Bab I
Wafa menghentikan
mobilnya di ujung jalan dan memperhatikan rumah besar yang berada beberapa
meter di depannya. Amarahnya begitu hebat setelah melihat berita di infotaiment
tentang suaminya yang telah selingkuh dengan seorang model. Infotainment itu
juga mengupas tingkah laku Kagendra Mahawirya, seorang pengusaha muda yang
senang bergonta ganti istri siri.
Wafa teringat
enam tahun yang lalu saat dia sudah tidak memiliki pilihan lagi selain menikah
dengan Endra. Saat itu keluarganya benar-benar di ujung tanduk. Hutang 50 juta
untuk membiayai pernikahan kakaknya yang menginginkan pesta pernikahan besar
menggunung menjadi dua kali lipat karena rentenir yang meminjamkan uang
memberikan bunga yang tidak masuk akal.
Wafa teringat
betapa bingungnya dia sampai-sampai dia mengucapkan doa yang akhirnya mengubah
jalan hidupnya. Sebenarnya saat itu dia merasa bahwa penawaran Endra tidak
masuk akal. Tapi saat dia bercerita pada ibunya, justru sang ibu mendorongnya
untuk menerima penawaran tersebut.
“Dia mau nikahi kamu secara sah. Berarti tidak
dosa kan? Justru kamu beruntung dapet suami kaya seperti itu.” Begitulah yang dikatakan ibunya.
Waktu itu Wafa
sedikit takut jika Endra hanya mengerjainya. Tetapi saat Endra datang bersama
pengacaranya dengan emas batangan yang dia janjikan, Wafa merasa sedikit
bahagia karena akhirnya dia bisa membantu keluarganya mengatasi masalah
keuangan mereka.
Yang menjadi
masalah adalah surat perjanjian pra-nikah yang membuatnya merasa menjadi wanita
murahan. Dia tidak tahu harus bahagia atau menangis. Tapi setidaknya dia tidak
melacur. Bahkan Endra tidak pernah menyentuhnya sampai sekarang.
Kenyataan bahwa Endra tidak pernah menyentuhnyalah yang
membuat Wafa begitu kesal dan tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi pada
dirinya. Awalnya dia mengira bahwa Endra
adalah gay. Tetapi hal itu terpatahkan saat dia mendengar berita tentang
pernikahan-pernikahan siri
suaminya.
Mengapa Endra mau
berhubungan dengan banyak wanita, tetapi istri sahnya justru dia tinggalkan
begitu saja sebelum malam pertama?
Seburuk itukah
dia di hadapan suaminya?
Serendah itukah
dirinya?
Pertanyaan itu
selalu memenuhi pikiran Wafa.
Endra memang
selalu menafkahinya. Uang yang dikirimkannya tidak pernah sedikit. Bahkan dia
membelikan rumah dan mobil. Tetapi semua itu diberikan melalui pengacaranya
karena Endra tidak pernah menemuinya lagi semenjak akad nikah.
Sebenarnya dia
tidak terlalu merasa ada
masalah jika suaminya tidak mau menemuinya karena hidup Wafa berubah 180 derajat setelah menikahi seorang pengusaha muda yang
kaya raya. Akhirnya Wafa menyelesaikan kuliahnya dan mendirikan butiknya
sendiri. Dia kini hidup di lingkungan high-class dengan kehormatan sebagai
desainer muda baru yang cukup diperhitungkan. Dia pun memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang dia inginkan.
Tetapi sebagai
seorang wanita, dia tidak terima dengan perlakuan suaminya yang senang
bergonta-ganti wanita. Walaupun dia
tahu bahwa hal itu adalah konsekuensi yang harus dia terima setelah
menandatangani surat perjanjian pra-nikah yang menyatakan bahwa dia harus
mengijinkan suaminya untuk poligami.
Wafa terbangun
dari lamunan saat handphonenya berbunyi.
“Halo.. iya aku
udah di ujung jalan nih. Kamu dimana?”
Sebuah mobil
kecil bermerek Eropa berhenti
di depan mobil Wafa. Dari dalamnya keluar seorang wanita muda yang begitu
cantik. Wanita itu berjalan ke arah jendela depan mobil Wafa.
“Kamu udah siap
Fa? Kamu yakin mau ngelakuin ini? Kalau Mas Endra ngenalin kamu gimana?” Kesara
memberikan pertanyaan bertubi-tubi pada Wafa.
“Aku yakin Ra.
Kalau Mas Endra kenalin aku ya udah. Game Over”
“Ya udah. Kamu
ikutin aku ya.” Kesara kembali ke mobilnya dan memajukan mobil ke rumah Endra.
Wafa mengikuti dari belakang dan memarkir mobilnya tepat dibelakang mobil
Kesara.
Wafa keluar dan
menutup pintu mobilnya. Dia berjalan kearah Kesara yang telah menunggunya.
“Wow”
Kesara takjub
melihat penampilan Wafa. Dress mini hitam super ketat dengan aksen rantai perak
memperlihatkan bentuk tubuh Wafa yang luar biasa seksi. Stiletto hitam melengkapi gaya seksi yang ingin
ditampilkan oleh Wafa walaupun terlihat jelas bahwa Wafa tidak nyaman dengan
pakaiannya. Riasan yang digunakan Wafa juga tidak kalah menakjubkan
dengan bibir merah merekah dan smokey eyes yang dilengkapi bulu mata palsu
tebal.
“Aku kelihatan
aneh ga sih? Lebay nggak sih bajunya?” Wafa tidak pernah memakai baju seketat
itu sebelumnya.
“Kalau kamu nggak
pede kenapa maksa?” Kesara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kakak
iparnya yang terlihat kikuk.
“Kalau nggak
gini, nanti kakak kamu nggak tertarik sama aku.”
Kesara berusaha
menahan tawa walaupun sulit. “Yo masuk.”
Keduanya memasuki
rumah besar yang begitu mewah tetapi terasa begitu kosong tanpa tanda-tanda kehidupan.
“Kamu tunggu
disini dulu ya. Nanti aku bawa Mas ke sini biar ketemu kamu. Siap-siap ya” Kesara
meninggalkan Wafa di ruang tamu.
Disudut lain
rumah itu, Endra sedang duduk sambil memencet remote TV tanpa henti. Dia tidak
percaya betapa banyaknya siaran infotainment di TV. Dia lebih tidak percaya
lagi bahwa dia menjadi bahan pembicaraan di semua infotainment.
Entah mengapa ia
menjadi teringat kejadian enam tahun lalu.
“Ini maksudnya apa Pak?“ Endra masuk ke ruangan
ayahnya tanpa mengetuk dan melempar surat yang dipegangnya ke atas meja dengan
marah.
Wirasena Karkasa, seorang pengusaha sukses yang
memiliki sebuah grup usaha besar dengan 4 anak perusahaan di berbagai bidang
berbeda mengambil surat yang baru saja dilempar Endra. Diperhatikannya sebentar
surat itu.
“Surat itu ditulis dengan huruf latin dalam bahasa
Indonesia. Bapak rasa kamu tidak akan kesulitan untuk membacanya.” Pak
Wira menjawab dengan sangat santai.
“Bapak tau pasti bukan itu yang Endra maksud.”
“Lalu masalahnya apa?” Pak Wira
menghela nafas sebentar kemudian melanjutkan. “Izaan itu sudah belajar bersama
Bapak sejak dia kecil. Dia sangat pintar, bertanggung jawab, dan yang pasti
sangat setia pada Bapak.”
“Tapi Endra yang anak kandung Bapak, bukan dia.”
“Sebuah perusahaan harus dipimpin oleh seseorang
yang kompeten dan itu tidak dinilai dari hubungan keluarga.”
“Tapi Endra yang punya hak mewarisi harta Bapak,
bukan dia.”
“Menjadi pimpinan di perusahaan itu tidak ada
hubungannya dengan warisan. Izaan hanya Bapak beri kekuasaan untuk mengelola
perusahaan bukan untuk mewarisinya.”
“Memang Endra kurang apa sih pak? Endra juga punya
kemampuan sama seperti Izaan. Bahkan Endra bekerja lebih keras dari dia.”
Endra benar-benar tidak tahan melihat reaksi ayahnya yang begitu santai
menjawab semua pertanyaannya. Terlihat sekali bahwa ayahnya tidak mempedulikannya
padahal hatinya begitu hancur karena usaha kerasnya untuk mendapatkan posisi
presiden direktur menjadi sia-sia.
“Endra.” Suara Pak Wira sedikit melembut.
“Memimpin perusahaan tidak hanya diperlukan kemampuan otak tetapi juga mental
yang baik.”
“Maksudnya Endra cacat mental? Tega banget sih
Bapak bilang anaknya cacat mental.” Endra benar-benar
kesal karena dia mengharapkan jawaban yang lebih masuk akal dari itu.
“Kamu itu belum dewasa, masih senang bermain-main,
dan belum bertanggung jawab.”
“Darimana Bapak bisa bilang seperti itu?”
“Umur kamu sudah hampir 30 tapi kamu masih senang
gonta-ganti pacar. Coba lihat Izaan, dia sudah punya keluarga yang harmonis
dengan dua anak yang pintar dan sholeh.”
“Kita ngomongin perusahaan Pak, bukan kehidupan
pribadi.”
"Jika dalam urusan pribadi saja kamu tidak
bisa berkomitmen, bagaimana kamu akan berkomitmen dengan perusahaan?”
“Bisnis dan hubungan pribadi itu dua dunia yang
berbeda.”
“Perusahaan itu seperti keluarga. Harus ada cinta
di dalamnya agar perusahaan itu bisa terus berdiri dengan kokoh.”
“Nggak masuk akal.”
“Sudahlah Bapak capek berdebat dengan kamu.”
Dengan nada bicara yang sedikit meninggi, Pak Wira berdiri dari duduknya dan
melangkah ke arah rak buku.
“Ini nggak adil Pak. Endra belum nikah karena
Endra mau lebih fokus sama perusahaan.” Untuk yang satu ini Endra memang tidak
berbohong. Dia telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk perusahaan. Dia
sangat mencintai perusahaan lebih dari yang lain.
“Itu cuma
alasan kamu saja.” Pak Wira mengambil salah satu buku dari rak dan
membukanya tanpa mempedulikan anaknya.
“Kalau tahu kayak gini, aku nggak perlu putusin
Gina gara-gara dia maksa untuk nikah dan aku ingin fokus ke perusahaan. Aku
udah ngabisin semua waktu aku untuk membesarkan perusahaan yang akhirnya
dikasih ke orang lain cuma karena dia sudah menikah.”
“Keberhasilan Izaan menikah dan berkeluarga
memperlihatkan kedewasaan dan tanggung jawabnya.” Pak Wira masih saja
memperhatikan buku dihadapannya dan menjawab Endra tanpa menoleh.
“Kalau cuma nikah doang apa sulitnya?” Endra sudah
tidak bisa berpikir jernih. Dia hanya mengucapkan kata-kata yang muncul
diotaknya tanpa memikirkannya kembali.
Ayahnya hanya tersenyum mendengar kata-kata
anaknya yang masih belum berpengalaman.
“Lagian sekarang hubungan Endra sama Sandra
serius, bukan maen-maen” Endra berusaha meyakinkan ayahnya.
Pak Wira menutup
bukunya dan berbalik untuk menatap Endra. “Ohh jadi gitu ya. Oke. Coba
buktikan pada Bapak kalau kamu juga bisa berkomitmen dan menikah. Bapak kasih
kamu 30 hari untuk menikah. Jika kamu bisa penuhi itu, Bapak akan berikan
posisi Presiden Direktur sama kamu.”
Kalau saja waktu
itu Bapak tidak memaksanya untuk menikah cepat-cepat, mungkin saat ini dia
sudah menikah dengan Sandra dan hidup bahagia. Dia teringat saat dia melamar
Sandra.
“Aku nggak
mungkin nikah sama kamu sekarang Dra. Kamu tahu sendiri, aku sekarang sibuk
banget sama butik aku. Nggak mungkin aku ngorbanin butik untuk jadi ibu rumah
tangga.” Itu yang
dikatakan Sandra saat mendengar permintaan Endra untuk menikah. Kata-kata yang
menjadi awal kehancuran hidupnya.
Endra pun kembali
teringat saat menyedihkan itu.
“Aku nggak suruh kamu buat ngorbanin butik, ini
cuma pernikahan yang mengubah status kamu jadi istri aku. Yang lainnya tidak berubah.”
Endra berusaha untuk meyakinkan pacarnya agar mau menikahinya.
“Kamu nggak harus ngurusin aku, kamu cukup jadi
istri sah aku, on the paper, titik.” Endra menambahkan.
“Iya tapi kamu cuma punya waktu sebulan dan itu
nggak cukup untuk nyiapin pernikahan.” Sandra berusaha menyanggah.
“Nggak cukup gimana? Kita ke KUA besok juga bisa.”
“Aku itu maunya pesta pernikahan besar dan mewah.
Temen aku yang WO itu bilang kalau persiapannya minimum 6 bulan.”
“Kamu boleh bikin pesta semau kamu, yang penting
kita nikah dulu pesta belakangan.”
“Pokoknya nggak!”
“Kalau kamu nggak mau, kita putus!”
“Terserah.”
Endra benar-benar
merasa sakit hati saat itu. Dia tidak mau kehilangan Sandra tetapi dia lebih
tidak mau lagi kehilangan posisi Presiden Direktur yang begitu diincarnya sejak
dia bergabung di perusahaan ayahnya. Sampai akhirnya dia harus menikah dengan
perempuan dari antah berantah yang dia telah lupa bagaimana rupanya,
walaupun mata indahnya masih sering mengganggu tidurnya.
“Woi.. remote itu
bukan maenan.”
Endra terbangun
dari lamunannya. Di menoleh dan melihat adiknya yang selalu terlihat cantik
walaupun telah memiliki dua anak.
“Ngapain kamu
kesini?”
“Idih adenya
dateng baik-baik dikasarin gitu sih? Gak seneng? Ya udah aku pulang.” Kesara
memperlihatkan muka cemberut.
“Gitu aja
ngambek.” Endra berdiri dan memeluk adiknya. “Adikku sayang.”
“Apaan sih.”
Kesara melepaskan pelukan kakaknya.
“Jangan bilang
kamu kesini untuk nasehatin aku… lagi.” Endra kembali duduk.
“Emang Mas perlu
dinasehatin. Liat tuh, semua infotainment gosipin Mas. Malu tahu Mas.”
“Itu urusan aku.”
“Ya.. aku sebagai
adik kandung Mas Endra aku
kan juga malu, belum lagi Bapak sama Mama.” Kesara mendekat dan duduk disebelah
Endra.
“Udah-udah-udah…
kamu tuh bikin aku tambah pusing aja.” Endra berusaha menjauhkan diri dari
adiknya.
“Ya abis Mas gitu
sih. Udah jelas-jelas punya istri sah, malah milih nikah siri sama perempuan ga
beres.”
“Semua perempuan
yang aku kawinin itu cantik dan manis.” Endra tersenyum dipaksakan.
“Tetep aja ga
beres. Mana ada perempuan baik yang mau jadi perempuan simpanan gitu.”
“Aku nikahin
mereka dengan benar secara agama.”
“Iya tapi semua
itu nggak sah tanpa ijin istri pertama Mas.”
“Dia ijinin aku
kok.”
“Darimana dapet
ijin, ketemu aja nggak pernah.”
“Sebelum kita menikah,
dia udah tanda tangan surat perjanjian pra-nikah yang di dalamnya ada pasal dia
memperbolehkan aku buat poligami.”
“Mas bikin
perjanjian pra-nikah macam itu? Beneran? Tega banget sih”. Mata Kesara
terbelalak. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Kenyataan ini baru saja dia ketahui karena baik kakaknya maupun kakak iparnya
tidak pernah membicarakan masalah ini.
“Udahlah..
sebenernya kamu mau apa kesini?” Endra mulai tidak sabar pada adiknya.
Kesara mengatur
emosinya. Dia teringat tujuan utamanya datang ke sini. “Aku mau pinjem
film yang kemaren Mas beli.”
“Yang mana?”
“Yang itu.. yang
pembunuhan berantai itu loh. Aku mau nonton.”
“Ohh ada di rak
sana tuh. Ambil aja sendiri.”
“Eh sebenernya
aku kesini juga karena disuruh
Mama. Kata Mama, dia mau minta bunga yang di depan rumah itu.” Kesara berusaha
menjalankan misinya sambil mencari DVD film yang dia inginkan.
“Yang mana?”
“Yang warna ungu
itu loh. Yang bunganya kecil-kecil.” Kesara menjawab tanpa menoleh.
Pandangannya tetap tertuju pada koleksi DVD milik Endra.
“Ambil sendiri
aja lah, aku mana tau bunga.”
“Ya temenin dong.
Nanti dikira pencuri lagi.” Kali ini Kesara menoleh ke arah Endra dengan raut
wajah merayu.
“Iya.. udah dapet
belom filmnya?” Endra pun berdiri.
“Udah nih.. yuk..”
Kesara tersenyum berhasil. Sekarang tinggal memperkenalkan kakaknya dengan
istrinya sendiri. Aneh tapi nyata.
Kesara dan Endra
berjalan menuju depan rumah. Saat mencapai ruang tamu, Endra berhenti saat
melihat Wafa.
“Eh iya.. kenalin
ini temen aku Wafa.” Kesara langsung beraksi.
“Dia itu desainer
yang mau bikinin baju baru buat Mama. Tadi kita ketemu di Mall. Karena dia mau
ke rumah Mama, aku ajak bareng. Trus karena Mama titip bunga, aku mampir dulu
deh. Aku suruh dia masuk. Nggak papa kan?” Kesara melanjutkan.
“Nggak papa kok.
Masa dia harus nunggu di luar.” Endra tersenyum manis.
“Wafa … ini kakak
aku. Kamu pasti udah liat di TV. Sekarang dia terkenal banget loh.” Kesara menyindir kakaknya.
“Kesara Nismara
Putri” Nada tegas Endra menunjukkan jika dia tidak senang dengan perkataan
adiknya.
“Oke boss. My
mouth is shut.” Kesara tahu benar bahwa saat kakaknya sudah memanggilnya dengan
nama lengkap, dia harus tutup mulut.
“Wafa ya…..
Endra.” Endra mengulurkan tangannya. Saat pandangan mereka bertemu, jantung
Endra tiba-tiba berdetak dengan kencang. Dia pernah melihat mata seperti itu
sebelumnya. Endra merasa sedikit bingung tetapi segera dia menenangkan diri.
“Iya, Wafa.” Jantung Wafa juga berdetak kencang.
Bertatapan mata dan bersentuhan dengan Endra membuat dia merasa lemas seketika.
Namun, dia berusaha untuk menguatkan diri. Dia tidak boleh kalah sebelum
bertanding.
“Nama kamu unik
juga.”
“Wafa itu artinya
kesetiaan. Gitu kata ustadz.”
“Ustadz?”
“Iya nama aku
yang ngasih ustadz di desa aku”
“Misha itu nama bunga. Artinya cantik, gitu
deh kata ustadz.” Endra terkejut dengan ingatan yang tiba-tiba muncul di
benaknya. Misha begitu bangga dengan namanya. Walaupun berasal dari kampung,
namanya memang bagus karena diberi oleh ustadz yang sudah berkali-kali naik
haji.
“Kok bengong sih,
ada yang salah?” Wafa sedikit takut jika Endra mengenalinya.
‘Ohh enggak kok
nggak apa-apa.” Endra menjadi sedikit gugup.
“Ternyata kamu
lebih ganteng aslinya yah.” Wafa berusaha memulai aksinya dengan menggoda
Endra.
“Apa?” Endra
tersenyum lebar mendengar kata-kata Wafa.
Senyuman Endra
membuat Wafa salah tingkah. “Eh maaf, bukan
maksud… aduh..” Wafa tiba-tiba menjadi kehilangan konsentrasi. Semua perkataan
yang telah dipersiapkannya tiba-tiba hilang dari ingatannya. Bodoh.
“Nggak papa.
Banyak kok yang ngomong
gitu.” Endra tersenyum bangga.
Senyuman Endra membuat
jantung Wafa berdetak semakin kencang dan kakinya terasa lemas. Lelaki ini memang bukan orang biasa. Dia
lebih dari sekedar tampan. Kharismanya begitu kuat sehingga banyak wanita yang
tergila-gila padanya. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Wafa mau
menikahinya.
Memiliki suami
yang luar biasa tampan dan berkharisma membuatnya sulit untuk berkata tidak.
Sebenarnya dia berharap bisa membanggakan suaminya di depan teman-temannya.
Tapi semua harapannya sirna. Bukan hanya tidak bisa membanggakan diri,
pernikahannya saja begitu tertutup di KUA dan Endra langsung pergi begitu saja
setelah menerima surat nikah. Setelah itu, baru sekarang dia bertemu suaminya
lagi.
“Kok jadi kamu
yang bengong sekarang?” Endra tersenyum dalam hati. Dia merasa yakin bahwa
perempuan yang ada di hadapannya ini sedang begitu mengaguminya. Dia telah
terbiasa dengan kekaguman para wanita terhadap dirinya.
Wafa menjadi
begitu gugup dan mulutnya hanya bisa terbuka tanpa bersuara. Melihat kegugupan
Wafa, Endra merasa kasihan dan berusaha mengalihkan perhatian.
“Kesara udah
ambil bunganya belum ya?” Endra melangkah ke taman depan untuk melihat adiknya.
Wafa mengikutinya.
“Udah ketemu Ra?”
Endra sedikit meningkatkan volume suaranya agar terdengar oleh Kesara.
“Eh.. Oh.. udah
nih. Aku ambil ya? Cuma satu
pot kok, masih ada yang lainnya.”
“Ambil semua juga
nggak papa, emang aku peduli apa.”
“Kalau nggak
peduli, ngapain punya taman?”
“Udahlah.. cepet
sana. Mama kan ga suka nunggu.”
“Heh?” Kesara
menoleh ke arah kakaknya.
“Bukan ngusir ...
cuma ngingetin aja.” Endra melembutkan suaranya agar adiknya tidak ngambek.
“Iya.. ini juga
udah mau pergi kok, tinggal masukin mobil aja.” Kesara membawa potnya ke mobil.
“Eh kalau gitu ….
aku pamit ya. E.. Maaf …udah ganggu.” Wafa pamit kepada Endra dengan gugup.
Kegugupannya bertambah dengan ketidaknyamanan baju ketat yang dipakainya.
“Oh nggak
mengganggu kok. Santai aja.” Endra tersenyum melihat Wafa yang berjalan aneh. Kalau nggak pede, jangan pake baju ketat.
Di mobil, Kesara
segera menelpon Wafa.
“Gimana tadi.”
“Gagal total.”
“Kok bisa sih?”
“Mas kamu itu
memang terlalu kuat kharismanya.”
“Ha..ha..ha..Kayaknya
ada yang jatuh cinta nih.”
“Apaan sih. Dia
yang harusnya jatuh cinta sama aku.”
“Iya..iyaa…”
“Eh tapi dia tadi
nggak ngenalin aku kan?” Wafa mengajukan pertanyaan yang sebenarnya lebih
ditujukan pada dirinya sendiri.
“Gimana sih? Yang
ngobrol sama dia kan kamu?”
“Kayaknya sih dia
nggak ngenalin aku.”
“Yang yakin
dong.”
“Iya.. dia nggak
ngenalin aku.”
“Baguslah kalau
gitu. Berarti masih ada harapan.” Kesara hanya ingin membesarkan hati kakak
iparnya, walaupun sedikit ragu.