Bab IV
Wafa tidak percaya bahwa dia telah mencium Endra. Dia belum
pernah mencium laki-laki sebelumnya, kecuali ayahnya. Tapi apa yang terjadi
tadi memang terjadi begitu saja. Lalu apa yang akan dipikirkan oleh Endra?
Pasti bagi Endra hal ini biasa saja karena dia pasti sudah merasa yang lebih
dari ini. Wafa berusaha keras untuk menenangkan diri dan tidur agar lebih siap
menghadapi esok.
Namun, walaupun Wafa yakin bahwa Endra tidak akan menganggap
kecupan tadi malam sebagai hal yang penting, ternyata tidak seperti itu bagi
Endra. Pagi hari dia langsung mendatangi Sigra untuk bercerita.
“Gila tuh
perempuan.” Endra bercerita penuh semangat pada Sigra yang enggan
memperhatikannya dan terus saja sibuk dengan laptopnya.
“Dia cium pipi
aku trus lari. Dia itu kayak anak SMA. Kayak yang baru sekali pacaran.” Endra
tidak peduli dengan ketidakacuhan sepupunya dan terus saja bercerita. “Kamu harus liat sendiri nanti kamu baru
tahu gimana gaya anehnya dia itu.”
Sigra masih saja
tidak peduli pada sepupunya dan sibuk dengan pekerjaannya.
“Buset deh nih
cewek.” Endra tidak bisa menyangkal bahwa Wafa telah berhasil membuat
hatinya bergejolak. Endra bahkan sudah melupakan prinsip hidup utamanya yaitu
menempatkan pekerjaan di atas apapun. Hanya Wafa yang menjadi hal terpenting
dalam hidupnya saat ini.
“Tadi perempuan sekarang
cewek, mana yang bener?” Sigra akhirnya berkomentar
“Komentar yang
penting dikit kek.” Endra tidak suka jika sepupunya itu tidak mengacuhkannya.
Tapi dia tetap melanjutkan ceritanya karena dia tidak bisa menahannya. “Dia itu manissss banget. Lugu. Tapi
pinter.”
“Katanya lugu
tapi pinter” Sigra benar-benar kesal dengan cerita sepupunya dan berkata tanpa
melepaskan pandangan dari laptopnya.
“Jadi gini. Kalau
masalah pengetahuan umum, bisnis, dan bahkan politik, dia itu wawasannya luas
dan pola pikirnya maju.”
“Tapi?”
“Dalam urusan
laki-laki dan perempuan, dia nggak ada apa-apanya.”
“Ya iyalah kalau
bandingannya sama kamu.” Sigra sangat tau bagaimana caranya berkomentar
sinis.
“Sinis banget sih?” Sebenarnya, Endra mengerti benar kalau sepupunya itu sudah
muak dengan gayanya yang senang berganti-ganti perempuan. Tapi dia tahu
bahwa sepupunya itu tidak pernah
membencinya.
“Itu kenyataan
bro.”
“Terserah lah..
aku mau siap-siap dulu ya..” Endra berdiri dari kursi dan melangkah kea
rah pintu.
“Mau kemana?”
“Kencan… Sama
Wafa.” Dengan senyuman mengembang, Endra
meninggalkan Sigra yang menatapnya tidak percaya.
Sigra melihat ada
sesuatu yang berbeda pada
pancaran mata Endra. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya sepanjang dia menjadi
sepupu pengusaha muda yang kini berkuasa atas empat perusahaan besar di
Indonesia. Apakah kali ini akan terjadi sesuatu yang besar? Sigra berharap
gadis ini adalah yang terakhir untuk Endra.
***
Biarlah dunia
berkata apa, Endra tetap melanjutkan perburuannya. Dia mempersiapkan diri
dengan baik untuk tampil mempesona.
“Hai cantik”.
Endra tersenyum begitu melihat Wafa keluar dari butiknya. Hari ini Wafa mengenakan blouse berwarna merah muda
dengan motif bunga yang ceria. Bajunya tertutup tapi sangat cantik. Sangat
berbeda dengan waktu pertama kali mereka bertemu.
“Hai ganteng.”
Wafa membalas senyum Endra yang juga tampil mempesona. Dengan kemeja biru
langit yang begitu rapi, celana hitam, dan sepatu kulit yang begitu mengkilap,
terlihat benar gaya seorang eksekutif muda. Rambutnya tersisir rapi dan
wajahnya begitu bersih. Saat mendekat, aroma parfumnya membuat wanita lupa
diri.
“Siap?”
Endra membukakan pintu mobil untuk Wafa.
“Yuk mari.”
Wafa segera duduk di dalam mobil dan mereka pun segera pergi.
Mereka berdua
pergi ke mall. Wafa ingin melihat-lihat tren busana terbaru dan juga melakukan
riset pasar. Sebenarnya Endra paling tidak suka menemani teman wanitanya
ke mall, karena baginya saat melihat wanita begitu heboh melihat satu baju ke
baju lainnya, mencoba, dan meminta komentarnya adalah hal yang paling
membosankan. Tapi kali ini ia bersama Wafa, wanita yang selalu bisa
menghilangkan rasa bosan Endra.
“Bukannya kamu
harus membuat tren baru dan bukan mengikuti tren standar?.” Endra
berjalan di belakang Wafa yang sangat serius melihat koleksi-koleksi busana
terbaru.
“Gimanapun juga
kan tetep harus update sama tren biar nggak ketinggalan.” Wafa berjalan menuju
rak pakaian kerja.
“Tapi orang
datang ke butik kamu untuk beli sesuatu yang nggak ada di mall.” Kata Endra
sambil terus mengikuti Wafa.
“Nah itu dia. Aku
kesini untuk tau apa yang ada disini jadi aku akan buat yang tidak ada di sini.”
Wafa melihat kearah Endra dan tersenyum.
“Betul..betul.”
“Seharusnya kamu
lebih tau masalah ini. Perusahaan konveksi kamu kan besar sekali.”
“Kalau aku kan produksi
masal. Jadi memang harus selalu mengikuti tren yang ada. Tapi kita juga
nggak selalu berkiblat sama tren.
Aku punya banyak desainer untuk bikin tren baru, jadi kita bisa menawarkan sesuatu
yang lain. Kamu harusnya lebih eksklusif lagi kan?”
“Butik aku kan
baru dan pasar kelas menengah. Harus tetap mengikuti tren tapi ada sentuhan
berbeda yang membuatnya eksklusif.
Kalau aku bikin rancangan yang super berbeda dan eksklusif, biasanya itu untuk
pelanggan khusus kayak mama kamu.”
“Tapi banyak
desainer yang cukup browsing untuk tau tren terbaru. Ini kan jamannya internet.”
“Aku senang aja jalan-jalan
ke mall. Kan sama kamu.” Wafa mengerlingkan matanya. Dalam hatinya, ia tidak percaya jika ia bisa segenit ini.
Endra tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kalau disini nggak banyak orang, aku cium kamu.”
“Cium aja kalau
berani.” Wafa menantang.
“Oh… jangan pernah menantang Endra.” Endra
melingkarkan tangannya ke pinggang Wafa dan menariknya mendekat.
“Endra apaan
sih,,, banyak orang tau.” Wafa cepat-cepat melepaskan diri.
“Aku kan udah
bilang, jangan pernah menantang Endra.” Senyumnya penuh kemenangan.
Setelah
berkeliling, Wafa merasakan perut meminta untuk diisi. Ia mengajak Endra makan ayam goreng cepat saji
yang menjadi kesukaannya.
“Kelaparan bu?”
Endra heran melihat Wafa yang makan dengan begitu lahapnya.
“Aku tuh suka
banget ayam goreng. Waktu aku kecil, ini tuh makanan mewah.” Wafa menjawab
sambil tetap menikmati makanan di hadapannya.
“Makanan mewah?”
Endra mengernyitkan keningnya.
Wafa menyadari
kesalahannya. Bisa bahaya jika Endra tau masa kecilnya susah. Dia berusaha
memikirkan kalimat yang tepat supaya Endra tidak curiga.
“Maksud aku..
ee.. waktu kecil aku nggak boleh banyak jajan.” Setidaknya Wafa tidak berbohong
tentang itu. Waktu kecil, bisa makan di tempat seperti ini mungkin hanya satu
tahun sekali. Itupun tidak boleh pesan macam-macam.
Endra tertawa
kecil. “Sama.. mama juga
ketat banget soal makanan. Dia tuh sok kaya, sok eksklusif. Kalau makan harus
di restoran mewah. Makanan kayak gini nggak dianggap sama dia. Alasannya
banyak. Nggak sehatlah… berisik tempatnya.. dan masih banyak lagi.”
“Apa? Jadi kamu
juga jarang makan gini?” Terkejut mendengar cerita Endra, Wafa pun menghentikan
makannya.
“Iya,
padahal kan enak. Bapak sih ngebolehin kami makan ginian, tapi buat jalan sama
bapak tuh susah banget saking sibuknya.” Semangatnya bercerita membuatnya semakin lahap memakan ayam goreng
yang ada di hadapannya.
Wow. Ternyata orang kaya pun susah untuk makan makanan seperti ini. Tapi
begitu ironis. Wafa tidak bisa makan karena tidak ada uang sedangkan Endra
tidak bisa makan karena terlalu banyak aturan. Tapi saat ini ada ayam
goreng yang enak di hadapan Wafa, ia pun kembali melahap makanannya dan
melupakan semua ironi.
Selesai makan, Endra
mengantarkan Wafa pulang. Seperti sebelumnya, Endra hanya mengantarkan sampai
depan apartemen.
“Aku masuk dulu
ya.” Wafa membalikan tubuh untuk melangkah masuk.
Sebelum Wafa
melangkah, Endra menarik tangan Wafa, melingkarkan tangannya ke pinggang Wafa,
dan menariknya mendekat. Dia melihat keterkejutan di mata Wafa. “Supaya kamu
nggak lari.”
Wafa merasa tidak nyaman. Dia menoleh ke kanan dan kiri.
“Tenang nggak ada orang yang liat.” Endra langsung menangkap
apa yang dirasakan Wafa.
“Aku kan harus masuk kenapa jadi nggak boleh?” Wafa merasa
kuatir jika Endra akan melakukan sesuatu yang tidak pantas.
Endra menyodorkan
pipinya. Wafa tidak bereaksi. Endra pun menunjuk pipinya.
Akhirnya Wafa mengerti maksud Endra. Tapi, ia merasa malu dan berusaha melepaskan diri.
“Aku nggak akan
lepasin sebelum kamu cium pipi aku.”
Wafa tidak punya
pilihan lain. Dia pun mencium pipi Endra.
“Nah gitu dong.
Jangan kaya pencuri. Habis dapet yang di mau langsung lari.”
“Maksudnya?” Dengan
nada bicara yang begitu polos, Wafa terlihat seperti anak kecil yang membuat
Endra begitu gemas.
“Kemaren kan kamu
cium aku langsung lari.”
Wajah Wafa pun langsung merona merah. “Sekarang udah nggak lari, lepasin dong.” Wafa yang
sangat malu berusaha melepaskan diri tetapi tangan Endra begitu kuat.
“Nggak ah… Belum puas.” Endra merasakan sesuatu yang
belum pernah ia rasakan sebelumnya dan dia merasa bahwa ia tidak akan puas
untuk merasakannya.
“Udah malem Dra…
ngantuk nih. Besok lagi ya…” Wafa tahu bahwa dia tidak boleh hanyut dan tetap
bermain pintar untuk mempertahankan ketertarikan Endra padanya.
“Hhhhhh…….Oke ibu
boss, sampai besok ya.” Endra mendaratkan kecupan di kening Wafa sebelum
melepaskan tangannya.
Endra masuk ke
mobil dan meninggalkan Wafa yang kesulitan untuk berdiri tegak. Kecupan tadi
membuat kakinya lemas. Ini tidak seperti yang ia rencanakan sebelumnya.
***
“Dia emang gadis
yang special”. Endra berkata dengan penuh senyum.
Sejak bertemu dengan
Wafa, senyuman selalu mengembang di wajah Endra. Hari ini senyumannya semakin
mengembang.
“Kamu yakin dia
masih gadis?” Sigra mencoba mengganggu kegembiraan Endra.
“Aku kan udah
bilang, dia itu kalau masalah hubungan lelaki dan perempuan masih kayak anak
SMA.”
“Kenyataannya,
anak SMA jaman sekarang banyak yang udah ga gadis.” Sigra tidak mau menyerah
secepat itu.
“Maksud aku kayak
anak SMA jaman kita dulu.” Endra mencoba bertahan.
“Waktu kita SMA,
banyak temen kita yang sudah melepaskan kesuciannya atas nama cinta yang
sebenarnya nafsu” Sigra tau benar bagaimana mematikan musuh.
“Oke bukan kayak
anak SMA.” Endra berhenti sebentar untuk berpikir. “Pokoknya aku tau mana yang
berpengalaman dan tidak.”
“Perempuan itu
pintar berpura-pura.” Sigra masih tidak mau kalah.
“Kali ini aku
yakin dia tidak berpura-pura.”
“Kalau memang dia
tidak berpengalaman dan masih lugu, kenapa dia mau sama orang yang track
recordnya kaya kamu?” Sigra tetap melawan dengan pintar. Dalam hal percintaan, Sigra memang lebih berpikir
logis.
“Itu
pertanyaannya dan aku harus dapet jawabannya.” Endra mengangguk-angguk.
“Hati-hati bro,
api itu panas.” Sigra kembali pada pekerjaannya. Mendengarkan cerita Endra sama
saja membuang waktu.
“Hotter is
better.” Endra meninggalkan ruangan sepupunya dengan senyum yang terus
mengembang.
Saat kembali ke
ruangan, Endra mendapat telpon dari Wafa.
“Kamu bisa jemput
aku jam 4 nggak? Aku mau ambil anggrek di tempat temen.”
“Jam empat ya…?”
Endra berfikir sejenak. “Bisa diatur.”
“Oke aku tunggu
ya.”
Jam empat kurang
lima Endra sudah sampai di butik Wafa. Endra langsung masuk ke dalam ruangan
Wafa tanpa permisi. Tidak ada orang diruangan tersebut. Wafa yang berdiri
membelakangi Endra menoleh untuk melihat siapa yang datang.
“Hei.. udah dateng..
bentar ya.” Wafa cepat-cepat membereskan dokumen yang berantakan di mejanya.
Endra memeluk
Wafa dari belakang. Wafa yang kaget langsung berusaha melepaskan diri.
“Endra apaan sih? Lepasin.”
“Nggak akan.”
“Nanti diliat orang.”
“Nggak ada siapa-siapa di sini.”
“Karyawan aku bisa masuk kapan aja.”
“Emang mereka nggak diajarin sopan santun buat ketok pintu
dulu sebelum masuk?”
“Pokoknya lepasin.”
Endra pun akhirnya menyerah. Dia semakin yakin bahwa Wafa
adalah seorang gadis yang lugu, walaupun tampilan luarnya memperlihatkan sosok
metropolis.
“Sibuk banget
kayaknya.” Endra duduk di kursi tamu sambil terus memperhatikan Wafa.
Wafa segera menyelesaikan pekerjaannya membereskan dokumen.
Ia memutar tubuhnya untuk melihat ke arah Endra. “Emang kamu aja yang boleh sibuk?”
“Oww.. kesetaraan perempuan.” Endra mengangguk-angguk.
Wafa mengambil
tasnya. “Yuk.”
Mereka pun pergi sesuai dengan keinginan Wafa. Setelah mengambil bunga anggrek yang
dipesan Wafa, Endra mengantarnya pulang. Karena Wafa memesan dua pot anggrek,
Endra membantu membawa pot-pot itu sampai ke dalam apartemennya.
“Ini mau ditaruh
dimana? Bukannya bunga harus kena sinar matahari ya?”
“Iya .. makanya
ditaruhnya di beranda luar aja.” Wafa menunjukkan pintu menuju beranda.
“Di pojok kanan
ya?” Endra meletakkan box berisi dua pot bunga anggreknya di sudut kanan
beranda.
“Pot yang satu di
pojok kanan, yang satu di pojok kiri.”
Endra mengangkat
pot dari box dan meletakkannya seperti keinginan Wafa.
“Oke” Wafa
melihat dan mengangkat jempolnya. “Boxnya biarin di situ aja dulu, besok aku
beresin.”
“Emang nggak
repot harus ngurus bunga?” Endra membersihkan tangannya.
“Makanya aku
pilih anggrek. Nggak perlu tanah jadi nggak terlalu repot. Cukup disiram sama
dikasih pupuk.” Wafa memperhatikan kedua pot barunya dengan gembira.
“Rumah tanpa
bunga itu gersang.” Wafa mengemukakan alasannya. “Eh kamu mau minum apa?”
“Apa aja” Endra
melihat sekeliling. Apartemen ini tertata rapi dan sangat nyaman.
“Makan disini
ya.. nanti aku masakin.” Wafa menuju dapurnya.
“Kamu bisa
masak?”
“Bisa dong.” Wafa
membuka kulkas untuk mengambil minuman kaleng.
Sesaat kemudian terdengar suara adzan memanggil umat untuk
menyembah Tuhannya.
“Eh adzan tuh,
jamaah yukk.. imamin aku.”
“Apa?”
Endra terkejut mendengar permintaan Wafa.
“Ayo..” Wafa
menarik tangan Endra dan menunjukkan kamar mandi untuk berwudhu.
Wafa menyiapkan
sajadah di ruang tengah saat Endra kembali setelah berwudhu.
“Giliran aku,
tunggu bentar ya.”
Endra tidak
percaya dengan yang terjadi. Seumur hidup dia hanya menjadi imam saat pelajaran
agama di sekolah. Betapa anehnya hidup, pahala dan dosa terjadi secara
bersamaan. Saat ini dia akan menjadi imam atas gadis yang merupakan
selingkuhannya. Walaupun dia mengatakan tidak berselingkuh, dalam lubuk hatinya
dia tahu bahwa yang dia lakukan saat ini adalah perselingkuhan.
Endra melakukan
tugasnya sebagai imam dengan baik. Walaupun dia bukan seorang muslim yang baik,
Endra telah belajar banyak dari Sigra untuk sedikit demi sedikit
melakukan kewajiban sebagai hamba. Lagipula dia telah merasakan manfaat yang
besar dari usahanya mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan doa dia bisa mendapat sedikit ketenangan
dalam hidup.
Wafa tidak
percaya bahwa setelah enam tahun, akhirnya dia diimami oleh suaminya. Walaupun
suaminya tidak tahu hubungan mereka sebenarnya, tetapi ini benar-benar saat terindah
yang pernah dia rasakan setelah menikah. Sebenarnya Wafa ingin sekali mencium
tangan imamnya itu, tetapi dia menahan diri. Dia tidak ingin terlihat
berlebihan.
Setelah itu, Wafa segera memasak. Untuk makan malam, Wafa memasak spaghetti. “Ini pertama kalinya aku memasak makanan
untuk suamiku”. Wafa begitu bahagia saat ini. Dia merasa telah melakukan
kewajibannya sebagai istri. Walaupun suaminya tidak tahu bahwa yang saat ini
sedang memasak adalah istrinya sendiri.
Sementara itu
Endra menunggu di ruang tengah sambil menonton TV dengan santai. Hal seperti
ini belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, Endra akan sibuk dengan
laptopnya, membaca dokumen-dokumen penting, memeriksa keadaan perusahaan,
menelpon rekan bisnis, atau apapun juga yang berhubungan dengan pekerjaan
disaat istrinya menyiapkan makan malam. Namun sekarang, Endra bahkan tidak
memikirkan pekerjaan sama sekali.
“Makan malam
siap…” Wafa memanggil dari ruang makan.
Endra menghampiri
sambil melihat makanan yang tersaji di meja, kemudian duduk.
“Yang gampang aja
yah biar cepet.” Wafa meletakkan gelas minum dan duduk di kursinya.
“Yang penting
enak.” Endra menjawab sambil tersenyum dan mengambil garpunya.
“Cobain deh.”
Wafa menunggu Endra mencoba masakannya.
Endra mencoba
spaghettinya dan merasakannya. “Enak. Pinter juga kamu masaknya.” Entah
makanannya yang enak atau suasananya yang membuat makanannya menjadi enak.
“Yes.” Wafa
senang sekali.
“Kamu kok nggak
makan? Emang kenyang ya ngeliatin aku doang?” Endra menggoda sambil melihat ke
arah Wafa yang belum menyentuh makanannya.
Wafa tersipu dan
mulai memakan makanannya. Ini makan malam terindah dalam hidupnya. Wafa tidak
sabar untuk memasak makanan lain untuk Endra. Selain merancang busana, memasak
adalah hal yang selalu membuatnya bersemangat. Terlebih lagi untuk lelaki yang
telah membuatnya begitu bahagia saat ini.
Selesai makan,
mereka menonton TV di ruang tengah. Endra merangkul Wafa dan menariknya
mendekat sampai Wafa bersandar di bahunya namun Wafa segera melepaskan diri.
Walaupun Wafa sangat menyadari bahwa laki-laki yang sedang memeluknya adalah
suaminya sendiri, dia tetap merasa tidak nyaman karena Endra tidak tahu yang
sebenarnya.
“Kenapa sih?”
“Nanti kebablasan.” Wafa tidak berbohong. Dia memang merasa
sedikit takut jika mereka berdua tidak bisa menahan diri. Kalaupun hal itu
harus terjadi, Wafa ingin mereka melakukannya dengan kesadaran penuh akan siapa
diri mereka sebenarnya. Tidak seperti saat ini yang penuh dengan kepura-puraan.
“Oke”. Endra menjauhkan tangan dari Wafa dan melanjutkan
menonton TV bersama. Sebelumnya, Endra
tidak pernah melakukan hal-hal kecil seperti ini dengan istri-istrinya.
Biasanya, setelah selesai makan malam Endra melanjutkan pekerjaannya. Setelah
pekerjaannya selesai, mereka masuk kamar.
“Kamu nggak ada
pekerjaan?”
Pertanyaan Wafa
sedikit mengagetkan Endra. “Eh.. kerja? Nggak penting.”
“Seorang Kagendra
Mahawirya bilang kalo kerjaan itu nggak penting?” Wafa melihat Endra dengan
pandangan tidak percaya.
“Apa gunanya
punya anak buah?” Endra melemparkan senyum tipis. “Eh kenapa
kamu pikir aku gila kerja?” Endra merasa sedikit aneh karena Wafa terdengar
begitu mengerti dirinya padahal mereka baru berkenalan beberapa hari saja.
“Ya… kamu kan
pengusaha muda. Semua eksekutif muda itu gila kerja. Apalagi posisi kamu nggak
main-main.” Penjelasan Wafa terdengar masuk akal.
Endra
menganguk-angguk. “Tapi sekarang kan ada kamu. Istirahat sebentar boleh lah..
enggak akan ancur perusahaan kalau cuma ditinggal bentar.”
“Kamu pinter
banget ya ngerayu perempuan. Kalau ahli emang beda.” Wafa memang mengejek
Endra tapi entah mengapa, sebenarnya
Wafa merasa kalau perkataan itu tulus dari hati Endra, bukan sekedar rayuan.
Perkataan Wafa membuat Endra sadar bahwa ia sepertinya sudah
sedikit lupa diri. Seharusnya dia tarik ulur dahulu agar Wafa semakin terpesona
dan tidak bisa lari darinya. “Tapi..
kayaknya sekarang udah malem deh.”
“Dari tadi kali
malemnya.”
“Maksudnya udah
terlalu malam. Aku pulang ya.” Endra berdiri.
“Pulang?”
“Iya.. pulang. Kan udah malem, kamu juga harus istirahat.”
“Ya udah kalau
kamu mau pulang.” Raut Wafa terlihat kecewa.
“Bukannya nggak
mau lebih lama sama kamu.” Endra bisa menangkap kekecewaan Wafa. “Kalau
diterusin, aku bisa minta lebih.” Endra mengedipkan matanya. “Bahaya.”
Wafa menjadi
salah tingkah.
“Aku pulang ya?”
Endra berdiri dan merapikan bajunya.
Wafa
menganggukkan kepalanya dan berdiri.
Mereka berdua
menuju pintu. Endra berhenti sebelum membuka pintu. Raut wajahnya
sedikit berubah sehingga membuat Wafa khawatir.
“Kayaknya besok
aku nggak bisa ketemu kamu deh.” Endra ragu
tapi dia harus mengatakan itu karena jadwalnya memang sangat padat buat esok
hari.
“Kenapa?” Wafa
kaget dan takut. Baru saja dia berhasil membuat Endra tertarik, tetapi
sepertinya Endra mulai bosan padanya.
“Besok banyak
meeting dari pagi sampe malem.” Endra berbicara dengan pelan takut jika
menyakiti hati Wafa.
Wafa hanya menarik
nafas tanpa berkata-kata. Dia benar-benar takut kalau ini malam terakhirnya.
“Kan masih ada
lusa, besoknya lagi, besoknya lagi.” Endra berusaha meyakinkan Wafa. Biasanya
dia tidak pernah peduli jika ada istrinya yang protes jika dia tidak datang.
Tetapi Wafa bukan istrinya. Wafa itu spesial.
“Jangan cemberut
dong, besok aku telfon ya? Video call deh, biar bisa liat cantiknya kamu.” Endra
sangat berharap kali ini rayuannya berhasil.
Melihat tidak ada
reaksi dari Wafa, Endra menyentuh pipi Wafa. Perlahan dia mendekatkan wajahnya
dan mencium pipi Wafa.
Wafa terkejut,
dia tidak menyangka Endra akan menciumnya walaupun hanya di pipi. Terlebih lagi dia terkejut karena selama
ini hanya ibu dan ayahnya saja yang pernah mencium pipinya. Tapi Wafa
tidak berusaha mengelak. Toh yang menciumnya adalah suaminya sendiri.
_____________________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda