Jumat, 20 Juni 2014

PERSELINGKUHAN TERAKHIR



“Aku harus bisa buat Endra jatuh cinta dan menceraikan semua istri-istri simpanannya itu. Sebagai istri sahnya, aku berhak untuk dihormati. Ada untungnya dia tidak ingat siapa aku. Dengan begitu akan lebih mudah bagi aku untuk mendekatinya. Tunggulah suamiku, sebentar lagi kamu akan bertekuk lutut dihadapan Wafa.”




Enam Tahun yang Lalu

“Ohh jadi gitu ya. Oke. Coba buktikan pada Bapak kalau kamu juga bisa berkomitmen dan menikah. Bapak kasih kamu 30 hari untuk menikah. Jika kamu bisa penuhi itu, Bapak akan berikan posisi Presiden Direktur sama kamu.”

Kata-kata Pak Wira, ayah kandungnya, terngiang-ngiang di benak Endra yang berjalan di taman dekat kantornya untuk mencari ide. Sudah dua puluh hari sejak Sandra menolaknya yang berarti Endra hanya memiliki sisa sepuluh hari untuk mencari istri. Dia memang memiliki banyak teman wanita yang akan bersorak saat dia melamarnya, tetapi semuanya perempuan manja, matre, dan rese. Pasti mereka akan sangat merepotkan.

Saat pikirannya buntu, tiba-tiba terdengar suara.

“Tuhan tolong jatuhkan emas satu batang saja dan aku akan melakukan apa saja yang Engkau inginkan.”

Endra menghentikan langkahnya saat mendengar doa seorang gadis yang duduk di bangku taman. Sebuah ide muncul di benaknya.

“Aku memang bukan Tuhan, tapi kalau aku kasih kamu emas, kamu mau ngelakuin apa saja buat aku?”

Gadis itu kaget mendengar suara lelaki dari belakangnya. Bagaimana mungkin ada orang yang mendengarnya berdoa seperti itu.

“Aku tanya sekali lagi. Kalau aku kasih kamu emas, kamu mau ngelakuin apa saja buat aku?” Endra mendekat dan duduk di sebelah gadis yang terlihat begitu lugu tapi manis. Bajunya terlihat usang, dia pasti gadis miskin yang benar-benar membutuhkan uang.

Saat Endra menatap mata gadis itu, tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Apa yang terjadi padanya? Belum pernah Endra merasakan perasaan aneh ini sebelumnya. Tapi Endra adalah eksekutif muda yang dikenal keras dan selalu mengutamakan otak. Dia tidak boleh kalah dengan hati.

“Nama kamu siapa?” Endra berusaha mengatakannya setenang mungkin.

“Mm Misha. K..kamu mau apa?” Jawab gadis itu yang terlihat begitu takut, malu, dan bingung.

Sejenak Endra ragu dengan idenya dan berusaha mengurungkan niatnya. Logikanya mengatakan bahwa idenya sangat gila dan beresiko tinggi. Namun melihat kedua mata yang begitu cantik itu, Endra mendapatkan dorongan yang begitu kuat dan menjadi lupa bahwa ada kata logika. “Nama aku Endra, aku punya penawaran buat kamu.”

Terlihat sekali jika gadis lugu itu merasa takut karena pandangan Endra yang begitu tajam dan nada bicaranya yang tanpa basa basi. Tubuhnya diam tidak bergerak dan tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya.

“Kalau kamu mau nikah sama aku, satu batang emas akan ada di tangan kamu.” Endra melanjutkan pembicaraannya karena gadis di depannya sepertinya memiliki respon sangat lambat.

“Nikah?”

“Iya, menikah.”

“Kalau mau gila jangan di sini Mas.” Gadis itu berdiri dan melangkah pergi.

“Aku tidak gila, aku bicara dengan kesadaran penuh, dan aku sama sekali tidak bercanda.” Nada bicara Endra begitu tegas sehingga membuat gadis itu menghentikan langkahnya.

“Kamu butuh uang dan aku punya uang itu. Tapi di dunia ini nggak ada yang gratis” Endra melanjutkan dan menunggu reaksi gadis itu.

“Kenapa harus nikah?” Gadis itu membalikkan badan.

“Karena aku hanya punya waktu sepuluh hari lagi untuk nikah dan kamu sepertinya orang yang cocok untuk jadi istri aku.”

Gadis itu memperhatikan Endra dari atas sampai bawah. Lelaki ini jelas bukan orang miskin. Dia memang hanya memakai kemeja dan celana panjang. Tetapi kain yang begitu halus, jahitan yang begitu rapi, dan warna yang terlihat seperti baru menunjukkan bahwa pakaian yang digunakannya bukan barang murahan. Sepatunya yang mengkilat juga menunjukkan barang yang berharga cukup tinggi. Kulitnya begitu bersih, rambutnya tersisir rapi, dan jari-jari tangannya yang bersih dan halus menunjukkan jika dia sepertinya tidak pernah kerja berat. Yang paling penting adalah gayanya saat duduk dan berbicara. Lelaki ini begitu percaya diri. Kharismanya bahkan lebih kuat daripada bosnya di kantor.

“Tapi… kita kan belum kenal.” Gadis itu mencoba protes.

“Kita sudah kenalan tadi. “

“Kita baru kenal satu menit”

Endra menarik nafas panjang. “Gini, aku harus menikah untuk bisa dapetin posisi presiden direktur dan aku tidak berencana untuk membangun keluarga. Kalau kita menikah, itu cuma status dan kamu tidak perlu menjadi istri yang .. yang umumnya. Kita bahkan tidak perlu tinggal satu rumah.”

“Emang ada ya peraturan harus nikah buat jadi presiden direktur?”

“Itu aturan dari Bapak aku. Dia yang punya perusahaan.”

“Tapi…” Gadis itu terlihat begitu kebingungan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat.

“Aku lihat kamu benar-benar membutuhkan uang dan aku bisa beri itu untuk kamu.” Endra menegaskan.

“Tapi itu sama saja mempermainkan pernikahan.”

“Denger ya, kita akan benar-benar menikah secara hukum dan agama. Aku akan bertanggung jawab sebagai suami untuk menafkahi kamu dan kamu cukup menjadi istri yang baik dengan tidak mengganggu urusan aku.”

“Ya tapi kenapa aku.. emang kamu ga punya pacar atau apa gitu?”

“Pacar aku nolak aku dan aku nggak mau ribet sama perempuan manja yang mata duitan.”

“Ya tetep aja ga masuk akal, tiba-tiba ngelamar aku.”

“Keadaan aku sudah terjepit.”

“Gimana kalau aku juga cewek manja yang mata duitan?”

“Kalau kamu mata duitan, kamu nggak akan debat sama aku.”

“Aku kan hati-hati. Taunya kamu boong lagi. Kamu cuma pura-pura jadi orang kaya trus nanti aku dijual.” Gadis itu memang terkesan lugu, tetapi dia cukup pintar juga.

“Gini aja deh. ini kartu nama aku dan kamu bisa hubungi aku kalau kamu sudah ambil keputusan.” Endra menatap lekat mata gadis itu. Jantungnya pun berdetak semakin cepat. “Jangan lupa, aku cuma punya waktu kurang dari sepuluh hari untuk menikah. Endra melangkah pergi meninggalkan gadis muda yang tertegun melihat kartu nama yang dipegangnya.

Endra segera menghubungi pengacaranya untuk membuatkannya surat perjanjian pra-nikah. Dia harus memastikan bahwa pernikahannya tidak akan membawa masalah di kemudian hari. Walaupun gadis itu belum mengatakan persetujuannya, Endra yakin jawabannya adalah “ya”.

Seminggu kemudian mereka menikah setelah gadis di taman itu akhirnya setuju dengan penawaran Endra.

“Kamu baca perjanjian pra-nikahnya kan? Termasuk pasal yang menyatakan kamu akan mengijinkan aku untuk poligami?”

Endra tersenyum sebelum meninggalkan istri barunya yang hanya bisa berdiri terpaku dan tidak percaya bahwa seorang pengusaha muda telah membuatnya menjadi istri yang sangat menyedihkan.
________________________________________________________


Bab Selanjutnya >>



Tidak ada komentar:

Posting Komentar