“Aku harus bisa buat Endra jatuh cinta dan
menceraikan semua istri-istri simpanannya itu. Sebagai istri sahnya, aku berhak
untuk dihormati. Ada untungnya dia tidak ingat siapa aku. Dengan begitu akan lebih
mudah bagi aku untuk mendekatinya. Tunggulah suamiku, sebentar lagi kamu akan
bertekuk lutut dihadapan Wafa.”
Enam Tahun yang Lalu
“Ohh jadi gitu
ya. Oke. Coba buktikan pada Bapak kalau kamu juga bisa berkomitmen dan menikah.
Bapak kasih kamu 30 hari untuk menikah. Jika kamu bisa penuhi itu, Bapak akan
berikan posisi Presiden Direktur sama kamu.”
Kata-kata Pak
Wira, ayah kandungnya, terngiang-ngiang di benak Endra yang berjalan di taman
dekat kantornya untuk mencari ide. Sudah dua puluh hari sejak Sandra menolaknya
yang berarti Endra hanya memiliki sisa sepuluh hari untuk mencari istri. Dia
memang memiliki banyak teman wanita yang akan bersorak saat dia melamarnya,
tetapi semuanya perempuan manja, matre, dan rese. Pasti mereka akan sangat
merepotkan.
Saat pikirannya
buntu, tiba-tiba terdengar suara.
“Tuhan tolong
jatuhkan emas satu batang saja dan aku akan melakukan apa saja yang Engkau
inginkan.”
Endra
menghentikan langkahnya saat mendengar doa seorang gadis yang duduk di bangku
taman. Sebuah ide muncul di benaknya.
“Aku memang bukan
Tuhan, tapi kalau aku kasih kamu emas, kamu mau ngelakuin apa saja buat aku?”
Gadis itu kaget
mendengar suara lelaki dari belakangnya. Bagaimana mungkin ada orang yang
mendengarnya berdoa seperti itu.
“Aku tanya sekali
lagi. Kalau aku kasih kamu emas, kamu mau ngelakuin apa saja buat aku?” Endra
mendekat dan duduk di sebelah gadis yang terlihat begitu lugu tapi manis.
Bajunya terlihat usang, dia pasti gadis miskin yang benar-benar membutuhkan uang.
Saat Endra
menatap mata gadis itu, tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Apa yang
terjadi padanya? Belum pernah Endra merasakan perasaan aneh ini sebelumnya.
Tapi Endra adalah eksekutif muda yang dikenal keras dan selalu mengutamakan
otak. Dia tidak boleh kalah dengan hati.
“Nama kamu
siapa?” Endra berusaha mengatakannya setenang mungkin.
“Mm Misha. K..kamu
mau apa?” Jawab gadis itu yang terlihat begitu takut, malu, dan bingung.
Sejenak Endra
ragu dengan idenya dan berusaha mengurungkan niatnya. Logikanya
mengatakan bahwa idenya sangat gila dan beresiko tinggi. Namun melihat kedua mata yang begitu cantik itu,
Endra mendapatkan dorongan yang begitu kuat dan menjadi lupa bahwa ada kata
logika. “Nama aku Endra, aku punya penawaran buat kamu.”
Terlihat sekali jika gadis lugu itu merasa takut karena
pandangan Endra yang begitu tajam dan nada bicaranya yang tanpa basa basi.
Tubuhnya diam tidak bergerak dan tidak ada satu patah katapun yang keluar dari
mulutnya.
“Kalau kamu mau
nikah sama aku, satu batang emas akan ada di tangan kamu.” Endra melanjutkan
pembicaraannya karena gadis di depannya sepertinya memiliki respon sangat
lambat.
“Nikah?”
“Iya, menikah.”
“Kalau mau gila
jangan di sini Mas.” Gadis itu berdiri dan melangkah pergi.
“Aku tidak gila,
aku bicara dengan kesadaran penuh, dan aku sama sekali tidak bercanda.” Nada
bicara Endra begitu tegas sehingga membuat gadis itu menghentikan langkahnya.
“Kamu butuh uang
dan aku punya uang itu. Tapi di dunia ini nggak ada yang gratis” Endra
melanjutkan dan menunggu reaksi gadis itu.
“Kenapa harus
nikah?” Gadis itu membalikkan badan.
“Karena aku hanya
punya waktu sepuluh hari lagi untuk nikah dan kamu sepertinya orang yang cocok
untuk jadi istri aku.”
Gadis itu
memperhatikan Endra dari atas sampai bawah. Lelaki ini jelas bukan orang
miskin. Dia memang hanya memakai kemeja dan celana panjang. Tetapi kain
yang begitu halus, jahitan yang begitu rapi, dan warna yang terlihat seperti
baru menunjukkan bahwa pakaian yang digunakannya bukan barang murahan.
Sepatunya yang mengkilat juga menunjukkan barang yang berharga cukup tinggi. Kulitnya
begitu bersih, rambutnya tersisir rapi, dan jari-jari tangannya yang bersih dan
halus menunjukkan jika dia sepertinya tidak pernah kerja berat. Yang paling penting adalah gayanya saat duduk dan
berbicara. Lelaki ini begitu percaya diri. Kharismanya bahkan lebih kuat
daripada bosnya di kantor.
“Tapi… kita kan
belum kenal.” Gadis itu mencoba protes.
“Kita sudah
kenalan tadi. “
“Kita baru kenal
satu menit”
Endra menarik
nafas panjang. “Gini, aku harus menikah untuk bisa dapetin posisi presiden direktur
dan aku tidak berencana untuk membangun keluarga. Kalau kita menikah, itu cuma
status dan kamu tidak perlu menjadi istri yang .. yang umumnya. Kita bahkan
tidak perlu tinggal satu rumah.”
“Emang ada ya
peraturan harus nikah buat jadi presiden direktur?”
“Itu aturan dari
Bapak aku. Dia yang punya perusahaan.”
“Tapi…” Gadis itu
terlihat begitu kebingungan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat.
“Aku lihat kamu
benar-benar membutuhkan uang dan aku bisa beri itu untuk kamu.” Endra
menegaskan.
“Tapi itu sama
saja mempermainkan pernikahan.”
“Denger ya, kita
akan benar-benar menikah secara hukum dan agama. Aku akan bertanggung jawab
sebagai suami untuk menafkahi kamu dan kamu cukup menjadi istri yang baik
dengan tidak mengganggu urusan aku.”
“Ya tapi kenapa
aku.. emang kamu ga punya pacar atau apa gitu?”
“Pacar aku nolak
aku dan aku nggak mau ribet sama perempuan manja yang mata duitan.”
“Ya tetep aja ga
masuk akal, tiba-tiba ngelamar aku.”
“Keadaan aku
sudah terjepit.”
“Gimana kalau aku
juga cewek manja yang mata duitan?”
“Kalau kamu mata
duitan, kamu nggak akan debat sama aku.”
“Aku kan
hati-hati. Taunya kamu boong lagi. Kamu cuma pura-pura jadi orang kaya trus
nanti aku dijual.” Gadis itu memang terkesan lugu, tetapi dia cukup
pintar juga.
“Gini aja deh.
ini kartu nama aku dan kamu bisa hubungi aku kalau kamu sudah ambil keputusan.”
Endra menatap lekat mata gadis itu. Jantungnya pun berdetak semakin cepat.
“Jangan lupa, aku cuma punya waktu kurang dari sepuluh hari untuk menikah. Endra
melangkah pergi meninggalkan gadis muda yang tertegun melihat kartu nama yang
dipegangnya.
Endra segera
menghubungi pengacaranya untuk membuatkannya surat perjanjian pra-nikah. Dia
harus memastikan bahwa pernikahannya tidak akan membawa masalah di kemudian
hari. Walaupun gadis itu belum mengatakan persetujuannya, Endra yakin
jawabannya adalah “ya”.
Seminggu kemudian
mereka menikah setelah gadis di taman itu akhirnya setuju dengan penawaran
Endra.
“Kamu baca
perjanjian pra-nikahnya kan? Termasuk pasal yang menyatakan kamu akan
mengijinkan aku untuk poligami?”
Endra tersenyum
sebelum meninggalkan istri barunya yang hanya bisa berdiri terpaku dan tidak
percaya bahwa seorang pengusaha muda telah membuatnya menjadi istri yang sangat
menyedihkan.
________________________________________________________Bab Selanjutnya >>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar