Berada di
rumah ibu memberiku ketenangan. Aku kembali memikirkan semua yang terjadi dan
semakin bulat dengan keputusanku untuk segera berpisah dari Koko secara resmi. Tentang
mengurus anak dan adik-adik, aku yakin aku bisa melakukannya bersama ibuku
tanpa bantuan Koko. Ibuku juga mendukung keputusanku untuk bercerai karena
beliau memang tidak pernah setuju dengan poligami.
Tanpa
kuduga, beberapa hari kemudian datang surat kilat khusus dari kantor Koko. Di
dalam surat itu tertulis bahwa ada masalah dan surat yang harus aku
tanda-tangani di kantor. Aku mengira bahwa Koko sudah mengurus perceraian kami
dan yang akan ditandatangi adalah masalah perpisahan kami.
Aku menjadi
bersemangat dan memutuskan untuk segera pulang ke Jogja dengan anakku. Aku
pamit pada ibu dan meminta doa agar semua urusan bisa cepat selesai sehingga
aku bisa bebas dari berbagai masalah yang begitu menyesakkan batin selama ini. Ibu
memberikan restunya dan mendoakan yang terbaik untukku.
Sesampainya
aku di Jogja, keponakanku kaget melihat aku yang sudah pulang kembali. “Ceu kok
sebentar udah pulang lagi ke Jogja?”, katanya. “Iya ada surat yang harus
ditandatangi di kantor. Mudah-mudahan cepet beres. Jadi kita bisa pulang ke
Bandung”, jawabku sambil tersenyum. Saat itu aku benar-benar yakin jika
perceraian kami sudah di depan mata.
Aku melepas
lelah di rumah dan penuh optimisme akan masa depanku dan anakku. Seharian itu aku
hanya tenang saja menunggu esok hari saat semuanya akan berakhir baik. Aku
begitu yakin dengan prasangkaku sehingga tidak terpikirkan bahwa ada
kemungkinan jika surat yang dikirim itu palsu. Dan ternyata surat itu memang
palsu.
Sekitar jam
lima sore hari itu, ada sebuah becak yang berhenti di depan rumah. Aku
melangkah keluar rumah untuk tahu siapa yang datang. Aku kaget karena yang kulihat
adalah Koko turun dari becak dengan dituntun oleh Tanjung. Apa yang terjadi? Permainan
apa lagi ini?
Dalam
kebingungan, kupersilahkan mereka masuk. Setelah duduk, Tanjung yang saat itu
terlihat pucat berkata dengan perlahan, “Maaf De Jingga, ini Mas tiba-tiba
buta.”
Betapa
terkejutnya aku mendengar penjelasan Tanjung. “Lho memang Mas kenapa?” tanyaku.
Aku tidak percaya jika Koko buta karena tidak pernah ada masalah apapun pada
matanya selama ini. “Nggak tahu. Waktu bangun tidur tiba-tiba Mas udah nggak bisa
lihat”, kata Tanjung sambil menggelengkan kepala.
Aku semakin
tidak mengerti dan sulit untuk mempercayainya walaupun sudah kulihat sendiri
pandangan mata Koko yang kosong seperti orang buta.
“Sudah sejak
kapan?” tanyaku. “Sudah dua hari yang lalu”, jawab Tanjung. “Sudah di bawa ke
dokter?” tanyaku. “Sudah”, jawabnya. “Apa kata dokter?” tanyaku. “Nggak tahu. Katanya
harus diperiksa lagi”, jawabnya. “Dibawa periksa ke mana?” tanyaku. “Ya cuma
dibawa ke rumah sakit dekat sini”, jawabnya. “Terus gimana ini?” tanyaku. “Ya gimana?
Saya terserah aja”, jawabnya. Tanjung terlihat begitu cemas dan sepertinya
mulai kehilangan harapan.
Aku semakin
bingung dengan kejutan yang tidak menyenangkan ini. Baru saja aku memiliki
harapan untuk hidup baruku, tapi kenyataannya menjadi seperti ini. Seluruh
angan-angan indah hilang dari benakku, digantikan oleh kegelapan yang
menyelimuti setiap sudut hidupku. Tapi aku sadar bahwa aku tidak boleh berdiam
diri saja. Ini masalah kami semua. Harus ada penyelesaiannya.
