BAB XI
Wafa duduk di
tepi kolam di belakang rumahnya. Wafa memang senang sekali duduk di tepi kolam
karena udaranya dingin dan sejuk. Selain itu, ia suka melihat ikan yang
berenang kesana kemari. Wafa merasa sangat merindukan suasana seperti
ini. Sudah cukup lama dia tidak
pulang ke kampung. Pekerjaannya dan juga urusannya dengan Endra membuatnya
terlalu sibuk. Namun, kegalauan hati membuatnya meninggalkan semua
kesibukan untuk menenangkan diri di kampung.
“Kok ngelamun aja
Ca?” Bu Uti, Ibu Wafa
menegurnya dari belakang.
Wafa menengok ke
arah belakang dan hanya bisa terdiam.
Bu Uti duduk di
sebelah Wafa dan dipegangnya tangan Wafa. Melihat Wafa yang begitu murung sejak
datang dari kota membuat Bu Uti yakin jika ada masalah yang menimpa anaknya. “Kamu lagi ada masalah ya?”
“Hmmm.” Wafa
tidak tahu harus memulai dari mana. Dia
takut mengecewakan orang tuanya.
“Ibu ini kan ibu
kandung kamu. Kamu nggak perlu takut buat cerita sama ibu.” Bu Uti berbicara sangat pelan agar tidak menyinggung Wafa.
“Ica…” Wafa
menggaruk kepalanya karena gugup dan takut. Suasana menjadi hening beberapa
saat. Namun Bu Uti terus
menatap mata Wafa dengan lembut. “Ica minta cerai bu.” Akhirnya kata-kata itu
terucap dari mulut Wafa.
“Apa? Cerai?
Kenapa?” Kata-kata Wafa membuat Bu Uti merasa jantungnya terhenti
sesaat. Tiada angin, tiada hujan, anaknya tiba-tiba memberikan berita yang
sangat mengejutkan.
“Ica udah nggak
tahan lagi sama Endra.”
“Emang dia
ngapain Ica, bukannya selama ini dia nggak pernah ganggu Ica?” Bu Uti menatap lekat mata Wafa dengan penuh
keingintahuan dan ketidakpercayaan.
“Pokoknya Ica
udah nggak tahan.”
“Ica bertemu
laki-laki lain?” Bu Uti
menebak.
“Nggak.”
“Ada yang tau
tentang status Ica trus gangguin Ica?”
“Nggak.”
“Terus kenapa?” Bu
Uti sudah mulai tidak sabar. Setelah
bertahun-tahun menjadi istri kontrak tanpa ada masalah, mengapa tiba-tiba
anaknya ingin cerai?
“Ica udah nggak
bisa terusin pernikahan ini bu.” Dada Wafa terasa begitu sesak dan ia ingin
sekali menangis tetapi ia berusaha keras untuk menahan air matanya agar
tidak jatuh.
“Iya tapi kenapa?
Selama ini Ica kan keliatan santai aja, nggak ada masalah.” Bu Uti
semakin penasaran. Pada kenyataannya, Wafa memang tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda
adanya masalah pada pernikahannya kepada kedua orang tuanya.
“Dia itu suka
maenin perempuan bu. Istrinya disana sini.” Wafa membuka sedikit alasan
perceraiannya.
“Apa?”
“Ica nggak suka
sama laki-laki macam itu.” Amarah Wafa muncul saat teringat kelakuan Endra
sehingga nada bicaranya sedikit meninggi.
“Ya.. sebenarnya sih ibu udah pernah kepikiran
dia akan begitu. Kan emang biasa kalau orang kaya punya banyak istri.” Bu
Uti memperlihatkan muka sedih. “Tapi
Ica nggak pernah diapa-apain sama dia kan?” Bu Uti tiba-tiba merasa khawatir
jika terjadi hal-hal buruk pada Wafa karena suaminya.
“Nggak.” Wafa
tidak berani untuk menceritakan hal yang sebenarnya pada ibunya. Jika ibunya
tahu kalau dia sudah mengerjai Endra, ibunya pasti tidak suka pada perbuataannya itu.
“Terus perjanjian
Ica sama dia gimana? Kan masih tiga tahun lagi ya? Terus dia nanti gimana?” Bu
Uti menjadi bingung dengan keadaan Wafa
yang tiba-tiba berubah.
“Ya perjanjian
kita batal.” Wafa menjawab singkat.
“Bukannya Ica
harus bayar denda kalau minta cerai?” Bu Uti
terlihat sangat khawatir.
“Sekarang Ica kan
udah punya usaha sendiri. Insyaallah Ica sanggup buat bayar itu.” Wafa
menjawab kekhawatiran ibunya dengan tenang.
“Kalau urusan dia
sama bapaknya gimana? Nanti dia nggak jadi direktur lagi.” Bu Uti berhenti sebentar dan menurunkan nada
suaranya. “Ingat nak dia itu penyelamat hidup kita. Bukan hanya masalah dengan
rentenir, tapi dia juga yang sudah membuat hidup kita menjadi nyaman seperti
ini.”
“Iya Ica ngerti
bu. Ica udah ngomong kok sama Bapak Wira. Bapak bisa ngerti kalau Ica minta
cerai. Bapak juga setuju buat biarin Endra tetep jadi presiden direktur.”
“Oya? Kamu udah
ngomong sama mertua kamu?”
“Iya bu.”
“Tapi tetep aja
nggak enak kalau kamu batalin perjanjian secara sepihak. Kalau masalah Endra punya
istri banyak, cobalah Ica mengerti sedikit tentang kebutuhan laki-laki. Sejak
awal kan sudah ada perjanjiannya”. Bu Uti berusaha untuk membuat Wafa melihat dari sudut
pandang lain agar Wafa tidak menyesal dengan keputusannya.
Wafa menarik nafas
panjang, kemudian berkata, “Ica
tahu konsekuensinya. Ica juga sebenernya bersyukur bisa ketemu sama Endra. Kalau nggak mungkin Ica sekarang udah
jadi istri buaya darat paling tidak bertanggung jawab di bumi.” Tiba-tiba
Wafa teringat pada mantan pacarnya
yang ternyata telah menghamili gadis lain saat mereka masih berhubungan.
“Kok jadi inget
sama Umed sih? Katanya mau ngelupain dia?”
“Susah buat
ngelupainnya bu. Dia tuh segitu marahnya waktu Ica bilang terpaksa harus nikah
sampe Ica ngerasa bersalah banget udah khianatin dia. Eh ternyata dia udah
lebih dulu khianatin Ica.” Wafa benar-benar merasa
telah menjadi orang tolol karena pernah menyerahkan hatinya pada orang yang
paling dibencinya saat ini.
“Iya. Kalau inget
sama dia Ibu juga kesel
banget. Kok bisa ada laki-laki macam dia. Udah seneng maen perempuan, nggak mau
bertanggung jawab lagi. Anak istri juga ditelantarin gitu, sampe buat makan aja susah banget. Untung Ica nggak
jadi sama dia. Mending sekarang. Walau nggak normal, tapi hidup Ica kecukupan.”
Bu Uti bersyukur bahwa waktu itu dia meyakinkan Wafa untuk memilih Endra dan
putus dari Umed.
“Iya Bu. Walaupun
Endra juga suka maen perempuan, setidaknya dia udah ngasih tahu sejak awal.
Nggak ngebohongin Ica kayak si Umed gila itu.” Kenangan tentang mantan
pacarnya itu membuat amarahnya sampai ke ubun-ubun.
“Kalau sama si Umed itu, kamu nggak pernah diapa-apain kan?”
Bu Uti kembali takut jika anaknya pernah dinakali oleh Umed. Menurut gosip yang
beredar, laki-laki itu selalu berhasil meniduri pacar-pacarnya.
“Ibu udah puluhan kali tanya itu. Ica kan udah bilang kalau
Ica selalu jaga diri.” Wafa merengut karna sudah begitu bosan mendengar
pertanyaan yang sama dari ibunya, tapi dalam hatinya dia bersyukur bahwa Umed
tidak berhasil merayunya untuk melakukan dosa besar.
“Alhamdulillah.” Bu Uti menarik nafas lega.
“Ica masih perawan bu.” Wafa meyakinkan ibunya.
“Iya yah. Padahal kalau Endra ngapa-ngapain Ica juga nggak
apa-apa. Kan dia suami Ica.”
Dada Wafa
tiba-tiba terasa sesak mendengar perkataan ibunya. Endra ngapa-ngapain dia. Wafa menjadi teringat betapa hangatnya
pelukan Endra. Betapa lembut tangan Endra saat membelai rambutnya. Betapa Wafa
merasa terlindungi saat Endra selalu menggenggam tangannya erat selama berjalan berdua. Andai saja
pernikahan mereka seperti pernikahan normal lainnya, tentunya saat ini dia akan
menjadi wanita paling bahagia di dunia.
“Ica lagi mikirin
apa?” Bu Uti melihat Wafa
yang tiba-tiba termenung.
“Eh… enggak kok
bu.. nggak apa-apa.” Wafa jadi gelagapan karena kaget dan malu. Dia takut
ibunya tahu apa yang ada dipikirannya.
