Sabtu, 22 November 2014

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab II



Sedetik setelah Toni melangkah pergi, tangisku jatuh tertumpah tanpa bisa ku tahan. Ketegaranku dihadapan Toni tadi hanyalah sebuah bentuk pertahanan untuk menjaga harga diriku supaya tidak hancur karena hanya harga diri yang kupunya saat ini. Aku menangis tersedu-sedu tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Yang ada hanya rasa sakit dalam hati yang hancur berkeping-keping. Teganya dia padaku.

Dalam tangisku, muncul banyak pertanyaan dalam kepalaku. Mengapa ini terjadi? Aku sudah merelakan pendidikanku untuk dihentikan sementara agar dia bisa menyelesaikan kuliahnya. Aku sudah rela kehilangan kehidupan sosialku dengan lebih banyak berdiam diri di rumah sesuai keinginannya. Aku sudah berusaha keras menjadi istri terbaik dengan mengurus semua kebutuhan rumah dan juga kebutuhannya. Namun apa yang kudapatkan saat ini? Bukannya kasih sayang dan pujian yang kudapatkan dari usaha kerasku itu, tapi aku dicampakkan seperti sampah. Tanpa pemberitahuan. Tanpa mediasi. Tanpa sidang. Aku menerima surat talak dari suamiku disaat aku baru saja kehilangan salah satu orang paling penting dalam hidupku.

Setelah aku selesai menumpahkan kesedihanku, aku berdiri untuk mengambil wudhu dan sholat. Aku tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, tidak ada yang bisa menolongku selain Tuhan pencipta alam yang maha pengasih dan maha penyayang. Aku memohon ampun pada Allah karena diberi cobaan seperti ini. Jika ini adalah sebuah hukuman, berarti aku telah melakukan kesalahan dalam berumah tangga. Aku memohon pada Allah untuk diberi kekuatan dan pikiran yang terang untuk bisa melanjutkan hidup tanpa Toni.

Selang berapa lama, ibuku datang bersama adik-adikku. Nenek sepupuku yang ternyata mendengarkan pembicaraan aku dengan Toni menceritakan apa yang terjadi pada ibuku. Tentu saja ibuku begitu terkejut mendengar ceritanya. Ibuku tidak bisa percaya bahwa aku telah dicerai oleh suamiku dan amarahnya pun meledak. “Kurang ajar. Anakku diperlakukan seperti itu. Tidak ingat ya waktu dia pengennya. Tidak ingat ya bagaimana perlakuan dia sama istrinya, anakku diam saja, sabar saja”, kata ibuku dengan suara keras.

Ibuku segera menuju kamarku dan memintaku untuk keluar. Namun, aku yang masih begitu sedih tidak memiliki tenaga untuk beranjak. Karena pintu tidak dikunci, ibuku membuka pintu dan langsung memelukku sambil menangis. “Sabar ya Neng, sabar,” ucap ibuku berulang kali. Aku yang tidak tega melihat tangis ibuku, berusaha untuk tegar dan menenangkannya. Walaupun aku begitu hancur, aku berusaha untuk terlihat kuat dihadapan ibuku saat itu.

Namun, seberapapun aku berusaha untuk tegar, aku tetaplah seorang wanita biasa yang memiliki hati rapuh. Hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan merenungi nasibku. Aku mengurung diri di kamar dan hanya keluar untuk ke kamar mandi, wudhu, dan makan. Aku seperti gila saat itu. Bukan karena kehilangan dia, tapi aku gila karena tidak percaya dengan keadaanku saat itu. Aku harus hidup sendiri sedangkan pendidikanku belum selesai. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan ilmu yang kudapat selama ini. Aku hanya bingung dan bingung setiap hari dengan terus mencurahkan isi hati pada Allah. Hal ini terjadi selama hampir satu bulan.

Setelah mengalami hari-hari yang sangat membingungkan, aku akhirnya mulai bisa menenangkan diri dan ikhlas menerima perceraian ini. Aku mulai keluar kamar untuk berbincang dengan ibuku. Namun, aku masih belum bisa berbuat banyak sampai ada kejadian yang akhirnya menyadarkanku dari kesalahanku.

Hari itu, aku sedang berada di dalam kamar. Adik perempuanku yang bernama Upi pulang sekolah sambil berteriak senang. “Mamah Mamah, Upi mau piknik ke Bandung. Mau ke kebun binatang. Itu pelajaran lho mah. Pelajaran ilmu hayat untuk dicatet”, kata Upi. “Ya”, ibuku menjawab. “Boleh ya Mah?” Upi bertanya. “Ya”, kata ibuku lagi. “Tapi Mah harus bawa uang 2500 lho mah”, Upi menjelaskan. “Aduh, kalau bawa uang 2500 Mamah nggak ada uang. Dari mana ya? Mamah belum gajian”, kata ibuku. “Wah gimana Mah? Kan itu tuh untuk ongkos masuk sama ongkos mobil”, Upi mendesak. “Yah nanti-nanti ya”, jawab ibuku.

Tak berapa lama, Ali juga datang sambil berteriak. “Mah Mah, Ali mau kemah pramuka. Kemahnya sekabupaten lho ini”, kata Ali. “Ya syukur”, kata ibuku. “Biayanya 2500 Mah”, Ali menambahkan.”Ya nanti”, kata ibuku menghindar. “Boleh kan Mah?”, Ali memohon. “Aduh Upi 2500, Ali 2500”, ibuku mengeluh. “Tapi Ali cuma itu doang kok Mah, anak perempuan yang bawa beras, anak laki-laki mah nggak harus bawa beras”, kata Ali membela diri. “Iya, tapi Mamah teh lagi nggak punya uang”, ibuku menjelaskan.

Kedua adikku terus saja mendesak Ibu untuk mengabulkan permintaan mereka. “Nurunin kelapa aja atuh Mah”, kata Ali. “Aduh baru aja kemaren nurunin kelapa”, jawab ibuku. “Jual padi aja atuh”, kata Upi. “Yeh padi mah untuk makan”, ibuku kembali menolak. “Mah ceceu mah, ceceu pasti punya uang”, kata Ali. “Eh, tau nggak, ceceu kamu teh lagi sakit. Untung nggak gila ceceu kamu teh. Mamah mana berani minta sama ceceu”, kata ibuku.

Mendengar kata-kata ibuku, aku jadi tersentak. Astagfirullaaaaaah. Apa yang telah aku lakukan selama ini? Mengapa aku menjadi tidak berguna seperti ini? Bukankah aku sudah berjanji pada Ayah untuk membantu ibu menyekolahkan adik-adik? Mengapa aku tidak ingat pada tanggung jawab yang sudah dibebankan di pundakku? Aku telah mengecewakan Ayah dan aku sudah menambah penderitaan ibu.

Sebuah kekuatan muncul dalam diriku. Akupun segera keluar kamar. “Ada apa ini?” tanyaku. Adik-adikku langsung menyambut aku dan menceritakan yang terjadi dengan penuh semangat. “Boleh ya ceu?” mereka memohon. “Iya boleh,” kataku pada mereka yang langsung berteriak senang. “Tuh kan Mah, kalau minta ceceu pasti ada”, kata mereka. Hatiku terharu melihat kegembiraan mereka. Dengan lembut, aku meminta mereka untuk berganti pakaian, makan, dan kemudian mereka bisa bermain.

Setelah berpikir beberapa saat, aku berbicara pada ibuku. Aku memberikan beberapa perhiasanku dan meminta ibu untuk menjualnya agar kami bisa membiayai kebutuhan adik-adik. Awalnya ibuku menolak dan mengatakan bahwa aku tidak perlu melakukan itu hanya untuk membiayai wisata dan kemah. Namun aku memaksa karena aku sudah berjanji. Akupun menjelaskan pada ibu bahwa uang hasil penjualan perhiasan itu juga akan aku pergunakan untuk biaya ke Bandung supaya aku bisa mencari pekerjaan. Ibuku akhirnya menyetujui permintaanku.

Aku berjanji pada Ibu untuk menyekolahkan adik-adik di SMA agar ibuku bisa fokus menyekolahkan adik-adik sampai SMP. Sebenarnya aku masih bingung apa yang harus kulakukan, tetapi aku menguatkan hati dan tekad. “Bismillah Mah”, kataku pada Ibu. “Ya syukurlah kalau Jingga berpikir begitu, tidak usah dipikirin laki-laki mah”, kata ibuku.

Dengan uang sisa hasil penjualan perhiasan, aku pergi ke Bandung. Aku mengontrak rumah dibelakang kos Bunga. Aku meminta Bunga dan Juna untuk tinggal bersamaku. Disaat aku akan mencari pekerjaan, aku kembali bingung. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku. Selain itu, aku juga masih dihantui oleh perasaan sedih karena perceraian yang tidak jua hilang. Aku kembali gamang dengan hidup dan banyak merenung. Aku bahkan menjadi perokok. Dalam sehari, aku bisa menghabiskan berbatang-batang rokok.

Aku cukup beruntung karena masih ada masa disaat aku sadar bahwa aku tidak boleh terus menyiksa diri dan mengambil langkah untuk memperbaiki hidup aku dan keluarga. Akupun memutuskan untuk pergi ke kampus dan mencari informasi tentang pekerjaan yang bisa aku lakukan. Alhamdulillah, aku mendapatkan informasi yang kubutuhkan dan akupun melamar pekerjaan di pabrik sebagai staff laboratorium. Alhamdulillah, aku mendapatkan pekerjaan dengan honor yang lumayan untuk seorang pemula sepertiku.

Bekerja di pabrik ternyata tidak menyenangkan. Walaupun aku bekerja di laboratorium yang notabene tidak banyak masalah, aku tidak kuat menghadapi situasi pabrik yang ternyata sangat keras. Aku sering mendengar para pegawai dimarahi dengan kata-kata yang tidak pantas. Aku juga sering mendengar para pegawai berbicara dengan kata-kata yang kasar. Karena hatiku yang masih rapuh, aku tidak kuat dan sering ikut sakit hati saat mendengar kata-kata keras dan kasar itu. Karena tidak kerasan, akupun berhenti dan pindah kerja di pabrik lain. Situasi di tempat kerjaku yang baru ternyata tidak jauh beda dengan sebelumnya sehingga akupun memutuskan untuk keluar.

Setelah gagal bekerja di pabrik, aku kembali ke kampus untuk mencari informasi pekerjaan yang lain. Disana aku bertemu dengan kakak kelas yang juga saudara jauh dari Toni. Kakak kelasku itu bekerja di sekolah tinggi swasta dan mengajakku untuk mengajar di sana. Karena dia masih saudara jauh dari Toni, aku menolak ajakan itu. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Toni sehingga berusaha menjaga jarak sejauh mungkin, termasuk menjaga jarak dari siapa saja yang berhubungan dengan Toni. Untung saja kakak kelasku itu mengerti dan tidak terus memaksaku.

Disaat aku sedang duduk termenung di kampus, datanglah kakak kelasku lainnya yang bernama Ovi. Dia menanyakan kabarku dan akupun menceritakan padanya jika aku sedang mencari pekerjaan karena harus mengurus keluargaku. Mendengar ceritaku, Kak Ovi merasa simpati. Dia memberitahukan aku bahwa ada lowongan di sebuah sekolah kejuruan. Lowongan yang tersedia adalah sebagai guru praktikum di bidang kimia tekstil. Aku tertarik dengan lowongan itu dan berkata pada Kak Ovi bahwa aku akan melamar.

Setelah mempersiapkan semua kebutuhan, akupun melamar ke sekolah tersebut. Aku sangat beruntung karena tanpa proses yang berbelit, aku diterima untuk mengajar di sekolah tersebut. Sekolah tersebut adalah sekolah yang baru dua tahun beroperasi sehingga membutuhkan tenaga-tenaga baru untuk mengembangkan sekolah tersebut.

Hari pertama mengajar adalah hari yang cukup berat. Walaupun aku akan mengajar di bidang yang aku kuasai, tetapi aku belum pernah mengajar sebelumnya sehingga aku merasa tidak percaya diri. Aku begitu gugup saat akan berangkat, tetapi aku menguatkan diri dan melangkahkan kaki dengan keyakinan diri.

Namun, cobaan pertama ternyata bukan datang dari murid-murid yang aku hadapi, tetapi dari salah seorang guru. Saat itu aku sedang berkenalan dengan staff  tata usaha sekolah. Tiba-tiba ada seorang guru laki-laki yang mendekat. Staff tata usaha yang ada didepanku langsung memperkenalkan aku sebagai guru baru kepada guru di bidang kimia industri yang bernama Koko itu. Bukannya ucapan selamat bergabung yang kudapatkan, tetapi sindiran sinis yang keluar dari mulutnya. “Memangnya dia bisa ngajar apa? “, katanya sambil melirik ke arahku. ”Kelihatannya tidak meyakinkan”, tambahnya. Mendengar ucapannya, aku merasa tersinggung. Akupun berjanji pada diriku sendiri untuk bekerja keras dan membuktikan padanya bahwa aku mampu.

Bekerja sebagai guru ternyata sangat membahagiakan. Pekerjaan aku dihargai dengan baik, bahkan aku diberi kesempatan untuk mengajar di kelas. Di sekolah, aku juga mendapat ketentraman karena semua orang saling menghormati satu sama lain. Memang aku masih perang dingin dengan guru bernama Koko. Berbulan-bulan aku pelit bicara dengannya. Namun, selain masalah dengannya, aku sangat bahagia bekerja di sekolah.

Sekitar enam bulan setelah aku bekerja sebagai guru, tiba-tiba ada kejutan. Toni datang menemuiku. “Akang pengen kita kembali lagi”, kata-kata mengejutkan itu keluar dari mulutnya. Dia menggunakan berbagai kata-kata manis bahwa dia akan berubah dan ingin memulai semuanya dari awal. Yang lebih mengejutkan lagi, dia mengajakku untuk melihat rumah yang telah dibelinya untuk kami tinggali jika kami telah menikah nanti. “Biar kita tidak diganggu keluarga,” begitu katanya.

Aku merasakan kegalauan yang luar biasa dengan permintaannya untuk kembali menikah. Aku merasa takut, tetapi disudut hatiku, aku merasa senang dengan semua janji yang diberikannya. Cintaku padanya masih besar dan aku berharap bahwa kali ini kami akan sanggup membina rumah tangga yang kuat dan langgeng sampai akhir hayat.

Karena aku masih sangat trauma dengan perlakuan ibunya padaku, aku memberikan syarat padanya. “Yang membuat kita cerai kan Mimih. Kita tidak ada apa-apa, kita baik-baik saja, tetapi Mimih meminta kita cerai. Jadi eneng maunya Mimih datang langsung dan memberikan restu pada eneng untuk kembali sama Kang Otong,” begitu kataku. Toni terkejut dengan permintaanku, tetapi dia berusaha untuk memenuhinya. “Iya, nanti Akang usahakan”, katanya.

Harapan besar kembali muncul dalam hatiku. Namun, harapan itu sedikit-demi sedikit mulai terkikis. Dua bulan aku menunggu tanpa ada sedikitpun kabar dari Toni. Dengan kegelisahan dalam dada, aku berusaha menjalani hidup seperti biasa. Aku berusaha lebih memfokuskan diri pada pekerjaanku karena mencari uang adalah tujuan utamaku saat itu demi ibu dan adik-adikku.

Pada suatu hari, aku berkunjung ke rumah Kang Hari. Nia, istri Kang Hari adalah sahabatku dan dia sedang mengandung. Ketika aku sedang berbincang dengan Nia di dalam kamar, tiba-tiba ada tamu datang. Ternyata tamu tersebut adalah Toni. Yang sangat mengejutkan, Toni tidak datang sendiri. Dia bersama seorang wanita. “Kenalin, ini bojoku yang baru”, aku mendengar perkataan Toni pada Kang Hari.

Aku kembali hancur mendengar kata-kata Toni. Bagaimana mungkin Toni kembali menyakitiku? Aku terpuruk, tetapi Nia meyakinkan aku bahwa aku harus menemui Toni. Nia bilang aku harus terlihat tegar dan kuat untuk menunjukkan pada Toni bahwa aku bukanlah perempuan yang bisa dipermainkan.

Aku melakukan apa yang diminta Nia dan menemui Toni dengan kepala tegak. “Eh ternyata ada Neng Jingga”, kata Toni yang terkejut melihatku. “Iya kebetulan sedang main ke sini”, jawabku. “Oh, kenalin istri aku yang sekarang”, kata Toni. “Oh sudah nikah, dikirain teh, ditunggu-tunggu beritanya”, kataku. “Iya, kebetulan ketemu sama dia”, jawabnya. Aku memperkenalkan diri sebagai teman Toni dan Kang Hari. Tidak ingin berlama-lama aku kembali ke kamar dengan alasan menemani Nia yang sedang sakit.

Pengalaman menyakitkan dengan Toni membuat aku tidak percaya terhadap laki-laki. Yang lebih menyakitkan lagi, belum sampai setahun Toni menikah, aku mendapatkan kabar bahwa dia dan istrinya telah memiliki anak. Jika dia bisa memiliki anak, berarti aku yang memiliki masalah. Hatiku begitu hancur dan menjadi tidak percaya diri bahwa akulah yang tidak bisa memiliki anak.

Lebih dari satu tahun aku hanya menyibukkan diri dengan pekerjaan tanpa memikirkan laki-laki. Aku hanya fokus pada pekerjaanku dan mencoba berhubungan baik dengan orang-orang disekitarku. Bahkan aku mulai melunak kepada Koko karena beberapa guru menasihatiku untuk tidak terus membencinya. Menurut beberapa guru, Koko memang sering bergaya dan sok saat bertemu guru baru, tetapi aslinya dia orang baik.

Berdamai dengan diri sendiri dan tidak pernah memikirkan Toni lagi ternyata tidak cukup untuk menghapus Toni dalam hidupku. Pada suatu hari, datanglah adik Toni menemuiku. Dia menceritakan keadaaan Toni yang sudah bercerai dan ditipu oleh istrinya. Adiknya memintaku untuk mengasihani Toni dan kembali padanya. Terang saja aku menolak. Sudah berkali-kali dia menyakitiku dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Aku tidak menyesal dengan keputusanku dan kembali fokus pada pekerjaan. Setelah dua tahun mengajar, murid kami semakin banyak. Dewan sekolah memutuskan untuk mengangkat dua orang wakil kepala sekolah untuk membantu kepala sekolah yang mulai kesulitan dalam mengurus berbagai macam masalah. Yang terpilih adalah aku dan Koko.

Dengan adanya tugas baru, mau tidak mau aku harus sering berhubungan dengan Koko. Setelah mengenalnya lebih jauh, ternyata, Koko tidaklah jahat. Dia hanyalah seseorang yang senang ceplas ceplos dan jika bercanda suka kelewatan. Setelah aku lebih mengenal pribadinya, aku mengetahui bahwa dia adalah tipe lelaki penyayang, terutama terhadap keluarganya. Aku juga pernah bertemu dengan istrinya beberapa kali dan terlihat jelas bahwa Koko menyayangi istrinya itu.

Setelah melalui masa yang cukup tenang, ada kakak kelas semasa aku kuliah yang datang untuk melamar sebagai tenaga honorer di sekolah tempatku mengajar. Namanya Dede. Karena sekolah kami memang membutuhkan tenaga, dia diterima untuk mengajar. Dengan adanya dia, akupun teringat masa lalu. Dahulu aku pernah punya hati untuknya karena dia ganteng, tinggi, dan mempesona. Kenangan masa lalu membuat aku dekat dengannya dan kami pun memulai masa pendekatan.

Namun, belum sampai kami jadian, aku mendapatkan kabar yang menyakitkan bahwa ternyata dia sudah dijodohkan dengan anak bosnya. Saat aku menanyakan masalah itu dengannya, dia membenarkan hal tersebut tetapi dia menyakinkan aku bahwa dia hanya mencintaiku. Aku tidak bisa menerima penjelasannya dan memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya. Tidak mungkin bagiku untuk mengambil resiko. Lagipula aku tidak melihat ada keyakinan dalam dirinya bahwa dia akan mampu menolak perjodohan itu.

Kembali disakiti oleh laki-laki, aku menjadi berhenti berharap pada laki-laki. Namun, statusku sebagai janda muda terus menggangguku. Banyak kudengar perkataan miring tentangku. Bahkan aku pernah di panggil oleh Pak RW karena warga mengira aku adalah perempuan nakal. Warga melapor bahwa mereka sering melihat beberapa pemuda datang mengunjungiku. Padahal, pemuda-pemuda itu adalah murid-muridku yang datang untuk meminta bimbingan belajar.

Tidak ingin terus menjadi bahan pembicaraan dan difitnah, aku berusaha untuk kembali membuka hatiku. Saat itu ada guru olahraga yang mengatakan bahwa telah lama dia suka padaku. Namanya Cipto. Sebenarnya aku tidak yakin untuk menerimanya karena dia masih perjaka, tetapi melihat kesungguhan dan kebaikannya, aku sulit untuk menolak.

Hubunganku dengan Cipto berjalan baik. Kami juga mendapat dukungan dari orang-orang disekitar kami, termasuk guru-guru di sekolah. Bahkan, Koko yang selama ini suka mengejekku justru sangat mendukung, Beberapa kali Koko membelikan tiket nonton untuk kami.

Sayangnya, hubunganku dengan Cipto juga tidak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah kami berhubungan, Cipto dikirim ke luar negeri untuk  menemani tim olahraga yang mendapatkan kesempatan untuk pertukaran pelajar. Sebelum Cipto pergi, dia mengatakan padaku bahwa hubungan jarak jauh tentunya akan sulit untuk kami hadapi. Oleh karena itu, dia meminta agar kami menjalani hidup masing-masing. Jika kami berjodoh, tentunya kami akan mendapatkan jalan untuk bersama, tetapi jika tidak, maka kami tidak perlu merasa berat jika ada jalan lain yang lebih baik untuk diri masing-masing.

Setelah kegagalan dengan Cipto, aku kembali menikmati kesendirianku. Guru-guru yang mengetahui kegagalan hubungan kami, berusaha untuk memberikan semangat padaku untuk tetap tegar walaupun sesekali mereka meledekku. Aku bahagia dengan hidupku saat itu. Aku merasa hidup sendiri jauh lebih baik bagiku sampai akhirnya ada kejadian mengejutkan di sekolah. Kami guru-guru mendapatkan berita bahwa Koko bercerai dengan istrinya.

Perceraian tersebut sepertinya sangat berat bagi Koko karena dia terlihat begitu terpukul dan kehilangan arah. Di sekolah, dia hanya berdiam diri dan termenung. Dia tidak mengajar, dia tidak pernah bercanda lagi dengan guru-guru, bahkan dia tidak berbincang dengan kami lagi. Dia terlihat sangat tidak terawat dan menyedihkan. Aku tidak tega melihatnya. Bagaimana mungkin seseorang yang dahulu begitu percaya diri dan keras bisa menjadi lemah tak berdaya seperti itu.

Keadaan Koko mendapat perhatian dari para guru, termasuk kepala sekolah. Setelah bermusyawarah, diputuskan bahwa beberapa guru perempuan diharapkan untuk membantu Koko dengan cara mengurus makannya dan membantu menyiapkan beberapa kebutuhannya. Guru perempuan dipilih karena perasaan perempuan lebih halus dan lebih pandai mengurus orang. Aku adalah salah satu guru wanita yang ditugaskan.

Kami para guru wanita berusaha keras untuk membantu Koko. Kami  juga berusaha untuk mengembalikan semangat Koko. Setelah melakukan pendekatan, akhirnya aku dan guru lainnya bisa membuat Koko kembali bersemangat. Ia kembali mengajar dan mulai kembali bergaul seperti sebelumnya.

Setelah kejadian itu, aku dan Koko semakin dekat. Kami saling menghibur satu sama lain. Aku mulai merasa bahwa dia menyukaiku dan rasa empatiku padanya pun sepertinya berubah menjadi suka. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana ini terjadi, tetapi itulah kenyataannya. Selain itu, para guru, termasuk kepala sekolah mendorong kami untuk segera jadian.

Ternyata Koko juga menyimpan perasaan padaku. Sekitar lima bulan setelah perceraiannya, dia berkata padaku, “ Kelihatannya kita berdua saling cocok. Gimana kalau kita membangun rumah tangga lagi? Neneng kan sudah lama sendirinya. Mau nggak kalau kita menikah?” Aku menjadi galau mendengar permintaannya, tetapi ada rasa bahagia di sudut hatiku. Tidak berapa lama, Koko mengenalkanku pada ibu dan adiknya. Ibunya bercerita padaku tentang alasan perceraian Koko dengan istrinya yang membuat aku mengerti mengapa dia begitu terpukul.

Dengan segera aku menceritakan lamaran Koko pada ibuku. Di luar dugaanku, ibuku justru kurang setuju jika aku menikahi Koko. Ibuku takut jika suatu saat Koko akan kembali pada mantan istrinya. “Janganlah, biasanya ada alasan anak, jadi dia menemui istrinya”, kata ibuku. “Tetapi gimana ya mah, Jingga kan sudah lama menjanda. Nggak enak ternyata.  Suka ada fitnah. Kalau ada suami kan setidak-tidaknya bisa tenang”, kataku pada Ibu. Akhirnya ibuku tidak melarang, ia mengembalikan semuanya padaku karena aku yang akan menjalaninya.

Sebenarnya aku merasa tidak nyaman dengan perkataan ibu, tetapi entah mengapa aku tetap merasa yakin untuk menikahi Koko. Aku merasa kebaikan hati Koko tidak dibuat-buat. Walaupun dia suka ceplas-ceplos tetapi yang dikatakannya benar. Dia juga paling bisa membuat aku senang dengan cara mengikuti berbagai macam kemauanku. Tidak seperti Toni yang egois. Selain itu, kenyataan bahwa dia adalah duda dengan tiga anak justru membuat aku tenang karena aku yakin bahwa dia tidak akan menuntut anak dariku. Aku tidak perlu takut jika ternyata aku memang tidak diberi karunia untuk bisa mengandung anakku sendiri.

Memang, menikah dengan Koko saat itu mungkin terlalu cepat karena Koko baru saja bercerai. Namun, aku adalah seorang janda yang sudah terlalu lama menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Aku juga menyadari bahwa sebagai seorang janda, aku sudah tahu bagaimana rasanya berhubungan suami istri. Aku takut jika aku terlalu lama berhubungan dengan Koko, aku tidak bisa mengendalikan nafsu dan jatuh ke dalam jurang dosa. Selain itu, walaupun hubungan asmara kami terbilang cukup singkat, aku sudah mengenal Koko sejak lama sehingga aku merasa tidak perlu berpacaran lama. Lagipula, masa laluku dengan Toni membuktikan bahwa berpacaran lama tidak menjadi jaminan sebuah pernikahan akan berhasil.

Saat aku bertemu dengan keluarga Koko, dia mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang ingin dinikahinya. Orang tuanya menyambut baik keinginan kami. Mereka justru ingin kami segera menikah. “Kalian itu sudah dewasa, tidak baik kalau berlama-lama”, begitu kata ibunya. Saat aku menceritakan pada orang tuanya tentang ketakutanku, mereka meyakinkanku bahwa Koko tidak akan kembali kepada istrinya. Ibunya bahkan meminta Koko membuat surat perjanjian bahwa dia tidak akan kembali pada istrinya demi meyakinkan aku. Dengan adanya perjanjian tersebut dan dukungan penuh dari keluarga Koko, akhirnya aku memantapkan diri untuk menikahi Koko. Tapi aku juga berkata pada keluarganya, “Kalau misalnya Mas memang mau kembali pada istrinya, saya tidak apa-apa kok jika berpisah”.

Selain dukungan dari keluarga Koko, secara mengejutkan aku juga mendapat dukungan dari keluarga besarku. Sebenarnya, menikahi orang Jawa tidak diperkenankan di keluargaku. Menurut mereka orang Jawa itu keras sehingga akan membawa banyak masalah bagi kami. Namun, saat bertemu dengan Koko yang lemah lembut, sopan santun, dan bisa berbahasa Sunda dengan baik, mereka menjadi suka dengan Koko.

Tapi, dunia memang sangat mengejutkan. Disaat aku sudah mantap dengan keputusanku, tiba-tiba ada kejadian yang membuat hatiku menjadi galau. Tanto teman kuliahku  yang dahulu begitu sakit hati mendengar berita pertunanganku datang menemuiku di rumah. Dia bercerita bahwa dia sudah bercerai dengan istrinya yang menghianatinya. Saat mendengar bahwa aku sudah bercerai dengan Toni, dia jadi memiliki harapan lagi untuk bisa bersatu denganku. Belum sempat aku menjawab, Koko datang. Dengan  berat hati, aku memperkenalkan Koko sebagai calon suamiku pada Tanto. Terlihat sekali kekecewaan di mata Tanto, tetapi dia berjiwa tegar. Dia justru mengobrol banyak dengan Koko. Mereka cepat akrab karena keduanya adalah orang Jawa. Saat akan pulang, Tanto berkata, “Kamu bener pilih dia, orangnya baik”.

Walaupun ada berbagai kejadian yang mengusik hati, pada akhirnya aku mendapatkan kemantapan hati yang sudah tidak tergoyahkan. Di akhir bulan Desember, aku menikah dengan Koko, tiga setengah tahun setelah perceraian aku dan enam bulan setelah perceraian Koko. 

____________________________________________________________________