”Ya sudah.
Sekarang begini saja. Mas disini dulu dan tidak akan pulang kesana sebelum
sembuh. Insyaallah, saya akan mengobati Mas dulu. Nanti kita lihat bagaimana
hasil pengobatan beberapa hari ke depan”, kataku pada Tanjung. “Ya saya ikut
saja”, jawabnya.
Setelah
Tanjung pulang, aku bertanya pada Koko apa penyebab dia bisa buta seperti itu.
Koko menjawab bahwa dia tidak tahu. Aku berusaha menekannya agar dia mau jujur,
tetapi jawabannya sama, dia tidak tahu. Karena aku kasihan pada Koko dan tidak
mau bertengkar, aku tidak melanjutkan pertanyaanku.
Keesokan
harinya aku dilanda kebingungan lagi. Aku harus ke dokter spesialis agar bisa
mengetahui penyebab pasti kebutaan Koko, tapi biayanya tentu sangat mahal. Darimana
aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kemarin saja uangku sudah banyak
dihabiskan untuk biaya pulang pergi ke Jawa Barat.
Setelah
berpikir, aku memutuskan untuk menjual perhiasan seperti biasanya saat aku
membutuhkan uang mendadak. Apalagi yang bisa kulakukan? Aku memang sangat
menyayangi perhiasanku, tetapi mata Koko lebih penting dari perhiasan. Ini
masalah hidupnya dan juga hidup keluarga kami.
Setelah
mendapatkan uang, aku memeriksakan Koko ke dokter ahli mata. Menurut
orang-orang, dokter tersebut adalah dokter mata terbaik di Jogja. Setelah
melalui serangkaian pemeriksaan, dokter meminta kami untuk berbicara sebentar
dengannya. Dokter berkata, “Bapak ini sebenarnya stress dan larinya ke syaraf
mata.” Aku tidak percaya pada apa yang kudengar. “Stress dok?”, tanyaku. “Iya.
Bapak itu stress berat. Ini bisa sembuh jika stressnya dihilangkan. Mungkin
masalah pekerjaan atau bagaimana. Ibu kan istrinya, Ibu yang tahu kenapa
suaminya bisa stress”, jawab dokter.
Aku yang
harus tahu? Aku saja baru tahu kemarin. “Saya kan baru tahu kalau suami saya
buta dok”, kataku. Dokter itu sepertinya kurang mengerti akan perkataanku. “Iya
jadi gimana? Ada apa-apa nggak?” tanya dokter. Kemudian beliau meneruskan, “Ini
masih bisa sembuh lagi. Tapi kalau stressnya diteruskan, seumur-umur Bapak akan
buta. Kalau stressnya hilang, insyaallah, pelan-pelan Bapak bisa sembuh.”
Aku
benar-benar tidak percaya dan juga kesal hati. Lagi-lagi masalah stress berat.
Tentu saja aku tahu mengapa Koko bisa stress berat, tapi tidak mungkin aku
ceritakan hal tersebut pada dokter. Kamipun pulang.
Sesampainya
di rumah, aku semakin stress. Aku tidak kuasa melihat Koko yang buta dan
kehilangan semangat hidupnya. Aku memikirkan bagaimana masa depan Koko jika dia
buta selamanya. Bagaimana masa depan anak-anaknya? Bagaimana masa depan anakku?
Tigo pasti akan malu jika memiliki Bapak yang buta.
Dalam
keputusasaan, aku tahu tempat terbaik untuk mengadu. Aku tersungkur bersujud
pada Tuhan Semesta Alam. ‘Ya Allah… tolonglah aku… Hanya Engkau yang Maha
Penyembuh. Hanya Engkau yang Maha Kuasa membolak-balikkan keadaan.’
Mengadu pada
Tuhan membuatku merasa sedikit tenang dan bisa berpikir lebih jernih. Karena
tidak ada lagi usaha yang bisa dilakukan untuk mengobati Koko, kuputuskan untuk
melakukan apa yang bisa kulakukan saja. Aku adalah seorang istri dan ibu, yang
harus aku lakukan adalah melaksanakan tugasku sebagai seorang istri dan ibu
yang baik.
Hari-hari
kulalui untuk mengurus Koko yang buta. Aku memandikannya, memakaikan baju,
menyuapi makan, dan mengajaknya ngobrol. Saat tidak mengurus Koko, aku mengurus
Tigo dan membereskan masalah rumah tangga.
Waktu itu,
Koko sangat malu dengan keadaannya dan tidak mau keluar kamar kecuali untuk
mandi. Alhasil aku banyak menghabiskan waktu di dalam kamar untuk menemaninya. Untung
saja ada keponakanku waktu itu sehingga aku ada yang membantu untuk mengurus Tigo
dan rumah.
Setiap
malam, aku mengaji Yasin dan bangun tengah malam untuk sholat tahajud. Dalam
doaku, aku memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memberikan pertolongan pada
masalah kami ini. Aku memiliki dua permintaan pada Allah. Apabila ini adalah cobaan,
aku mohon Koko segera disembuhkan lagi karena dia harus mencari nafkah untuk
anak-anak yang enam. Kalau memang ini adalah takdir suamiku menjadi buta
selamanya, berilah aku keikhlasan dan pekerjaan agar bisa mendapat uang untuk
berkehidupan dan mencukupi kami sekeluarga. Sempat juga tercetus bahwa jika
suamiku sembuh, aku akan sangat bersyukur pada Allah dan ikhlas untuk menjalani
takdirNya.
Hari ke
hari, tidak ada perubahan pada penglihatan Koko. Aku semakin kehilangan harapan
dan sangat terpukul dengan keadaan ini. Aku merasa bersalah. Bagaimanapun juga
aku turut andil dalam membuat Koko stress berat. Kalau aku tidak emosi waktu
itu, mungkin sekarang Koko masih bisa melihat dan masih bisa bekerja. Aku
teringat waktu dulu, bagaimana sulitnya Koko menyelesaikan kuliah sambil
bekerja dan mengurus dua keluarga. Apakah semua kerja keras itu akan sia-sia
saja seperti ini? Tidak, aku tidak berani membayangkannya.
Hatiku
hancur lebur, tapi aku tidak mau Koko merasakan kehancuranku. Aku berusaha
sekuat tenaga untuk tetap tenang di dekat Koko. Aku terus memberikan dukungan
dan semangat bahwa suatu saat dia akan bisa melihat kembali. Aku yakinkan bahwa
dia hanya harus sabar dan berusaha untuk menghilangkan stressnya.
Alhamdulillah,
dukungan dariku mulai memperlihatkan sedikit hasilnya. Beberapa hari dalam
perawatanku membuat Koko sedikit demi sedikit mendapatkan semangat hidupnya
lagi. Dia mulai banyak bicara dan bahkan bercanda denganku. Aku juga mulai
tenang dan tidak terlalu memikirkan masalah kebutaannya. Jika memang dia tidak bisa
melihat lagi, ini memang sudah jalannya. Yang penting dia mulai semangat dan
bisa menerima hidupnya saat ini.
Pada hari ke
tujuh, seperti biasa pagi itu aku mengurus semua keperluan Koko. Aku bertanya
apakah dia mau makan atau mandi dulu. Dia bilang dia mau mandi dulu saja baru
makan.
Aku memandikannya. Setelah itu aku bilang
padanya kalau aku mau membuat nasi goreng. “Bapak mau nggak makan nasi goreng?”
tanyaku. “Wah Bapak sudah kangen banget sama nasi goreng buatan ibu. Aku mau”,
jawab Koko penuh semangat.
Setelah nasi
gorengnya siap, aku membawa satu piring untuk kami berdua. Selama Koko buta,
aku terbiasa makan satu piring berdua agar kami berdua bisa makan bersama tanpa
aku harus kerepotan jika menyuapinya dengan piring yang berbeda. Dengan satu
piring, aku bisa menyuapi Koko kemudian aku menyuapi diriku sendiri.
Saat sedang
menyuapinya, tiba-tiba dia berkata, “Ternyata ibu tetap cantik ya.” Aku kesal
mendengar rayuannya. Bagaimana mungkin dia masih bisa merayu dalam keadaan
seperti itu. “Gombal. Nggak ngeliat mah nggak ngeliat aja, nggak usah gombal,”
kataku. “Aku ngeliat kok kalau ibu cantik”, katanya.
Sontak aku
kaget. Apa dia sudah melihat? Apa dia benar-benar sudah sembuh? Aku yang ragu
bertanya padanya, “Lho terus? Ibu pake baju apa?”
Hatiku dag
dig dug menunggu jawabannya. “Baju merah”, jawabnya. Aku semakin terkejut. Aku
memang memakai daster merah waktu itu. Betapa senangnya hati ini. Tapi, aku
masih ingin memastikan kebenarannya. “Yang bener? Ah nggak, Ibu pake baju hitam”,
kataku. “Nggak kok, Ibu pake baju merah”, jawab Koko dengan yakin. “Bapak sudah
bisa lihat? Sudah bisa lihat ibu?” tanyaku dengan perasaan yang luar biasa
bahagia. “Sudah”, jawabnya singkat.
Langit hitam
langsung menghilang berganti dengan langit biru cerah yang dipenuhi sinar
hangat mentari.
“Alhamdulillah……!” seruku. Tanpa sadar, piring kulempar sampai
pecah dan aku sujud syukur.
“Alhamdulillahirobbil’alamin...”
“Alhamdulillahirobbil’alamin...”
“Terimakasih
ya Allah atas dikabulkan doa-doaku.”
Tidak ada
satu katapun yang bisa menggambarkan kebahagiaan dan kelegaan yang kurasakan
pagi itu. Semua beban seketika hilang dari tubuhku. Yang ada hanya rasa ringan,
tenang, senang, bahagia, dan syukur yang tidak terkira atas karunia yang telah
diberikan oleh Allah, Tuhan yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Koko juga
terlihat begitu senang dengan senyum yang mengembang lebar di wajahnya. Kami
berdua sangat bersyukur karena telah berhasil melalui cobaan ini.
Aku
memberitahukan kesembuhan Koko pada semua yang ada di rumah. Mereka semua
sangat bahagia dan bersyukur. Rumah kamipun kembali dipenuhi senyum
kebahagiaan.
Setelah semua
senyum dan tawa, aku merenungi kejadian yang kami alami. Aku sadar bahwa semua
ini adalah peringatan dan juga jawaban Allah atas doa-doaku. Aku tersadar bahwa
Allah selalu membuat skenario terbaik bagi setiap umat.
Saat Allah
memberikan cobaan, Allah selalu memberikan jalan keluar terbaik asalkan
hambaNya sabar dan tidak berhenti berdoa padaNya. Memang tidak ada yang bisa
menandingi kekuasaanNya. Saat Allah sudah mentakdirkan sesuatu, tidak ada yang
bisa merubahnya. Termasuk hidup yang kujalani saat ini.
Dengan
kesadaran baruku, aku berjanji bahwa aku tidak akan komplain lagi apapun dalam
meneruskan rumah tanggaku. Aku akan pasrah saja dengan takdir yang sudah
ditetapkan oleh Allah. Jika memang aku harus menjalani poligami, maka aku akan
berusaha keras untuk bisa ikhlas dalam menjalaninya. Satu permintaanku adalah
agar aku diberi rejeki yang senantiasa cukup untuk aku hidup dengan anakku.
Sejak saat
itu aku benar-benar berusaha mengikhlaskan kehidupan rumah tanggaku. Aku
menyayangi dan melayani Koko layaknya istri terhadap suami. Tidak ada lagi rasa
cemburu yang membabi buta. Kalaupun ada cemburu, aku bisa memendamnya. Aku
benar-benar cuek dan berusaha mengalihkan perhatianku pada hal lain agar tetap
merasa bahagia.
Yang
membuatku bisa melupakan masalah adalah anakku dan usaha yang kujalani. Selain
itu, aku juga menanamkan dalam hati bahwa ini adalah jalan surga yang sudah
disiapkan oleh Allah untukku. Aku hanya berdoa semoga aku kuat dalam menelusuri
jalannya dan sampai ke tujuan dengan selamat.
_____________________________________________________________