Selasa, 26 Mei 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab VI



Terbongkarnya poligami Koko membuat keluargaku marah. Hera begitu sakit hati mengetahui keadaanku dan suaminya yang sangat menghormatiku, tidak terima jika kakak iparnya dihianati. Mereka sebenarnya sudah curiga, tetapi tidak berani bertanya karena takut akan menyakiti hatiku.

Adik-adikku yang lain juga tidak kalah sakit hati. Bahkan Ali menggunakan alasan tidak diterima di SKALU (penerimaan mahasiswa di PTN) untuk pergi ke Kalimantan, mengikuti Bunga yang sudah menikah dan suaminya yang ditugaskan ke Kalimantan. Padahal aku tahu bahwa Ali sebenarnya tidak tahan melihat aku yang sedih karena dimadu.

Pantas saja jika mereka marah. Selain dibohongi, mereka tentunya merasa tidak dihargai karena aku tidak pernah meminta pertimbangan mereka bahkan tidak pernah bercerita sedikitpun tentang masalahku dengan Koko sampai mereka mengetahui hal itu dari ibu. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Aku hanya bisa menunggu sampai amarah mereka mereda.  

Yang masih sedikit mengganggu adalah kemungkinan para tetangga curiga. Aku tidak menceritakan apa-apa ke tetangga karena bagiku ini adalah urusan dalam rumah tangga. Buat apa tetangga tahu? Namun, tetap saja aku kuatir jika mereka bergosip atau bahkan bertanya langsung padaku tentang kecurigaan mereka. Untungnya yang kukuatirkan tidak terjadi. Tetanggaku tidak pernah bertanya aneh-aneh dan tidak ada perubahan sikap dari mereka.

Masalah dengan keluarga sudah kuanggap selesai. Tetangga juga tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah justru hati dan pikiranku sendiri. Sekeras apapun aku berusaha cuek dan menjalani hidup seperti biasa, aku ini masih seorang perempuan yang tidak bisa melihat laki-laki yang menjadi suaminya bersama dengan wanita lain. Cemburu, rasa sakit, amarah, dan dendam masih menggerogoti hati. Bayangan Koko berkasih dengan wanita lain secara perlahan meruntuhkan benteng pertahananku.

Dalam kurun waktu satu tahun, beberapa kali aku merasa benar-benar tidak kuat dan mulai memikirkan 
perceraian. Aku merasa tidak ada gunanya lagi aku hidup bersama Koko. Aku merasa bahwa aku ini kan wanita kuat, tentunya aku bisa hidup sendiri tanpa bantuan Koko. Aku mulai mengevaluasi kondisi ku dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.

Dalam masalah ekonomi, aku merasa tidak terlalu masalah. Aku bisa mencari nafkah sendiri. Dulu sebelum bersama Koko, aku juga sudah membuktikan bahwa aku berhasil menyekolahkan adik-adik sampai  SMA seperti yang diamanatkan ayah. Dua adikku yaitu Hera dan Bunga sekarang sudah memiliki keluarga sendiri sehingga mereka bukan tanggunganku lagi. Bahkan mereka bisa membantu aku dan ibu untuk mengurus adik-adik yang masih sekolah.

Keluargaku tentunya tidak akan menjadi masalah jika aku memutuskan untuk meminta cerai. Mereka saja begitu marah saat mengetahui aku dimadu. Bagaimana mungkin mereka akan membela Koko? Aku yakin mereka akan memberikan dukungan penuh jika aku hidup sendiri bersama anakku saja.

Mertua juga bukan sesuatu yang harus aku jadikan masalah. Mereka saja terkesan tidak peduli pada kesusahanku. Mereka yang dahulu begitu meyakinkanku bahwa Koko tidak akan kembali pada mantan istrinya, justru kini terkesan membiarkan kami. Mereka lebih memperdulikan perasaan anak mereka yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan dibanding menantunya yang sangat menderita karena anak mereka.

Aku teringat saat ibu mertua berkunjung ke rumah dan aku mengeluh pada Ibu mertua tentang kembalinya Koko ke mantan istrinya. Aku meminta pertanggungjawaban ibu mertua tentang janji mereka padaku. “Bagaimana saya? Tolong saya dong Bu”, kataku memohon pada ibu mertua. Saat itu ibu hanya berkata, “Kok Koko ngono to? Sek nanti ibu bicarakan sama Bapak dan keluarga dulu bagaimana baiknya. Kamu sabar dulu ya.” Setelah itu ibu pamit pulang ke Jawa Timur dan tidak pernah mengunjungiku lagi setelahnya. Jika mereka saja tidak mau membelaku, untuk apa aku membela anak mereka?

Namun, aku langsung teringat pada Tigo saat aku memikirkan cerai. Dia begitu dekat dengan bapaknya. Jika aku berpisah dengan Koko, bagaimana dengan Tigo? Seorang anak pasti mengalami trauma akibat perceraian. Dia pasti begitu sedih jika tidak bisa bertemu dengan bapaknya. Bagaimana masa depannya jika dia tumbuh tanpa bimbingan dari bapaknya? Apa aku tega membiarkan anak laki-lakiku jauh dari bapaknya? Tidak! Tidak mungkin aku sanggup melihat kesedihan dimata anak yang begitu kusayangi.

Akhirnya aku mencoba untuk bertahan demi Tigo. Aku berusaha untuk terlihat cuek dan santai setiap harinya. Jika ada masalah, aku hanya membicarakannya dengan Koko di dalam kamar yang tertutup agar tidak ada orang lain yang tahu. Saat rasa cemburu dan sakit datang menghantui, aku memendamnya sekuat tenaga dalam hati.

Dengan kondisi keluarga yang cukup mendukung, Koko meneruskan kuliahnya dan selesai di awal tahun 80’an. Saat itu kami sudah 6 tahun menikah dan 4 tahun berpoligami. Kebetulan waktu itu dia mendapat ikatan dinas untuk bekerja di salah satu lembaga milik pemerintah dan ditempatkan di Jogja.

Saat dia mendapat berita tentang penempatan itu, kami berbicara serius tentang masa depan kami. DIa mengatakan ingin membawa dua keluarga, tetapi aku menolak. Lebih baik aku menyerah saja dan mundur dari hubungan kami jika dia mau membawa dua istri. Dia kembali takut mendengar ancamanku.

Aku berkata padanya bahwa aku ingin tetap tinggal di Bandung karena aku sudah memiliki pekerjaan tetap yang cukup baik. Dia akhirnya setuju dan diputuskan bahwa sementara ini dia akan tinggal bersama keluarganya yang ada di Jogja.  Dia akan kembali ke Bandung setiap akhir bulan untuk menengok kami.

Ternyata Koko tidaklah setangguh itu. Baru satu minggu Koko pindah ke Jogja, dia sudah pulang. “Kenapa Bapak sudah pulang lagi?” tanyaku saat dia sudah beristirahat sebentar. “Aku tidak tenang kalau tidak tinggal bersama keluarga. Bapak susah tidur”, jawabnya. “Ya sabar”, kataku. “Nggak! Bapak maunya kita semua pindah ke sana saja”, katanya.

Aku mulai kesal mendengar kata-kata Koko. “Bapak tuh keluarganya dua, masa mau dibawa dua-duanya? Nanti bagaimana status di kepegawaian? Kan tidak boleh pegawai negeri punya istri dua”, aku berusaha mengingatkan Koko tentang keadaan kami. Tiba-tiba terbersit dipikiranku bahwa mungkin Koko mulai terpikir untuk meresmikan pernikahannya. ”Terus, Ibu nggak mau kalau pernikahan Bapak sama Mbak Tanjung diresmiin. Pokoknya kalau Bapak mau diresmiin, Ibu cerai saja”, kataku.  

Koko terkejut mendengar aku yang tiba-tiba membicarakan masalah dia dan Tanjung. “Kan sekarang Bapak sudah sarjana, sudah pegawai negeri,” katanya. Aku menjadi bingung mendengar perkataannya. Seharusnya dia meyakinkan aku jika dia tidak akan meresmikan poligami, bukannya memberikan alasan yang bisa mendukung poligami resmi. Jadi memang benar jika dia ternyata sudah memikirkan kemungkinan meresmikan poligami. Gila! Aku tidak bisa terima ini. “Pokoknya nggak ada pilihan lain”, tegasku.  

Koko tersentak. Sepertinya dia menyadari jika sudah melakukan kesalahan. “Ya nggak-nggak. Seperti biasa saja, seperti sekarang”, kata Koko gugup. Ternyata dia masih takut jika aku meninggalkannya. “Terserah”, kataku.

Keesokan harinya Koko pulang ke Jogja dan aku menjalani hari-hari seperti biasa. Namun tanpa kuduga, Koko datang lagi seminggu kemudian dengan sebuah truk besar. Koko meminta kami untuk beres-beres dan segera ikut dengannya ke Jogja. Terang saja aku kaget dan protes, tetapi Koko bersikeras. Aku tidak berdaya. Sebagai istri, aku harus menuruti suami.

Sebelum pindah, aku meminta syarat pada Koko. Aku hanya mau pindah ke Jogja jika keluarga Tanjung tidak ikut ke Jogja. Jika Koko membawa Tanjung, lebih baik aku tetap di Bandung saja. Aku tidak mau kami berdekatan. “Tenang saja. De Tanjung tidak akan pindah ke Jogja. Soalnya anak-anak juga susah kalau mau pindah-pindah sekolah”, itu yang dikatakan Koko untuk meyakinkan supaya aku mau ikut pindah dengannya.

Lagi-lagi aku tertipu. Saat aku pindah, ternyata Tanjung sudah pindah ke Jogja. Aku begitu shock mendapati kenyataan itu. Terlebih lagi, rumah kontrakan Tanjung dan aku hanya berbeda RT. Aku marah karena Koko sudah membohongiku. Ia pun meminta maaf dan memberi alasan mengapa dia memutuskan untuk membawa kedua keluarga. “Kalau berjauhan kan sulit untuk mengurusnya. Banyak biaya untuk bolak-balik ke Bandung”, begitu katanya. Aku tidak punya pilihan selain menerima alasannya karena memang sudah terlanjur.

Setelah di tempat yang baru, muncul masalah yang cukup besar di keluarga kami. Masalah kami kali ini adalah di bidang ekonomi. Saat itu dia masih belum resmi diangkat sebagai pegawai dan hanya menerima honor yang kecil, sedangkan aku tidak punya pekerjaan sama sekali. Kota itu begitu asing bagiku dan aku juga tidak memiliki saudara yang tinggal di Jogja sehingga sulit mencari informasi lowongan pekerjaan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk bisa menghasilkan uang.

Aku merasa begitu berat untuk mengatur ekonomi keluarga, terlebih karena aku masih memiliki tanggungan. Saat itu aku mengajak adikku Juna dan Eno, dan satu keponakan untuk tinggal bersamaku di Jogja. Oleh karena itu, timbul krisis ekonomi yang sangat berat. Untuk makan saja aku harus menjual berbagai macam barang. Perhiasan yang kukumpulkan sekian lama, satu per satu kurelakan agar kami bisa bertahan hidup.

Setelah beberapa bulan mengalami stress yang luar biasa, aku memutuskan untuk kembali ke Bandung supaya aku bisa bekerja lagi. Tentu saja Koko tidak menyetujui keinginanku. Karena aku sudah tidak tahan, akhirnya aku pergi dengan anakku tanpa persetujuannya. Aku hanya menitipkan pesan pada adik dan keponakanku yang aku minta untuk bertahan dulu di Jogja.

Aku membuat surat untuk Koko yang mengatakan bahwa aku tidak akan kembali lagi ke Jogja. Aku akan bekerja di Bandung karena di Jogja aku tidak ada penghasilan. Sulit sekali untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ‘Ibu mundur saja. Insyaallah nanti adik-adik akan Ibu jemput’, begitulah janji yang kutuliskan.  
Karena aku sudah tidak ada rumah di Bandung, aku memutuskan untuk tinggal di rumah ibuku saja. Alhamdulillah keputusanku ternyata tidak salah. Tak berapa lama, aku sudah mendapatkan penawaran pekerjaan. Ada sekolah SMP di dekat rumah ibuku yang mau menerimaku untuk menjadi guru. Namun, belum sempat aku bekerja ada kejadian yang begitu mengagetkan.

Pagi itu, sekitar jam 3 pagi ada yang datang mengetuk pintu. Saat kubuka, kulihat Koko berdiri. Aku begitu kaget melihat penampilannya. Dia memakai celana pendek dengan kaki diperban dari paha sampai betis. “Lho Pak, Bapak kenapa?” tanyaku penuh kekhawatiran. Aku segera menyuruhnya masuk dan segera kusiapkan minum untuknya.

Setelah dia beristirahat sebentar, dia mulai bercerita. Dia mengatakan bahwa dia sangat terkejut saat membaca surat dariku. Dia begitu terganggu dan selalu memikirkan aku. Saat di lab, dia tidak bisa berkonsentrasi untuk bekerja. Dia menumpahkan spiritus yang mengenai api sehingga membakar celana dan kakinya. Untung saja tidak terjadi kebakaran hebat di lab.

Saat Tigo sudah bangun dia begitu senang bisa bertemu dengan bapaknya, tetapi dia begitu sedih ketika melihat keadaan kaki bapaknya. “Ibu ayo kita pulang, kasihan Bapak Bu. Kita pulang sama Bapak aja”, kata Tigo dengan memelas. Tentu saja aku menjadi tidak tega mendengar permohonan Tigo. Ibuku juga setali tiga uang. “Bagaimanapun juga dia suami Eneng. Sekarang Eneng pulang aja. Rawat suami Eneng”, kata ibuku.

Aku tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Kamipun pulang agar aku bisa merawat Koko. Masalah keluarga kami untuk sementara disisihkan dulu. Alhamdulillah. Pengorbananku tidak sia-sia. Tidak berapa lama, aku mendapatkan pertolongan luar biasa dari Allah.

Waktu itu Tigo yang berusia 5 tahun masuk TK yang tidak terlalu jauh dari rumah. Saat aku mengantarnya, aku membawa kue yang aku buat sendiri untuk bekal aku selama menunggu. Saat sedang menunggu bersama dengan ibu-ibu yang lain, aku membagi kue yang kubawa pada mereka. Saat itu ada ibu yang menyukai kue yang kubuat itu. “Wah enak sekali kuenya. Ini Ibu yang buat sendiri?” tanya ibu itu. “Alhamdulillah kalau Ibu suka. Iya itu buatan saya sendiri”, jawabku. “Wah kebetulan Bu, saya itu pegang koperasi di dekat sini. Kalau ibu mau, ibu bisa nitip kue di koperasi saya”, kata ibu itu lagi.

Tentu saja aku girang mendengarnya. Aku begitu bahagia mendapatkan cara menghasilkan uang. Aku mengiyakan tawaran ibu itu dan segera mempersiapkan diri untuk memulai usaha. Saat aku menceritakan hal tersebut pada Koko, dia memberikan ijinnya. Itulah satu hal yang kusuka dari Koko. Dia memberiku banyak ruang untuk menghasilkan uang sendiri, tidak seperti Toni.

Setelah kupikirkan masak-masak, aku memutuskan untuk membuat kue kering yang lebih tahan lama. Dengan modal dan peralatan seadanya, ku buatlah berbagai macam kue kering. Aku cukup beruntung karena ada adik dan keponakanku yang sangat bersemangat untuk membantuku.

Waktu itu, jenis plastik masih sangat terbatas. Tidak seperti jaman sekarang, toples-toples plastik masih belum banyak tersedia di toko. Sebagai tempat kue, aku menggunakan kantong plastik bening yang diberi kertas karton agar plastiknya kencang dan tidak mudah berubah bentuk. Kususun kue-kuenya di dalam plastik tersebut dan kubakar ujung plastiknya agar tertutup dan angin tidak masuk.

Alhamdulillah, banyak yang menyukai kue-kue ku sehingga aku mendapatkan uang jajan lebih untuk anak dan adik-adikkku. Stress ku pun mulai berkurang dan aku mulai bisa menjalani hidup dengan senyum. Selain itu, kesibukan membuat kue membuatku melupakan sejenak masalah-masalahku dengan Koko.

Setelah usaha kueku berjalan lancar, aku berpikir untuk bisa mendapatkan uang lebih. Kebetulan aku pernah kursus potong rambut saat masih di Bandung. Dengan sedikit uang yang kukumpulkan dari hasil berjualan kue, aku membeli beberapa alat potong rambut dan membuka salon kecil di rumah.

Aku sempat takut jika tidak ada yang mau memotong rambut di salonku karena sangat kecil dan sederhana. Tapi ternyata aku salah. Diawali dari satu dua orang, akhirnya banyak tetangga yang datang. “Ga papa tempatnya darurat, yang penting motongnya enak”, kata salah satu pelangganku saat aku meminta maaf karena salonku masih begitu sederhana.

Ternyata, membaiknya kondisi ekonomi keluarga kami tidak cukup membuatku tenang. Ada saja masalah baru yang muncul dalam keluarga kami. Tiada angin, tiada hujan, aku mendapatkan berita yang sangat menyakitkan hati. Belum setahun aku tinggal di Jogja, ada isu jika aku sebenarnya kumpul kebo dengan Koko.

Siapa yang tidak marah mendengar fitnah seperti itu? Aku ini bukan perempuan murahan. Aku menikah resmi dengan Koko. Buku nikah kami masih tersimpan rapi. Tapi, siapa yang bisa aku salahkan? Aku bahkan tidak tahu bagaimana berita bohong itu bisa tersebar.

Saat Koko sudah pulang dari kerjanya, aku menumpahkan kemarahanku padanya. Memang bukan dia yang menyebarkan fitnah itu, tapi kalau bukan karena dia berpoligami, hal ini pasti tidak akan terjadi. Bagaimanapun juga, dia harus bertanggung jawab. Aku tidak mau namaku menjadi jelek. Terlebih lagi, ini bukan hanya masalah pribadi, ini juga menyangkut nama baik keluarga. Bagaimana jika keluargaku yang di Jawa Barat mendengar masalah ini?

“Siapa yang menyebarkan berita seperti itu? Keluarga Ibu tidak mungkin menyebarkan berita bohong seperti itu. Siapa yang bisa menyebarkan fitnah seperti itu? “, tanyaku pada Koko dengan berapi-api. “Ya Bapak nggak tau. Masa ada yang nyebar berita seperti itu?” katanya. Koko tidak percaya dengan ceritaku.

Kesal sekali aku mendengar Koko tidak mempercayaiku. “Ibu nggak bohong Pak, Ibu tau sendiri. Ibu-ibu itu membicarakan kalau kita tidak menikah”, aku menegaskan.  “Pokoknya Bapak harus bertanggung jawab. Bapak harus membersihkan nama Ibu. Kalau tidak, lebih baik Ibu udahan saja”, tegasku. Aku sudah tidak mau lagi dipermainkan oleh Koko. Kalau dia tidak bisa menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami, lebih aku menyerah saja.

Amarahku sudah di ubun-ubun. Tapi aku tidak mau salah mengambil langkah. Kali ini aku harus mempertimbangkan semua hal yang ada, baik dan buruknya, sebelum aku memutuskan. Aku harus mempertimbangkan usahaku yang mulai berjalan lancar. Terutama aku memikirkan bagaimana dengan nasib anak dan adik-adikku jika kami kembali lagi ke Jawa Barat. Kebetulan waktu itu adikku Eno diminta oleh Bunga untuk membantunya di Kalimantan sehingga beban pemikiranku berkurang.

Setelah memikirkan masak-masak keadaan kami selama beberapa hari, aku mendapatkan kekuatan hati. Aku memutuskan untuk pulang ke Jawa Barat. Tidak ada lagi yang harus kupertahankan di Jogja. Lagipula masalah sepertinya tidak akan berhenti sebelum aku memutuskan tali hubunganku dengan Koko. Berdiri di atas kaki sendiri lebih masuk akal buatku daripada bertahan diatas ribuan masalah yang tiada henti menyerang keluarga kami.

Namun aku tidak berani meminta cerai pada Koko. Entahlah… kata itu sepertinya tidak bisa aku ucapkan. Di depan Koko aku berkata, “Sebelum masalah selesai, Ibu tidak akan pulang. Bahkan Ibu lebih baik selesai saja dengan Bapak. Ibu angkat tangan.” Aku tahu bahwa tanpa mengucapkan kata ‘cerai’, Koko pasti tahu arti perkataanku itu.

Aku pergi dengan membawa Tigo, sedangkan adik dan keponakanku aku minta untuk menunggu dulu di Jogja sampai aku mendapat tempat dan kerja yang layak bagi kami. Seperti kepulanganku yang dulu, aku memutuskan untuk datang ke rumah ibu. Aku berharap tawaran mengajar yang dulu masih berlaku atau setidaknya ada lowongan lain di sekolah itu.

Saat sampai di rumah ibu, beliau terkejut melihat kedatanganku. “Ada apa lagi ini?” Itulah reaksi pertama dari ibu. Aku merasa sangat malu dan bersalah pada ibu. Dengan berat hati aku berkata, “Eneng sudah bulat hati. Eneng udah nggak kuat Mah.” 


_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >> 



Kamis, 14 Mei 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab V



Koko bergerak dengan cepat. Dalam hitungan hari dia telah menikah siri dengan Tanjung. Sepertinya mereka menikah di luar kota. Saat dia kembali, dia menceritakan bahwa urusannya telah selesai dan berterimakasih padaku. “Tolong doakan ya Bu. Semoga Bapak bisa menjalani ini dengan baik”, katanya.

Tubuhku lemas, hatiku hancur mengetahui dia telah benar-benar kembali pada Tanjung. Aku memang telah memberikan ijin, tetapi sebenarnya ada bagian dari hatiku yang menjadikan itu sebagai tes untuk mengetahui seberapa besar cintanya padaku. Ternyata… aku tidak sepenting itu untuknya.

Aku berusaha keras untuk tetap terlihat tegar. Kemudian, dia mulai membicarakan bagaimana pengaturan waktu antara aku dan Tanjung. “Jadi bagaimana bu, Bapak berapa hari disini dan disana?” tanya Koko. “Pokoknya nggak ada berapa hari berapa hari. Seperti kata Ibu kemaren, Tigo harus ketemu bapaknya setiap hari. Kalau kita sih akan selalu ketemu di sekolah, tapi bagaimana dengan Tigo? Salahnya, anaknya lengket banget sama bapaknya kayak gitu”, jawabku ketus.

Koko berpikir. Tak lama kemudian dia mendapatkan ide cemerlangnya. “Bagaimana kalau begini Bu? Kalau paginya Bapak pergi dari sini, pulangnya Bapak ke sana. Begitu pula sebaliknya, paginya berangkat dari sana, pulangnya ke sini?” Koko menawarkan pemecahan masalah.

Apa yang dikatakan Koko sangat masuk akal. Jika dia melakukannya seperti itu, maka Tigo akan bisa bertemu dengan bapaknya setiap hari. Akupun setuju dengan idenya. “Terserah”, kataku. Koko tersenyum puas mendengar persetujuanku.

Sebelum dia terlalu bahagia, aku meminta satu hal padanya. “Pak, Ibu akan coba menjalani ini satu sampai lima tahun. Jika dalam jangka waktu itu Ibu merasa tidak kuat, Ibu mohon Bapak tidak menghalangi jika Ibu minta berpisah”, kataku. Senyum hilang dari wajah Koko. Sepertinya dia tidak terima jika kebahagiaannya terusik. Namun, akhirnya dia menjawab, “Ya kalau Ibu maunya begitu ya sudah.”

Perjalanan kehidupan poligami kami pun di mulai. Dia langsung melakukan perjanjian kami. Jika paginya dia berangkat kerja dari rumah kami, sorenya dia pulang ke rumah Tanjung, begitu pula sebaliknya.

Secara kasat mata, kehidupan kami terlihat adil dan begitu mudah, tetapi bukan berarti tanpa masalah, terutama masalah untukku. Walaupun aku telah berusaha ikhlas membiarkan Koko kembali lagi kepada Tanjung, hati dan perasaanku tidak bisa dibohongi. Sakitnya begitu dalam. Tidak ada satu katapun yang bisa menggambarkan rasa sakit yang meresap ke dalam dada ini.

Disaat dia pergi ke rumah Tanjung, hatiku membara membayangkan mereka berdua memadu kasih. Disaat dia ada dirumah, hatiku sakit membayangkan apa yang telah dilakukan Koko dan Tanjung dihari sebelumnya. Tidak ada ketentraman yang kurasakan, baik dia ada maupun tidak ada. Kecemburuan menguasai hati dan pikiranku. Menguras seluruh pertahananku.

Selain itu, masih ada masalah besar lain yang menghantui pikiranku. Kembalinya Koko ke mantan istrinya belum di ketahui oleh keluargaku. Keluarga Koko memang tahu, tetapi tidak ada satupun anggota keluargakku yang mengetahui masalahku. Bahkan sejak aku mulai curiga dengan kelakukan Koko, aku tidak pernah bercerita pada ibu maupun adik-adikku. Saat mengambil keputusan, hanya Allah yang aku jadikan tempat bertanya. Kuambil sendiri keputusan itu tanpa ada campur tangan keluargaku.

Saat itu ada dua orang adikku yang ikut tinggal bersamaku dan Koko, yaitu Ali dan Juna. Cepat atau lambat mereka pasti melihat adanya keanehan pada jadwal Koko pulang ke rumah. Mereka tentunya akan bertanya apa yang terjadi. Lebih parah lagi jika mereka memberitahukan hal itu pada adik-adikku yang lain dan bahkan pada ibuku.

Lalu, ada juga adik perempuanku, Hera, yang sudah menikah. Dia biasanya mengunjungiku bersama suaminya setiap hari minggu. Bagaimana jika dia datang disaat Koko sedang berada di rumah Tanjung? Alasan apa yang harus aku berikan pada mereka? Satu kali mungkin bisa dipercaya, tetapi bagaimana dengan yang kedua, ketiga, dan seterusnya? Mereka pasti tidak akan percaya pada alasan yang aku berikan.

Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku bisa menyimpan rahasia ini terlalu lama. Namun, apakah aku sanggup untuk menceritakan hal ini pada keluargaku? Mereka pasti akan sakit hati jika mengetahui anak tertua dari keluarga mereka kembali gagal memiliki keluarga yang bahagia.  

Ibu. Bagaimana dengan Ibuku? Beliau selalu datang setiap bulan saat akan mengambil pensiun. Jika waktunya tepat dan ibu datang disaat Koko sedang dirumah, tentunya tidak masalah. Jika waktunya tidak tepat bagaimana? Beliau pasti hancur melihat aku dihianati dan harus berbagi suami dengan perempuan lain sedangkan dahulu beliau pernah mengingatkanku akan hal ini. Ibu jelas-jelas sudah melarangku waktu itu. Ya Allah… aku sudah salah. Aku tidak mengindahkan peringatan ibuku saat itu. Aku hanya mengikuti keinginanku untuk menikahi Koko tanpa pertimbangan panjang.

Aku jadi teringat dengan kejadian disaat aku masih remaja. Saat itu ibuku curiga jika ayahku telah serong dengan wanita lain. Ibuku sangat marah pada ayahku saat itu. Aku yang merasa sebagai perempuan membela ibuku dan melaporkan hal itu pada nenek sehingga ayahku disidang oleh ayah dan ibunya. Aku menjadi merasa bersalah pada ayah. Aku yang tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya dengan mudahnya menyalahkan ayah, padahal dia sebenarnya tidak menghianati ibuku. Kejadian itu sebenarnya hanya salah paham saja.

Apakah aku menerima karma karena perlakuanku pada ayah waktu itu? Dahulu aku menuduh ayah berselingkuh. Karena ayah tidak bersalah, kini aku yang menerima karmanya. Aku diselingkuhi dan bahkan dimadu. Tuhan… betapa banyak kesalahan yang telah aku lakukan.

Rasa bersalah dan takut menggelayutiku. Setiap melihat adik-adikku, aku merasa jika pandangan mereka berubah menjadi penuh kecurigaan terhadapku. Aku juga terpikir tentang tetangga-tetanggaku. Apa yang akan mereka katakan jika tau bahwa aku telah dimadu? Setiap Koko tidak pulang ke rumah, aku takut jika ada yang curiga dan bertanya kemana Koko pergi, mengapa dia tidak pulang ke rumah. Hatiku tidak pernah tenang, kepalaku selalu sakit.

Rasa sakit hati, cemburu, kegelisahan, dan ketakutan mempengaruhi kondisi fisikku. Aku jatuh sakit. Dokter mengatakan bahwa aku menderita maag akut. Sebenarnya penyakitku cukup parah, tetapi karena mempertimbangkan masalah biaya, aku memutuskan untuk dirawat di rumah saja.

Aku berharap bahwa Koko akan merawatku seperti aku merawatnya saat sakit dahulu. Namun, Koko ternyata lebih mementingkan keadilan pembagian waktu antara kedua istrinya. Selama aku sakit, dia tetap saja pergi pagi dan baru pulang dikeesokan harinya. Betapa sakitnya hati ini. Bukankah ini keadaan luar biasa? Hanya selama aku sakit saja, mengapa dia tidak mau mengalah dan pulang setiap hari untuk merawatku?

Disaat terbaring dan merasakan sakit hati yang kian menghancurkan kalbu, aku disadarkan oleh satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benakku. Kalau aku sakit, siapa yang akan mengurus anak dan saudara-saudaraku yang masih sekolah? Jika aku tidak bekerja, siapa yang akan menambah mencari nafkah? Kemarin saja saat Koko masih milikku seutuhnya, nafkah dia sudah dibagi dua dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Apalagi sekarang saat dia sudah memiliki kekuasaan untuk membagi hasil, tentunya kami semakin membutuhkan biaya tambahan.

Dengan kesadaran baru, aku memohon pada Tuhan untuk memberikan keikhlasan hati dan kesehatan supaya aku bisa mencari nafkah demi anak, adik-adik dan ibuku. Akhirnya muncul kekuatan dalam diriku. Aku berpikir bahwa aku harus sehat, aku harus kuat, dan aku harus cuek untuk tidak memikirkan masalah poligami lagi. Aku hanya boleh memikirkan masa depan anak dan keluargaku.

Semangat membuat kesehatanku berangsur membaik dan aku mulai kembali bekerja. Aku benar-benar cuek dengan hubungan Koko dan Tanjung. Aku hanya berusaha menjadi istri, ibu, kakak, dan anak yang baik.
Namun aku tidak juga mendapatkan ketenangan. Ketakutan yang dulu menghantuiku mulai menjadi kenyataan. 

Pada malam minggu, adik perempuanku Hera berkunjung bersama suaminya. Malang tidak dapat ditolak, Koko tidak ada dirumah waktu itu. “Lho, Mas Kokonya kemana?”, tanya Hera. “Oh itu lagi ada urusan sekolahan, biasa dia mah”, jawabku. “Oh gitu”, jawab Hera.

Disaat aku yakin bahwa masalah sudah selesai untuk saat itu, tiba-tiba adikku Ali menyahut, “Iya, Mas tuh nggak tau kenapa, sekarang sering ada kerjaan, malam-malam keluar rumah.” Jantungku berdegup kencang mendengar kata-kata Ali. Kenapa dia harus ikut-ikutan? Aku kesal bukan main. “Ya sudahlah.. jangan dipikirkan. Orang kan punya urusan, masa harus diceritakan semuanya”, kataku mencoba membela Koko.

Entah mereka mempercayaiku atau mereka hanya tidak ingin berdebat denganku, mereka akhirnya mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Malam itu aku selamat. Setidaknya aku masih bisa bernafas. Dan minggu berlalu tanpa ada masalah yang berarti. Yang kulakukan hanya berusaha mengkhlaskan keadaan.

Masalah muncul lagi pada minggu ketiga. Saat Hera dan suaminya berkunjung, lagi-lagi Koko tidak ada dirumah. “Ini kenapa sih, udah dua kali kesini nggak pernah ketemu mas. Kita kangen lo. Kemana sih mas itu sok sibuk banget?, kata suami Hera. Seperti sebelumnya, aku terpaksa mencari alasan. “Ya biasa urusannya banyak, yang kliningan, yang itulah,” kataku.  Memang benar bahwa Koko tergabung dengan sebuah kelompok gamelan yang kegiatannya biasa disebut kliningan sehingga mereka dengan cepat mempercayai alasanku. Aku kembali berhasil membohongi mereka.

Namun, apakah ini benar-benar keberhasilan? Apakah sebuah kebohongan bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan? Rasa bersalah ini semakin lama semakin dalam. Ternyata poligami tidak hanya menyiksa hatiku sebagai perempuan, ternyata aku juga tersiksa karena harus berbohong pada keluarga. “Ya Allah…. maafkanlah aku yang selalu berbohong. Tolonglah aku untuk mendapatkan jalan yang terbaik.”

Ketakutan mulai datang lagi di awal bulan. Seperti biasa, ibu akan datang ke Bandung untuk mengambil pensiun. Bagaimana jika Ibu datang di hari yang tidak tepat? Hatiku tidak tenang menunggu datangnya ibu. Untungnya, ketakutanku tidak menjadi kenyataan. Ibuku datang saat koko ada dirumah. Bulan depannya juga berjalan baik dengan segala kebohonganku dan aku juga diselamatkan karena Koko ada dirumah saat ibu datang.

Hanya ada masalah dengan adik-adik yang tinggal bersamaku. Mereka mulai mempelihatkan kecurigaan terhadap kepulangan Koko yang berselang seling setiap malamnya. “Udahlah mas lagi ada urusan di luar rumah”, hanya itu yang bisa kukatakan untuk menghentikan kecurigaan mereka. Entah mereka percaya, takut, atau bagaimana, mereka tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan mereka sehingga aku sedikit tenang.  

Kejadian yang mengagetkanku terjadi pada bulan ketiga kami berpoligami. Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, Koko membawa anak-anaknya ke rumah. Aku kesal dengan kelakuan Koko yang semaunya sendiri. Seharusnya dia bertanya dulu padaku sebelum membawa anak-anak. Bukannya apa-apa, aku takut jika hal itu membuat orang-orang disekitar kami curiga. Aku pun menjadi bingung dan takut memikirkan reaksi adik-adik dan tetangga-tetangga. Mereka tentunya akan bertanya siapa anak-anak itu dan mengapa Koko membawanya ke rumah kami.

Dan ternyata benar, mereka melontarkan pertanyaan itu padaku. Aku yang tidak ingin mereka curiga segera mencari alasan yang masuk akal. “Ini saudara-saudara Tigo dari istri Mas yang dulu. Sengaja dijemput sama Mas supaya kenal sama adiknya. Kebetulan juga mau ketemu sama tantenya”, kataku. Untungnya Wita, adik Koko memang tinggal bersama kami sehingga aku tidak berbohong pada mereka dan untungnya lagi, baik adik maupun tetanggaku tidak berusaha mengorek lebih dalam lagi.

Aku yang masih begitu kesal memperingatkan Koko dan adiknya Wita untuk tidak menceritakan apapun, karena keluargaku belum ada yang tahu tentang ini. Aku ingin mereka ikut saja dengan rencanaku dan tidak melakukan sesuatu yang bisa membuat keluargaku sakit hati.

Beberapa hari setelahnya, Ibu datang seperti biasa untuk mengambil pensiun dan aku kembali selamat karena Koko ada di rumah. Tapi diluar dugaan, ibu tidak hanya menginap sehari, tetapi ibu ingin menginap dua hari. “Ah Mamah nggak akan pulang dulu sekarang, Mamah mau nginep semalem lagi soalnya Mamah mau beli sesuatu buat Ratna”, katanya. Ratna adalah adikku yang paling kecil, saat itu dia masih SD. “Oh gitu Mah, ya nggak apa-apa”, kataku yang tidak memiliki pilihan lain.

Terang saja aku jadi kelabakan karena ibuku tidak mau pulang. Malam nanti ibu pasti akan tahu jika Koko tidak pulang dan pasti melontarkan begitu banyak pertanyaan yang aku tidak yakin bisa menjawabnya. Seharian aku memikirkan kemungkinan pertanyaan dan jawaban yang harus aku siapkan.

Benar saja, malamnya saat Koko tidak pulang, ibu langsung bertanya, “Loh kok Koko nggak pulang, kok kerja sampe nggak pulang ke rumah, memang ada kerjaan apa?” Untungnya aku sudah menyiapkan jawaban yang masuk akal. “Oh itu Mah, Mas Koko kan kliningannya ada yang nanggap. Kalau wayang kan sampe pagi Mah”, jawabku. Ibuku terlihat percaya dan tidak bertanya lagi. Hatikupun menjadi tenang.

Pagi harinya, ibuku kembali membuatku terkejut. “Ah Mamah mah mau dianterin Eneng, mau beli macem-macem. Nggak jadi ah pulangnya, besok aja”, katanya dengan santai. Apalagi ini? Kenapa ibu tidak mau pulang lagi, apa ibu curiga tentang sesuatu? Apa adik-adik melaporkan sesuatu pada ibu? Berjuta pikiran buruk memenuhi otakku. Ketakutanku semakin menjadi. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun juga. Lagipula, aku harus bekerja. Aku pamit dan meninggalkan ibuku dengan hati yang tidak karuan.

Saat aku dan Koko datang pulang kerja, ibuku langsung memperlihatkan kecurigaannya. “Masa gamelan ngiringin wayang pulang sore? Kenapa nggak pagi-pagi pulang ke sini? Kok langsung ke kantor?” tanya ibuku. Koko tidak menjawab, dia terlihat bingung dan takut. Akhirnya aku yang menjawab, “Kan kagok Mah kalau bolak balik, di sekolah udah ada ganti kok, jadi langsung aja.”

Aku kembali berbohong dan hati ini semakin diliputi rasa bersalah. Ibuku tidak layak untuk dibohongi, tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menceritakan yang sebenarnya. Terjadilah perang batin antara keharusan berkata jujur dengan rasa takut yang membuatku tidak tenang. Bahkan melihat ibuku saja sudah membuat aku takut sehingga aku berusaha menghindari ibu. Tapi bagaimana mungkin aku terus menghindari ibu sedangkan kami satu rumah? Bagaimana ini?

Setelah memikirkan keadaan keluargaku baik-baik dan mempertimbangkan efek baik dan buruk dari semua kemungkinan yang bisa terjadi, maka aku memutuskan untuk memberitahukan semuanya pada ibu. Aku benar-benar sudah tidak mampu untuk berbohong lagi. Dosaku sudah terlalu banyak. Lagipula, cepat atau lambat kebohongan ini pasti terbuka. Daripada ibu tahu dari orang lain, lebih baik aku yang berterus-terang padanya.

Setelah makan malam, aku meminta adik-adikku untuk pergi sebentar karena aku ingin berbicara serius dengan ibu. Aku, Koko, dan ibu duduk bersama di meja makan. Terlihat wajah ibu yang penuh pertanyaan. Dengan berat hati, aku memulai pembicaraan kami. Kutatap mata ibuku dan memberanikan diri untuk berkata, “Mah. Eneng minta maaf. Dulu Eneng nggak nurut sama Mamah. Waktu Eneng mau nikah sama Mas Koko, Eneng ngeyel, Eneng maksa.”

Ibu terlihat tidak mengerti maksudku, tapi tidak mengucapkan apapun. Diamnya ibu justru membuat aku semakin tidak tenang. Jantung ini sepertinya mau lepas dari tubuhku. Tapi semua sudah dimulai dan aku harus melanjutkan. “Yang Mamah bicarakan dulu ternyata sekarang kejadian Mah”, kataku dengan gemetar. Air mata mulai membasahi mataku. Dengan segenap tenaga dan keberanianku, kuucapkan kebenaran itu. “Eneng terpaksa harus mengijinkan Mas Koko kembali ke mantan istrinya.”

Ibu terlihat begitu terkejut, tapi belum ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku menceritakan kejadian lengkapnya pada Ibu, termasuk sakitnya Koko dan semua kegaduhan yang terjadi. “Eneng sudah istikharah Mah. Mungkin ini memang nasib Eneng. Jadi diterima aja, Eneng sekarang mengijinkan Mas Koko kembali daripada dia berdosa”, kataku membela diri.

Ibu masih saja diam seribu bahasa. Pandangannya kosong. Aku tahu ibu pasti marah, karena itulah aku kembali menjelaskan keadaan kami untuk mengurangi kemarahan ibu. “Tapi Eneng sebenarnya kemarin juga sudah ke pengadilan. Eneng minta cerai saja. Tapi mas Koko tidak mau dan pengadilan juga tidak mengijinkan. Terus kita berpikir lagi. Jadi sementara ini Eneng biarkan dulu. Kalau Eneng nggak kuat, Eneng mau minta cerai.”

Wajah ibuku memucat pasi. Tubuhnya tidak bergerak. Tanpa suara, air mata mengalir deras di pipinya. Betapa takut aku melihatnya. Aku takut jika ibu stroke lagi. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bisa menenangkannya sebelum sesuatu yang buruk terjadi.

“Mah.. Mah.. Eneng ikhlas kok Mah. Ini nasib Eneng. Eneng nggak apa-apa. Eneng kuat. Mamah udah, jangan apa-apa. Mamah doakan saja supaya Eneng jadi istri yang soleh, yang ikhlas, supaya Eneng masuk surga. Mamah pengenkan kalau Eneng masuk surga?” aku berbicara cepat sambil memegang tangan ibuku untuk membuatnya tenang.

Ibuku beranjak dari duduknya dan memelukku dengan erat. “Mamah tuh nggak pernah marahin Eneng. Mamah tuh nggak pernah nyakitin hati Eneng. Mamah tuh sayang banget sama Eneng. Jadi Mamah sakit hati kalau Eneng diperlakukan seperti ini sama suami.” Suara ibu bergetar kuat, terdengar benar jika beliau berusaha keras untuk menahan emosi yang bergejolak dalam dadanya.

