikah?” Sigra baru menyadari bahwa Endra belum menceritakan darimana ia dapat informasi tentang status Wafa yang sudah bersuami.

“Tadi aku ke apartemennya. Dia lagi telfonan dan aku denger dia bilang kalau dia benci banget sama suaminya.” Kesedihan dan kemarahan kembali memenuhi hati Endra saat dia mengingat kejadian beberapa saat lalu.

“Oh.”

“Kayaknya suaminya itu bermasalah dan kayaknya dia mau balas dendam sama laki-laki. Makanya dia deketin aku dan hancurin aku sedikit demi sedikit.” Endra membuat kesimpulan sendiri tentang Wafa yang membuatnya semakin marah dan sedih.

“Jangan berprasangka. Kamu udah bicara sama dia belum?” Sigra memang tidak suka terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu sebelum dia mengetahui fakta yang sebenarnya.

“Tadi aku langsung hadapin dia. Aku marah dan dia cuma diem aja tanpa pembelaan. Berarti bener kan kalau dia udah punya suami dan bohongin aku?” Endra menerangkan.

“Kamu teteeep aja bilang dia itu bohong. Menyembunyikan sesuatu itu tidak berarti berbohong.” Sigra tidak suka jika Endra terus saja menyalahkan Wafa karena mungkin ada penjelasan yang lebih bisa diterima tentang Wafa yang menyembunyikan status pernikahannya.

“Emang dia bohong.”

“Kalau dia bohong, kamu apa?” Pertanyaan Sigra singkat tetapi sangat menusuk. Sigra ingin Endra sadar jika bukan hanya Wafa yang bersalah.

Endra tidak mengerti mengapa Sigra jadi terkesan menyalahkannya dan membela Wafa. “Maksudnya?”

“Emang kamu udah cerita soal istri kamu?”

Endra masih tidak mengerti mengapa Sigra tidak berhenti menyerangnya. Bukankah seharusnya Sigra membela sepupunya sendiri yang jelas-jelas sudah dibohongi? Endra pun hanya bisa membela diri. “Dia udah tau dari awal tentang istri-istri aku.”

“Bukan mereka, tapi yang tidak dibuka di infotaiment” Sigra berusaha membuka mata Endra untuk melihat permasalahnya dari sudut yang berbeda.

Endra terdiam. Dia tidak suka jika diingatkan tentang istri sahnya. “Maksudnya?”

“Kamu tau apa yang aku maksud.”

Endra tidak mau terbawa oleh pembicaraan Sigra dan berusaha mengelak. “Ngapain juga aku cerita tentang dia.”

“Kalau kamu bilang Wafa bohong tentang suaminya berarti kamu juga bohong tentang istri sah kamu karena kamu juga nggak cerita kan?” Sigra menjelaskan secara logis.

“Kok kamu jadi belain Wafa sih? Bukannya kamu yang dulu nggak suka sama dia?” Endra protes.

“Bukan aku nggak suka sama dia, aku cuma ngerasa ada yang nggak beres sama dia.”

“Sama aja kan. Kamu berprasangka buruk dan nggak mau aku sama dia. Kenapa sekarang malah mojokin aku?” Endra mendapatkan celah untuk berbalik menyerang.

Sigra merasa tersudut, tetapi ia tidak ingin Endra salah sangka dengan pemikirannya. “Aduh gimana sih. Hhhhhhh…..Gini loh. Waktu itu aku cuma mau kamu hati-hati biar hal yang seperti ini nggak kejadian. Bukan aku nggak suka sama Wafa. Aku liat dia orang yang baik kok.”

“Tuh kan, sekarang kamu malah suka sama dia. Padahal dia udah  nyakitin aku.”

“Gimana kalau keadaannya dibalik?” Sigra kembali mencoba membuka mata Endra untuk melihat dari sisi berbeda.

“Maksudnya?”

“Gimana kalau ternyata dia yang tau lebih dulu kalau kamu sebenarnya udah punya istri sah yang nggak kamu urus?”

Pertanyaan Sigra menyerang Endra dengan telak tetapi Endra tidak ingin menyerah. “Kok malah ngomongin itu sih?”

“Kepikiran nggak sih kalau dia juga akan sakit hati waktu tau ternyata kamu udah bohongin dia?” Sigra terus saja berusaha untuk membuat Endra sadar jika Endra juga memiliki kesalahan.

“Ya dia kan udah tau kalau aku poligami.”

“Masalahnya dia taunya kamu punya istri siri bukan istri sah, beda banget tau.” Sigra mulai tidak sabar menghadapi Endra.

“Ya aku tuh rencananya mau ceritain masalah Misha, tapi nanti kalau aku udah siap.” Endra membela diri.

“Berarti dia juga mau cerita saat dia siap.” Sigra merasa akan segera memenangkan perdebatan ini.

Pertahanan Endra mulai goyah, tetapi bukan Endra jika mudah menyerah begitu saja. “Tapi dia itu perempuan lo.”

Sigra tidak mengerti dengan arah pembicaraan Endra. “Emang kalau perempuan kenapa?”

“Perempuan kan nggak boleh selingkuh.”

“Emang laki-laki boleh?” Sigra tidak tau mengapa saudaranya ini menjadi seperti kehilangan kontrol. Untung saja tidak ada perempuan didekat mereka.

“Kalau kita kan boleh poligami, perempuan ga bisa. Jadi kalau perempuan yang udah nikah, dia sama sekali nggak boleh deket sama laki-laki lain.” Endra tetap saja mengeluarkan argumentasi yang tidak terkontrol.

“Tapi bukan berarti kita sebagai laki-laki boleh selingkuh sana sini dan nyakitin perempuan.” Sigra mulai kesulitan untuk menjaga emosinya.

“Susah ya ngomong sama kamu.” Endra akhirnya menyerah.

Sigra tidak mau Endra maupun dirinya kehilangan kendali yang justru menghancurkan mereka. Sigra berusaha untuk menurunkan ketegangan dan berbicara dengan pelan. “Ndra. Aku pengennya kamu itu adil sama dia. Kalian kan sama-sama punya masalah dan rahasia. Sebaiknya kamu tenangin diri kamu dulu dan setelah itu kamu bicara baik-baik sama dia. Cari jalan keluar terbaik. Kalaupun harus putus, kalian putuslah baik-baik.”

Mendengar Sigra yang membicarakan masalah putus, hati Endra bagaikan terhantam dengan keras. Apakah ia dan Wafa harus putus? Memikirkannya saja sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Namun, apakah ada cara untuk mempertahankan hubungan yang sudah tidak mungkin ini?

“Kamu kayaknya suka ya sama Wafa?” Endra berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.

“Kok kamu jadi ngomong gitu sih? Aku udah punya Yuvi.” Sigra tidak tahu apa lagi yang ingin dibicarakan oleh Endra.

“Bukan gitu.  Maksud aku tuh, kamu udah nggak benci sama Wafa.” Endra menjelaskan.

“Denger ya, aku nggak pernah benci sama Wafa, aku cuma ngerasa ada masalah sama dia dan maunya kamu hati-hati biar nggak nyesel.” Sigra meluruskan

“Ya itu artinya dulu kamu nggak suka sama Wafa. Tapi sekarang kayaknya kamu mulai suka sama pribadi Wafa. Buktinya kamu belain dia.”

Sigra mulai terbawa oleh arah pembicaraan Endra. Dia mulai teringat dengan beberapa pertemuannya dengan Wafa dan beberapa fakta yang membuat pandangannya pada Wafa sedikit berubah. “Setelah aku ketemu dia beberapa kali dan aku denger cerita dari kamu, ada sesuatu pada dia yang bikin aku tertarik. Terutama cara dia ngerubah kamu?”

“Aku berubah?” Endra tertarik mendengar penjelasan Sigra. Pujian Sigra untuk Wafa membuat hati Endra melunak dan emosinya menurun.

“Kamu sadari atau tidak, kamu banyak berubah sejak kenal Wafa.”

“Oya?”

Sigra tersenyum sambil membayangkan perubahan Endra. “Kamu lebih tenang, lebih ceria, lebih gemuk, dan yang pasti lebih bahagia. Sesuatu yang nggak pernah terlihat sebelumnya.”

Endra tersenyum. Dia juga menyadari bahwa Wafa memang telah membuatnya begitu bahagia, tetapi dia segera teringat kembali pada kenyataan yang menyakitkan. “Tapi giliran nyakitin, dia nggak ada tandingannya.” Dan senyumpun hilang dari wajah Endra.

“Coba deh, kamu turunin emosi kamu. Kamu tadi bilang kalau dia ada masalah sama suaminya. Mungkin kamu malah bisa bantu dia supaya masalahnya selesai, jadi kalian bisa berhubungan normal.” Sigra berusaha memberikan jalan keluar pada masalah yang dialami Endra.

“Dia itu mau bales dendam sama laki-laki bukan mau berhubungan normal sama aku.” Endra mengelak.

“Kamu yakin?” Sigra bertanya. “Yuvi bilang kalau sorot matanya bener-bener nunjukin kalau Wafa cinta sama kamu.”

“Yuvi bilang gitu?” Endra menjadi galau. Ingin sekali ia mempercayai apa yang dikatakan Sigra.

“Iya. Yuvi kan perempuan, dia lebih tau sifat perempuan.” Sigra meyakinkan Endra dengan harapan saudaranya itu akan mengikuti sarannya.

“Nggak ah, nggak mungkin.” Endra tidak mau berharap. Dia tidak ingin sakit lagi.

“Kenapa nggak mungkin? Selama ini kalian begitu bahagia. Cobalah sedikit. Setidaknya ada usahanya. Jadi kamu nggak akan nyesel nanti.” Entah mengapa sekarang justru Sigra merasa yakin jika Endra akan menjadi lebih baik bersama Wafa.

“Aku udah nggak bisa percaya lagi sama dia.” Tidak mungkin bagi Endra untuk membuka kembali hatinya yang sudah tersakiti.

“Ya udahlah, sekarang kamu tenang dulu. Semua akan lebih baik kalau diselesaikan dengan otak yang dingin dan jernih.” Sigra tidak ingin memaksa karena dia sangat mengerti bahwa paksaan akan membuat Endra semakin menutup diri.

“Aku emang bodoh ya.” Endra menutup wajah dengan kedua tangannya dan menunduk.

“Orang memang menjadi bodoh kalau sedang jatuh cinta.” Sigra tersenyum kecil.

“Aku nggak percaya bisa jatuh cinta sama dia.” Endra memegangi kepalanya. “Shhh…. Matanya itu lo….”

“Innocent?” Sigra menebak.

“Iya sih.. tapi dia itu bener-bener mirip…” Endra tiba-tiba berhenti berbicara dengan sedikit gugup. Dia tersadar jika dia kelepasan bicara.

“Kayaknya ada yang aku ngga tau.” Sigra curiga dan berusaha untuk menangkap pandangan Endra yang bergerak kesana kemari tidak berani menatap Sigra.

“Mata itu …” Endra sangat gugup sementara Sigra mendekatkan diri untuk menatap Endra lebih dalam lagi. Endra tau bahwa tidak ada gunanya berbohong, Sigra pasti akan terus memaksanya untuk berbicara jujur. “Matanya mirip banget sama mata Misha.”

“Istri kamu?” Sigra terkejut dan menegakkan duduknya sambil melihat kearah Endra dengan pandangan tidak percaya.

“Iya.. istri sah aku.”

Sigra bingung mengapa tiba-tiba Endra menyebut Misha. Mengapa dia merasa kalau ada suatu rahasia besar yang disimpan oleh sepupunya?

“Kenapa sih dia harus punya mata kayak gitu? Kalau bukan karena mata itu, nggak akan aku tertarik sama dia.” Endra tertunduk lesu.

“Bentar-bentar. Aku yang salah mikir atau …. kamu suka sama Wafa karena dia mirip .. Misha?” Sigra tidak ingin sekedar menebak, tetapi logikanya memang seperti itu.

“Ya…. gitulah.”

“Kamu sadar nggak sih? Kamu tuh kayak mau nyampein kalau kamu itu suka sama Misha.” Sigra menjadi bersemangat untuk membuka rahasia besar Endra.

Endra tidak berani menjawab dan hanya tertunduk.

“Jadi selama ini yang ada di otak kamu itu Misha?” Sigra tertawa karena ternyata Endra memiliki rahasia yang tidak pernah dipikirkannya sebelumnya.

“Ya nggak juga.” Endra menggelengkan kepala sambil kurang yakin dengan apa yang dirasakannya.

“Katanya kamu suka Wafa karena mirip Misha”.

“Awalnya begitu. Aku tertarik sama dia karena dia ngingetin aku sama Misha. Tapi selanjutnya aku suka sama… Wa..fa.” Raut wajah Endra terlihat seperti berpikir.

“Kok kayak nggak yakin sih?”

“Kok kita jadi ngomongin Misha sih?” Endra tidak mengerti mengapa pembicaraan mereka justru melebar ke arah yang tidak seharusnya.

“Kan kamu yang mulai.” Sigra tersenyum lebar.

“Alkohol itu emang ga bagus… buang-buang.” Endra tidak mau mengakui kesalahannya sehingga menyalahkan minuman sebagai penyebab kekacauan otaknya.

Sigra tertawa melihat keanehan Endra. Suasana mendadak cair. “Makanya, aku udah bilang kan kalau tobat itu baik.”

“Tau ah.” Endra masih merengut menyadari kesalahannya dan menjadi salah tingkah.

“Jadi sekarang gimana? Mau cerita Wafa atau Misha?” Sigra masih tidak mampu menahan tawanya.

“Udah ah.. pulang aja.” Endra berdiri.

“Loh.. tadi marah-marah. Katanya diboongin abis. Kok cuma sebentar marahnya?” Sigra ikut berdiri.

“Ngantuk.” Endra berjalan cepat meninggalkan Sigra yang terpaksa harus membereskan pembayaran namun bahagia karena berhasil membuat Endra salah tingkah.

Sementara itu di tempat lain, Wafa tidak bisa tidur. Dia tidak mengerti bagaimana bisa hatinya berubah-ubah dalam waktu beberapa jam saja. Tadi pagi dia masih merasa tidak nyaman mengenai hubungannya dengan Endra, siangnya dia begitu bahagia, sorenya begitu marah, dan malamnya merasa bersalah.

Mengapa cinta bisa sesulit ini? Mengapa dia harus mencintai lelaki seperti Endra yang tidak henti-henti membuat hidupnya naik turun. Sebentar dia terbang ke langit tinggi dan hanya dalam waktu sesaat, dia dihempaskan ke bumi sekeras-kerasnya.

Wafa tau bahwa Endra bukan satu-satunya pihak yang bersalah dalam hal ini. Mungkin Endra memang bejat, tetapi dia benar bahwa dia telah jujur dari awal tentang kondisinya atau mungkin terpaksa karena semuanya sudah terbongkar di media. Di lain pihak, justru Wafa telah berbohong besar pada Endra dan merencanakan sesuatu yang licik yang sayangnya tidak berjalan seperti seharusnya.

Akhirnya Wafa pun tertidur karena sangat lelah. Menjelang subuh, Wafa terbangun. Langsung saja dia teringat pada kejadian semalam yang membuatnya kembali berpikir.  Dia hanya mondar-mandir dari kamar kemudian keluar.

Dia minum berulang kali walaupun satu kali minum sudah cukup menghilangkan rasa hausnya. Beragam makanan di lemari tetapi tidak ada yang bisa membuatnya berselera walaupun terakhir kali dia makan adalah saat makan siang bersama Sandra kemarin. Wafa benar-benar tidak tau harus melakukan apa.

Kemudian terdengarlah adzan subuh yang membuat Wafa tersadar bahwa jalan terbaik adalah meminta petunjuk pada Tuhan. Ia segera berwudhu dan melakukan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Dalam doanya, Wafa memohon agar Tuhan memberinya jalan keluar terbaik.

Akhirnya Wafa mendapatkan ketetapan hati. Menurutnya, ini adalah jalan terbaik karena keadaannya sudah hancur lebur seperti ini. Memaksakan diri untuk memperbaiki keadaan sepertinya mustahil.

Wafa mengambil handphonenya dan menekan tombol untuk menghubungi Om Aswin, seseorang yang selalu menjadi penghubung antara dia sebagai Misha dengan suaminya.

Om Aswin adalah pengacara Endra yang masih memiliki hubungan keluarga. Om Aswin selalu baik padanya, seperti halnya keluarga Endra yang lain. 

“Halo. Assalamu’alaikum” Terdengar jawaban dari seberang.

“Wa’alaikum salam, Om.” Wafa menjawab salam.

“Apa kabar Mis, udah lama kamu nggak telepon Om?

“Baik Om.., iya nihMisha lagi agak sibuk akhir-akhir ini.” Jawab Misha dengan sedikit terbata.

Mendengar cara bicara Misha yang terbata dan suara yang sedikit bergetar, Om Aswin merasa ada sesuatu yang sangat mengganggu Misha. “Ada apa Mis, kok kamu telepon om pagi-pagi? Ada yang penting ya?”

“Iya. Maaf ya om udah ganggu.”

“Enggak pa pa.. kalau buat Misha nggak ada tuh kata ganggu.” Suara Om Aswin selalu terdengar lembut dan nyaman di telinga. Biasanya Wafa akan menjadi tenang mendengar suara Om Aswin, tetapi kali ini dia benar-benar dalam keadaan yang terguncang sehingga tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia tenang.

“Misha? Kok diem? Ada apa?”

Wafa berusaha mengumpulkan keberaniannya. “Gini Om.” Rasa takut begitu mengganggunya tapi Wafa berusaha untuk kuat. “Aku mau minta cerai sama Endra.”

_________________________________________________
Prolog           << Bab Sebelumnya           Bab Selanjutnya >>

Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar