Jumat, 26 September 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB XI



BAB XI
Wafa duduk di tepi kolam di belakang rumahnya. Wafa memang senang sekali duduk di tepi kolam karena udaranya dingin dan sejuk. Selain itu, ia suka melihat ikan yang berenang kesana kemari. Wafa merasa sangat merindukan suasana seperti ini. Sudah cukup lama dia tidak pulang ke kampung. Pekerjaannya dan juga urusannya dengan Endra membuatnya terlalu sibuk. Namun, kegalauan hati membuatnya meninggalkan semua kesibukan untuk menenangkan diri di kampung.

“Kok ngelamun aja Ca?” Bu Uti, Ibu Wafa menegurnya dari belakang.

Wafa menengok ke arah belakang dan hanya bisa terdiam.

Bu Uti duduk di sebelah Wafa dan dipegangnya tangan Wafa. Melihat Wafa yang begitu murung sejak datang dari kota membuat Bu Uti yakin jika ada masalah yang menimpa anaknya. “Kamu lagi ada masalah ya?”

“Hmmm.” Wafa tidak tahu harus memulai dari mana. Dia  takut mengecewakan orang tuanya.

“Ibu ini kan ibu kandung kamu. Kamu nggak perlu takut buat cerita sama ibu.” Bu Uti berbicara sangat pelan agar tidak menyinggung Wafa.

“Ica…” Wafa menggaruk kepalanya karena gugup dan takut. Suasana menjadi hening beberapa saat. Namun Bu Uti terus menatap mata Wafa dengan lembut. “Ica minta cerai bu.” Akhirnya kata-kata itu terucap dari mulut Wafa.

“Apa? Cerai? Kenapa?” Kata-kata Wafa membuat Bu Uti merasa jantungnya terhenti sesaat. Tiada angin, tiada hujan, anaknya tiba-tiba memberikan berita yang sangat mengejutkan.

“Ica udah nggak tahan lagi sama Endra.”

“Emang dia ngapain Ica, bukannya selama ini dia nggak pernah ganggu Ica?” Bu Uti menatap lekat mata Wafa dengan penuh keingintahuan dan ketidakpercayaan.

“Pokoknya Ica udah nggak tahan.”

“Ica bertemu laki-laki lain?” Bu Uti menebak.

“Nggak.”

“Ada yang tau tentang status Ica trus gangguin Ica?”

“Nggak.”

“Terus kenapa?” Bu Uti sudah mulai tidak sabar. Setelah bertahun-tahun menjadi istri kontrak tanpa ada masalah, mengapa tiba-tiba anaknya ingin cerai?

“Ica udah nggak bisa terusin pernikahan ini bu.” Dada Wafa terasa begitu sesak dan ia ingin sekali menangis tetapi ia berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Iya tapi kenapa? Selama ini Ica kan keliatan santai aja, nggak ada masalah.” Bu Uti semakin penasaran. Pada kenyataannya, Wafa memang tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda adanya masalah pada pernikahannya kepada kedua orang tuanya.

“Dia itu suka maenin perempuan bu. Istrinya disana sini.” Wafa membuka sedikit alasan perceraiannya.

“Apa?”

“Ica nggak suka sama laki-laki macam itu.” Amarah Wafa muncul saat teringat kelakuan Endra sehingga nada bicaranya sedikit meninggi.

“Ya.. sebenarnya sih ibu udah pernah kepikiran dia akan begitu. Kan emang biasa kalau orang kaya punya banyak istri.” Bu Uti memperlihatkan muka sedih. “Tapi Ica nggak pernah diapa-apain sama dia kan?” Bu Uti tiba-tiba merasa khawatir jika terjadi hal-hal buruk pada Wafa karena suaminya.

“Nggak.” Wafa tidak berani untuk menceritakan hal yang sebenarnya pada ibunya. Jika ibunya tahu kalau dia sudah mengerjai Endra, ibunya pasti tidak suka pada perbuataannya itu.

“Terus perjanjian Ica sama dia gimana? Kan masih tiga tahun lagi ya? Terus dia nanti gimana?” Bu Uti menjadi bingung dengan keadaan Wafa yang tiba-tiba berubah.

“Ya perjanjian kita batal.” Wafa menjawab singkat.

“Bukannya Ica harus bayar denda kalau minta cerai?” Bu Uti terlihat sangat khawatir.  

“Sekarang Ica kan udah punya usaha sendiri. Insyaallah Ica sanggup buat bayar itu.” Wafa menjawab kekhawatiran ibunya dengan tenang.

“Kalau urusan dia sama bapaknya gimana? Nanti dia nggak jadi direktur lagi.” Bu Uti berhenti sebentar dan menurunkan nada suaranya. “Ingat nak dia itu penyelamat hidup kita. Bukan hanya masalah dengan rentenir, tapi dia juga yang sudah membuat hidup kita menjadi nyaman seperti ini.”

“Iya Ica ngerti bu. Ica udah ngomong kok sama Bapak Wira. Bapak bisa ngerti kalau Ica minta cerai. Bapak juga setuju buat biarin Endra tetep jadi presiden direktur.”