Ibu melepaskan pelukannya dan menatap Koko yang sedari tadi hanya duduk mematung, tidak berani berkata apapun. “Koko kamu ingat nggak? Kamu dulu berjanji waktu mau kawin tidak mau kembali lagi. Kamu ingat nggak?” tanya ibu pada Koko. “Ingat Mah”, kata Koko. Mukanya begitu pucat karena takut. “Tapi kenapa kamu sekarang begini?” ibu kembali bertanya dengan marah.

Suasana hening karena Koko terlihat ketakutan dan tidak tahu mau menjawab apa. Setelah beberapa saat, terdengarlah suara Koko. “Saya bingung harus memilih Mah. Saya harus bagaimana? Sama Neng Jingga saya sudah begitu sayang. Kesana saya juga cinta pada anak-anak. Satu-satunya solusi hanya ini. Saya hanya bisa menjalaninya. Saya minta doanya supaya saya bisa menjadi laki-laki yang bertanggung jawab pada kedua keluarga dan mudah-mudahan kami bisa menjalaninya. Saya mohon doanya dari Mamah” kata Koko sambil menunduk.

Suara Koko yang begitu lemah dan terdengar tulus membuat ibu menjadi luluh mendengarnya. “Ya sudah. Kalau memang kalian maunya begitu”, kata ibu. Namun, ibuku ternyata masih belum ikhlas. “Mamah cuma malu sama Gusti Allah. Kamu dosa Koko! Kamu ingkar janji sama Gusti Allah. Bukan sama Eneng, bukan sama Mamah saja, tapi sama Gusti Allah! Dan kamu juga sudah menyakiti ini.” Ibu menunjuk padaku. “Ini! Kamu sudah menyakiti ini nih. Kamu dosa!” ibuku berteriak. Raut wajahnya berubah menjadi penuh kemarahan.

Aku dan Koko terkejut mendengar kemarahan ibu. Wajah Koko semakin pucat. Dengan tergagap ia berkata, “Ya.. saya… saya minta maaf sama Mamah… Mohon Mamah memaafkan saya. Mohon Mamah tetap menganggap saya sebagai mantu Mamah.”

Koko benar-benar terlihat tidak berdaya. Dia tahu bahwa ini memang kesalahannya, tetapi semua sudah terjadi. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya meminta belas kasihan dari ibu yang telah melahirkan istrinya. “Tolong Mah. Saya sudah tidak ada lagi tempat minta tolong selain Mamah dan Neng Jingga. Eneng sudah mengijinkan dan sekarang saya minta Mamah memberikan ijin juga.”

Kemarahan ibu semakin membara. “Mamah mah tidak akan mengijinkan sampai kapanpun”, kata ibu dengan tegas. “Terserah kalau kamu mau melaksanakan itu. Asal kalau Mamah berubah sikap sama kamu, kamu jangan sakit hati. Karena Mamah tidak mau punya menantu yang istrinya dua.” Setelah itu, Ibu segera beranjak dan masuk ke kamar. Keesokan harinya, ibu pergi ke rumah Hera.  



_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >> 



Senin, 04 Mei 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab IV



Bagaikan kilat menyambar otakku, kata-kata yang keluar dari mulut Koko membuat kepalaku serasa mau pecah. Apa yang terjadi? Koko adalah harapan baru untukku. Dia yang telah membangkitkan kembali keberanianku untuk menikah lagi. Dia yang telah menegakkan harga diriku sebagai seorang wanita dengan hadirnya anak kami. Dia yang telah memberikan kasih sayang, tidak hanya kepadaku tetapi pada seluruh anggota keluargaku. Mengapa kini dia juga yang menghancurkan semuanya?

Amarahku pecah tak tertahan. Aku berdiri dan berkata pada Koko, “Emangnya aku ayam? Tidak punya perasaan mau dibegitukan? Bapak kok punya pikiran begitu? Pikiran dari mana? Aturan dari mana? Bapak punya perasaan nggak sih kalau Ibu ini juga punya perasaan? Bapak punya pikiran nggak kalau Ibu ini punya otak?”

Koko tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya terdiam mematung. Wajahnya pucat dan begitu memelas. Namun amarahku tidak bisa dibendung hanya dengan wajah memelas, aku tidak selemah itu. Setelah semua yang aku alami, aku tidak mau lagi ditindas oleh suamiku.

“Nggak! Nggak bisa!” Aku melangkah ke arah meja dan mengambil selembar kertas kosong. Kusodorkan kertas itu kepada Koko sembari berkata, “Sekarang tanda tangan ini, nanti Ibu tinggal ngetik. Ibu mau cerai aja. Silahkan Bapak mau balik lagi sama Bu Tanjung. Mangga. Dengan senang hati, mangga!”

“Jangan begitu Bu, Bapak maunya bukan begitu”, kata Koko. Terlihat sekali ketakutan di wajahnya. Aku menunggu sampai dia mengatakan sesuatu yang bisa membuatku lebih tenang, tapi hanya itu kata-kata yang diucapkannya. Aku semakin marah saja. “Ya sudah terserah Bapak”, kataku. Aku sudah tidak peduli lagi dan keluar meninggalkan kamar.

Beberapa hari kemudian Koko jatuh sakit yang cukup parah sampai aku harus membawanya ke rumah sakit. Menurut dokter masalah yang sebenarnya bukan pada fisiknya tetapi pada psikologisnya. Koko dirawat selama 4 hari dan dokter hanya memberikannya obat demam biasa. Dokter mengatakan bahwa aku harus menemukan penyebab stress berat yang dialami Koko dan menyelesaikan masalah itu agar Koko tidak sakit lagi.  

Aku tahu apa penyebab stress yang dialami Koko dan apa jalan keluar dari stress tersebut, tapi aku juga sangat sadar bahwa aku tidak mungkin membiarkan dia melakukan hal itu. Tidak mungkin aku rela untuk dimadu. Aku masih memiliki kekuatan untuk hidup dan menghidupi anakku dengan kemampuanku sendiri. Lebih baik aku bercerai daripada dimadu.

Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Koko kembali berbicara padaku. “Bapak mau balikan sama ibunya Kuncoro. Kasihan dia diusir oleh kakaknya karena tidak mau dijodohkan. Makanya sekarang dia tinggal lagi di jalan P. Anak-anak juga pada sakit. Kuncoro masuk rumah sakit dan Ati dirawat di rumah”, katanya dengan hati-hati.

Aku kembali marah mendengar permintaannya. Mengapa dia begitu egois dan tidak memikirkan perasaanku? “Kalau masalah anak-anak sakit, kan ada Wita. Suruh saja Wita membantu Mbak Tanjung ngurusin anak-anak”, kataku dengan kesal.

Keesokan harinya kami membahas anak-anak Koko yang sedang sakit. Karena Tanjung harus menunggui Kuncoro yang dirawat di rumah sakit, akhirnya kami memutuskan untuk mengutus Wita ke rumah Tanjung untuk mengurus Ati yang sakit. Wita adalah adik Koko yang tinggal bersama kami. Aku juga menjenguk Ati dan berusaha untuk membantu sebisaku, sedangkan Koko harus bolak-balik ke rumah sakit untuk ikut mengurus Kuncoro. Beberapa hari kemudian Kuncoro keluar dari rumah sakit dan keadaan Ati juga membaik.

Aku merasa lega karena anak-anak Koko telah sehat kembali, tetapi keputusanku untuk membiarkan Koko mengurus anak-anaknya ternyata menjadi bumerang.  Malam itu Koko berbicara padaku. “Bagaimana ya bu jika Bapak kembali lagi pada De Tanjung. Bapak kan juga harus bertanggung jawab sama anak-anak”, katanya.

Seperti yang ditakutkan ibuku, kewajiban Koko untuk ikut mengurus anaknya menjadi jalan bagi dia dan mantan istrinya untuk semakin dekat. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi aku bisa memastikan bahwa rasa cinta antara mereka benar-benar merekah kembali. Aku menyesal sudah mengijinkan dia untuk mengurus anak-anaknya, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Jika aku menghalangi dia untuk bertemu dan mengurus anaknya, sama saja aku membuat dia berdosa yang berarti aku juga ikut berdosa.

Aku kesal pada Koko, tetapi aku lebih kesal pada diriku sendiri yang tidak bisa menjaga suamiku sendiri. Aku merasa kali ini aku tidak boleh lembek. Ini adalah hidupku dan aku harus memperjuangkannya. Akhirnya dengan tegas kukatakan padanya, “Ibu kan sudah bilang dulu. Ibu kasih Bapak dua pilihan. Anak-anak diurus sama Ibu atau kita pisah. Tidak ada pilihan lain.”

Selama beberapa hari setelah itu, Koko terlihat begitu stress. Dia berusaha untuk mendekatiku, tetapi tidak aku hiraukan. Akhirnya, dia kembali berbicara padaku. Dia menceritakan bahwa dia sudah kembali dekat dengan mantan istrinya itu, bahkan sangat dekat. “Bu Bapak tau Bapak sudah melakukan kesalahan. Tapi Bapak sudah terlanjur. Tolong Ibu mengerti dan membantu Bapak agar Bapak bisa bertanggungjawab sama semua”, katanya.

Wajahnya yang begitu memelas saat mengatakan itu membuat dadaku terasa sesak. Mengapa Koko tega melakukan ini padaku? Apa salahku sampai dihianati seperti ini? Mana janjinya dahulu untuk tidak kembali lagi pada mantan istrinya? Apa gunanya kami membuat surat perjanjian itu jika akhirnya dia melanggarnya? Tidak! Aku tidak mau mengalah. Aku tidak boleh menyerah.

Di tengah kegalauanku, Koko berkata lagi, “Bu bapak sudah mengajukan ke pengadilan. Bapak mau poligami saja. Ibu yang ridho aja. Besok kita ke pengadilan ya bu?” Aku tidak percaya jika Koko bisa sejauh ini. Tapi justru aku merasa tertantang. “Ayo. Siapa takut?” kataku. Jika memang dia maunya begitu, aku akan meladeninya dengan seluruh kemampuanku.

Keesokan harinya kami berangkat ke pengadilan agama. Tanjung juga hadir ditemani oleh Wita. Setelah Koko mengatakan maksudnya, hakim bertanya padaku, “Bagaimana Ibu Jingga apa sudah ikhlas, setuju jika suaminya kembali lagi pada mantan istrinya?” Aku tersenyum dan menjawab dengan tegas, “Setuju pak. Alhamdulillah setuju sekali. Tapi dengan satu catatan. Saya di cerai dulu dan saya terima surat talak.”

Hakim pengadilan agama terlihat terkejut mendengar kata-kataku. Kemudian beliau bertanya pada Koko, “Bagaimana Pak Koko, syaratnya mau diterima atau tidak?” Koko yang terlihat bingung karena rencananya tidak berhasil berkata, “Wah saya harus pikirkan lagi kalau seperti itu Pak. Saya tidak bisa. Bukan seperti ini mau saya. Mau saya dua-duanya saya yang bertanggung jawab.”

Karena tidak ada titik temu antara kami berdua, akhirnya hakim memutuskan bahwa permintaan Koko tidak bisa dikabulkan. Hakim itu berkata, “Ya sudah kalau begitu. Dibicarakan dahulu dan datang lagi kesini setelah ada keputusan karena sekarang tidak akan jatuh surat ijin.” Kami pun akhirnya pulang dengan keadaan yang masih sama. Tidak ada satupun dari kami yang mau mengalah.

Beberapa hari kemudian Koko jatuh sakit dan di opname lagi di rumah sakit. Seperti sakitnya yang dulu, dokter mengatakan bahwa penyebab utama sakitnya Koko adalah stress berat. Koko hanya bisa benar-benar sembuh jika stressnya hilang. Aku disarankan untuk bisa membantu Koko mengatasi stressnya sementara dokter hanya bisa memberikan perawatan untuk mengatasi demamnya.

Saat sedang merawat Koko di rumah sakit, masalah lain datang. Hari itu, datanglah adik Koko yang bernama Jono. Dia berkata, “Mbak Jingga, gini lho. Mbak Tanjung itu kan kemaren harus masuk rumah sakit, sekarang sudah bisa keluar. Tapi tidak ada dananya untuk membayar biaya rumah sakit. Bagaimana ya? Keluarganya kan sudah tidak mau tau lagi tentang keadaan Mbak Tanjung.”

Apa lagi ini? Apa aku juga yang harus mengurusi mantan istrinya itu? Kenapa harus aku? Aku ini istri yang dihianati. Seharusnya aku yang dibela, bukan aku yang ditekan terus menerus seperti ini.

Aku benar-benar benci dengan keadaan ini. Aku kesal, aku marah, aku murka. Tapi … aku tidak bisa diam saja melihat ada orang yang sedang kesulitan seperti itu. Hati nuraniku berkata untuk melakukan sesuatu. Bagaimanapun juga Koko adalah suamiku. Dengan keadaan Koko yang seperti ini, aku yang harus bergerak dan mengatasi masalah ini.

Aku membuka dompet dan melihat uangku tinggal sedikit. Tabunganku juga tidak akan cukup untuk biaya rumah sakit karena sudah terpakai untuk biaya berobat Koko yang sebelumnya. Terpikir olehku untuk meminjam dari sekolah, tetapi karena aku dan Koko sudah ada pinjaman, sekolah tidak bisa memberikan lagi.

Akhirnya aku memutuskan untuk menjual perhiasanku. Aku berikan sebagian uang penjualan itu kepada Jono untuk mengeluarkan Tanjung dari rumah sakit, sebagian aku gunakan untuk biaya pengobatan Koko, dan sisanya aku simpan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak lainnya.  

Walaupun sudah keluar dari rumah sakit, Koko masih stress berat dan yang ada dipikirannya hanya masalah poligami. Aku tidak tahan dengan keadaan ini. Aku merasa terpojokkan sebagai pihak yang bersalah karena tidak membantu suamiku keluar dari beban beratnya. Tapi kembali lagi, aku ini kan wanita yang dihianati. Apa aku harus mengalah dan terima harga diriku diinjak-injak? Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau diriku disakiti seperti ini sedangkan aku tidak melakukan kesalahan. Mereka yang seharusnya mengalah padaku, bukan aku yang harus mengasihani mereka.

Namun, pertahananku sedikit demi sedikit mulai goyah. Hari ke hari kulihat suamiku semakin terpuruk. Di otakknya selalu saja ada Tanjung, tapi dia juga tidak mau berpisah denganku. Jika aku memaksakan untuk bercerai, pasti dia akan semakin sakit atau bahkan dia bisa jadi gila.  

Aku pun memikirkan semua yang telah terjadi padaku. Apa yang salah sampai ini terjadi? Mungkin aku juga melakukan kesalahan sampai hal seperti ini terjadi padaku. Lalu apa yang harus kulakukan? Keputusan apa yang harus aku ambil agar keadaan bisa membaik?

Dalam kegamanganku, aku tahu bahwa aku tidak sendiri. Boleh saja orang lain tidak peduli dengan hatiku, tapi Allah selalu ada untukku. Allah tidak pernah berhenti memberikan kasih dan sayangnya padaku. Allah pasti akan memberikan pertolongannya padaku. Aku pun sholat tahajud dan istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah.

Malam itu setelah sholat, muncul rasa kasihan dalam hati. Kasihan juga jika Tanjung harus mengurus anak-anaknya seorang diri. Dengan anak-anak sebanyak itu, tentunya akan sulit untuk Tanjung mengurus mereka semuanya dengan baik, terutama karena kakak-kakaknya sudah tidak mempedulikannya lagi. Walaupun Koko mengirimkan uang, anak-anak itu tetap membutuhkan kasih sayang yang penuh dari ayahnya. Bagaimana masa depan anak-anak itu jika aku bersikukuh tidak mengijinkan Koko kembali pada ibu mereka?  

Aku juga memikirkan perasaan Koko dan Tanjung. Sejak awal aku sudah tahu bahwa Koko dan Tanjung berpisah bukan karena keinginan mereka, tetapi paksaan dari keluarga besar Tanjung. Tentunya rasa cinta mereka berdua masih ada. Bahkan rasa cinta itu sangat kuat, terbukti dengan adanya kejadian ini. Bagaimana mungkin aku sanggup untuk menghilangkan rasa itu? Masalah hati bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol dengan mudah. Kalaupun aku memaksa, bisa jadi rasa itu semakin tidak terkontrol dan justru semakin merusak.

Aku kembali berpikir dan berpikir. Koko dan Tanjung memiliki anak-anak yang masih harus mereka urus. Setelah bercerai, anak-anak menjadi alasan bagi mereka untuk bertemu kembali. Dengan masih adanya rasa cinta, pertemuan mereka tentunya tidak hanya mengurusi masalah anak. Itulah alasan mengapa keadaan ini terjadi. Koko dan Tanjung mendapatkan kembali rasa yang tersimpan dan tidak sanggup membendungnya. Hal ini pasti akan tetap berlanjut di masa datang, karena anak-anak akan selalu menjadi alasan. Walaupun aku berusaha keras menghentikannya sekarang, cepat atau lambat hal ini akan kembali berulang.

Aku juga terpikir dengan dosa yang mungkin mereka lakukan. Mereka kan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Jika mereka terus menerus bertemu …. Memikirkannya saja aku tidak sanggup.

Tuhan… apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membiarkan mereka seperti ini terus menerus? Jika mereka melakukan dosa, bukannya aku juga ikut berdosa karena membiarkan hal itu terjadi? Sedangkan aku tahu bahwa ada jalan untuk menghindari dosa. Yaitu… POLIGAMI.

Allah dengan terang menyatakan kehalalan poligami. Walaupun terkesan tidak adil dan begitu menyakitkan, tidak ada larangan untuk berpoligami. Itu adalah hak khusus yang diberikan hanya untuk laki-laki. Lalu bagaimana mungkin aku menentang hukum Allah? Bukankah Allah menyayangi semua makhluk ciptaannya baik laki-laki maupun perempuan? Saat Allah sudah menetapkan hukum seperti itu, pasti ada alasan logisnya. Hanya manusia saja yang terus terbawa nasfu dan perasaan sehingga terus menerus mempertanyakan dan mempertentangkan hukum Allah.

Lalu bagaimana ini? Aku ini manusia dan seorang perempuan yang memiliki hati lebih rapuh daripada laki-laki. Sakit sekali rasanya dihianati. Tentu akan lebih sakit lagi jika aku dimadu. Kalaupun aku memilih poligami karena hukum Allah, bagaimana aku bisa bertahan dengan rasa sakit itu?

Dunia sepertinya tidak adil padaku. Dua kali aku menikah dan dua kali aku disakiti oleh suamiku sendiri. Bukankah perempuan baik akan mendapatkan laki-laki yang baik pula? Apakah aku ini perempuan yang tidak baik? Apakah ibadahku kurang sehingga Allah tidak sayang padaku?

Pertanyaanku itu sepertinya langsung mendapat teguran dari Allah. Sesaat kemudian aku disadarkan pada kenyataan lain dalam hidupku. Aku teringat bagaimana kehidupan pernikahanku dengan Toni. Bagaimana dia telah begitu mengekang hidupku, menyakiti keluargaku, dan menghinaku dengan talak cerai yang dilakukan tanpa belas kasih. Aku teringat betapa sakitnya hati ini saat dikatakan sebagai perempuan pembawa sial karena tidak bisa memberikan anak pada Toni. Saat itu aku berdoa pada Allah untuk memberikan pertolongan dalam menghadapi masa-masa sulit itu. Aku berdoa pada Allah untuk menolongku membuktikan pada mereka bahwa mereka salah.

Sebenarnya Allah sudah menjawab doa-doaku itu. Aku sudah diberi kekuatan dan jalan keluar dari berbagai masalah sampai akhirnya aku bisa hidup dan menyekolahkan adik-adikku dengan kekuatanku sendiri tanpa Toni. Aku telah dikeluarkan dari jurang gelap yang begitu menyesakkan sampai akhirnya aku bisa melihat cahaya dan menghirup sejuknya udara kembali. Bukankah itu  luar biasa? Aku yang terbiasa dimanja oleh ayah, kini bisa menjadi tulang punggung keluarga. Aku yang dahulu hanya bisa berkata iya dan iya, kini telah berani menyatakan pemikiranku.

Lalu… aku teringat Tigo. Anakku itu adalah karunia terbesar yang diberikan Allah padaku. Aku telah diberi kesempatan untuk menjadi wanita sempurna dengan merasakan indahnya mengandung, melahirkan, dan melihat perkembangan anakku. Harga diriku telah ditegakkan oleh Allah. Semua ejekkan sudah dihilangkan dengan adanya pembuktian bahwa aku tidak mandul. Allah telah menjawab doaku. Ya, Allah telah menjawab doaku. Yang terpenting, Allah menjawab itu melalui Koko. Tanpa Koko, tentunya tidak akan ada Tigo.

Astagfirullah…. Aku merasa bersalah telah mempertanyakan kebijakan Allah. Aku merasa malu karena telah begitu egois. Aku merasa bahwa aku ini orang yang paling tertindas padahal aku telah mendapatkan karunia luar biasa selama ini. Begitu bodohnya aku mempertanyakan kasih sayang Allah padahal kasih sayangnya terus mengalir padaku.

Astagfirullahaladzim…. Ya Allah maafkan hambamu. Maafkan hambamu yang hanya memikirkan diri sendiri dan hanya melihat sesuatu dari satu sisi saja. Maaf ya Allah…. Maaf…

Tangisku jatuh tak tertahan. Hati ini begitu sakit karena malu dan rasa berdosa pada Tuhan semesta alam yang tidak pernah tidur dan selalu memutuskan yang terbaik untuk hamba-hambanya.

Jika Allah sudah mengabulkan doa-doaku, mengapa aku tidak terima dengan cobaan seperti ini? Bukankah cobaan juga merupakan bagian kasih sayang dari Allah? Allah memberi cobaan untuk menaikkan derajat kita agar lebih kuat dan lebih bijaksana dalam menjalani hidup. Jika Allah memberikan cobaan lagi, tentunya Allah akan memberikan jalan keluarnya lagi, bukan? Allah akan selalu ada dan memberikan jalan keluar asalkan aku mau mengikuti petunjuknya.

Jadi… aku seharusnya bisa menyelamatkan suamiku karena ini adalah jalan keluar yang paling logis saat ini. Dengan bantuan Allah, aku pasti akan mampu menghadapi sakit yang akan datang. Akhirnya… aku mengambil keputusan terbesar dan terberat dalam hidupku.

Saat malam dihari berikutnya, kami berdua di kamar dan aku mulai berbicara pada Koko. “Pak, gimana bapak tuh? Maunya seperti apa? Kalau seperti ini Bapak tuh berdosa terus.” Koko melihatku dengan lemas. Dengan perlahan dia berkata, “Bapak tuh merasa bersalah bu. Bapak tuh mati aja apa ya?”

Jawaban Koko membuatku merasa kesal. Apa? Dia mau mati? Enak saja dia mau mati dan meninggalkan masalah. “Ya silahkan. Bapak mau mati mangga, tapi masuk neraka, mending bapak tobat”, kataku dengan ketus. Koko melihatku dengan terkejut, tetapi kemudian dia tertegun lagi.  “Tapi bapak tuh jadi nambah beban De Tanjung. Bapak maunya nikah lagi sama De Tanjung”, katanya.

Tanjung lagi, Tanjung lagi. Sepertinya aku memang tidak bisa menghilangkan nama itu dari otak Koko. Ya, memang sudah tidak ada jalan lain. Aku menarik nafas dan mengumpulkan kekuatanku. Dengan sekuat tenaga, kutatap mata Koko dengan tajam. “Oke, ibu ijinkan. Tetapi dengan syarat! Ibu tidak mau Bapak menikah resmi dan Ibu tidak mau ke pengadilan agama. Bapak nikah siri aja, asal halal saja”, kataku dengan tegas.

Koko sangat terkejut mendengar kata-kataku. “Kenapa begitu?”, tanya Koko. Aku tidak mau berdebat panjang dengannya dan menjawab, “Ya pokoknya Ibu maunya begitu aja. Kalau Bapak tidak mau, ya cerai. Kemaren cuma ada alternatif satu saja, sekarang ada alternatif lain.” Lalu, sebelum Koko menimpali, aku menambahkan. “Dan saya juga minta anak Ibu, Tigo, harus bisa bertemu dengan bapaknya setiap hari. Terserah Bapak mengaturnya seperti apa.”

Walaupun Koko terlihat berpikir keras, mulai terlihat kalau dia merasa lega. “Ya sudah kalau begitu, mau Bapak coba”, katanya. Aku yang masih merasa kesal menimpalinya dengan ketus, “Bukan dicoba, tapi dipikirkan dan tanggung jawab. Kalau tidak tanggung jawab, masuk neraka.”

Koko tersenyum. Semua beban sepertinya terlepas dari kepalanya. “Terima kasih ya Bu. Ibu memang wanita sholehah”, katanya padaku dengan berseri-seri. Malam itu dia begitu baik kepadaku. Tidakkah dia menyadari bahwa istrinya ini telah hancur sehancur-hancurnya? 



_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >>