Sedetik setelah Toni melangkah pergi, tangisku jatuh
tertumpah tanpa bisa ku tahan. Ketegaranku dihadapan Toni tadi hanyalah sebuah
bentuk pertahanan untuk menjaga harga diriku supaya tidak hancur karena hanya
harga diri yang kupunya saat ini. Aku menangis tersedu-sedu tanpa mempedulikan
apa-apa lagi. Yang ada hanya rasa sakit dalam hati yang hancur
berkeping-keping. Teganya dia padaku.
Dalam tangisku, muncul banyak pertanyaan dalam kepalaku.
Mengapa ini terjadi? Aku sudah merelakan pendidikanku untuk dihentikan
sementara agar dia bisa menyelesaikan kuliahnya. Aku sudah rela kehilangan
kehidupan sosialku dengan lebih banyak berdiam diri di rumah sesuai
keinginannya. Aku sudah berusaha keras menjadi istri terbaik dengan mengurus
semua kebutuhan rumah dan juga kebutuhannya. Namun apa yang kudapatkan saat
ini? Bukannya kasih sayang dan pujian yang kudapatkan dari usaha kerasku itu,
tapi aku dicampakkan seperti sampah. Tanpa pemberitahuan. Tanpa mediasi. Tanpa
sidang. Aku menerima surat talak dari suamiku disaat aku baru saja kehilangan
salah satu orang paling penting dalam hidupku.
Setelah aku selesai menumpahkan kesedihanku, aku berdiri
untuk mengambil wudhu dan sholat. Aku tahu bahwa dalam keadaan seperti ini,
tidak ada yang bisa menolongku selain Tuhan pencipta alam yang maha pengasih
dan maha penyayang. Aku memohon ampun pada Allah karena diberi cobaan seperti
ini. Jika ini adalah sebuah hukuman, berarti aku telah melakukan kesalahan
dalam berumah tangga. Aku memohon pada Allah untuk diberi kekuatan dan pikiran
yang terang untuk bisa melanjutkan hidup tanpa Toni.
Selang berapa lama, ibuku datang bersama adik-adikku. Nenek
sepupuku yang ternyata mendengarkan pembicaraan aku dengan Toni menceritakan
apa yang terjadi pada ibuku. Tentu saja ibuku begitu terkejut mendengar
ceritanya. Ibuku tidak bisa percaya bahwa aku telah dicerai oleh suamiku dan
amarahnya pun meledak. “Kurang ajar. Anakku diperlakukan seperti itu. Tidak
ingat ya waktu dia pengennya. Tidak ingat ya bagaimana perlakuan dia sama
istrinya, anakku diam saja, sabar saja”, kata ibuku dengan suara keras.
Ibuku segera menuju kamarku dan memintaku untuk keluar.
Namun, aku yang masih begitu sedih tidak memiliki tenaga untuk beranjak. Karena
pintu tidak dikunci, ibuku membuka pintu dan langsung memelukku sambil
menangis. “Sabar ya Neng, sabar,” ucap ibuku berulang kali. Aku yang tidak tega
melihat tangis ibuku, berusaha untuk tegar dan menenangkannya. Walaupun aku
begitu hancur, aku berusaha untuk terlihat kuat dihadapan ibuku saat itu.
Namun, seberapapun aku berusaha untuk tegar, aku tetaplah
seorang wanita biasa yang memiliki hati rapuh. Hari-hari berikutnya kuhabiskan
dengan merenungi nasibku. Aku mengurung diri di kamar dan hanya keluar untuk ke
kamar mandi, wudhu, dan makan. Aku seperti gila saat itu. Bukan karena
kehilangan dia, tapi aku gila karena tidak percaya dengan keadaanku saat itu. Aku
harus hidup sendiri sedangkan pendidikanku belum selesai. Aku tidak tahu harus
berbuat apa. Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan ilmu yang kudapat selama
ini. Aku hanya bingung dan bingung setiap hari dengan terus mencurahkan isi
hati pada Allah. Hal ini terjadi selama hampir satu bulan.
Setelah mengalami hari-hari yang sangat membingungkan, aku
akhirnya mulai bisa menenangkan diri dan ikhlas menerima perceraian ini. Aku
mulai keluar kamar untuk berbincang dengan ibuku. Namun, aku masih belum bisa
berbuat banyak sampai ada kejadian yang akhirnya menyadarkanku dari
kesalahanku.
Hari itu, aku sedang berada di dalam kamar. Adik perempuanku
yang bernama Upi pulang sekolah sambil berteriak senang. “Mamah Mamah, Upi mau
piknik ke Bandung. Mau ke kebun binatang. Itu pelajaran lho mah. Pelajaran ilmu
hayat untuk dicatet”, kata Upi. “Ya”, ibuku menjawab. “Boleh ya Mah?” Upi
bertanya. “Ya”, kata ibuku lagi. “Tapi Mah harus bawa uang 2500 lho mah”, Upi
menjelaskan. “Aduh, kalau bawa uang 2500 Mamah nggak ada uang. Dari mana ya?
Mamah belum gajian”, kata ibuku. “Wah gimana Mah? Kan itu tuh untuk ongkos
masuk sama ongkos mobil”, Upi mendesak. “Yah nanti-nanti ya”, jawab ibuku.
Tak berapa lama, Ali juga datang sambil berteriak. “Mah Mah,
Ali mau kemah pramuka. Kemahnya sekabupaten lho ini”, kata Ali. “Ya syukur”,
kata ibuku. “Biayanya 2500 Mah”, Ali menambahkan.”Ya nanti”, kata ibuku
menghindar. “Boleh kan Mah?”, Ali memohon. “Aduh Upi 2500, Ali 2500”, ibuku
mengeluh. “Tapi Ali cuma itu doang kok Mah, anak perempuan yang bawa beras,
anak laki-laki mah nggak harus bawa beras”, kata Ali membela diri. “Iya, tapi
Mamah teh lagi nggak punya uang”, ibuku menjelaskan.
Kedua adikku terus saja mendesak Ibu untuk mengabulkan
permintaan mereka. “Nurunin kelapa aja atuh Mah”, kata Ali. “Aduh baru aja
kemaren nurunin kelapa”, jawab ibuku. “Jual padi aja atuh”, kata Upi. “Yeh padi
mah untuk makan”, ibuku kembali menolak. “Mah ceceu mah, ceceu pasti punya
uang”, kata Ali. “Eh, tau nggak, ceceu kamu teh lagi sakit. Untung nggak gila
ceceu kamu teh. Mamah mana berani minta sama ceceu”, kata ibuku.
Mendengar kata-kata ibuku, aku jadi tersentak. Astagfirullaaaaaah.
Apa yang telah aku lakukan selama ini? Mengapa aku menjadi tidak berguna
seperti ini? Bukankah aku sudah berjanji pada Ayah untuk membantu ibu
menyekolahkan adik-adik? Mengapa aku tidak ingat pada tanggung jawab yang sudah
dibebankan di pundakku? Aku telah mengecewakan Ayah dan aku sudah menambah
penderitaan ibu.
Sebuah kekuatan muncul dalam diriku. Akupun segera keluar
kamar. “Ada apa ini?” tanyaku. Adik-adikku langsung menyambut aku dan
menceritakan yang terjadi dengan penuh semangat. “Boleh ya ceu?” mereka
memohon. “Iya boleh,” kataku pada mereka yang langsung berteriak senang. “Tuh
kan Mah, kalau minta ceceu pasti ada”, kata mereka. Hatiku terharu melihat
kegembiraan mereka. Dengan lembut, aku meminta mereka untuk berganti pakaian,
makan, dan kemudian mereka bisa bermain.
Setelah berpikir beberapa saat, aku berbicara pada ibuku.
Aku memberikan beberapa perhiasanku dan meminta ibu untuk menjualnya agar kami
bisa membiayai kebutuhan adik-adik. Awalnya ibuku menolak dan mengatakan bahwa
aku tidak perlu melakukan itu hanya untuk membiayai wisata dan kemah. Namun aku
memaksa karena aku sudah berjanji. Akupun menjelaskan pada ibu bahwa uang hasil
penjualan perhiasan itu juga akan aku pergunakan untuk biaya ke Bandung supaya
aku bisa mencari pekerjaan. Ibuku akhirnya menyetujui permintaanku.
Aku berjanji pada Ibu untuk menyekolahkan adik-adik di SMA
agar ibuku bisa fokus menyekolahkan adik-adik sampai SMP. Sebenarnya aku masih
bingung apa yang harus kulakukan, tetapi aku menguatkan hati dan tekad.
“Bismillah Mah”, kataku pada Ibu. “Ya syukurlah kalau Jingga berpikir begitu,
tidak usah dipikirin laki-laki mah”, kata ibuku.
Dengan uang sisa hasil penjualan perhiasan, aku pergi ke
Bandung. Aku mengontrak rumah dibelakang kos Bunga. Aku meminta Bunga dan Juna untuk
tinggal bersamaku. Disaat aku akan mencari pekerjaan, aku kembali bingung. Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuanku. Selain itu, aku juga masih dihantui oleh perasaan
sedih karena perceraian yang tidak jua hilang. Aku kembali gamang dengan hidup
dan banyak merenung. Aku bahkan menjadi perokok. Dalam sehari, aku bisa
menghabiskan berbatang-batang rokok.
Aku cukup beruntung karena masih ada masa disaat aku sadar
bahwa aku tidak boleh terus menyiksa diri dan mengambil langkah untuk
memperbaiki hidup aku dan keluarga. Akupun memutuskan untuk pergi ke kampus dan
mencari informasi tentang pekerjaan yang bisa aku lakukan. Alhamdulillah, aku
mendapatkan informasi yang kubutuhkan dan akupun melamar pekerjaan di pabrik
sebagai staff laboratorium. Alhamdulillah, aku mendapatkan pekerjaan dengan honor
yang lumayan untuk seorang pemula sepertiku.
Bekerja di pabrik ternyata tidak menyenangkan. Walaupun aku
bekerja di laboratorium yang notabene tidak banyak masalah, aku tidak kuat
menghadapi situasi pabrik yang ternyata sangat keras. Aku sering mendengar para
pegawai dimarahi dengan kata-kata yang tidak pantas. Aku juga sering mendengar
para pegawai berbicara dengan kata-kata yang kasar. Karena hatiku yang masih
rapuh, aku tidak kuat dan sering ikut sakit hati saat mendengar kata-kata keras
dan kasar itu. Karena tidak kerasan, akupun berhenti dan pindah kerja di pabrik
lain. Situasi di tempat kerjaku yang baru ternyata tidak jauh beda dengan
sebelumnya sehingga akupun memutuskan untuk keluar.
Setelah gagal bekerja di pabrik, aku kembali ke kampus untuk
mencari informasi pekerjaan yang lain. Disana aku bertemu dengan kakak kelas
yang juga saudara jauh dari Toni. Kakak kelasku itu bekerja di sekolah tinggi
swasta dan mengajakku untuk mengajar di sana. Karena dia masih saudara jauh
dari Toni, aku menolak ajakan itu. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Toni
sehingga berusaha menjaga jarak sejauh mungkin, termasuk menjaga jarak dari
siapa saja yang berhubungan dengan Toni. Untung saja kakak kelasku itu mengerti
dan tidak terus memaksaku.
Disaat aku sedang duduk termenung di kampus, datanglah kakak
kelasku lainnya yang bernama Ovi. Dia menanyakan kabarku dan akupun
menceritakan padanya jika aku sedang mencari pekerjaan karena harus mengurus
keluargaku. Mendengar ceritaku, Kak Ovi merasa simpati. Dia memberitahukan aku
bahwa ada lowongan di sebuah sekolah kejuruan. Lowongan yang tersedia adalah
sebagai guru praktikum di bidang kimia tekstil. Aku tertarik dengan lowongan
itu dan berkata pada Kak Ovi bahwa aku akan melamar.
Setelah mempersiapkan semua kebutuhan, akupun melamar ke
sekolah tersebut. Aku sangat beruntung karena tanpa proses yang berbelit, aku
diterima untuk mengajar di sekolah tersebut. Sekolah tersebut adalah sekolah
yang baru dua tahun beroperasi sehingga membutuhkan tenaga-tenaga baru untuk
mengembangkan sekolah tersebut.
Hari pertama mengajar adalah hari yang cukup berat. Walaupun
aku akan mengajar di bidang yang aku kuasai, tetapi aku belum pernah mengajar
sebelumnya sehingga aku merasa tidak percaya diri. Aku begitu gugup saat akan
berangkat, tetapi aku menguatkan diri dan melangkahkan kaki dengan keyakinan
diri.
Namun, cobaan pertama ternyata bukan datang dari murid-murid
yang aku hadapi, tetapi dari salah seorang guru. Saat itu aku sedang berkenalan
dengan staff tata usaha sekolah.
Tiba-tiba ada seorang guru laki-laki yang mendekat. Staff tata usaha yang ada
didepanku langsung memperkenalkan aku sebagai guru baru kepada guru di bidang
kimia industri yang bernama Koko itu. Bukannya ucapan selamat bergabung yang
kudapatkan, tetapi sindiran sinis yang keluar dari mulutnya. “Memangnya dia
bisa ngajar apa? “, katanya sambil melirik ke arahku. ”Kelihatannya tidak
meyakinkan”, tambahnya. Mendengar ucapannya, aku merasa tersinggung. Akupun
berjanji pada diriku sendiri untuk bekerja keras dan membuktikan padanya bahwa
aku mampu.
Bekerja sebagai guru ternyata sangat membahagiakan. Pekerjaan
aku dihargai dengan baik, bahkan aku diberi kesempatan untuk mengajar di kelas.
Di sekolah, aku juga mendapat ketentraman karena semua orang saling menghormati
satu sama lain. Memang aku masih perang dingin dengan guru bernama Koko. Berbulan-bulan
aku pelit bicara dengannya. Namun, selain masalah dengannya, aku sangat bahagia
bekerja di sekolah.
Sekitar enam bulan setelah aku bekerja sebagai guru,
tiba-tiba ada kejutan. Toni datang menemuiku. “Akang pengen kita kembali lagi”,
kata-kata mengejutkan itu keluar dari mulutnya. Dia menggunakan berbagai
kata-kata manis bahwa dia akan berubah dan ingin memulai semuanya dari awal. Yang
lebih mengejutkan lagi, dia mengajakku untuk melihat rumah yang telah dibelinya
untuk kami tinggali jika kami telah menikah nanti. “Biar kita tidak diganggu
keluarga,” begitu katanya.
Aku merasakan kegalauan yang luar biasa dengan permintaannya
untuk kembali menikah. Aku merasa takut, tetapi disudut hatiku, aku merasa
senang dengan semua janji yang diberikannya. Cintaku padanya masih besar dan
aku berharap bahwa kali ini kami akan sanggup membina rumah tangga yang kuat
dan langgeng sampai akhir hayat.
Karena aku masih sangat trauma dengan perlakuan ibunya
padaku, aku memberikan syarat padanya. “Yang membuat kita cerai kan Mimih. Kita
tidak ada apa-apa, kita baik-baik saja, tetapi Mimih meminta kita cerai. Jadi
eneng maunya Mimih datang langsung dan memberikan restu pada eneng untuk kembali
sama Kang Otong,” begitu kataku. Toni terkejut dengan permintaanku, tetapi dia
berusaha untuk memenuhinya. “Iya, nanti Akang usahakan”, katanya.
Harapan besar kembali muncul dalam hatiku. Namun, harapan
itu sedikit-demi sedikit mulai terkikis. Dua bulan aku menunggu tanpa ada
sedikitpun kabar dari Toni. Dengan kegelisahan dalam dada, aku berusaha
menjalani hidup seperti biasa. Aku berusaha lebih memfokuskan diri pada pekerjaanku
karena mencari uang adalah tujuan utamaku saat itu demi ibu dan adik-adikku.
Pada suatu hari, aku berkunjung ke rumah Kang Hari. Nia, istri
Kang Hari adalah sahabatku dan dia sedang mengandung. Ketika aku sedang
berbincang dengan Nia di dalam kamar, tiba-tiba ada tamu datang. Ternyata tamu
tersebut adalah Toni. Yang sangat mengejutkan, Toni tidak datang sendiri. Dia
bersama seorang wanita. “Kenalin, ini bojoku yang baru”, aku mendengar
perkataan Toni pada Kang Hari.
Aku kembali hancur mendengar kata-kata Toni. Bagaimana mungkin
Toni kembali menyakitiku? Aku terpuruk, tetapi Nia meyakinkan aku bahwa aku
harus menemui Toni. Nia bilang aku harus terlihat tegar dan kuat untuk
menunjukkan pada Toni bahwa aku bukanlah perempuan yang bisa dipermainkan.
Aku melakukan apa yang diminta Nia dan menemui Toni dengan
kepala tegak. “Eh ternyata ada Neng Jingga”, kata Toni yang terkejut melihatku.
“Iya kebetulan sedang main ke sini”, jawabku. “Oh, kenalin istri aku yang
sekarang”, kata Toni. “Oh sudah nikah, dikirain teh, ditunggu-tunggu
beritanya”, kataku. “Iya, kebetulan ketemu sama dia”, jawabnya. Aku
memperkenalkan diri sebagai teman Toni dan Kang Hari. Tidak ingin berlama-lama
aku kembali ke kamar dengan alasan menemani Nia yang sedang sakit.
Pengalaman menyakitkan dengan Toni membuat aku tidak percaya
terhadap laki-laki. Yang lebih menyakitkan lagi, belum sampai setahun Toni
menikah, aku mendapatkan kabar bahwa dia dan istrinya telah memiliki anak. Jika
dia bisa memiliki anak, berarti aku yang memiliki masalah. Hatiku begitu hancur
dan menjadi tidak percaya diri bahwa akulah yang tidak bisa memiliki anak.
Lebih dari satu tahun aku hanya menyibukkan diri dengan
pekerjaan tanpa memikirkan laki-laki. Aku hanya fokus pada pekerjaanku dan
mencoba berhubungan baik dengan orang-orang disekitarku. Bahkan aku mulai
melunak kepada Koko karena beberapa guru menasihatiku untuk tidak terus
membencinya. Menurut beberapa guru, Koko memang sering bergaya dan sok saat
bertemu guru baru, tetapi aslinya dia orang baik.
Berdamai dengan diri sendiri dan tidak pernah memikirkan
Toni lagi ternyata tidak cukup untuk menghapus Toni dalam hidupku. Pada suatu
hari, datanglah adik Toni menemuiku. Dia menceritakan keadaaan Toni yang sudah
bercerai dan ditipu oleh istrinya. Adiknya memintaku untuk mengasihani Toni dan
kembali padanya. Terang saja aku menolak. Sudah berkali-kali dia menyakitiku
dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
Aku tidak menyesal dengan keputusanku dan kembali fokus pada
pekerjaan. Setelah dua tahun mengajar, murid kami semakin banyak. Dewan sekolah
memutuskan untuk mengangkat dua orang wakil kepala sekolah untuk membantu
kepala sekolah yang mulai kesulitan dalam mengurus berbagai macam masalah. Yang
terpilih adalah aku dan Koko.
Dengan adanya tugas baru, mau tidak mau aku harus sering
berhubungan dengan Koko. Setelah mengenalnya lebih jauh, ternyata, Koko
tidaklah jahat. Dia hanyalah seseorang yang senang ceplas ceplos dan jika
bercanda suka kelewatan. Setelah aku lebih mengenal pribadinya, aku mengetahui
bahwa dia adalah tipe lelaki penyayang, terutama terhadap keluarganya. Aku juga
pernah bertemu dengan istrinya beberapa kali dan terlihat jelas bahwa Koko
menyayangi istrinya itu.
Setelah melalui masa yang cukup tenang, ada kakak kelas semasa
aku kuliah yang datang untuk melamar sebagai tenaga honorer di sekolah tempatku
mengajar. Namanya Dede. Karena sekolah kami memang membutuhkan tenaga, dia
diterima untuk mengajar. Dengan adanya dia, akupun teringat masa lalu. Dahulu
aku pernah punya hati untuknya karena dia ganteng, tinggi, dan mempesona. Kenangan
masa lalu membuat aku dekat dengannya dan kami pun memulai masa pendekatan.
Namun, belum sampai kami jadian, aku mendapatkan kabar yang
menyakitkan bahwa ternyata dia sudah dijodohkan dengan anak bosnya. Saat aku
menanyakan masalah itu dengannya, dia membenarkan hal tersebut tetapi dia
menyakinkan aku bahwa dia hanya mencintaiku. Aku tidak bisa menerima
penjelasannya dan memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya. Tidak
mungkin bagiku untuk mengambil resiko. Lagipula aku tidak melihat ada keyakinan
dalam dirinya bahwa dia akan mampu menolak perjodohan itu.
Kembali disakiti oleh laki-laki, aku menjadi berhenti
berharap pada laki-laki. Namun, statusku sebagai janda muda terus menggangguku.
Banyak kudengar perkataan miring tentangku. Bahkan aku pernah di panggil oleh
Pak RW karena warga mengira aku adalah perempuan nakal. Warga melapor bahwa
mereka sering melihat beberapa pemuda datang mengunjungiku. Padahal,
pemuda-pemuda itu adalah murid-muridku yang datang untuk meminta bimbingan
belajar.
Tidak ingin terus menjadi bahan pembicaraan dan difitnah,
aku berusaha untuk kembali membuka hatiku. Saat itu ada guru olahraga yang
mengatakan bahwa telah lama dia suka padaku. Namanya Cipto. Sebenarnya aku
tidak yakin untuk menerimanya karena dia masih perjaka, tetapi melihat
kesungguhan dan kebaikannya, aku sulit untuk menolak.
Hubunganku dengan Cipto berjalan baik. Kami juga mendapat
dukungan dari orang-orang disekitar kami, termasuk guru-guru di sekolah. Bahkan,
Koko yang selama ini suka mengejekku justru sangat mendukung, Beberapa kali
Koko membelikan tiket nonton untuk kami.
Sayangnya, hubunganku dengan Cipto juga tidak berlangsung
lama. Beberapa bulan setelah kami berhubungan, Cipto dikirim ke luar negeri
untuk menemani tim olahraga yang
mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar. Sebelum Cipto pergi, dia
mengatakan padaku bahwa hubungan jarak jauh tentunya akan sulit untuk kami
hadapi. Oleh karena itu, dia meminta agar kami menjalani hidup masing-masing.
Jika kami berjodoh, tentunya kami akan mendapatkan jalan untuk bersama, tetapi
jika tidak, maka kami tidak perlu merasa berat jika ada jalan lain yang lebih
baik untuk diri masing-masing.
Setelah kegagalan dengan Cipto, aku kembali menikmati kesendirianku.
Guru-guru yang mengetahui kegagalan hubungan kami, berusaha untuk memberikan
semangat padaku untuk tetap tegar walaupun sesekali mereka meledekku. Aku
bahagia dengan hidupku saat itu. Aku merasa hidup sendiri jauh lebih baik
bagiku sampai akhirnya ada kejadian mengejutkan di sekolah. Kami guru-guru
mendapatkan berita bahwa Koko bercerai dengan istrinya.
Perceraian tersebut sepertinya sangat berat bagi Koko karena
dia terlihat begitu terpukul dan kehilangan arah. Di sekolah, dia hanya berdiam
diri dan termenung. Dia tidak mengajar, dia tidak pernah bercanda lagi dengan
guru-guru, bahkan dia tidak berbincang dengan kami lagi. Dia terlihat sangat
tidak terawat dan menyedihkan. Aku tidak tega melihatnya. Bagaimana mungkin seseorang
yang dahulu begitu percaya diri dan keras bisa menjadi lemah tak berdaya
seperti itu.
Keadaan Koko mendapat perhatian dari para guru, termasuk
kepala sekolah. Setelah bermusyawarah, diputuskan bahwa beberapa guru perempuan
diharapkan untuk membantu Koko dengan cara mengurus makannya dan membantu
menyiapkan beberapa kebutuhannya. Guru perempuan dipilih karena perasaan
perempuan lebih halus dan lebih pandai mengurus orang. Aku adalah salah satu
guru wanita yang ditugaskan.
Kami para guru wanita berusaha keras untuk membantu Koko.
Kami juga berusaha untuk mengembalikan
semangat Koko. Setelah melakukan pendekatan, akhirnya aku dan guru lainnya bisa
membuat Koko kembali bersemangat. Ia kembali mengajar dan mulai kembali bergaul
seperti sebelumnya.
Setelah kejadian itu, aku dan Koko semakin dekat. Kami
saling menghibur satu sama lain. Aku mulai merasa bahwa dia menyukaiku dan rasa
empatiku padanya pun sepertinya berubah menjadi suka. Aku sendiri tidak
mengerti bagaimana ini terjadi, tetapi itulah kenyataannya. Selain itu, para
guru, termasuk kepala sekolah mendorong kami untuk segera jadian.
Ternyata Koko juga menyimpan perasaan padaku. Sekitar lima
bulan setelah perceraiannya, dia berkata padaku, “ Kelihatannya kita berdua
saling cocok. Gimana kalau kita membangun rumah tangga lagi? Neneng kan sudah
lama sendirinya. Mau nggak kalau kita menikah?” Aku menjadi galau mendengar
permintaannya, tetapi ada rasa bahagia di sudut hatiku. Tidak berapa lama, Koko
mengenalkanku pada ibu dan adiknya. Ibunya bercerita padaku tentang alasan
perceraian Koko dengan istrinya yang membuat aku mengerti mengapa dia begitu
terpukul.
Dengan segera aku menceritakan lamaran Koko pada ibuku. Di
luar dugaanku, ibuku justru kurang setuju jika aku menikahi Koko. Ibuku takut
jika suatu saat Koko akan kembali pada mantan istrinya. “Janganlah, biasanya
ada alasan anak, jadi dia menemui istrinya”, kata ibuku. “Tetapi gimana ya mah,
Jingga kan sudah lama menjanda. Nggak enak ternyata. Suka ada fitnah. Kalau ada suami kan
setidak-tidaknya bisa tenang”, kataku pada Ibu. Akhirnya ibuku tidak melarang,
ia mengembalikan semuanya padaku karena aku yang akan menjalaninya.
Sebenarnya aku merasa tidak nyaman dengan perkataan ibu,
tetapi entah mengapa aku tetap merasa yakin untuk menikahi Koko. Aku merasa
kebaikan hati Koko tidak dibuat-buat. Walaupun dia suka ceplas-ceplos tetapi
yang dikatakannya benar. Dia juga paling bisa membuat aku senang dengan cara
mengikuti berbagai macam kemauanku. Tidak seperti Toni yang egois. Selain itu,
kenyataan bahwa dia adalah duda dengan tiga anak justru membuat aku tenang
karena aku yakin bahwa dia tidak akan menuntut anak dariku. Aku tidak perlu
takut jika ternyata aku memang tidak diberi karunia untuk bisa mengandung
anakku sendiri.
Memang, menikah dengan Koko saat itu mungkin terlalu cepat
karena Koko baru saja bercerai. Namun, aku adalah seorang janda yang sudah
terlalu lama menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Aku juga menyadari bahwa sebagai
seorang janda, aku sudah tahu bagaimana rasanya berhubungan suami istri. Aku
takut jika aku terlalu lama berhubungan dengan Koko, aku tidak bisa
mengendalikan nafsu dan jatuh ke dalam jurang dosa. Selain itu, walaupun
hubungan asmara kami terbilang cukup singkat, aku sudah mengenal Koko sejak
lama sehingga aku merasa tidak perlu berpacaran lama. Lagipula, masa laluku
dengan Toni membuktikan bahwa berpacaran lama tidak menjadi jaminan sebuah
pernikahan akan berhasil.
Saat aku bertemu dengan keluarga Koko, dia mengatakan bahwa
aku adalah perempuan yang ingin dinikahinya. Orang tuanya menyambut baik
keinginan kami. Mereka justru ingin kami segera menikah. “Kalian itu sudah
dewasa, tidak baik kalau berlama-lama”, begitu kata ibunya. Saat aku
menceritakan pada orang tuanya tentang ketakutanku, mereka meyakinkanku bahwa
Koko tidak akan kembali kepada istrinya. Ibunya bahkan meminta Koko membuat
surat perjanjian bahwa dia tidak akan kembali pada istrinya demi meyakinkan
aku. Dengan adanya perjanjian tersebut dan dukungan penuh dari keluarga Koko,
akhirnya aku memantapkan diri untuk menikahi Koko. Tapi aku juga berkata pada
keluarganya, “Kalau misalnya Mas memang mau kembali pada istrinya, saya tidak
apa-apa kok jika berpisah”.
Selain dukungan dari keluarga Koko, secara mengejutkan aku
juga mendapat dukungan dari keluarga besarku. Sebenarnya, menikahi orang Jawa
tidak diperkenankan di keluargaku. Menurut mereka orang Jawa itu keras sehingga
akan membawa banyak masalah bagi kami. Namun, saat bertemu dengan Koko yang
lemah lembut, sopan santun, dan bisa berbahasa Sunda dengan baik, mereka
menjadi suka dengan Koko.
Tapi, dunia memang sangat mengejutkan. Disaat aku sudah
mantap dengan keputusanku, tiba-tiba ada kejadian yang membuat hatiku menjadi
galau. Tanto teman kuliahku yang dahulu
begitu sakit hati mendengar berita pertunanganku datang menemuiku di rumah. Dia
bercerita bahwa dia sudah bercerai dengan istrinya yang menghianatinya. Saat
mendengar bahwa aku sudah bercerai dengan Toni, dia jadi memiliki harapan lagi
untuk bisa bersatu denganku. Belum sempat aku menjawab, Koko datang.
Dengan berat hati, aku memperkenalkan Koko
sebagai calon suamiku pada Tanto. Terlihat sekali kekecewaan di mata Tanto, tetapi dia berjiwa
tegar. Dia justru mengobrol banyak dengan Koko. Mereka cepat akrab karena
keduanya adalah orang Jawa. Saat akan pulang, Tanto berkata, “Kamu bener pilih dia,
orangnya baik”.
Walaupun ada berbagai kejadian yang mengusik hati, pada
akhirnya aku mendapatkan kemantapan hati yang sudah tidak tergoyahkan. Di akhir
bulan Desember, aku menikah dengan Koko, tiga setengah tahun setelah perceraian
aku dan enam bulan setelah perceraian Koko.
____________________________________________________________________