“Oya? Kamu udah ngomong sama mertua kamu?”

“Iya bu.”

“Tapi tetep aja nggak enak kalau kamu batalin perjanjian secara sepihak. Kalau masalah Endra punya istri banyak, cobalah Ica mengerti sedikit tentang kebutuhan laki-laki. Sejak awal kan sudah ada perjanjiannya”. Bu Uti berusaha untuk membuat Wafa melihat dari sudut pandang lain agar Wafa tidak menyesal dengan keputusannya.

Wafa menarik nafas panjang, kemudian berkata, “Ica tahu konsekuensinya. Ica juga sebenernya bersyukur bisa ketemu sama Endra. Kalau nggak mungkin Ica sekarang udah jadi istri buaya darat paling tidak bertanggung jawab di bumi.” Tiba-tiba Wafa teringat pada mantan pacarnya yang ternyata telah menghamili gadis lain saat mereka masih berhubungan.

“Kok jadi inget sama Umed sih? Katanya mau ngelupain dia?”

“Susah buat ngelupainnya bu. Dia tuh segitu marahnya waktu Ica bilang terpaksa harus nikah sampe Ica ngerasa bersalah banget udah khianatin dia. Eh ternyata dia udah lebih dulu khianatin Ica.” Wafa benar-benar merasa telah menjadi orang tolol karena pernah menyerahkan hatinya pada orang yang paling dibencinya saat ini.

“Iya. Kalau inget sama dia Ibu juga kesel banget. Kok bisa ada laki-laki macam dia. Udah seneng maen perempuan, nggak mau bertanggung jawab lagi. Anak istri juga ditelantarin gitu, sampe buat makan aja susah banget. Untung Ica nggak jadi sama dia. Mending sekarang. Walau nggak normal, tapi hidup Ica kecukupan.” Bu Uti bersyukur bahwa waktu itu dia meyakinkan Wafa untuk memilih Endra dan putus dari Umed.

“Iya Bu. Walaupun Endra juga suka maen perempuan, setidaknya dia udah ngasih tahu sejak awal. Nggak ngebohongin Ica kayak si Umed gila itu.” Kenangan tentang mantan pacarnya itu membuat amarahnya sampai ke ubun-ubun.

“Kalau sama si Umed itu, kamu nggak pernah diapa-apain kan?” Bu Uti kembali takut jika anaknya pernah dinakali oleh Umed. Menurut gosip yang beredar, laki-laki itu selalu berhasil meniduri pacar-pacarnya.

“Ibu udah puluhan kali tanya itu. Ica kan udah bilang kalau Ica selalu jaga diri.” Wafa merengut karna sudah begitu bosan mendengar pertanyaan yang sama dari ibunya, tapi dalam hatinya dia bersyukur bahwa Umed tidak berhasil merayunya untuk melakukan dosa besar.

“Alhamdulillah.” Bu Uti menarik nafas lega.

“Ica masih perawan bu.” Wafa meyakinkan ibunya.

“Iya yah. Padahal kalau Endra ngapa-ngapain Ica juga nggak apa-apa. Kan dia suami Ica.”

Dada Wafa tiba-tiba terasa sesak mendengar perkataan ibunya. Endra ngapa-ngapain dia. Wafa menjadi teringat betapa hangatnya pelukan Endra. Betapa lembut tangan Endra saat membelai rambutnya. Betapa Wafa merasa terlindungi saat Endra selalu menggenggam tangannya erat selama berjalan berdua. Andai saja pernikahan mereka seperti pernikahan normal lainnya, tentunya saat ini dia akan menjadi wanita paling bahagia di dunia.

“Ica lagi mikirin apa?” Bu Uti melihat Wafa yang tiba-tiba termenung.

“Eh… enggak kok bu.. nggak apa-apa.” Wafa jadi gelagapan karena kaget dan malu. Dia takut ibunya tahu apa yang ada dipikirannya.

“Kok ibu jadi kangen ya sama Endra? Dia apa kabarnya yah? Terakhir kesini dia keliatan gendutan. Eh. Astagfirullah…” Bu Uti menjadi ingat kalau dia tidak boleh bercerita tentang Endra yang sering datang ke kampung.

“Terakhir kesini? Endra suka datang ke sini?” Wafa terkejut bukan main. Ada rahasia apa lagi yang tidak dia ketahui tentang Endra?

“Ehh.. nggak gitu. Dia itu kebetulan ada urusan terus mampir gitu." Bu Uti berusaha mengelak.

“Ica itu anak ibu. Ica tau kalau ibu lagi bohong sama Ica.” Wafa menekan ibunya.

Bu Uti begitu gugup dan menjawab dengan terbata, “Iyah.. Endra.. suka.. kesini.”

“Ngapain dia kesini?”

“Ya… maen aja. Bawa oleh-oleh dari kota, terus mancing sama bapak, maen ke sawah, makan rame-rame, ya gitu lah. Dia tuh ramah banget sama semua orang. Makanya semua suka sama dia.”