“Kok ibu jadi
kangen ya sama Endra? Dia apa kabarnya yah? Terakhir kesini dia keliatan gendutan.
Eh. Astagfirullah…” Bu Uti menjadi ingat kalau dia tidak boleh bercerita tentang Endra yang sering
datang ke kampung.
“Terakhir kesini?
Endra suka datang ke sini?” Wafa terkejut bukan main. Ada rahasia apa lagi yang
tidak dia ketahui tentang Endra?
“Ehh.. nggak
gitu. Dia itu kebetulan ada urusan terus mampir gitu." Bu Uti berusaha mengelak.
“Ica itu anak
ibu. Ica tau kalau ibu lagi bohong sama Ica.” Wafa menekan ibunya.
Bu Uti begitu gugup dan menjawab dengan terbata, “Iyah.. Endra.. suka.. kesini.”
“Ngapain dia
kesini?”
“Ya… maen aja.
Bawa oleh-oleh dari kota, terus
mancing sama bapak, maen ke
sawah, makan rame-rame,
ya gitu lah. Dia tuh ramah banget
sama semua orang. Makanya semua suka sama dia.”
Wafa memegang
kepala dengan kedua tangannya. Bagaimana mungkin dia tidak tahu tentang hal
ini. Endra rajin berkunjung ke rumah mertuanya tapi tidak pernah berpikir untuk
setidaknya melihat keadaan istrinya sendiri. Tapi… kalau Endra sering kemari,
seharusnya dia pernah melihat foto terbarunya. Ibunya kan senang sekali
memperlihatkan foto-foto terbaru anaknya ke semua orang. Seharusnya Endra bisa mengenali dirinya saat ini
sebagai Misha. Apa selama ini Endra berpura-pura tidak mengenalnya? Tapi kenapa
Endra begitu marah saat tau bahwa dia telah bersuami?
“Tapi dia itu
aneh. Dia nggak pernah mau bicara tentang kamu. Kalau ibu nyerempet-nyerempet
cerita tentang kamu, dia
langsung ngomongin yang lain.” Bu Uti menjadi bersemangat untuk bercerita tentang Endra sehingga tidak memperhatikan jika anaknya
sedang kebingungan dan emosi.
“Pernah suatu saat ibu mau tunjukin foto kamu yang di kota, dia nggak mau
liat.”
Wafa kembali terkejut dengan kenyataan yang ada. Jadi Endra tidak pernah tahu bagaimana
rupanya saat ini. Tetapi kenapa dia bisa begitu dekat dengan kedua orang tuanya?
Apa yang dia inginkan sebenarnya? Apa Endra ingin terlihat sebagai lelaki
bertanggung jawab sehingga pernikahan mereka bisa tetap berjalan baik sesuai
rencana? Ya. Itu yang terlintas di benak Wafa. Endra hanya berusaha menjaga
pernikahannya agar bisa bertahan sampai waktu yang telah disepakati.
“Ca, emang kamu
nggak bisa tunggu sampe tiga tahun lagi gitu? Kasian kan Endra.” Bu Uti kembali memikirkan nasib pernikahan Wafa.
Sebenarnya Bu Uti begitu ingin pernikahan anaknya bisa menjadi normal karena
menurutnya Endra adalah lelaki yang baik.
“Ibu segitu
sayangnya sih sama Endra sampe anak sendiri nggak dipikirin.” Wafa cemberut dan
merasa dianak-tirikan oleh ibunya sendiri..
“Bukan gitu. Ibu
itu kasihan sama dia.” Bu Uti menjadi salah tingkah tetapi tetap berusaha untuk membela diri. Sementara
Wafa tetap saja cemberut.
“Ibu itu ngerasa
utang nyawa sama Endra.” Bu Uti menambahkan. Kali ini nada suaranya terdengar begitu serius. Wafa
pun menjadi tidak enak hati.
“Kalau saja tidak
ada Endra yang melunasi hutang Bapak, mungkin sekarang Bapak udah dipenjara
atau mungkin malah udah nggak ada.” Bu Uti kembali bicara dengan mata
yang berkaca-kaca.
Wafa menjadi
teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu saat anak buah rentenir yang
berbadan besar dan bermuka garang mendatangi rumah mereka. Rentenir tersebut
memang terkenal tidak akan memberikan
ampun pada pengutang yang tidak mampu membayar hutang. Walaupun tidak terbukti
oleh polisi, ada beberapa orang yang meninggal secara aneh di kampungnya
seperti korban pembunuhan. Menurut
bisik-bisik warga, orang-orang tersebut tidak sanggup bayar hutang sehingga
dihabisi oleh anak buah rentenir itu.
“Ica juga tau bu,
tapi…” Wafa pun menjadi ikut sedih. Dia tidak ingin menyalahkan
siapapun, tetapi pada kenyataannya kejadian tersebut sangat menyakitkan buat
keluarganya.
“Maafin Ibu sama
Bapak ya Ca. Gara-gara kami, kamu jadi harus menanggung akibatnya.” Ibunya pun
mulai terisak.
Wafa tidak tahan
melihat ibunya menangis. “Kok Ibu ngomong gitu sih? Itu udah kewajiban Ica bu
buat bantu keluarga. Ica nggak apa-apa kok. Bener deh” Ica pun memeluk ibunya
sambil ikut menangis.
Pak Rohim, ayah
Ica yang baru pulang dari sawah terkejut melihat istri dan anaknya berpelukan
sambil menangis di tepi kolam.
“Kalian kenapa?
Ada masalah ya?” Pak Rohim
bertanya sambil meletakkan alat-alat bertani yang dibawanya di tempat
penyimpanan.
Wafa dan Bu
Uti serentak melepaskan pelukan dan
melihat ke arah Pak Rohim.
Bu Uti tidak bisa
menahan diri dan berkata, “Ica minta cerai.”
Raut wajah Pak
Rohim terlihat begitu terkejut
tetapi segera berubah menjadi lebih tenang. Pak Rohim melangkah mendekat dan duduk di dekat Wafa.
Sebenarnya, Pak Rohim tahu bahwa Wafa tidak pernah merasakan kebahagiaan dalam pernikahaannya.
Walaupun Wafa selalu berusaha untuk menutupi kesedihannya, Pak Rohim sering melihat Wafa melamun di tepi
kolam. Pak Rohim tahu bahwa
Wafa pasti merasa begitu berat menjadi istri kontrak yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari
suaminya. Wafa adalah anak manja, tetapi setelah menikah, dia terlihat terlalu tegar. Sepertinya ketegaran
Wafa sudah sampai batas kali ini. “Ica
udah nggak tahan ya?”, Pak Rohim bertanya pada Wafa.
Wafa menatap
ayahnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin ayahnya begitu mengerti apa
yang dirasakannya padahal ia dan ayahnya tidak pernah membahas tentang
pernikahannya selama ini?
Pak Rohim menatap
mata Wafa dengan kuat, kemudian berkata, “Ica kan udah gede. Ica tahu mana yang
baik, mana yang tidak. Kalau
Ica merasa ini yang terbaik pasti Ica udah mikirin hal ini masak-masak kan?”
Wafa melihat pandangan
ayahnya menyiratkan bahwa ayahnya bisa merasakan kesedihan yang ia rasakan. Selama ini ayahnya tidak pernah
ikut campur dalam pernikahannya, tetapi justru ayahnya yang paling mengerti
tentang apa yang dirasakannya. Ayahnya memang ayah yang bijak dan tidak pernah
menghakimi.
Ica tidak mampu
berkata-kata lagi. Matanya berlinangan air mata. Pak Rohim memegang pundak Wafa dan kemudian menariknya ke dalam pelukan. Wafa
pun menangis sejadi-jadinya.
Saat tangisan
Wafa mereda, Pak Rohim
berbicara dengan lembut. “Bapak hanya mau pesan satu hal sama Ica.”
Wafa menatap
dalam mata Pak Rohim yang
kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Kamu menikah dengan Endra secara
baik-baik. Bagaimanapun juga pernikahan kalian saling menguntungkan. Kalau kamu
mau bercerai, bercerailah dengan baik-baik. Jangan sampai ada pihak yang
dirugikan.”
Kata-kata ayahnya sangat menyejukkan. Wafa pun semakin kuat
dan yakin dengan keputusannya. Kegalauan dalam hatinya berkurang dan ia sudah
bisa tersenyum walau sedikit.
***
Setelah beberapa
hari menenangkan diri di kampung, Wafa memutuskan untuk kembali ke kota
dan mengurusi bisnisnya. Walau
hatinya masih kacau, dia
tidak boleh larut dalam kesedihan dan melupakan tanggung jawab pada pekerjaannya. Kehidupan pribadinya
boleh saja kacau, tetapi bisnis yang telah dibangunnya dengan susah payah tidak
boleh hancur hanya karena satu orang laki-laki.
Saat melangkah ke arah butik, langkah Wafa terhenti begitu
ia melihat ada seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu butiknya.
Jantungnya berdetak lebih kencang. Setelah mengumpulkan kekuatan, dia melangkah
kembali dan mendekati lelaki tampan yang tersenyum melihatnya.
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
“Apa kabar Wafa?”
“Baik. Sigra apa kabar?”
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda