Terbongkarnya
poligami Koko membuat keluargaku marah. Hera begitu sakit hati mengetahui
keadaanku dan suaminya yang sangat menghormatiku, tidak terima jika kakak
iparnya dihianati. Mereka sebenarnya sudah curiga, tetapi tidak berani bertanya
karena takut akan menyakiti hatiku.
Adik-adikku
yang lain juga tidak kalah sakit hati. Bahkan Ali menggunakan alasan tidak
diterima di SKALU (penerimaan mahasiswa di PTN) untuk pergi ke Kalimantan,
mengikuti Bunga yang sudah menikah dan suaminya yang ditugaskan ke Kalimantan. Padahal
aku tahu bahwa Ali sebenarnya tidak tahan melihat aku yang sedih karena dimadu.
Pantas saja
jika mereka marah. Selain dibohongi, mereka tentunya merasa tidak dihargai
karena aku tidak pernah meminta pertimbangan mereka bahkan tidak pernah
bercerita sedikitpun tentang masalahku dengan Koko sampai mereka mengetahui hal
itu dari ibu. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Aku hanya bisa menunggu
sampai amarah mereka mereda.
Yang masih
sedikit mengganggu adalah kemungkinan para tetangga curiga. Aku tidak menceritakan
apa-apa ke tetangga karena bagiku ini adalah urusan dalam rumah tangga. Buat apa
tetangga tahu? Namun, tetap saja aku kuatir jika mereka bergosip atau bahkan
bertanya langsung padaku tentang kecurigaan mereka. Untungnya yang kukuatirkan
tidak terjadi. Tetanggaku tidak pernah bertanya aneh-aneh dan tidak ada
perubahan sikap dari mereka.
Masalah
dengan keluarga sudah kuanggap selesai. Tetangga juga tidak menjadi masalah. Yang
menjadi masalah justru hati dan pikiranku sendiri. Sekeras apapun aku berusaha
cuek dan menjalani hidup seperti biasa, aku ini masih seorang perempuan yang
tidak bisa melihat laki-laki yang menjadi suaminya bersama dengan wanita lain.
Cemburu, rasa sakit, amarah, dan dendam masih menggerogoti hati. Bayangan Koko
berkasih dengan wanita lain secara perlahan meruntuhkan benteng pertahananku.
Dalam kurun
waktu satu tahun, beberapa kali aku merasa benar-benar tidak kuat dan mulai memikirkan
perceraian. Aku merasa tidak ada gunanya lagi aku hidup bersama Koko. Aku
merasa bahwa aku ini kan wanita kuat, tentunya aku bisa hidup sendiri tanpa
bantuan Koko. Aku mulai mengevaluasi kondisi ku dan kemungkinan-kemungkinan
yang bisa terjadi.
Dalam
masalah ekonomi, aku merasa tidak terlalu masalah. Aku bisa mencari nafkah sendiri.
Dulu sebelum bersama Koko, aku juga sudah membuktikan bahwa aku berhasil
menyekolahkan adik-adik sampai SMA
seperti yang diamanatkan ayah. Dua adikku yaitu Hera dan Bunga sekarang sudah
memiliki keluarga sendiri sehingga mereka bukan tanggunganku lagi. Bahkan
mereka bisa membantu aku dan ibu untuk mengurus adik-adik yang masih sekolah.
Keluargaku
tentunya tidak akan menjadi masalah jika aku memutuskan untuk meminta cerai.
Mereka saja begitu marah saat mengetahui aku dimadu. Bagaimana mungkin mereka
akan membela Koko? Aku yakin mereka akan memberikan dukungan penuh jika aku
hidup sendiri bersama anakku saja.
Mertua juga
bukan sesuatu yang harus aku jadikan masalah. Mereka saja terkesan tidak peduli
pada kesusahanku. Mereka yang dahulu begitu meyakinkanku bahwa Koko tidak akan
kembali pada mantan istrinya, justru kini terkesan membiarkan kami. Mereka
lebih memperdulikan perasaan anak mereka yang jelas-jelas telah melakukan
kesalahan dibanding menantunya yang sangat menderita karena anak mereka.
Aku teringat
saat ibu mertua berkunjung ke rumah dan aku mengeluh pada Ibu mertua tentang
kembalinya Koko ke mantan istrinya. Aku meminta pertanggungjawaban ibu mertua
tentang janji mereka padaku. “Bagaimana saya? Tolong saya dong Bu”, kataku
memohon pada ibu mertua. Saat itu ibu hanya berkata, “Kok Koko ngono to? Sek nanti
ibu bicarakan sama Bapak dan keluarga dulu bagaimana baiknya. Kamu sabar dulu
ya.” Setelah itu ibu pamit pulang ke Jawa Timur dan tidak pernah mengunjungiku
lagi setelahnya. Jika mereka saja tidak mau membelaku, untuk apa aku membela
anak mereka?
Namun, aku
langsung teringat pada Tigo saat aku memikirkan cerai. Dia begitu dekat dengan
bapaknya. Jika aku berpisah dengan Koko, bagaimana dengan Tigo? Seorang anak
pasti mengalami trauma akibat perceraian. Dia pasti begitu sedih jika tidak
bisa bertemu dengan bapaknya. Bagaimana masa depannya jika dia tumbuh tanpa bimbingan
dari bapaknya? Apa aku tega membiarkan anak laki-lakiku jauh dari bapaknya?
Tidak! Tidak mungkin aku sanggup melihat kesedihan dimata anak yang begitu
kusayangi.
Akhirnya aku
mencoba untuk bertahan demi Tigo. Aku berusaha untuk terlihat cuek dan santai
setiap harinya. Jika ada masalah, aku hanya membicarakannya dengan Koko di
dalam kamar yang tertutup agar tidak ada orang lain yang tahu. Saat rasa
cemburu dan sakit datang menghantui, aku memendamnya sekuat tenaga dalam hati.
Dengan
kondisi keluarga yang cukup mendukung, Koko meneruskan kuliahnya dan selesai di
awal tahun 80’an. Saat itu kami sudah 6 tahun menikah dan 4 tahun berpoligami.
Kebetulan waktu itu dia mendapat ikatan dinas untuk bekerja di salah satu
lembaga milik pemerintah dan ditempatkan di Jogja.
Saat dia
mendapat berita tentang penempatan itu, kami berbicara serius tentang masa
depan kami. DIa mengatakan ingin membawa dua keluarga, tetapi aku menolak.
Lebih baik aku menyerah saja dan mundur dari hubungan kami jika dia mau membawa
dua istri. Dia kembali takut mendengar ancamanku.
Aku berkata
padanya bahwa aku ingin tetap tinggal di Bandung karena aku sudah memiliki pekerjaan
tetap yang cukup baik. Dia akhirnya setuju dan diputuskan bahwa sementara ini
dia akan tinggal bersama keluarganya yang ada di Jogja. Dia akan kembali ke Bandung setiap akhir bulan
untuk menengok kami.
Ternyata
Koko tidaklah setangguh itu. Baru satu minggu Koko pindah ke Jogja, dia sudah
pulang. “Kenapa Bapak sudah pulang lagi?” tanyaku saat dia sudah beristirahat
sebentar. “Aku tidak tenang kalau tidak tinggal bersama keluarga. Bapak susah
tidur”, jawabnya. “Ya sabar”, kataku. “Nggak! Bapak maunya kita semua pindah ke
sana saja”, katanya.
Aku mulai kesal
mendengar kata-kata Koko. “Bapak tuh keluarganya dua, masa mau dibawa
dua-duanya? Nanti bagaimana status di kepegawaian? Kan tidak boleh pegawai
negeri punya istri dua”, aku berusaha mengingatkan Koko tentang keadaan kami. Tiba-tiba
terbersit dipikiranku bahwa mungkin Koko mulai terpikir untuk meresmikan
pernikahannya. ”Terus, Ibu nggak mau kalau pernikahan Bapak sama Mbak Tanjung
diresmiin. Pokoknya kalau Bapak mau diresmiin, Ibu cerai saja”, kataku.
Koko
terkejut mendengar aku yang tiba-tiba membicarakan masalah dia dan Tanjung.
“Kan sekarang Bapak sudah sarjana, sudah pegawai negeri,” katanya. Aku menjadi
bingung mendengar perkataannya. Seharusnya dia meyakinkan aku jika dia tidak akan
meresmikan poligami, bukannya memberikan alasan yang bisa mendukung poligami
resmi. Jadi memang benar jika dia ternyata sudah memikirkan kemungkinan
meresmikan poligami. Gila! Aku tidak bisa terima ini. “Pokoknya nggak ada
pilihan lain”, tegasku.
Koko
tersentak. Sepertinya dia menyadari jika sudah melakukan kesalahan. “Ya
nggak-nggak. Seperti biasa saja, seperti sekarang”, kata Koko gugup. Ternyata
dia masih takut jika aku meninggalkannya. “Terserah”, kataku.
Keesokan
harinya Koko pulang ke Jogja dan aku menjalani hari-hari seperti biasa. Namun
tanpa kuduga, Koko datang lagi seminggu kemudian dengan sebuah truk besar. Koko
meminta kami untuk beres-beres dan segera ikut dengannya ke Jogja. Terang saja
aku kaget dan protes, tetapi Koko bersikeras. Aku tidak berdaya. Sebagai istri,
aku harus menuruti suami.
Sebelum
pindah, aku meminta syarat pada Koko. Aku hanya mau pindah ke Jogja jika
keluarga Tanjung tidak ikut ke Jogja. Jika Koko membawa Tanjung, lebih baik aku
tetap di Bandung saja. Aku tidak mau kami berdekatan. “Tenang saja. De Tanjung
tidak akan pindah ke Jogja. Soalnya anak-anak juga susah kalau mau
pindah-pindah sekolah”, itu yang dikatakan Koko untuk meyakinkan supaya aku mau
ikut pindah dengannya.
Lagi-lagi aku tertipu. Saat aku pindah, ternyata Tanjung sudah pindah ke Jogja. Aku begitu shock mendapati kenyataan itu. Terlebih lagi, rumah kontrakan Tanjung dan aku hanya berbeda RT. Aku marah karena Koko sudah membohongiku. Ia pun meminta maaf dan memberi alasan mengapa dia memutuskan untuk membawa kedua keluarga. “Kalau berjauhan kan sulit untuk mengurusnya. Banyak biaya untuk bolak-balik ke Bandung”, begitu katanya. Aku tidak punya pilihan selain menerima alasannya karena memang sudah terlanjur.
Setelah di
tempat yang baru, muncul masalah yang cukup besar di keluarga kami. Masalah
kami kali ini adalah di bidang ekonomi. Saat itu dia masih belum resmi diangkat
sebagai pegawai dan hanya menerima honor yang kecil, sedangkan aku tidak punya
pekerjaan sama sekali. Kota itu begitu asing bagiku dan aku juga tidak memiliki
saudara yang tinggal di Jogja sehingga sulit mencari informasi lowongan
pekerjaan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk bisa
menghasilkan uang.
Aku merasa
begitu berat untuk mengatur ekonomi keluarga, terlebih karena aku masih
memiliki tanggungan. Saat itu aku mengajak adikku Juna dan Eno, dan satu keponakan
untuk tinggal bersamaku di Jogja. Oleh karena itu, timbul krisis ekonomi yang
sangat berat. Untuk makan saja aku harus menjual berbagai macam barang. Perhiasan
yang kukumpulkan sekian lama, satu per satu kurelakan agar kami bisa bertahan
hidup.
Setelah
beberapa bulan mengalami stress yang luar biasa, aku memutuskan untuk kembali
ke Bandung supaya aku bisa bekerja lagi. Tentu saja Koko tidak menyetujui
keinginanku. Karena aku sudah tidak tahan, akhirnya aku pergi dengan anakku
tanpa persetujuannya. Aku hanya menitipkan pesan pada adik dan keponakanku yang
aku minta untuk bertahan dulu di Jogja.
Aku membuat
surat untuk Koko yang mengatakan bahwa aku tidak akan kembali lagi ke Jogja. Aku
akan bekerja di Bandung karena di Jogja aku tidak ada penghasilan. Sulit sekali
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ‘Ibu
mundur saja. Insyaallah nanti adik-adik akan Ibu jemput’, begitulah janji
yang kutuliskan.
Karena aku
sudah tidak ada rumah di Bandung, aku memutuskan untuk tinggal di rumah ibuku
saja. Alhamdulillah keputusanku ternyata tidak salah. Tak berapa lama, aku
sudah mendapatkan penawaran pekerjaan. Ada sekolah SMP di dekat rumah ibuku
yang mau menerimaku untuk menjadi guru. Namun, belum sempat aku bekerja ada
kejadian yang begitu mengagetkan.
Pagi itu,
sekitar jam 3 pagi ada yang datang mengetuk pintu. Saat kubuka, kulihat Koko
berdiri. Aku begitu kaget melihat penampilannya. Dia memakai celana pendek
dengan kaki diperban dari paha sampai betis. “Lho Pak, Bapak kenapa?” tanyaku
penuh kekhawatiran. Aku segera menyuruhnya masuk dan segera kusiapkan minum
untuknya.
Setelah dia
beristirahat sebentar, dia mulai bercerita. Dia mengatakan bahwa dia sangat terkejut
saat membaca surat dariku. Dia begitu terganggu dan selalu memikirkan aku. Saat
di lab, dia tidak bisa berkonsentrasi untuk bekerja. Dia menumpahkan spiritus yang
mengenai api sehingga membakar celana dan kakinya. Untung saja tidak terjadi
kebakaran hebat di lab.
Saat Tigo
sudah bangun dia begitu senang bisa bertemu dengan bapaknya, tetapi dia begitu
sedih ketika melihat keadaan kaki bapaknya. “Ibu ayo kita pulang, kasihan Bapak
Bu. Kita pulang sama Bapak aja”, kata Tigo dengan memelas. Tentu saja aku
menjadi tidak tega mendengar permohonan Tigo. Ibuku juga setali tiga uang. “Bagaimanapun
juga dia suami Eneng. Sekarang Eneng pulang aja. Rawat suami Eneng”, kata
ibuku.
Aku tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Kamipun pulang agar aku bisa merawat Koko. Masalah keluarga kami untuk sementara disisihkan dulu. Alhamdulillah. Pengorbananku tidak sia-sia. Tidak berapa lama, aku mendapatkan pertolongan luar biasa dari Allah.
Waktu itu Tigo
yang berusia 5 tahun masuk TK yang tidak terlalu jauh dari rumah. Saat aku
mengantarnya, aku membawa kue yang aku buat sendiri untuk bekal aku selama
menunggu. Saat sedang menunggu bersama dengan ibu-ibu yang lain, aku membagi
kue yang kubawa pada mereka. Saat itu ada ibu yang menyukai kue yang kubuat
itu. “Wah enak sekali kuenya. Ini Ibu yang buat sendiri?” tanya ibu itu.
“Alhamdulillah kalau Ibu suka. Iya itu buatan saya sendiri”, jawabku. “Wah
kebetulan Bu, saya itu pegang koperasi di dekat sini. Kalau ibu mau, ibu bisa
nitip kue di koperasi saya”, kata ibu itu lagi.
Tentu saja
aku girang mendengarnya. Aku begitu bahagia mendapatkan cara menghasilkan uang.
Aku mengiyakan tawaran ibu itu dan segera mempersiapkan diri untuk memulai
usaha. Saat aku menceritakan hal tersebut pada Koko, dia memberikan ijinnya.
Itulah satu hal yang kusuka dari Koko. Dia memberiku banyak ruang untuk
menghasilkan uang sendiri, tidak seperti Toni.
Setelah
kupikirkan masak-masak, aku memutuskan untuk membuat kue kering yang lebih
tahan lama. Dengan modal dan peralatan seadanya, ku buatlah berbagai macam kue
kering. Aku cukup beruntung karena ada adik dan keponakanku yang sangat
bersemangat untuk membantuku.
Waktu itu,
jenis plastik masih sangat terbatas. Tidak seperti jaman sekarang,
toples-toples plastik masih belum banyak tersedia di toko. Sebagai tempat kue,
aku menggunakan kantong plastik bening yang diberi kertas karton agar
plastiknya kencang dan tidak mudah berubah bentuk. Kususun kue-kuenya di dalam
plastik tersebut dan kubakar ujung plastiknya agar tertutup dan angin tidak
masuk.
Alhamdulillah,
banyak yang menyukai kue-kue ku sehingga aku mendapatkan uang jajan lebih untuk
anak dan adik-adikkku. Stress ku pun mulai berkurang dan aku mulai bisa
menjalani hidup dengan senyum. Selain itu, kesibukan membuat kue membuatku
melupakan sejenak masalah-masalahku dengan Koko.
Setelah
usaha kueku berjalan lancar, aku berpikir untuk bisa mendapatkan uang lebih.
Kebetulan aku pernah kursus potong rambut saat masih di Bandung. Dengan sedikit
uang yang kukumpulkan dari hasil berjualan kue, aku membeli beberapa alat
potong rambut dan membuka salon kecil di rumah.
Aku sempat
takut jika tidak ada yang mau memotong rambut di salonku karena sangat kecil
dan sederhana. Tapi ternyata aku salah. Diawali dari satu dua orang, akhirnya
banyak tetangga yang datang. “Ga papa tempatnya darurat, yang penting motongnya
enak”, kata salah satu pelangganku saat aku meminta maaf karena salonku masih
begitu sederhana.
Ternyata, membaiknya
kondisi ekonomi keluarga kami tidak cukup membuatku tenang. Ada saja masalah
baru yang muncul dalam keluarga kami. Tiada angin, tiada hujan, aku mendapatkan
berita yang sangat menyakitkan hati. Belum setahun aku tinggal di Jogja, ada
isu jika aku sebenarnya kumpul kebo dengan Koko.
Siapa yang
tidak marah mendengar fitnah seperti itu? Aku ini bukan perempuan murahan. Aku
menikah resmi dengan Koko. Buku nikah kami masih tersimpan rapi. Tapi, siapa
yang bisa aku salahkan? Aku bahkan tidak tahu bagaimana berita bohong itu bisa
tersebar.
Saat Koko
sudah pulang dari kerjanya, aku menumpahkan kemarahanku padanya. Memang bukan
dia yang menyebarkan fitnah itu, tapi kalau bukan karena dia berpoligami, hal
ini pasti tidak akan terjadi. Bagaimanapun juga, dia harus bertanggung jawab.
Aku tidak mau namaku menjadi jelek. Terlebih lagi, ini bukan hanya masalah
pribadi, ini juga menyangkut nama baik keluarga. Bagaimana jika keluargaku yang
di Jawa Barat mendengar masalah ini?
“Siapa yang
menyebarkan berita seperti itu? Keluarga Ibu tidak mungkin menyebarkan berita
bohong seperti itu. Siapa yang bisa menyebarkan fitnah seperti itu? “, tanyaku
pada Koko dengan berapi-api. “Ya Bapak nggak tau. Masa ada yang nyebar berita
seperti itu?” katanya. Koko tidak percaya dengan ceritaku.
Kesal sekali
aku mendengar Koko tidak mempercayaiku. “Ibu nggak bohong Pak, Ibu tau sendiri.
Ibu-ibu itu membicarakan kalau kita tidak menikah”, aku menegaskan. “Pokoknya Bapak harus bertanggung jawab. Bapak
harus membersihkan nama Ibu. Kalau tidak, lebih baik Ibu udahan saja”, tegasku.
Aku sudah tidak mau lagi dipermainkan oleh Koko. Kalau dia tidak bisa
menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami, lebih aku menyerah saja.
Amarahku
sudah di ubun-ubun. Tapi aku tidak mau salah mengambil langkah. Kali ini aku harus
mempertimbangkan semua hal yang ada, baik dan buruknya, sebelum aku memutuskan.
Aku harus mempertimbangkan usahaku yang mulai berjalan lancar. Terutama aku
memikirkan bagaimana dengan nasib anak dan adik-adikku jika kami kembali lagi
ke Jawa Barat. Kebetulan waktu itu adikku Eno diminta oleh Bunga untuk
membantunya di Kalimantan sehingga beban pemikiranku berkurang.
Setelah
memikirkan masak-masak keadaan kami selama beberapa hari, aku mendapatkan
kekuatan hati. Aku memutuskan untuk pulang ke Jawa Barat. Tidak ada lagi yang
harus kupertahankan di Jogja. Lagipula masalah sepertinya tidak akan berhenti
sebelum aku memutuskan tali hubunganku dengan Koko. Berdiri di atas kaki
sendiri lebih masuk akal buatku daripada bertahan diatas ribuan masalah yang
tiada henti menyerang keluarga kami.
Namun aku
tidak berani meminta cerai pada Koko. Entahlah… kata itu sepertinya tidak bisa
aku ucapkan. Di depan Koko aku berkata, “Sebelum masalah selesai, Ibu tidak
akan pulang. Bahkan Ibu lebih baik selesai saja dengan Bapak. Ibu angkat
tangan.” Aku tahu bahwa tanpa mengucapkan kata ‘cerai’, Koko pasti tahu arti
perkataanku itu.
Aku pergi
dengan membawa Tigo, sedangkan adik dan keponakanku aku minta untuk menunggu
dulu di Jogja sampai aku mendapat tempat dan kerja yang layak bagi kami. Seperti
kepulanganku yang dulu, aku memutuskan untuk datang ke rumah ibu. Aku berharap
tawaran mengajar yang dulu masih berlaku atau setidaknya ada lowongan lain di
sekolah itu.
Saat sampai di rumah ibu, beliau terkejut melihat kedatanganku. “Ada apa lagi ini?” Itulah reaksi pertama dari ibu. Aku merasa sangat malu dan bersalah pada ibu. Dengan berat hati aku berkata, “Eneng sudah bulat hati. Eneng udah nggak kuat Mah.”
_____________________________________________________________