Kamis, 17 Juli 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB IV



Bab IV

Wafa tidak percaya bahwa dia telah mencium Endra. Dia belum pernah mencium laki-laki sebelumnya, kecuali ayahnya. Tapi apa yang terjadi tadi memang terjadi begitu saja. Lalu apa yang akan dipikirkan oleh Endra? Pasti bagi Endra hal ini biasa saja karena dia pasti sudah merasa yang lebih dari ini. Wafa berusaha keras untuk menenangkan diri dan tidur agar lebih siap menghadapi esok.

Namun, walaupun Wafa yakin bahwa Endra tidak akan menganggap kecupan tadi malam sebagai hal yang penting, ternyata tidak seperti itu bagi Endra. Pagi hari dia langsung mendatangi Sigra untuk bercerita.

“Gila tuh perempuan.” Endra bercerita penuh semangat pada Sigra yang enggan memperhatikannya dan terus saja sibuk dengan laptopnya.

“Dia cium pipi aku trus lari. Dia itu kayak anak SMA. Kayak yang baru sekali pacaran.” Endra tidak peduli dengan ketidakacuhan sepupunya dan terus saja bercerita. “Kamu harus liat sendiri nanti kamu baru tahu gimana gaya anehnya dia itu.”

Sigra masih saja tidak peduli pada sepupunya dan sibuk dengan pekerjaannya.

“Buset deh nih cewek.” Endra tidak bisa menyangkal bahwa Wafa telah berhasil membuat hatinya bergejolak. Endra bahkan sudah melupakan prinsip hidup utamanya yaitu menempatkan pekerjaan di atas apapun. Hanya Wafa yang menjadi hal terpenting dalam hidupnya saat ini.

“Tadi perempuan sekarang cewek, mana yang bener?” Sigra akhirnya berkomentar

“Komentar yang penting dikit kek.” Endra tidak suka jika sepupunya itu tidak mengacuhkannya. Tapi dia tetap melanjutkan ceritanya karena dia tidak bisa menahannya. “Dia itu manissss banget. Lugu. Tapi pinter.”

“Katanya lugu tapi pinter” Sigra benar-benar kesal dengan cerita sepupunya dan berkata tanpa melepaskan pandangan dari laptopnya.

“Jadi gini. Kalau masalah pengetahuan umum, bisnis, dan bahkan politik, dia itu wawasannya luas dan pola pikirnya maju.”

“Tapi?”

“Dalam urusan laki-laki dan perempuan, dia nggak ada apa-apanya.”

“Ya iyalah kalau bandingannya sama kamu.” Sigra sangat tau bagaimana caranya berkomentar sinis.

“Sinis banget sih?Sebenarnya, Endra mengerti benar kalau sepupunya itu sudah muak dengan gayanya yang senang berganti-ganti perempuan. Tapi dia tahu bahwa sepupunya itu tidak pernah membencinya.

“Itu kenyataan bro.”

“Terserah lah.. aku mau siap-siap dulu ya..” Endra berdiri dari kursi dan melangkah kea rah pintu.

“Mau kemana?”

“Kencan… Sama Wafa.” Dengan senyuman mengembang, Endra meninggalkan Sigra yang menatapnya tidak percaya.

Sigra melihat ada sesuatu yang berbeda pada pancaran mata Endra. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya sepanjang dia menjadi sepupu pengusaha muda yang kini berkuasa atas empat perusahaan besar di Indonesia. Apakah kali ini akan terjadi sesuatu yang besar? Sigra berharap gadis ini adalah yang terakhir untuk Endra.

***

Biarlah dunia berkata apa, Endra tetap melanjutkan perburuannya. Dia mempersiapkan diri dengan baik untuk tampil mempesona.

“Hai cantik”. Endra tersenyum begitu melihat Wafa keluar dari butiknya. Hari ini Wafa mengenakan blouse berwarna merah muda dengan motif bunga yang ceria. Bajunya tertutup tapi sangat cantik. Sangat berbeda dengan waktu pertama kali mereka bertemu.

“Hai ganteng.” Wafa membalas senyum Endra yang juga tampil mempesona. Dengan kemeja biru langit yang begitu rapi, celana hitam, dan sepatu kulit yang begitu mengkilap, terlihat benar gaya seorang eksekutif muda. Rambutnya tersisir rapi dan wajahnya begitu bersih. Saat mendekat, aroma parfumnya membuat wanita lupa diri.

“Siap?” Endra membukakan pintu mobil untuk Wafa.

“Yuk mari.” Wafa segera duduk di dalam mobil dan mereka pun segera pergi.

Mereka berdua pergi ke mall. Wafa ingin melihat-lihat tren busana terbaru dan juga melakukan riset pasar. Sebenarnya Endra paling tidak suka menemani teman wanitanya ke mall, karena baginya saat melihat wanita begitu heboh melihat satu baju ke baju lainnya, mencoba, dan meminta komentarnya adalah hal yang paling membosankan. Tapi kali ini ia bersama Wafa, wanita yang selalu bisa menghilangkan rasa bosan Endra.

“Bukannya kamu harus membuat tren baru dan bukan mengikuti tren standar?.” Endra berjalan di belakang Wafa yang sangat serius melihat koleksi-koleksi busana terbaru.

“Gimanapun juga kan tetep harus update sama tren biar nggak ketinggalan.” Wafa berjalan menuju rak pakaian kerja.

“Tapi orang datang ke butik kamu untuk beli sesuatu yang nggak ada di mall.” Kata Endra sambil terus mengikuti Wafa.

“Nah itu dia. Aku kesini untuk tau apa yang ada disini jadi aku akan buat yang tidak ada di sini.” Wafa melihat kearah Endra dan tersenyum.

“Betul..betul.”

“Seharusnya kamu lebih tau masalah ini. Perusahaan konveksi kamu kan besar sekali.”

“Kalau aku kan produksi masal. Jadi memang harus selalu mengikuti tren yang ada. Tapi kita juga nggak selalu berkiblat sama tren. Aku punya banyak desainer untuk bikin tren baru, jadi kita bisa menawarkan sesuatu yang lain. Kamu harusnya lebih eksklusif lagi kan?

“Butik aku kan baru dan pasar kelas menengah. Harus tetap mengikuti tren tapi ada sentuhan berbeda yang membuatnya eksklusif. Kalau aku bikin rancangan yang super berbeda dan eksklusif, biasanya itu untuk pelanggan khusus kayak mama kamu.

“Tapi banyak desainer yang cukup browsing untuk tau tren terbaru. Ini kan jamannya internet.”

“Aku senang aja jalan-jalan ke mall. Kan sama kamu.” Wafa mengerlingkan matanya. Dalam hatinya, ia tidak percaya jika ia bisa segenit ini.

Endra tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kalau disini nggak banyak orang, aku cium kamu.”

“Cium aja kalau berani.” Wafa menantang.

Oh… jangan pernah menantang Endra.” Endra melingkarkan tangannya ke pinggang Wafa dan menariknya mendekat.

“Endra apaan sih,,, banyak orang tau.” Wafa cepat-cepat melepaskan diri.

“Aku kan udah bilang, jangan pernah menantang Endra.” Senyumnya penuh kemenangan.

Setelah berkeliling, Wafa merasakan perut meminta untuk diisi. Ia mengajak Endra makan ayam goreng cepat saji yang menjadi kesukaannya.

“Kelaparan bu?” Endra heran melihat Wafa yang makan dengan begitu lahapnya.

“Aku tuh suka banget ayam goreng. Waktu aku kecil, ini tuh makanan mewah.” Wafa menjawab sambil tetap menikmati makanan di hadapannya.

“Makanan mewah?” Endra mengernyitkan keningnya.

Wafa menyadari kesalahannya. Bisa bahaya jika Endra tau masa kecilnya susah. Dia berusaha memikirkan kalimat yang tepat supaya Endra tidak curiga.

“Maksud aku.. ee.. waktu kecil aku nggak boleh banyak jajan.” Setidaknya Wafa tidak berbohong tentang itu. Waktu kecil, bisa makan di tempat seperti ini mungkin hanya satu tahun sekali. Itupun tidak boleh pesan macam-macam.

Endra tertawa kecil. “Sama.. mama juga ketat banget soal makanan. Dia tuh sok kaya, sok eksklusif. Kalau makan harus di restoran mewah. Makanan kayak gini nggak dianggap sama dia. Alasannya banyak. Nggak sehatlah… berisik tempatnya.. dan masih banyak lagi.

“Apa? Jadi kamu juga jarang makan gini?” Terkejut mendengar cerita Endra, Wafa pun menghentikan makannya.

Iya, padahal kan enak. Bapak sih ngebolehin kami makan ginian, tapi buat jalan sama bapak tuh susah banget saking sibuknya. Semangatnya bercerita membuatnya semakin lahap memakan ayam goreng yang ada di hadapannya.

Wow. Ternyata orang kaya pun susah untuk makan makanan seperti ini. Tapi begitu ironis. Wafa tidak bisa makan karena tidak ada uang sedangkan Endra tidak bisa makan karena terlalu banyak aturan. Tapi saat ini ada ayam goreng yang enak di hadapan Wafa, ia pun kembali melahap makanannya dan melupakan semua ironi.

Selesai makan, Endra mengantarkan Wafa pulang. Seperti sebelumnya, Endra hanya mengantarkan sampai depan apartemen.

“Aku masuk dulu ya.” Wafa membalikan tubuh untuk melangkah masuk.

Sebelum Wafa melangkah, Endra menarik tangan Wafa, melingkarkan tangannya ke pinggang Wafa, dan menariknya mendekat. Dia melihat keterkejutan di mata Wafa. “Supaya kamu nggak lari.”

Wafa merasa tidak nyaman. Dia menoleh ke kanan dan kiri.

“Tenang nggak ada orang yang liat.” Endra langsung menangkap apa yang dirasakan Wafa.

“Aku kan harus masuk kenapa jadi nggak boleh?” Wafa merasa kuatir jika Endra akan melakukan sesuatu yang tidak pantas.

Endra menyodorkan pipinya. Wafa tidak bereaksi. Endra pun menunjuk pipinya. Akhirnya Wafa mengerti maksud Endra. Tapi, ia merasa malu dan berusaha melepaskan diri.

“Aku nggak akan lepasin sebelum kamu cium pipi aku.”

Wafa tidak punya pilihan lain. Dia pun mencium pipi Endra.

“Nah gitu dong. Jangan kaya pencuri. Habis dapet yang di mau langsung lari.”

“Maksudnya?” Dengan nada bicara yang begitu polos, Wafa terlihat seperti anak kecil yang membuat Endra begitu gemas.

“Kemaren kan kamu cium aku langsung lari.”

Wajah Wafa pun langsung merona merah. “Sekarang udah nggak lari, lepasin dong.” Wafa yang sangat malu berusaha melepaskan diri tetapi tangan Endra begitu kuat.

“Nggak ah…  Belum puas.” Endra merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dan dia merasa bahwa ia tidak akan puas untuk merasakannya.

“Udah malem Dra… ngantuk nih. Besok lagi ya…” Wafa tahu bahwa dia tidak boleh hanyut dan tetap bermain pintar untuk mempertahankan ketertarikan Endra padanya.

“Hhhhhh…….Oke ibu boss, sampai besok ya.” Endra mendaratkan kecupan di kening Wafa sebelum melepaskan tangannya.

Endra masuk ke mobil dan meninggalkan Wafa yang kesulitan untuk berdiri tegak. Kecupan tadi membuat kakinya lemas. Ini tidak seperti yang ia rencanakan sebelumnya.

***

“Dia emang gadis yang special”. Endra berkata dengan penuh senyum.

Sejak bertemu dengan Wafa, senyuman selalu mengembang di wajah Endra. Hari ini senyumannya semakin mengembang.

“Kamu yakin dia masih gadis?” Sigra mencoba mengganggu kegembiraan Endra.

“Aku kan udah bilang, dia itu kalau masalah hubungan lelaki dan perempuan masih kayak anak SMA.”

“Kenyataannya, anak SMA jaman sekarang banyak yang udah ga gadis.” Sigra tidak mau menyerah secepat itu.

“Maksud aku kayak anak SMA jaman kita dulu.” Endra mencoba bertahan.

“Waktu kita SMA, banyak temen kita yang sudah melepaskan kesuciannya atas nama cinta yang sebenarnya nafsu” Sigra tau benar bagaimana mematikan musuh.

“Oke bukan kayak anak SMA.” Endra berhenti sebentar untuk berpikir. “Pokoknya aku tau mana yang berpengalaman dan tidak.”

“Perempuan itu pintar berpura-pura.” Sigra masih tidak mau kalah.

“Kali ini aku yakin dia tidak berpura-pura.”

“Kalau memang dia tidak berpengalaman dan masih lugu, kenapa dia mau sama orang yang track recordnya kaya kamu?” Sigra tetap melawan dengan pintar. Dalam hal percintaan, Sigra memang lebih berpikir logis.

“Itu pertanyaannya dan aku harus dapet jawabannya.” Endra mengangguk-angguk.

“Hati-hati bro, api itu panas.” Sigra kembali pada pekerjaannya. Mendengarkan cerita Endra sama saja membuang waktu.

“Hotter is better.” Endra meninggalkan ruangan sepupunya dengan senyum yang terus mengembang.

Saat kembali ke ruangan, Endra mendapat telpon dari Wafa.

“Kamu bisa jemput aku jam 4 nggak? Aku mau ambil anggrek di tempat temen.”

“Jam empat ya…?” Endra berfikir sejenak. “Bisa diatur.”

“Oke aku tunggu ya.”

Jam empat kurang lima Endra sudah sampai di butik Wafa. Endra langsung masuk ke dalam ruangan Wafa tanpa permisi. Tidak ada orang diruangan tersebut. Wafa yang berdiri membelakangi Endra menoleh untuk melihat siapa yang datang.

“Hei.. udah dateng.. bentar ya.” Wafa cepat-cepat membereskan dokumen yang berantakan di  mejanya.

Endra memeluk Wafa dari belakang. Wafa yang kaget langsung berusaha melepaskan diri. “Endra apaan sih? Lepasin.”

“Nggak akan.”

“Nanti diliat orang.”

“Nggak ada siapa-siapa di sini.”

“Karyawan aku bisa masuk kapan aja.”

“Emang mereka nggak diajarin sopan santun buat ketok pintu dulu sebelum masuk?”

“Pokoknya lepasin.”

Endra pun akhirnya menyerah. Dia semakin yakin bahwa Wafa adalah seorang gadis yang lugu, walaupun tampilan luarnya memperlihatkan sosok metropolis.

“Sibuk banget kayaknya.” Endra duduk di kursi tamu sambil terus memperhatikan Wafa.

Wafa segera menyelesaikan pekerjaannya membereskan dokumen. Ia memutar tubuhnya untuk melihat ke arah Endra. “Emang kamu aja yang boleh sibuk?”

“Oww.. kesetaraan perempuan.” Endra mengangguk-angguk.

Wafa mengambil tasnya. “Yuk.”

Mereka pun pergi sesuai dengan keinginan Wafa. Setelah mengambil bunga anggrek yang dipesan Wafa, Endra mengantarnya pulang. Karena Wafa memesan dua pot anggrek, Endra membantu membawa pot-pot itu sampai ke dalam apartemennya.

“Ini mau ditaruh dimana? Bukannya bunga harus kena sinar matahari ya?”

“Iya .. makanya ditaruhnya di beranda luar aja.” Wafa menunjukkan pintu menuju beranda.

“Di pojok kanan ya?” Endra meletakkan box berisi dua pot bunga anggreknya di sudut kanan beranda.

“Pot yang satu di pojok kanan, yang satu di pojok kiri.”

Endra mengangkat pot dari box dan meletakkannya seperti keinginan Wafa.

“Oke” Wafa melihat dan mengangkat jempolnya. “Boxnya biarin di situ aja dulu, besok aku beresin.”

“Emang nggak repot harus ngurus bunga?” Endra membersihkan tangannya.

“Makanya aku pilih anggrek. Nggak perlu tanah jadi nggak terlalu repot. Cukup disiram sama dikasih pupuk.” Wafa memperhatikan kedua pot barunya dengan gembira.

“Rumah tanpa bunga itu gersang.” Wafa mengemukakan alasannya. “Eh kamu mau minum apa?”

“Apa aja” Endra melihat sekeliling. Apartemen ini tertata rapi dan sangat nyaman.

“Makan disini ya.. nanti aku masakin.” Wafa menuju dapurnya.

“Kamu bisa masak?”

“Bisa dong.” Wafa membuka kulkas untuk mengambil minuman kaleng.

Sesaat kemudian terdengar suara adzan memanggil umat untuk menyembah Tuhannya.

“Eh adzan tuh, jamaah yukk.. imamin aku.”

“Apa?” Endra terkejut mendengar permintaan Wafa.

“Ayo..” Wafa menarik tangan Endra dan menunjukkan kamar mandi untuk berwudhu.

Wafa menyiapkan sajadah di ruang tengah saat Endra kembali setelah berwudhu.

“Giliran aku, tunggu bentar ya.”

Endra tidak percaya dengan yang terjadi. Seumur hidup dia hanya menjadi imam saat pelajaran agama di sekolah. Betapa anehnya hidup, pahala dan dosa terjadi secara bersamaan. Saat ini dia akan menjadi imam atas gadis yang merupakan selingkuhannya. Walaupun dia mengatakan tidak berselingkuh, dalam lubuk hatinya dia tahu bahwa yang dia lakukan saat ini adalah perselingkuhan.

Endra melakukan tugasnya sebagai imam dengan baik. Walaupun dia bukan seorang muslim yang baik, Endra telah belajar banyak dari Sigra untuk sedikit demi sedikit melakukan kewajiban sebagai hamba. Lagipula dia telah merasakan manfaat yang besar dari usahanya mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan doa dia bisa mendapat sedikit ketenangan dalam hidup.

Wafa tidak percaya bahwa setelah enam tahun, akhirnya dia diimami oleh suaminya. Walaupun suaminya tidak tahu hubungan mereka sebenarnya, tetapi ini benar-benar saat terindah yang pernah dia rasakan setelah menikah. Sebenarnya Wafa ingin sekali mencium tangan imamnya itu, tetapi dia menahan diri. Dia tidak ingin terlihat berlebihan.

Setelah itu, Wafa segera memasak. Untuk makan malam, Wafa memasak spaghetti. “Ini pertama kalinya aku memasak makanan untuk suamiku”. Wafa begitu bahagia saat ini. Dia merasa telah melakukan kewajibannya sebagai istri. Walaupun suaminya tidak tahu bahwa yang saat ini sedang memasak adalah istrinya sendiri.  

Sementara itu Endra menunggu di ruang tengah sambil menonton TV dengan santai. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, Endra akan sibuk dengan laptopnya, membaca dokumen-dokumen penting, memeriksa keadaan perusahaan, menelpon rekan bisnis, atau apapun juga yang berhubungan dengan pekerjaan disaat istrinya menyiapkan makan malam. Namun sekarang, Endra bahkan tidak memikirkan pekerjaan sama sekali.

“Makan malam siap…” Wafa memanggil dari ruang makan.

Endra menghampiri sambil melihat makanan yang tersaji di meja, kemudian duduk.

“Yang gampang aja yah biar cepet.” Wafa meletakkan gelas minum dan duduk di kursinya.

“Yang penting enak.” Endra menjawab sambil tersenyum dan mengambil garpunya.

“Cobain deh.” Wafa menunggu Endra mencoba masakannya.

Endra mencoba spaghettinya dan merasakannya. “Enak. Pinter juga kamu masaknya.” Entah makanannya yang enak atau suasananya yang membuat makanannya menjadi enak.

“Yes.” Wafa senang sekali.

“Kamu kok nggak makan? Emang kenyang ya ngeliatin aku doang?” Endra menggoda sambil melihat ke arah Wafa yang belum menyentuh makanannya.

Wafa tersipu dan mulai memakan makanannya. Ini makan malam terindah dalam hidupnya. Wafa tidak sabar untuk memasak makanan lain untuk Endra. Selain merancang busana, memasak adalah hal yang selalu membuatnya bersemangat. Terlebih lagi untuk lelaki yang telah membuatnya begitu bahagia saat ini.
Selesai makan, mereka menonton TV di ruang tengah. Endra merangkul Wafa dan menariknya mendekat sampai Wafa bersandar di bahunya namun Wafa segera melepaskan diri. Walaupun Wafa sangat menyadari bahwa laki-laki yang sedang memeluknya adalah suaminya sendiri, dia tetap merasa tidak nyaman karena Endra tidak tahu yang sebenarnya.

“Kenapa sih?”

“Nanti kebablasan.” Wafa tidak berbohong. Dia memang merasa sedikit takut jika mereka berdua tidak bisa menahan diri. Kalaupun hal itu harus terjadi, Wafa ingin mereka melakukannya dengan kesadaran penuh akan siapa diri mereka sebenarnya. Tidak seperti saat ini yang penuh dengan kepura-puraan.

“Oke”. Endra menjauhkan tangan dari Wafa dan melanjutkan menonton TV bersama. Sebelumnya, Endra tidak pernah melakukan hal-hal kecil seperti ini dengan istri-istrinya. Biasanya, setelah selesai makan malam Endra melanjutkan pekerjaannya. Setelah pekerjaannya selesai, mereka masuk kamar.

“Kamu nggak ada pekerjaan?”

Pertanyaan Wafa sedikit mengagetkan Endra. “Eh.. kerja? Nggak penting.”

“Seorang Kagendra Mahawirya bilang kalo kerjaan itu nggak penting?” Wafa melihat Endra dengan pandangan tidak percaya.

“Apa gunanya punya anak buah?” Endra melemparkan senyum tipis.  “Eh kenapa kamu pikir aku gila kerja?” Endra merasa sedikit aneh karena Wafa terdengar begitu mengerti dirinya padahal mereka baru berkenalan beberapa hari saja.

“Ya… kamu kan pengusaha muda. Semua eksekutif muda itu gila kerja. Apalagi posisi kamu nggak main-main.” Penjelasan Wafa terdengar masuk akal.

Endra menganguk-angguk. “Tapi sekarang kan ada kamu. Istirahat sebentar boleh lah.. enggak akan ancur perusahaan kalau cuma ditinggal bentar.”

“Kamu pinter banget ya ngerayu perempuan. Kalau ahli emang beda.” Wafa memang mengejek Endra tapi entah mengapa, sebenarnya Wafa merasa kalau perkataan itu tulus dari hati Endra, bukan sekedar rayuan.

Perkataan Wafa membuat Endra sadar bahwa ia sepertinya sudah sedikit lupa diri. Seharusnya dia tarik ulur dahulu agar Wafa semakin terpesona dan tidak bisa lari darinya. “Tapi.. kayaknya sekarang udah malem deh.”

“Dari tadi kali malemnya.”

“Maksudnya udah terlalu malam. Aku pulang ya.” Endra berdiri.

“Pulang?”

“Iya.. pulang. Kan udah malem, kamu juga harus istirahat.”

“Ya udah kalau kamu mau pulang.” Raut Wafa terlihat kecewa.

“Bukannya nggak mau lebih lama sama kamu.” Endra bisa menangkap kekecewaan Wafa. “Kalau diterusin, aku bisa minta lebih.” Endra mengedipkan matanya. “Bahaya.”

Wafa menjadi salah tingkah.

“Aku pulang ya?” Endra berdiri dan merapikan bajunya.

Wafa menganggukkan kepalanya dan berdiri.

Mereka berdua menuju pintu. Endra berhenti sebelum membuka pintu. Raut wajahnya sedikit berubah sehingga membuat Wafa khawatir.

“Kayaknya besok aku nggak bisa ketemu kamu deh.”  Endra ragu tapi dia harus mengatakan itu karena jadwalnya memang sangat padat buat esok hari.

“Kenapa?” Wafa kaget dan takut. Baru saja dia berhasil membuat Endra tertarik, tetapi sepertinya Endra mulai bosan padanya.

“Besok banyak meeting dari pagi sampe malem.” Endra berbicara dengan pelan takut jika menyakiti hati Wafa.

Wafa hanya menarik nafas tanpa berkata-kata. Dia benar-benar takut kalau ini malam terakhirnya.

“Kan masih ada lusa, besoknya lagi, besoknya lagi.” Endra berusaha meyakinkan Wafa. Biasanya dia tidak pernah peduli jika ada istrinya yang protes jika dia tidak datang. Tetapi Wafa bukan istrinya. Wafa itu spesial.

“Jangan cemberut dong, besok aku telfon ya? Video call deh, biar bisa liat cantiknya kamu.” Endra sangat berharap kali ini rayuannya berhasil.

Melihat tidak ada reaksi dari Wafa, Endra menyentuh pipi Wafa. Perlahan dia mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Wafa.

Wafa terkejut, dia tidak menyangka Endra akan menciumnya walaupun hanya di pipi. Terlebih lagi dia terkejut karena selama ini hanya ibu dan ayahnya saja yang pernah mencium pipinya. Tapi Wafa tidak berusaha mengelak. Toh yang menciumnya adalah suaminya sendiri.


_____________________________________________________________


Prolog                   << Bab Sebelumnya              Bab Selanjutnya >>
 

 Beranda 

Jumat, 11 Juli 2014

Perselingkuhan Terakhir BAB III



Bab III

“Ica kan? Apa kabar? Kamu cantik banget sekarang.”

“Ike ya? Ya ampun… udah lama banget nggak ketemu.” Wafa memeluk sahabat lamanya itu. Sudah lebih dari tiga tahun dia tidak berjumpa dengan Ike setelah sahabatnya itu menikah.

“Iya kok kebetulan banget sih bisa belanja bareng di sini.” Ike terlihat sedikit lebih gemuk. Disebelahnya ada seorang anak perempuan yang melihat keatas dengan pandangan yang ingin tahu.

“Ini anak kamu?” Wafa jongkok didepan anak itu. “Halo namanya siapa?” Anak itu tidak menjawab.

“Namanya Vini tante.” Ike memperkenalkan anaknya

“Ini tante Ica temen mama, salim sama tante.” Ike meminta anaknya dengan lembut. Terlihat sekali sisi keibuannya.

Vini melakukan perintah mamanya dengan malu-malu.

Untung sekali hari ini Wafa tidak sibuk sehingga ia memiliki banyak waktu luang untuk melepas rindu dengan sahabatnya. Mereka melanjutkan belanja sambil bercerita tentang kehidupan masing-masing.

“Jadi sekarang kamu pake nama Wafa?”

“Iya… namanya unik dan artinya kesetiaan. Bagus buat bisnis. Wafa tersenyum bangga. Semenjak berhasil membangun butiknya sendiri, kepercayaan diri Wafa terus meningkat. Sekarang dia bukan lagi gadis kampung yang sering menjadi bahan ledekan teman-teman di pabrik tempat dia bekerja.

“Bisnis woman emang beda ya. Nama aja harus ganti.”

“Aku nggak ganti nama. Itu kan emang nama aku. Cuma sekarang aku pake yang di belakang bukan yang depan.”

“Jadi aku harus panggil kamu Wafa juga?”

“Nggaklah.. kamu tetep bisa panggil aku Ica. Asal jangan Misha”

Raut wajah Ike langsung memperlihatkan tanda tanya. “Kenapa?”

“Gitu deh.” Wafa berusaha untuk menghindar. Ia bukannya mau menutupi kenyataan hidupnya dari sahabatnya itu, tapi dengan adanya Vini, Wafa merasa tidak nyaman untuk bercerita karena Vini masih terlalu kecil untuk mendengarkan cerita seperti itu.

Setelah berbelanja, Vini mengajak mamanya ke taman bermain. Ike membiarkan anaknya bermain dan meneruskan obrolan dengan Wafa. Dengan begini, Wafa lebih leluasa untuk bercerita.

“Kamu masih nikah sama orang itu?” Waktu Wafa menikah, Ike tidak percaya jika sahabatnya itu mau melakukan hal yang baginya kurang masuk akal. Saat ini, Ike lebih tidak percaya lagi karena sahabatnya ternyata  masih terikat pernikahan itu.

“Iya.” Wafa mengangguk dengan lemah.

“Kenapa nggak cerai aja? Kamu sekarang kan udah bisa berdiri sendiri?”

Wafa menggelengkan kepalanya. “Dia nggak bisa. Bapaknya nggak bolehin dia cerai sampai sepuluh tahun pernikahan.”

“Aneh banget sih?” Ike benar-benar merasa kasihan pada sahabatnya yang terjerumus dalam pernikahan super aneh seperti ini.

“Ya gitu deh.”

“Tapi kamu kan punya hak untuk hidup bahagia dan menikah dengan lelaki normal.”

“Aku bahagia kok.” Wafa berusaha tersenyum.

“Bahagia itu nggak bisa dinilai sama uang.”

“Makanya aku berusaha mengejar kebahagiaan aku.” Kali ini senyuman Wafa penuh arti.

Wafa menceritakan rencananya pada Ike yang terus saja menggeleng-gelengkan kepalanya. Ike terheran-heran dengan mendengar rencana gila sahabatnya. “Kamu gila ya.. trus tiga harinya kapan?”

“Hari ini, nanti malem aku mau diner sama dia.” Wafa bersemangat.

“Ya Allah.” Ike kembali menggelengkan kepalanya.

“Seru ya hidup aku?” Wafa tertawa lepas.

“Aku jadi pengen tahu kayak apa sih dia?”

“Emang kamu nggak pernah nonton TV?”

“Apa hubungannya? Emang dia artis? Bukannya dia pengusaha ya?”

“Kagendra Mahawirya.” Wafa berkata pelan tapi tegas.

“Selingkuhannya model itu? Itu dia?” Ike terbelalak dan semakin tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Wafa hanya menganggukkan kepala.

“Kamu nikah sama laki-laki macem itu?”

“Begitulah.”

“Ya ampun Ca.. kamu tuh kasian banget sih.” Ike memegang tangan Wafa untuk memberikan dukungan moral.

“Makanya aku harus melakukan sesuatu.”

“Kamu yang sabar ya… “ Ike hanya bisa berempati dengan sahabat baiknya.

***

Pertemuan dengan Ike menambah semangat Wafa. Malam ini dia memilih dress hitam selutut dan memilih perhiasan kecil tapi cantik. Makeupnya pun sederhana. Dia tidak ingin terlihat berlebihan dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Pengalaman dengan baju ketat sudah memberinya pelajaran bahwa menjadi orang lain hanya akan membuatnya hilang kendali.

Saat Endra menjemputnya, Wafa tidak bisa menahan kekagumannya. Tubuh yang gagah dengan balutan jas hitam membuat Endra terlihat begitu lelaki. Semua yang ada ditubuh Endra tidak ada yang murah sehingga orang yang melihatnya pasti tahu bahwa laki-laki ini bukan orang sembarangan. Namun, yang paling mahal dari sosok Endra adalah pesona diri yang luar biasa sebagai laki-laki yang memiliki kuasa.

Pesona yang ditebarkan Endra memang luar biasa sampai-sampai mobil mewah yang memiliki jok empuk dilapisi kulit asli tidak bisa membuat Wafa merasa nyaman. Namun, Wafa adalah perempuan dengan harga diri sehingga dia tetap berusaha keras untuk duduk tenang disepanjang perjalanan.

Wafa dan Endra sampai di sebuah restoran mewah. Saat memasuki restoran itu, Wafa merasa terbuai.  Suasananya benar-benar romantis. Dekorasinya bergaya Eropa kuno. Seorang pemain piano memainkan lagu klasik dan ada cahaya lilin di setiap meja. Yang makan di tempat itu adalah orang-orang kelas atas yang berpenampilan sangat menarik dan sangat menjaga sopan santun di meja. Tidak ada seorangpun yang berbicara keras.

“Kamu cantik malam ini.” Kedua mata Endra menatap lembut wajah Wafa.

 “Sekarang udah nggak jamannya ngegombal.”

“Tapi jauh di dalam lubuk hati, perempuan selalu bahagia saat digombali.” Endra pun melemparkan senyum yang mematikan.

“Susah ya kalau bicara sama playboy kelas paus.”

“Aku lebih suka hiu. Lebih lincah dan serangannya mematikan.”

Wafa hanya bisa menarik nafas.

Mereka duduk di meja yang telah dipesan Endra. Wafa mengambil menu yang ada di meja. Mereka memesan makanan dan minuman yang semuanya merupakan menu Eropa.

“Wine?” Endra menawarkan.

Aku nggak minum alkohol.”

“Bagus.. aku juga nggak minum.”

Wafa menampakkan raut yang tidak percaya.

“Alkohol tuh haram.” Endra menjawab pertanyaan yang tak terucap dari Wafa.

“Hari gini kamu bicara haram?”

“Iya.. dosa tau kalau minum alkohol.”

Emang yang kamu lakuin ini nggak haram?” Bukan hanya nada bicaranya, namun raut muka Wafa juga terlihat sinis.

Endra tau pasti apa yang dibicarakan Wafa. “Dimana haramnya?”, dia bertanya.

“Selingkuh itu haram.”

Endra tersenyum dan berusaha mempertahankan diri. “Pertama. Aku nggak selingkuh.”

Wafa tersenyum kecut mendengar kata-kata Endra.

“Selingkuh itu kalau kita curang sama pasangan kita. Aku nggak curang. Semua istri aku tau kalau aku suka mencari wanita baru. Mereka tidak keberatan dengan itu.” Endra berkata dengan santainya.

Emosi Wafa melonjak. Dia tidak percaya bisa mendengar kata-kata seperti itu. Tapi dia harus bisa meredam emosi kalau tidak mau rencananya gagal. Dia harus lebih pintar dari Endra. Setelah menarik nafas dalam, Wafa berusaha untuk melanjutkan permainan. “Kedua?”

“Kedua apanya?” Endra melihat Wafa dengan pandangan tidak mengerti.

“Tadi kamu bilang pertama, berarti ada yang kedua.” Wafa menguatkan diri karena tidak mungkin jika permainan ini harus terhenti di sini dengan kekalahannya.

“Kedua….  “ Endra menjadi salah tingkah. Ia lupa apa yang kedua.

Wafa diam menunggu jawaban Endra.

“Aku nggak pernah tidurin perempuan sebelum nikahin mereka.” Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Endra tanpa bisa dicegah.

Wafa benar-benar ingin muntah. Kali ini dia tidak bisa menahan emosinya lagi.

“Kamu emang bejat ya…” Wafa berdiri, mengambil tasnya, dan segera melangkah pergi.

“Bodoh!” Endra memarahi dirinya sendiri. Dia tidak tahu mengapa dia bisa sebodoh itu dan berbicara tanpa berfikir. Wafa benar-benar membuatnya hilang kontrol.

Endra segera mengejar Wafa.

“Fa.. tunggu.” Dengan badannya yang atletis, tidak sulit baginya untuk mengejar Wafa. Endra memegang tangan Wafa untuk menghentikannya. “Maaf aku nggak bermaksud… Aku kelepasan ngomong tadi…”

Wafa tidak bisa menghentikan air mata yang keluar dari matanya dan hanya bisa menangis tanpa kata-kata.

“Aku nggak tau kenapa, tapi kamu bener-bener bikin aku gila sampai nggak bisa mikir.” Endra berusaha untuk membuat Wafa menatapnya. “Sejak pertama kali ketemu kamu, aku langsung tertarik sama kamu. Makanya aku berusaha untuk dapetin kamu walaupun kamu bukan tipe aku.”

Pengakuan Endra membuat Wafa terkejut yang dengan reflek langsung menatap Endra. “Maksudnya?” Kali ini Wafa membuka mulutnya sambil gemetar.

“Kamu itu perempuan yang kuat dan mapan. Aku nggak bisa tawarin uang sama kamu.”

“Hehh? Emang aku matre?”

“Justru karena kamu bukan matre, makanya aku nggak tahu harus gimana sama kamu.”

“Aku semakin nggak ngerti deh.”

Endra berpikir sebentar. Dia harus mempersiapkan kata-kata yang benar agar Wafa tidak salah paham. “Kamu tau kan kalau aku punya istri lebih dari satu?”

Wafa mengangguk.

“Waktu aku bertemu mereka pertama kali, mereka itu dalam keadaan yang membutuhkan uang banyak. Jadi, aku dengan mudah menawarkan uang aku untuk mendapatkan mereka. Tapi kamu beda sama mereka, aku jadi nggak ngerti apa yang harus aku tawarkan supaya kamu mau sama aku.”

Dada Wafa terasa sesak. Apa yang terjadi padanya dahulu sama seperti apa yang terjadi pada istri-istri Endra yang lain. Ia juga menikahi Endra karena uang. Jika saja Endra tahu siapa dirinya, pasti Endra sangat marah saat ini.

“Sudahlah.. kita nggak usah ngebahas hal yang nggak penting. Pokoknya aku suka sama kamu dan kamu juga suka kan sama aku? Kamu nggak bisa sembunyiin itu. Pandangan mata kamu…., gerak tubuh kamu…”

Wafa salah tingkah. Endra benar-benar bisa membaca hatinya. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Wafa jika dia akan terperangkap dalam permainan hati yang sulit seperti ini.

“Kita jalan aja dulu. Kita liat apa yang akan terjadi nanti.” Endra berusaha untuk meyakinkan Wafa untuk menjalin hubungan dengannya.

“Enggak tau ah.” Wafa benar-benar ragu untuk melanjutkan rencananya. Sepertinya Kesara benar bahwa bukannya Endra yang jatuh cinta padanya, tetapi justru dia yang lebih dahulu bertekuk lutut dihadapan Endra.

“Udahlah, nggak usah ngelak lagi. Ikutin aja perasaan kamu. Kamu senengkan ketemu aku?”

“Tapi aku nggak sebejat kamu.” Wafa kembali berjalan menjauh. Ia berusaha menghindar dari kenyataan.

“Tapi kamu dateng kesini tanpa paksaan padahal kamu udah tau aku gimana.” Endra berteriak.

“Aku...” Langkah Wafa terhenti.

“Kamu tau bener apa yang aku mau dan kamu tau bener keadaan aku seperti apa.”

Kali ini Endra memang benar. Sejak awal Wafa sudah tahu apa yang akan dihadapinya. Wafa tau pasti apa diinginkan Endra dan hampir semua orang di negara ini juga tahu seperti apa Endra. Cukup satu skandal dengan selebritis dan terbongkarlah semuanya. Tapi bagaimana mungkin dia melanjutkan permainan ini jika belum apa-apa Endra sudah berhasil menguasai keadaan?

“Udah dong jangan nangis gitu.” Endra menyesal telah membuat perempuan yang disukainya menangis. Endra berusaha menghapus air mata Wafa dan kemudian memeluknya.

Pelukan Endra terasa hangat. Ini pertama kalinya Wafa dipeluk oleh suaminya. Entah mengapa Wafa merasa begitu tenang dan terlindungi. Kemarahan dan kegundahannya langsung hilang.

Di lain pihak, Endra merasakan sesuatu yang berbeda. Dia merasa harus melindungi Wafa. Perempuan ini terlihat kuat tetapi rapuh. Perempuan ini pintar tapi lugu.

Keduanya melepaskan pelukan dan menjadi salah tingkah. Selama beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang terucap dan tidak ada satupun gerakan dari keduanya.

“Kita makan di tempat lain aja yukk.. yang santai gitu?” Endra memecahkan keheningan.

Wafa tidak menjawab pertanyaan Endra. Otaknya masih kosong.. tidak bisa berpikir.

“Gimana kalau pecel ayam pinggir jalan?” Endra ingin tahu apakah Wafa adalah perempuan seperti yang dia pikirkan.

Hanya anggukan yang bisa dilakukan Wafa untuk menjawab pertanyaan Endra. Sebenarnya dia ingin sekali berlari sejauh-jauhnya, tetapi ada sesuatu di dalam hatinya yang mencegahnya untuk melakukan itu.

***

Mereka memasuki warung pecel ayam lesehan. Wafa sedikit kikuk. Dulu tempat seperti ini adalah tempat kesukaannya. Tapi, setelah dia memasuki dunia high-class, dia tidak pernah menginjakkan kaki lagi di warung pinggir jalan. Dia memang bekerja keras untuk bisa masuk ke dunia kelas atas sehingga berusaha melupakan masa lalunya. Dia berpikir apakah aturannya masih sama seperti waktu dulu atau sekarang dia harus memakai sopan-santun saat makan di tempat seperti ini. Terlebih lagi dia bersama dengan Endra. Jangan sampai Endra tahu siapa dia sebenarnya.

Endra memperhatikan tingkah Wafa yang kikuk. Sepertinya Wafa memang perempuan dari kelas atas yang tidak pernah makan di tempat seperti ini. Kalau begini benar-benar berat. Uang sama sekali bukan masalah bagi Wafa. Dari gerak-geriknya juga terlihat jelas bahwa Wafa bukanlah perempuan yang senang bermain-main dengan laki-laki. Wafa begitu santun baik dalam tutur kata maupun tingkah laku. Lalu apa yang bisa dia tawarkan? Tidak mungkin dia menawarkan cinta. Tidak akan ada wanita yang percaya jika seorang Kagendra Mahawirya masih memiliki rasa cinta.

Namun, walaupun masing-masing mengalami kegalauan dalam hati, tidak ada satupun yang ingin menyerah saat ini. Mereka berusaha untuk membuat keadaan menjadi senormal mungkin. Urusan selanjutnya akan dipikirkan nanti.

Makan malam berlalu tanpa sesuatu yang luar biasa. Wafa berusaha untuk tenang dan menikmati makanan yang sudah bertahun-tahun tidak dimakannya. Dia lumayan kangen dengan makanan seperti ini. Endra juga menikmati makanannya. Yang pasti dia menikmati percakapan ringan dengan Wafa yang ternyata cukup berwawasan luas.

Setelah selesai makan, Endra mengantarkan Wafa ke apartemennya.

“Aku nggak usah masuk ya.. udah malem.” Endra berdiri di dekat mobilnya setelah membukakan pintu mobil untuk Wafa.

“Iya.. kamu ati-ati ya pulangnya.” Wafa menggangguk.

“Jangan lupa mimpiin aku.” Endra mengedipkan matanya.

“Dasar buaya.”

“Udah gih masuk. Kalau berdiri di sini terus nanti masuk angin.”

Tiba-tiba Wafa merasakan dorongan aneh di hatinya. Ia merasa takut, tetapi dorongannya sangat kuat sehingga ia tidak mampu melawan. Dengan sedikit ragu, Wafa mendekati Endra dan mencium pipinya. Kemudian dia berlari masuk ke apartemennya meninggalkan Endra yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
_____________________________________________________

Prolog                  << Bab Sebelumnya            Bab Selanjutnya >>


Beranda