Wafa memegang kepala dengan kedua tangannya. Bagaimana mungkin dia tidak tahu tentang hal ini. Endra rajin berkunjung ke rumah mertuanya tapi tidak pernah berpikir untuk setidaknya melihat keadaan istrinya sendiri. Tapi… kalau Endra sering kemari, seharusnya dia pernah melihat foto terbarunya. Ibunya kan senang sekali memperlihatkan foto-foto terbaru anaknya ke semua orang. Seharusnya Endra bisa mengenali dirinya saat ini sebagai Misha. Apa selama ini Endra berpura-pura tidak mengenalnya? Tapi kenapa Endra begitu marah saat tau bahwa dia telah bersuami?

“Tapi dia itu aneh. Dia nggak pernah mau bicara tentang kamu. Kalau ibu nyerempet-nyerempet cerita tentang kamu, dia langsung ngomongin yang lain.” Bu Uti menjadi bersemangat untuk bercerita tentang Endra sehingga tidak memperhatikan jika anaknya sedang kebingungan dan emosi. “Pernah suatu saat ibu mau tunjukin foto kamu yang di kota, dia nggak mau liat.”

Wafa kembali terkejut dengan kenyataan yang ada. Jadi Endra tidak pernah tahu bagaimana rupanya saat ini. Tetapi kenapa dia bisa begitu dekat dengan kedua orang tuanya? Apa yang dia inginkan sebenarnya? Apa Endra ingin terlihat sebagai lelaki bertanggung jawab sehingga pernikahan mereka bisa tetap berjalan baik sesuai rencana? Ya. Itu yang terlintas di benak Wafa. Endra hanya berusaha menjaga pernikahannya agar bisa bertahan sampai waktu yang telah disepakati.

“Ca, emang kamu nggak bisa tunggu sampe tiga tahun lagi gitu? Kasian kan Endra.” Bu Uti kembali memikirkan nasib pernikahan Wafa. Sebenarnya Bu Uti begitu ingin pernikahan anaknya bisa menjadi normal karena menurutnya Endra adalah lelaki yang baik.

“Ibu segitu sayangnya sih sama Endra sampe anak sendiri nggak dipikirin.” Wafa cemberut dan merasa dianak-tirikan oleh ibunya sendiri..

“Bukan gitu. Ibu itu kasihan sama dia.” Bu Uti menjadi salah tingkah tetapi tetap berusaha untuk membela diri. Sementara Wafa tetap saja cemberut.

“Ibu itu ngerasa utang nyawa sama Endra.” Bu Uti menambahkan. Kali ini nada suaranya terdengar begitu serius. Wafa pun menjadi tidak enak hati.

“Kalau saja tidak ada Endra yang melunasi hutang Bapak, mungkin sekarang Bapak udah dipenjara atau mungkin malah udah nggak ada.” Bu Uti kembali bicara dengan mata yang berkaca-kaca.

Wafa menjadi teringat dengan kejadian beberapa tahun lalu saat anak buah rentenir yang berbadan besar dan bermuka garang mendatangi rumah mereka. Rentenir tersebut memang terkenal tidak akan memberikan ampun pada pengutang yang tidak mampu membayar hutang. Walaupun tidak terbukti oleh polisi, ada beberapa orang yang meninggal secara aneh di kampungnya seperti korban pembunuhan. Menurut bisik-bisik warga, orang-orang tersebut tidak sanggup bayar hutang sehingga dihabisi oleh anak buah rentenir itu.

“Ica juga tau bu, tapi…” Wafa pun menjadi ikut sedih. Dia tidak ingin menyalahkan siapapun, tetapi pada kenyataannya kejadian tersebut sangat menyakitkan buat keluarganya.

“Maafin Ibu sama Bapak ya Ca. Gara-gara kami, kamu jadi harus menanggung akibatnya.” Ibunya pun mulai terisak.

Wafa tidak tahan melihat ibunya menangis. “Kok Ibu ngomong gitu sih? Itu udah kewajiban Ica bu buat bantu keluarga. Ica nggak apa-apa kok. Bener deh” Ica pun memeluk ibunya sambil ikut menangis.

Pak Rohim, ayah Ica yang baru pulang dari sawah terkejut melihat istri dan anaknya berpelukan sambil menangis di tepi kolam.

“Kalian kenapa? Ada masalah ya?” Pak Rohim bertanya sambil meletakkan alat-alat bertani yang dibawanya di tempat penyimpanan.

Wafa dan Bu Uti serentak melepaskan pelukan dan melihat ke arah Pak Rohim.

Bu Uti tidak bisa menahan diri dan berkata, “Ica minta cerai.”

Raut wajah Pak Rohim terlihat begitu terkejut tetapi segera berubah menjadi lebih tenang. Pak Rohim melangkah mendekat dan duduk di dekat Wafa.

