Kamis, 11 Juni 2015

Pesan Khusus dari Jingga



Walaupun saya dikatakan bisa menjalani poligami, saya ingatkan pada semua pembaca agar tidak punya keinginan untuk berpoligami.

Saya telah menjalaninya sendiri dan merasakan betapa beratnya poligami. Saya menjalani poligami karena saya sudah tidak punya pilihan lagi. Saya sudah berusaha untuk keluar, tapi tidak bisa.

Saya telah merasakan bahwa poligami itu walaupun sekuat tenaga dijalani dengan ikhlas, ternyata hanya membuka celah-celah untuk berbuat dosa.

Berdosa atas kebohongan, pengingkaran janji, dan ketidakadilan

Kita harus ingat bahwa manusia sudah difitrahkan Allah untuk tidak bisa berlaku adil.

Yang Maha Adil hanya satu yaitu Allah.

Manusia yang mau menjalani poligami harus menyadari bahwa adil itu untuk siapa? Karena apa? Seperti apa?

Ingatlah bahwa adil tidak hanya tentang 2 dibagi 2 sama dengan 1.

Sebelum semuanya terlambat dan kita tidak bisa mengelak, lebih baik kita menutup pintu sejak awal agar tidak ada yang mengganggu kehidupan rumah tangga. 


_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I       << Epilog    


Mengapa Aku Memilih Poligami - Epilog



Allah, Tuhan Semesta Alam memang penuh kasih kepada semua hambaNya. Allah selalu memberikan balasan terbaik atas semua pengorbanan yang dilakukan oleh hambaNya. Balasan berlipat ganda yang tidak bisa diukur kebahagiaannya.

Hanya dalam hitungan bulan, aku diberi berkah luar biasa. AKU HAMIL LAGI. Kali ini, Allah melengkapi hidupku dengan seorang anak perempuan yang sehat dan lucu, yang kami beri nama Lili.

Alhamdullillahirobbil’alamin.

Aku merasa lebih damai dalam hati ini. 


*TAMAT*


_____________________________________________________________



Kamis, 04 Juni 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab VII



Berada di rumah ibu memberiku ketenangan. Aku kembali memikirkan semua yang terjadi dan semakin bulat dengan keputusanku untuk segera berpisah dari Koko secara resmi. Tentang mengurus anak dan adik-adik, aku yakin aku bisa melakukannya bersama ibuku tanpa bantuan Koko. Ibuku juga mendukung keputusanku untuk bercerai karena beliau memang tidak pernah setuju dengan poligami.  

Tanpa kuduga, beberapa hari kemudian datang surat kilat khusus dari kantor Koko. Di dalam surat itu tertulis bahwa ada masalah dan surat yang harus aku tanda-tangani di kantor. Aku mengira bahwa Koko sudah mengurus perceraian kami dan yang akan ditandatangi adalah masalah perpisahan kami.

Aku menjadi bersemangat dan memutuskan untuk segera pulang ke Jogja dengan anakku. Aku pamit pada ibu dan meminta doa agar semua urusan bisa cepat selesai sehingga aku bisa bebas dari berbagai masalah yang begitu menyesakkan batin selama ini. Ibu memberikan restunya dan mendoakan yang terbaik untukku.

Sesampainya aku di Jogja, keponakanku kaget melihat aku yang sudah pulang kembali. “Ceu kok sebentar udah pulang lagi ke Jogja?”, katanya. “Iya ada surat yang harus ditandatangi di kantor. Mudah-mudahan cepet beres. Jadi kita bisa pulang ke Bandung”, jawabku sambil tersenyum. Saat itu aku benar-benar yakin jika perceraian kami sudah di depan mata.  

Aku melepas lelah di rumah dan penuh optimisme akan masa depanku dan anakku. Seharian itu aku hanya tenang saja menunggu esok hari saat semuanya akan berakhir baik. Aku begitu yakin dengan prasangkaku sehingga tidak terpikirkan bahwa ada kemungkinan jika surat yang dikirim itu palsu. Dan ternyata surat itu memang palsu.

Sekitar jam lima sore hari itu, ada sebuah becak yang berhenti di depan rumah. Aku melangkah keluar rumah untuk tahu siapa yang datang. Aku kaget karena yang kulihat adalah Koko turun dari becak dengan dituntun oleh Tanjung. Apa yang terjadi? Permainan apa lagi ini?

Dalam kebingungan, kupersilahkan mereka masuk. Setelah duduk, Tanjung yang saat itu terlihat pucat berkata dengan perlahan, “Maaf De Jingga, ini Mas tiba-tiba buta.”

Betapa terkejutnya aku mendengar penjelasan Tanjung. “Lho memang Mas kenapa?” tanyaku. Aku tidak percaya jika Koko buta karena tidak pernah ada masalah apapun pada matanya selama ini. “Nggak tahu. Waktu bangun tidur tiba-tiba Mas udah nggak bisa lihat”, kata Tanjung sambil menggelengkan kepala.

Aku semakin tidak mengerti dan sulit untuk mempercayainya walaupun sudah kulihat sendiri pandangan mata Koko yang kosong seperti orang buta.

“Sudah sejak kapan?” tanyaku. “Sudah dua hari yang lalu”, jawab Tanjung. “Sudah di bawa ke dokter?” tanyaku. “Sudah”, jawabnya. “Apa kata dokter?” tanyaku. “Nggak tahu. Katanya harus diperiksa lagi”, jawabnya. “Dibawa periksa ke mana?” tanyaku. “Ya cuma dibawa ke rumah sakit dekat sini”, jawabnya. “Terus gimana ini?” tanyaku. “Ya gimana? Saya terserah aja”, jawabnya. Tanjung terlihat begitu cemas dan sepertinya mulai kehilangan harapan.

Aku semakin bingung dengan kejutan yang tidak menyenangkan ini. Baru saja aku memiliki harapan untuk hidup baruku, tapi kenyataannya menjadi seperti ini. Seluruh angan-angan indah hilang dari benakku, digantikan oleh kegelapan yang menyelimuti setiap sudut hidupku. Tapi aku sadar bahwa aku tidak boleh berdiam diri saja. Ini masalah kami semua. Harus ada penyelesaiannya.

”Ya sudah. Sekarang begini saja. Mas disini dulu dan tidak akan pulang kesana sebelum sembuh. Insyaallah, saya akan mengobati Mas dulu. Nanti kita lihat bagaimana hasil pengobatan beberapa hari ke depan”, kataku pada Tanjung. “Ya saya ikut saja”, jawabnya.

Setelah Tanjung pulang, aku bertanya pada Koko apa penyebab dia bisa buta seperti itu. Koko menjawab bahwa dia tidak tahu. Aku berusaha menekannya agar dia mau jujur, tetapi jawabannya sama, dia tidak tahu. Karena aku kasihan pada Koko dan tidak mau bertengkar, aku tidak melanjutkan pertanyaanku.

Keesokan harinya aku dilanda kebingungan lagi. Aku harus ke dokter spesialis agar bisa mengetahui penyebab pasti kebutaan Koko, tapi biayanya tentu sangat mahal. Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kemarin saja uangku sudah banyak dihabiskan untuk biaya pulang pergi ke Jawa Barat.

Setelah berpikir, aku memutuskan untuk menjual perhiasan seperti biasanya saat aku membutuhkan uang mendadak. Apalagi yang bisa kulakukan? Aku memang sangat menyayangi perhiasanku, tetapi mata Koko lebih penting dari perhiasan. Ini masalah hidupnya dan juga hidup keluarga kami.

Setelah mendapatkan uang, aku memeriksakan Koko ke dokter ahli mata. Menurut orang-orang, dokter tersebut adalah dokter mata terbaik di Jogja. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, dokter meminta kami untuk berbicara sebentar dengannya. Dokter berkata, “Bapak ini sebenarnya stress dan larinya ke syaraf mata.” Aku tidak percaya pada apa yang kudengar. “Stress dok?”, tanyaku. “Iya. Bapak itu stress berat. Ini bisa sembuh jika stressnya dihilangkan. Mungkin masalah pekerjaan atau bagaimana. Ibu kan istrinya, Ibu yang tahu kenapa suaminya bisa stress”, jawab dokter.

Aku yang harus tahu? Aku saja baru tahu kemarin. “Saya kan baru tahu kalau suami saya buta dok”, kataku. Dokter itu sepertinya kurang mengerti akan perkataanku. “Iya jadi gimana? Ada apa-apa nggak?” tanya dokter. Kemudian beliau meneruskan, “Ini masih bisa sembuh lagi. Tapi kalau stressnya diteruskan, seumur-umur Bapak akan buta. Kalau stressnya hilang, insyaallah, pelan-pelan Bapak bisa sembuh.”