Sebenarnya, Pak Rohim tahu bahwa Wafa tidak pernah merasakan kebahagiaan dalam pernikahaannya. Walaupun Wafa selalu berusaha untuk menutupi kesedihannya, Pak Rohim sering melihat Wafa melamun di tepi kolam. Pak Rohim tahu bahwa Wafa pasti merasa begitu berat menjadi istri kontrak yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari suaminya. Wafa adalah anak manja, tetapi setelah menikah, dia terlihat terlalu tegar. Sepertinya ketegaran Wafa sudah sampai batas kali ini. “Ica udah nggak tahan ya?”, Pak Rohim bertanya pada Wafa.

Wafa menatap ayahnya dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin ayahnya begitu mengerti apa yang dirasakannya padahal ia dan ayahnya tidak pernah membahas tentang pernikahannya selama ini?

Pak Rohim menatap mata Wafa dengan kuat, kemudian berkata, “Ica kan udah gede. Ica tahu mana yang baik, mana yang tidak. Kalau Ica merasa ini yang terbaik pasti Ica udah mikirin hal ini masak-masak kan?”

Wafa melihat pandangan ayahnya menyiratkan bahwa ayahnya bisa merasakan kesedihan yang ia rasakan. Selama ini ayahnya tidak pernah ikut campur dalam pernikahannya, tetapi justru ayahnya yang paling mengerti tentang apa yang dirasakannya. Ayahnya memang ayah yang bijak dan tidak pernah menghakimi.

Ica tidak mampu berkata-kata lagi. Matanya berlinangan air mata. Pak Rohim memegang pundak Wafa dan kemudian menariknya ke dalam pelukan. Wafa pun menangis sejadi-jadinya.

Saat tangisan Wafa mereda, Pak Rohim berbicara dengan lembut. “Bapak hanya mau pesan satu hal sama Ica.”

Wafa menatap dalam mata Pak Rohim yang kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Kamu menikah dengan Endra secara baik-baik. Bagaimanapun juga pernikahan kalian saling menguntungkan. Kalau kamu mau bercerai, bercerailah dengan baik-baik. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan.”

Kata-kata ayahnya sangat menyejukkan. Wafa pun semakin kuat dan yakin dengan keputusannya. Kegalauan dalam hatinya berkurang dan ia sudah bisa tersenyum walau sedikit.

***

Setelah beberapa hari menenangkan diri di kampung, Wafa memutuskan untuk kembali ke kota dan mengurusi bisnisnya. Walau hatinya masih kacau, dia tidak boleh larut dalam kesedihan dan melupakan tanggung  jawab pada pekerjaannya. Kehidupan pribadinya boleh saja kacau, tetapi bisnis yang telah dibangunnya dengan susah payah tidak boleh hancur hanya karena satu orang laki-laki.

Saat melangkah ke arah butik, langkah Wafa terhenti begitu ia melihat ada seorang laki-laki yang berdiri di depan pintu butiknya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Setelah mengumpulkan kekuatan, dia melangkah kembali dan mendekati lelaki tampan yang tersenyum melihatnya.

“Assalamualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

“Apa kabar Wafa?”

“Baik. Sigra apa kabar?”
 _________________________________________________

 Prolog         << Bab Sebelumnya            Bab Selanjutnya >>


Beranda     

Jumat, 19 September 2014

Perselingkuhan Terakhir - Bab X



Bab X

Sigra bergegas menuju ruangan Endra. Sigra memang masih khawatir dengan keadaan Endra, tetapi yang ada dibenaknya saat ini lebih pada rasa penasaran. Pembicaraan semalam belum selesai dan Sigra ingin tau apa yang sebenarnya dirasakan oleh sepupunya.

Sigra merasa sedikit lega karena Endra telah ada diruangannya. Dilihatnya raut muka Endra yang masih terlihat kacau. “Assalamualaikum”, Sigra memberi salam perlahan agar tidak mengagetkan.

Endra melihat ke arah Sigra dan menjawab, “Wa’alaikum salam.”

Sigra duduk di depan Endra dan menatapnya. “Mau terusin cerita tadi malem?”

“Hah?” Endra tahu bahwa hal ini pasti terjadi. Sepupunya memang tidak suka menunda-nunda sesuatu terutama jika ada hal yang begitu ingin diketahuinya, pasti dia akan secepatnya mencari jawaban. Tapi Endra tidak ingin membicarakan hal tersebut. Dia sudah cukup malu tentang tadi malam dan tidak ingin menambah rasa malu itu. Untuk menghindar Endra berpura-pura terlihat sibuk dengan pekerjaannya.

Sigra sangat mengenal sepupunya sehingga dia tidak mudah dibodohi. “Kamu nggak boleh ngeles sekarang”.

Endra menghela nafas panjang. Dia tahu bahwa jika Sigra sudah berbicara seperti itu, dia pasti akan sekuat tenaga mengejar sampai Endra menjawabnya. Namun, susah sekali bagi Endra untuk menceritakan rahasia terbesar dalam hidupnya.

Sigra sudah tidak sabar. Dia harus memulai agar Endra mau bicara. “Sebenarnya selama ini aku selalu ingin tau kenapa kamu menikahi Misha.”

Endra menatap mata Sigra. Pandangan Sigra sangat tajam, sia-sia jika Endra terus mengelak. “Aku sedang terdesak saat itu. Ultimatum bapak udah bener-bener mepet.” Akhirnya Endra membuka mulut.

Sigra pun tersenyum. Dimulai dari beberapa kata, dia yakin akan berhasil membuat Endra menceritakan semuanya.

“Aku kenal kamu cukup lama untuk tau bahwa kamu orang yang pintar dan selalu berpikir panjang sebelum menentukan sesuatu.” Sigra memulai serangannya.

“Dalam posisi terdesak, orang bisa melakukan apapun, bahkan sesuatu yang gila.” Endra masih berusaha mengelak.

“Tapi menikahi orang yang baru saja kamu kenal dikategorikan sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar gila.” Berhenti sesaat, Sigra melanjutkan. “Semua orang juga tahu bahwa menikah memiliki konsekuensi yang begitu besar. Terlebih lagi pernikahan yang berkekuatan hukum.”

“Justru itu. Dengan perjanjian pra-nikah yang kuat, aku bisa mengamankan diri.” Kali ini Endra berhasil menjawab dengan baik.

Sigra merasa senang karena akhirnya bisa membawa Endra ke arah yang diinginkannya. Sekarang saatnya menembakkan peluru tepat ke sasaran. “Kalau memang benar itu alasannya, kenapa mata Wafa yang mirip dengan Misha bisa membuat kamu lupa diri?”

Endra benar-benar menyesal sudah minum-minum lagi semalam. Alkohol membuat dia kehilangan kontrol dan kelepasan bicara sehingga saat ini dia sudah tidak bisa lagi lari dari kejaran sepupunya.

“Walaupun masih kurang masuk akal, tetapi aku yakin kalau kamu sebenarnya jatuh cinta pada Misha sehingga berani menikahinya.” Sigra terus menekan Endra.

“Aku nggak tau itu cinta atau …” Endra tidak berhasil menemukan kata-kata yang tepat untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Kayaknya lebih enak kalau kamu cerita dari awal.” Sigra merasa kemenangannya sudah dekat.

Sudah terpojok, Endra sulit untuk berkata tidak. Lagipula, dia juga ingin membagi kegalauannya dengan orang lain. Tidak mudah untuk menyimpan perasaan seperti ini seorang diri. Endra pun akhirnya bercerita. “Waktu itu aku lagi jalan-jalan di taman mikirin ultimatum bapak. Sandra udah nolak aku, berarti aku harus cari perempuan lain untuk dinikahi.” Endra membuka ceritanya.

Sigra mendengarkan dengan seksama. Dia tidak mau melewatkan satu katapun yang keluar dari mulut Endra.

“Tiba-tiba aku denger ada perempuan sedang berdoa. Dia bilang akan ngelakuin apa aja jika Tuhan menjatuhkan sebatang emas untuk dirinya.”

“Dan kamu dapet ide gila itu?” Sigra langsung menebak.

“Ya gitu, aku tawarin dia untuk nikahin aku dan dia akan dapet sebatang emas yang dia mau.”

“Dia langsung mau?”

“Justru dia bilang aku nggak waras dan langsung pergi, tapi aku tahan.” Endra mengambil nafas dan melanjutkan. “Kita berdebat cukup panjang sampai akhirnya aku kasih dia kartu nama aku dan waktu untuk berpikir.”

“Kapan dia bilang YA?” Sigra bertanya.

“Besoknya.” Jawab Endra singkat.

“Dan kamu percaya kalau dia perempuan baik-baik? Kamu udah nggak punya otak apa?” Sigra menggelengkan kepalanya.

“Awalnya aku juga ragu. Sama kayak kamu. Aku bertanya kenapa hanya dalam satu malam dia bisa mengambil keputusan seperti itu.” 

“Tapi?” Sigra memotong

“Aku kan langsung hubungin temen aku yang pengacara buat bikinin aku surat perjanjian pra-nikah, jadi ya aku lanjutin aja sambil cari tahu sebenarnya dia itu seperti apa.”

Sigra terkejut mendengar penjelasan Endra. “Bukannya selama ini yang ngurusin Misha Om Aswin?”

“Ya nggak lah, mana mau Om Aswin bantuin aku buat urusan kayak gitu.”

“Sekarang kok yang ngurusin istri kamu itu Om Aswin?”

“Ya awalnya aku minta bantuan sama temen sampe aku bisa nikah soalnya aku nggak mau Om Aswin ngerusak rencana aku. Setelah aku nikah kan Om Aswin udah nggak bisa protes lagi. Akhirnya dia mau bantu aku buat ngurusin masalah-masalah yang berhubungan sama Misha.”

“Ohh, nah trus cerita yang tadi sama Misha gimana terusannya?” Sigra merasa bahwa pembicaraan mereka mulai melenceng dan berusaha meluruskannya lagi.

“Kirain kamu udah lupa.” Endra meregangkan badannya.

“Bukan Sigra namanya kalau lupa sama tujuan utama.” Sigra tersenyum.

“Habis dia telpon, aku langsung pergi ke rumahnya. Waktu masuk kampungnya, aku tanya dulu sama beberapa orang untuk mastiin kalau dia memang udah lama tinggal di sana. Ternyata benar kalau dia emang asli daerah itu dan keluarganya terkenal baik.”

“Oke” Sigra mengangguk. Ternyata Endra memang masih sedikit berhati-hati walau tetap gila.

“Waktu aku ketemu dia lagi, keliatan banget kalau dia sebenarnya masih ragu dan takut. Tapi ibunya cerita kenapa sampai mereka harus terima penawaran aku.”

“Kenapa?” Sigra penasaran.

“Jadi.. keluarganya itu kebelit utang sama rentenir gara-gara kakaknya Misha pengen pesta pernikahan yang besar. Awalnya hutangnya 50 juta dan dalam waktu singkat udah jadi seratus juta. Mereka belum pernah punya utang sebanyak itu, makanya mereka jadi takut banget. Apalagi yang namanya rentenir kan selalu kasar kalau nagih”

“Emang mereka nggak punya harta untuk dijual atau gimana gitu? Seharusnya mereka kan berhitung dulu sebelum berani meminjam uang?” Sigra mulai curiga.

“Namanya juga orang tua pengen nyenengin anak. Lagian di desanya itu adatnya memang begitu. Harus pesta besar untuk menikahkan anak. Jadi ya dipaksain.” Endra menghela nafas sebentar. “Parahnya, pengantinnya yang pengen pesta besar itu nggak mau ikut tanggung jawab. Katanya itu udah jadi tanggung jawab orang tua.”

“Buset.”

“Orang tuanya itu kan sederhana banget dan nggak .. apa ya? Sedikit kurang berilmu lah. Jadi ya nggak hati-hati dan kurang perhitungan.”

Sigra mengangguk-angguk. “Tapi kalau masalah uang sih, yang berilmu juga bisa salah.”

“Itu dia. Waktu itu, mereka cuma punya waktu dua hari atau rentenir itu akan mengusir mereka dari rumah yang merupakan satu-satunya harta mereka yang tersisa dan bahkan rentenir itu ngancam akan mengirim bapaknya Misha ke penjara.”

“Makanya Misha bisa berdoa seperti itu.” Sigra mulai mengerti.

“Iya. Selain itu, mereka juga denger kalau rentenir itu suka maen kekerasan. Bahkan ada rumor kalau ada beberapa orang yang pernah meminjam ke rentenir itu meninggal dengan cara yang aneh.”

“Wow. Gede juga masalahnya ya.”

Itulah kenapa Misha langsung telpon aku besoknya. Karena dia merasa tidak punya pilihan lain.”

“Oke. Tapi, walaupun ceritanya masuk akal, tetep aja mengkhawatirkan kalau kamu langsung nikah sama orang yang baru dua kali ketemu”. Sigra kembali berusaha menekan Endra.

“Waktu ngajak dia nikah, aku mungkin memang gila. Tapi aku nggak cuma ketemu dia dua kali. Sebelum nikah, aku dateng lagi ke sana beberapa kali. Bahkan sempat nginep. Jadi aku bisa ngerti keadaan di sana dan semakin yakin kalau dia dan keluarganya itu baik.” Endra berusaha membela diri.

“Oke… Nah sekarang pertanyaannya kapan kamu jatuh cinta sama Misha?” Sigra langsung menuju sasaran utamanya.

“Haruskah sevulgar itu nanyanya?”

“Kamu kan tau kalau aku nggak suka buang-buang waktu.”

“Tapi pertanyaan itu sulit untuk dijawab.”

“Kamu kan yang punya hati, jadi harusnya kamu tau kapan kamu merasakan sesuatu yang muncul di hati kamu.”

“Ya masalahnya aku nggak yakin sama yang aku rasain.”

“Ya kalau gitu, kamu cerita aja apa yang terjadi, biar aku yang menyimpulkan.” Senyum simpul Sigra menunjukkan jika dia merasa menang.

“Gimana ya?” Endra berpikir dan mencoba mengingat detail yang terjadi. Waktu pertama kali liat mata dia itu, ada sesuatu yang berbeda dan bikin aku deg-deg an.”

“Pertama kali liat mata dia?”

“Kamu boleh bilang aku gila, tapi itu yang terjadi.”

Sigra tersenyum lebar. Jadi ini cinta pada pandangan pertama?”

“Nggak tau deh.”

“Apa lagi coba kalau bukan cinta pada pandangan pertama? Kamu liat matanya dan langsung klepek-klepek.” Sigra tertawa.

“Ya nggak gitu juga kali. Aku juga masih punya otak. Aku nggak langsung bilang suka sama dia.” Endra merasa menjadi orang tolol di hadapan Sigra yang mentertawainya.

“Ya tapi kamu jadi terdorong untuk ngelakuin ide gila buat nikahin dia.”

Itukan karena aku memang harus cepet-cepet nikah. Ultimatum Bapak nggak maen-maen lho.” Endra harus membela diri jika tidak ingin menjadi bulan-bulanan Sigra.

“Ya ya ya.” Sigra terus saja tertawa.

Tapi waktu aku ketemu dia lagi dan mulai ngobrol banyak, aku jadi tau kalau dia itu sebenarnya lugu banget.” Nada bicara Endra terdengar begitu tulus dari dalam lubuk hatinya. Ketulusan itu menghentikan tawa Sigra yang kemudian menjadi serius mendengarkan kelanjutan cerita Endra.

Dia itu nggak matre dan dia itu caaaantik banget.” Nada bicara Endra terdengar begitu bersemangat kali ini. Sepertinya dia sudah tidak takut lagi untuk menceritakan semuanya pada Sigra.

Sigra tersenyum. Dia tahu bagaimana rasanya jika melihat perempuan yang cantik.

“Cantiknya itu natural. Tanpa polesan.” Endra menambahkan. Kemudian ia berhenti sebentar untuk menarik nafas dan melanjutkan. “Yang paling penting, hatinya baik banget. Dia itu sayang banget sama keluarganya, sama temen-temennya, dan … pokoknya baik banget”

Sigra merasa ini adalah saat yang tepat untuk melontarkan pertanyaan yang begitu ingin ditanyakannya. “Kalau kamu emang suka dia, kenapa nggak kamu nikahin dengan cara normal aja?”

“Aku kan juga masih punya pikiran. Nggak mungkin aku nikahin orang gitu aja tanpa yakin bahwa dia adalah yang terbaik. Jadi aku tetep nikahin dia dengan syarat. Rencananya, aku akan deketin dia dan menghentikan perjanjian pra-nikah kami setelah aku yakin.”

“Tapi ternyata dia tidak seperti yang kamu kira?” Sigra dengan cepat menebak apa yang terjadi.

“Ya gitu deh.” Endra menggangguk. Sebelum Sigra menanggapi, Endra segera menambahkan. Tapi bukan negatif lho.”

“Maksudnya?” Sigra penasaran.

“Dia itu bener-bener cewek baik-baik. Kamu sendiri tau kan kalau sampai saat ini Misha nggak pernah nuntut apa-apa dari aku.”

“Terus?” Sigra semakin penasaran.

Raut muka Endra berubah menjadi sendu. “Ternyata dia itu udah punya pacar. Jadi dia itu sebenarnya patah hati waktu nikahin aku. Ya aku kan jadinya nggak enak.”

“Merasa marah, bersalah, atau cemburu?”

“Semuanya. Sebagai laki-laki aku nggak terima kalau dia cinta sama orang lain.”

Sigra tertawa. “Ego seorang Endra.”

“Bukan ego tapi harga diri.”

“Itu juga alasan kamu untuk langsung ninggalin dia setelah akad?” Sigra menyimpulkan.

“Ya iyalah, sebelum ditolak, lebih baik aku yang nolak dia terlebih dahulu.” Nada bicara Endra sedikit meninggi.

“Tapi dengan mencintai orang lain bukan berarti dia salah sama kamu. Kan kamu yang paksa dia buat nikah. Trus kenapa kamu justru nyakitin dia dengan poligami?”

Endra terdiam. Tidak bisa menjawab apapun.

“Kalau kamu emang bener-bener cinta sama dia, kejar dong. Toh pada dasarnya dia milik kamu.”

“Hubungan kita itu simbiosis mutualisme. Cuma itu. Nggak lebih.

“Oke, tapi sesuai sama cerita kamu, dia nggak pernah nyakitin kamu setelah kalian nikah, tapi justru kamu nyakitin dia dengan poligami. Seharusnya kamu juga jaga diri dong biar adil. Kan kamu cinta sama dia. Sigra kembali mencecar Endra yang mulai kesulitan untuk mendapatkan jawaban.

“Aku kan laki-laki yang punya kebutuhan.” Akhirnya Endra menjawab singkat.

“Emang dia enggak?”

“Ya itu konsekuensinya karena perempuan nggak punya hak untuk memiliki suami lebih dari satu.”

“Berarti kalau misalnya Tuhan memberikan hak itu, kamu akan biarin dia untuk poliandri?” Sigra melontarkan pertanyaan yang tepat mengarah ke jantung Endra.

“Ya… nggak mungkinlah, aturannya udah jelas.” Endra mengelak.

“Aku kan bilang kalau. Bukan mungkin atau tidak mungkin.”

“Pokoknya perempuan nggak boleh begitu.”       

“Tuh kan. Kamu nggak adil.”

“Habis gimana lagi, aku nggak ada pilihan lain.” Endra berusaha mencari jalan untuk menghentikan perdebatan ini. Sigra sekarang berada di atas angin sehingga sangat mudah untuk menyerangnya.

“Makanya, kenapa kamu nggak deketin dia aja sih? Kamu belum coba kan? Kalaupun ternyata kalian nggak cocok ya nggak usah dilanjutin. Toh nggak dosa. Malah lebih dosa sekarang karena kamu nggak kasih nafkah batin sama dia.”

“Aku nggak mau dia terpaksa cinta sama aku. Lebih baik aku sama orang lain. Biar nanti setelah perjanjian kita selesai, dia bisa bebas tanpa beban dengan tetap suci sebagai perempuan yang belum pernah terjamah laki-laki.” Suara Endra terdengar berat. Sepertinya dia berusaha keras menahan perasaan.

Kata-kata Endra menyentuh hati Sigra. Ternyata sepupunya bisa juga jatuh cinta. Bahkan saat jatuh cinta, perasaannya bisa begitu besar. “Segitu besarnya cinta kamu sama dia, sampai kamu setengah mati ngejaga kesucian dia.”

Endra terkejut. Apa benar yang dikatakan oleh Sigra? Sebesar itukah cintanya pada Misha? Yang dia yakini, dia tidak ingin Misha ternodai oleh cinta yang dipaksakan. “Aku…”  Endra pun kehilangan kata-kata.

“Kamu pernah kepikiran nggak sih kalau mungkin suatu saat dia bisa jatuh cinta sama kamu?” Sigra kembali berusaha merubah jalan pikiran Endra.

“Enggak mungkinlah. Kita aja nggak pernah ketemu lagi sampai sekarang.”

“Karena kamu nggak pernah usaha untuk nemuin dia lagi. Kalau kamu deketin terus-menerus, bukannya nggak mungkin dia akan jatuh cinta sama kamu.” Sigra terus berusaha agar sepupunya mau memperbaiki perkawinannya.

“Nggak lah, dia itu cinta banget sama cowoknya itu. Dia aja nggak pernah mau aku sentuh.” Endra merasa sedih begitu teringat masa lalunya.

“Bukannya kamu langsung ninggalin dia habis akad?” Sigra menjadi kurang mengerti.

“Maksudnya.. habis aku ngelamar dia kan aku beberapa kali nemuin dia. Selama itu dia selalu jaga jarak sama aku. Kalau ngobrol sih masih mendingan, tapi sentuhan fisik nggak ada sama sekali. Salaman pun dia keliatan ogah, kepaksa banget kayaknya.”

“Pantes aja kamu langsung ilfill.” Sigra tertawa tipis.

“Bukan ilfill lagi, bĂȘte setengah mati.”

Sigra tertawa lepas mendengar perkataan Endra. “Tapi sampai sekarang kamu masih nggak bisa ngelupain dia kan?”

Pertanyaan Sigra menusuk hati Endra. Harus diakui bahwa Misha masih mengisi ruang hatinya walaupun beberapa bulan terakhir ini Endra sempat yakin bahwa Wafa telah berhasil mengambil alih tempat Misha.

Kembalinya ingatan atas Wafa membuat emosi Endra kembali meninggi. “Cuma Wafa yang bisa buat aku ngelupain Misha. Tapi ternyata dia juga sama.” Endra memukul keras meja yang ada dihadapannya. Raut muka Endra terlihat begitu marah. Suasana pun berubah menjadi tegang.

Sigra merasa tidak enak dengan keadaan ini. Dia sedikit takut jika emosi Endra meledak karena sepupunya itu bisa berbuat nekat jika sedang emosi tinggi.

“Eh.. aku lupa.. tadi Pak Hedi bilang kalau dia mau ketemuan sama kamu besok.” Sigra berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Setidaknya sekarang dia sudah mulai mengerti mengapa Endra menjadi seperti ini sekarang.

Endra yang sedang emosi menjadi sedikit kaget karena Sigra merubah arah pembicaraan mereka dengan tiba-tiba. Tapi dia tahu bahwa sepupunya itu pasti berusaha meredam emosinya yang sudah meningkat tajam. Endra bersyukur bahwa dia memiliki Sigra yang begitu mengerti dirinya dan selalu menjaganya agar tidak berlaku gila.

“Tadi dia udah telpon aku kok. Tapi aku bilang jadwal aku padet, jadi biar diwakilin sama Unva aja. Aku lagi males ngurusin kerjaan.” Endra memperhatikan mejanya yang penuh dengan dokumen untuk diperiksa tetapi belum satu pun dikerjakannya. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tiba-tiba handphone Endra berbunyi. Dilihatnya layar dan ternyata yang menelpon adalah Om Aswin. Segera dijawabnya telpon tersebut. Mereka berbicara ringan sebentar sampai akhirnya  Endra diam seribu bahasa. Dia menurunkan dan meletakkan handphone di meja.

“Hai.. kamu nggak apa apa?” Sepertinya ada sesuatu yang besar yang sedang terjadi dan Sigra merasa khawatir.

“Tadi itu Om Aswin.”

“Ya aku denger tadi.”

“Katanya Misha telpon dia.”

“Misha? Kok bisa kebetulan ya? Baru aja diomongin.”

“Tau deh.”

“Kenapa Ndra?”

“Misha minta cerai.”

_________________________________________________
Prolog           << Bab Sebelumnya          Bab Selanjutnya >>



Beranda