Aku benar-benar tidak percaya dan juga kesal hati. Lagi-lagi masalah stress berat. Tentu saja aku tahu mengapa Koko bisa stress berat, tapi tidak mungkin aku ceritakan hal tersebut pada dokter. Kamipun pulang.
Sesampainya di rumah, aku semakin stress. Aku tidak kuasa melihat Koko yang buta dan kehilangan semangat hidupnya. Aku memikirkan bagaimana masa depan Koko jika dia buta selamanya. Bagaimana masa depan anak-anaknya? Bagaimana masa depan anakku? Tigo pasti akan malu jika memiliki Bapak yang buta.

Dalam keputusasaan, aku tahu tempat terbaik untuk mengadu. Aku tersungkur bersujud pada Tuhan Semesta Alam. ‘Ya Allah… tolonglah aku… Hanya Engkau yang Maha Penyembuh. Hanya Engkau yang Maha Kuasa membolak-balikkan keadaan.’

Mengadu pada Tuhan membuatku merasa sedikit tenang dan bisa berpikir lebih jernih. Karena tidak ada lagi usaha yang bisa dilakukan untuk mengobati Koko, kuputuskan untuk melakukan apa yang bisa kulakukan saja. Aku adalah seorang istri dan ibu, yang harus aku lakukan adalah melaksanakan tugasku sebagai seorang istri dan ibu yang baik.

Hari-hari kulalui untuk mengurus Koko yang buta. Aku memandikannya, memakaikan baju, menyuapi makan, dan mengajaknya ngobrol. Saat tidak mengurus Koko, aku mengurus Tigo dan membereskan masalah rumah tangga.

Waktu itu, Koko sangat malu dengan keadaannya dan tidak mau keluar kamar kecuali untuk mandi. Alhasil aku banyak menghabiskan waktu di dalam kamar untuk menemaninya. Untung saja ada keponakanku waktu itu sehingga aku ada yang membantu untuk mengurus Tigo dan rumah.

Setiap malam, aku mengaji Yasin dan bangun tengah malam untuk sholat tahajud. Dalam doaku, aku memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memberikan pertolongan pada masalah kami ini. Aku memiliki dua permintaan pada Allah. Apabila ini adalah cobaan, aku mohon Koko segera disembuhkan lagi karena dia harus mencari nafkah untuk anak-anak yang enam. Kalau memang ini adalah takdir suamiku menjadi buta selamanya, berilah aku keikhlasan dan pekerjaan agar bisa mendapat uang untuk berkehidupan dan mencukupi kami sekeluarga. Sempat juga tercetus bahwa jika suamiku sembuh, aku akan sangat bersyukur pada Allah dan ikhlas untuk menjalani takdirNya.

Hari ke hari, tidak ada perubahan pada penglihatan Koko. Aku semakin kehilangan harapan dan sangat terpukul dengan keadaan ini. Aku merasa bersalah. Bagaimanapun juga aku turut andil dalam membuat Koko stress berat. Kalau aku tidak emosi waktu itu, mungkin sekarang Koko masih bisa melihat dan masih bisa bekerja. Aku teringat waktu dulu, bagaimana sulitnya Koko menyelesaikan kuliah sambil bekerja dan mengurus dua keluarga. Apakah semua kerja keras itu akan sia-sia saja seperti ini? Tidak, aku tidak berani membayangkannya.

Hatiku hancur lebur, tapi aku tidak mau Koko merasakan kehancuranku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang di dekat Koko. Aku terus memberikan dukungan dan semangat bahwa suatu saat dia akan bisa melihat kembali. Aku yakinkan bahwa dia hanya harus sabar dan berusaha untuk menghilangkan stressnya.

Alhamdulillah, dukungan dariku mulai memperlihatkan sedikit hasilnya. Beberapa hari dalam perawatanku membuat Koko sedikit demi sedikit mendapatkan semangat hidupnya lagi. Dia mulai banyak bicara dan bahkan bercanda denganku. Aku juga mulai tenang dan tidak terlalu memikirkan masalah kebutaannya. Jika memang dia tidak bisa melihat lagi, ini memang sudah jalannya. Yang penting dia mulai semangat dan bisa menerima hidupnya saat ini.

Pada hari ke tujuh, seperti biasa pagi itu aku mengurus semua keperluan Koko. Aku bertanya apakah dia mau makan atau mandi dulu. Dia bilang dia mau mandi dulu saja baru makan.

Aku memandikannya. Setelah itu aku bilang padanya kalau aku mau membuat nasi goreng. “Bapak mau nggak makan nasi goreng?” tanyaku. “Wah Bapak sudah kangen banget sama nasi goreng buatan ibu. Aku mau”, jawab Koko penuh semangat.

Setelah nasi gorengnya siap, aku membawa satu piring untuk kami berdua. Selama Koko buta, aku terbiasa makan satu piring berdua agar kami berdua bisa makan bersama tanpa aku harus kerepotan jika menyuapinya dengan piring yang berbeda. Dengan satu piring, aku bisa menyuapi Koko kemudian aku menyuapi diriku sendiri.

Saat sedang menyuapinya, tiba-tiba dia berkata, “Ternyata ibu tetap cantik ya.” Aku kesal mendengar rayuannya. Bagaimana mungkin dia masih bisa merayu dalam keadaan seperti itu. “Gombal. Nggak ngeliat mah nggak ngeliat aja, nggak usah gombal,” kataku. “Aku ngeliat kok kalau ibu cantik”, katanya.

Sontak aku kaget. Apa dia sudah melihat? Apa dia benar-benar sudah sembuh? Aku yang ragu bertanya padanya, “Lho terus? Ibu pake baju apa?”

Hatiku dag dig dug menunggu jawabannya. “Baju merah”, jawabnya. Aku semakin terkejut. Aku memang memakai daster merah waktu itu. Betapa senangnya hati ini. Tapi, aku masih ingin memastikan kebenarannya. “Yang bener? Ah nggak, Ibu pake baju hitam”, kataku. “Nggak kok, Ibu pake baju merah”, jawab Koko dengan yakin. “Bapak sudah bisa lihat? Sudah bisa lihat ibu?” tanyaku dengan perasaan yang luar biasa bahagia. “Sudah”, jawabnya singkat.

Langit hitam langsung menghilang berganti dengan langit biru cerah yang dipenuhi sinar hangat mentari. 
“Alhamdulillah……!” seruku. Tanpa sadar, piring kulempar sampai pecah dan aku sujud syukur.

“Alhamdulillahirobbil’alamin...”

“Alhamdulillahirobbil’alamin...”

“Terimakasih ya Allah atas dikabulkan doa-doaku.”

Tidak ada satu katapun yang bisa menggambarkan kebahagiaan dan kelegaan yang kurasakan pagi itu. Semua beban seketika hilang dari tubuhku. Yang ada hanya rasa ringan, tenang, senang, bahagia, dan syukur yang tidak terkira atas karunia yang telah diberikan oleh Allah, Tuhan yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Koko juga terlihat begitu senang dengan senyum yang mengembang lebar di wajahnya. Kami berdua sangat bersyukur karena telah berhasil melalui cobaan ini.

Aku memberitahukan kesembuhan Koko pada semua yang ada di rumah. Mereka semua sangat bahagia dan bersyukur. Rumah kamipun kembali dipenuhi senyum kebahagiaan.

Setelah semua senyum dan tawa, aku merenungi kejadian yang kami alami. Aku sadar bahwa semua ini adalah peringatan dan juga jawaban Allah atas doa-doaku. Aku tersadar bahwa Allah selalu membuat skenario terbaik bagi setiap umat.

Saat Allah memberikan cobaan, Allah selalu memberikan jalan keluar terbaik asalkan hambaNya sabar dan tidak berhenti berdoa padaNya. Memang tidak ada yang bisa menandingi kekuasaanNya. Saat Allah sudah mentakdirkan sesuatu, tidak ada yang bisa merubahnya. Termasuk hidup yang kujalani saat ini.

Dengan kesadaran baruku, aku berjanji bahwa aku tidak akan komplain lagi apapun dalam meneruskan rumah tanggaku. Aku akan pasrah saja dengan takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah. Jika memang aku harus menjalani poligami, maka aku akan berusaha keras untuk bisa ikhlas dalam menjalaninya. Satu permintaanku adalah agar aku diberi rejeki yang senantiasa cukup untuk aku hidup dengan anakku.

Sejak saat itu aku benar-benar berusaha mengikhlaskan kehidupan rumah tanggaku. Aku menyayangi dan melayani Koko layaknya istri terhadap suami. Tidak ada lagi rasa cemburu yang membabi buta. Kalaupun ada cemburu, aku bisa memendamnya. Aku benar-benar cuek dan berusaha mengalihkan perhatianku pada hal lain agar tetap merasa bahagia.

Yang membuatku bisa melupakan masalah adalah anakku dan usaha yang kujalani. Selain itu, aku juga menanamkan dalam hati bahwa ini adalah jalan surga yang sudah disiapkan oleh Allah untukku. Aku hanya berdoa semoga aku kuat dalam menelusuri jalannya dan sampai ke tujuan dengan selamat. 



_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Epilog >>