Jumat, 19 September 2014

Perselingkuhan Terakhir - Bab X



Bab X

Sigra bergegas menuju ruangan Endra. Sigra memang masih khawatir dengan keadaan Endra, tetapi yang ada dibenaknya saat ini lebih pada rasa penasaran. Pembicaraan semalam belum selesai dan Sigra ingin tau apa yang sebenarnya dirasakan oleh sepupunya.

Sigra merasa sedikit lega karena Endra telah ada diruangannya. Dilihatnya raut muka Endra yang masih terlihat kacau. “Assalamualaikum”, Sigra memberi salam perlahan agar tidak mengagetkan.

Endra melihat ke arah Sigra dan menjawab, “Wa’alaikum salam.”

Sigra duduk di depan Endra dan menatapnya. “Mau terusin cerita tadi malem?”

“Hah?” Endra tahu bahwa hal ini pasti terjadi. Sepupunya memang tidak suka menunda-nunda sesuatu terutama jika ada hal yang begitu ingin diketahuinya, pasti dia akan secepatnya mencari jawaban. Tapi Endra tidak ingin membicarakan hal tersebut. Dia sudah cukup malu tentang tadi malam dan tidak ingin menambah rasa malu itu. Untuk menghindar Endra berpura-pura terlihat sibuk dengan pekerjaannya.

Sigra sangat mengenal sepupunya sehingga dia tidak mudah dibodohi. “Kamu nggak boleh ngeles sekarang”.

Endra menghela nafas panjang. Dia tahu bahwa jika Sigra sudah berbicara seperti itu, dia pasti akan sekuat tenaga mengejar sampai Endra menjawabnya. Namun, susah sekali bagi Endra untuk menceritakan rahasia terbesar dalam hidupnya.

Sigra sudah tidak sabar. Dia harus memulai agar Endra mau bicara. “Sebenarnya selama ini aku selalu ingin tau kenapa kamu menikahi Misha.”

Endra menatap mata Sigra. Pandangan Sigra sangat tajam, sia-sia jika Endra terus mengelak. “Aku sedang terdesak saat itu. Ultimatum bapak udah bener-bener mepet.” Akhirnya Endra membuka mulut.

Sigra pun tersenyum. Dimulai dari beberapa kata, dia yakin akan berhasil membuat Endra menceritakan semuanya.

“Aku kenal kamu cukup lama untuk tau bahwa kamu orang yang pintar dan selalu berpikir panjang sebelum menentukan sesuatu.” Sigra memulai serangannya.

“Dalam posisi terdesak, orang bisa melakukan apapun, bahkan sesuatu yang gila.” Endra masih berusaha mengelak.

“Tapi menikahi orang yang baru saja kamu kenal dikategorikan sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar gila.” Berhenti sesaat, Sigra melanjutkan. “Semua orang juga tahu bahwa menikah memiliki konsekuensi yang begitu besar. Terlebih lagi pernikahan yang berkekuatan hukum.”

“Justru itu. Dengan perjanjian pra-nikah yang kuat, aku bisa mengamankan diri.” Kali ini Endra berhasil menjawab dengan baik.

Sigra merasa senang karena akhirnya bisa membawa Endra ke arah yang diinginkannya. Sekarang saatnya menembakkan peluru tepat ke sasaran. “Kalau memang benar itu alasannya, kenapa mata Wafa yang mirip dengan Misha bisa membuat kamu lupa diri?”

Endra benar-benar menyesal sudah minum-minum lagi semalam. Alkohol membuat dia kehilangan kontrol dan kelepasan bicara sehingga saat ini dia sudah tidak bisa lagi lari dari kejaran sepupunya.

“Walaupun masih kurang masuk akal, tetapi aku yakin kalau kamu sebenarnya jatuh cinta pada Misha sehingga berani menikahinya.” Sigra terus menekan Endra.

“Aku nggak tau itu cinta atau …” Endra tidak berhasil menemukan kata-kata yang tepat untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Kayaknya lebih enak kalau kamu cerita dari awal.” Sigra merasa kemenangannya sudah dekat.

Sudah terpojok, Endra sulit untuk berkata tidak. Lagipula, dia juga ingin membagi kegalauannya dengan orang lain. Tidak mudah untuk menyimpan perasaan seperti ini seorang diri. Endra pun akhirnya bercerita. “Waktu itu aku lagi jalan-jalan di taman mikirin ultimatum bapak. Sandra udah nolak aku, berarti aku harus cari perempuan lain untuk dinikahi.” Endra membuka ceritanya.

Sigra mendengarkan dengan seksama. Dia tidak mau melewatkan satu katapun yang keluar dari mulut Endra.

“Tiba-tiba aku denger ada perempuan sedang berdoa. Dia bilang akan ngelakuin apa aja jika Tuhan menjatuhkan sebatang emas untuk dirinya.”

“Dan kamu dapet ide gila itu?” Sigra langsung menebak.

“Ya gitu, aku tawarin dia untuk nikahin aku dan dia akan dapet sebatang emas yang dia mau.”

“Dia langsung mau?”

“Justru dia bilang aku nggak waras dan langsung pergi, tapi aku tahan.” Endra mengambil nafas dan melanjutkan. “Kita berdebat cukup panjang sampai akhirnya aku kasih dia kartu nama aku dan waktu untuk berpikir.”

“Kapan dia bilang YA?” Sigra bertanya.

“Besoknya.” Jawab Endra singkat.

“Dan kamu percaya kalau dia perempuan baik-baik? Kamu udah nggak punya otak apa?” Sigra menggelengkan kepalanya.

“Awalnya aku juga ragu. Sama kayak kamu. Aku bertanya kenapa hanya dalam satu malam dia bisa mengambil keputusan seperti itu.” 

“Tapi?” Sigra memotong

“Aku kan langsung hubungin temen aku yang pengacara buat bikinin aku surat perjanjian pra-nikah, jadi ya aku lanjutin aja sambil cari tahu sebenarnya dia itu seperti apa.”

Sigra terkejut mendengar penjelasan Endra. “Bukannya selama ini yang ngurusin Misha Om Aswin?”

“Ya nggak lah, mana mau Om Aswin bantuin aku buat urusan kayak gitu.”

“Sekarang kok yang ngurusin istri kamu itu Om Aswin?”

“Ya awalnya aku minta bantuan sama temen sampe aku bisa nikah soalnya aku nggak mau Om Aswin ngerusak rencana aku. Setelah aku nikah kan Om Aswin udah nggak bisa protes lagi. Akhirnya dia mau bantu aku buat ngurusin masalah-masalah yang berhubungan sama Misha.”

“Ohh, nah trus cerita yang tadi sama Misha gimana terusannya?” Sigra merasa bahwa pembicaraan mereka mulai melenceng dan berusaha meluruskannya lagi.

“Kirain kamu udah lupa.” Endra meregangkan badannya.

“Bukan Sigra namanya kalau lupa sama tujuan utama.” Sigra tersenyum.

“Habis dia telpon, aku langsung pergi ke rumahnya. Waktu masuk kampungnya, aku tanya dulu sama beberapa orang untuk mastiin kalau dia memang udah lama tinggal di sana. Ternyata benar kalau dia emang asli daerah itu dan keluarganya terkenal baik.”

“Oke” Sigra mengangguk. Ternyata Endra memang masih sedikit berhati-hati walau tetap gila.

“Waktu aku ketemu dia lagi, keliatan banget kalau dia sebenarnya masih ragu dan takut. Tapi ibunya cerita kenapa sampai mereka harus terima penawaran aku.”

“Kenapa?” Sigra penasaran.

“Jadi.. keluarganya itu kebelit utang sama rentenir gara-gara kakaknya Misha pengen pesta pernikahan yang besar. Awalnya hutangnya 50 juta dan dalam waktu singkat udah jadi seratus juta. Mereka belum pernah punya utang sebanyak itu, makanya mereka jadi takut banget. Apalagi yang namanya rentenir kan selalu kasar kalau nagih”

“Emang mereka nggak punya harta untuk dijual atau gimana gitu? Seharusnya mereka kan berhitung dulu sebelum berani meminjam uang?” Sigra mulai curiga.

“Namanya juga orang tua pengen nyenengin anak. Lagian di desanya itu adatnya memang begitu. Harus pesta besar untuk menikahkan anak. Jadi ya dipaksain.” Endra menghela nafas sebentar. “Parahnya, pengantinnya yang pengen pesta besar itu nggak mau ikut tanggung jawab. Katanya itu udah jadi tanggung jawab orang tua.”

“Buset.”

“Orang tuanya itu kan sederhana banget dan nggak .. apa ya? Sedikit kurang berilmu lah. Jadi ya nggak hati-hati dan kurang perhitungan.”

Sigra mengangguk-angguk. “Tapi kalau masalah uang sih, yang berilmu juga bisa salah.”

“Itu dia. Waktu itu, mereka cuma punya waktu dua hari atau rentenir itu akan mengusir mereka dari rumah yang merupakan satu-satunya harta mereka yang tersisa dan bahkan rentenir itu ngancam akan mengirim bapaknya Misha ke penjara.”

“Makanya Misha bisa berdoa seperti itu.” Sigra mulai mengerti.

“Iya. Selain itu, mereka juga denger kalau rentenir itu suka maen kekerasan. Bahkan ada rumor kalau ada beberapa orang yang pernah meminjam ke rentenir itu meninggal dengan cara yang aneh.”

“Wow. Gede juga masalahnya ya.”

Itulah kenapa Misha langsung telpon aku besoknya. Karena dia merasa tidak punya pilihan lain.”

“Oke. Tapi, walaupun ceritanya masuk akal, tetep aja mengkhawatirkan kalau kamu langsung nikah sama orang yang baru dua kali ketemu”. Sigra kembali berusaha menekan Endra.

“Waktu ngajak dia nikah, aku mungkin memang gila. Tapi aku nggak cuma ketemu dia dua kali. Sebelum nikah, aku dateng lagi ke sana beberapa kali. Bahkan sempat nginep. Jadi aku bisa ngerti keadaan di sana dan semakin yakin kalau dia dan keluarganya itu baik.” Endra berusaha membela diri.

“Oke… Nah sekarang pertanyaannya kapan kamu jatuh cinta sama Misha?” Sigra langsung menuju sasaran utamanya.

“Haruskah sevulgar itu nanyanya?”

“Kamu kan tau kalau aku nggak suka buang-buang waktu.”

“Tapi pertanyaan itu sulit untuk dijawab.”

“Kamu kan yang punya hati, jadi harusnya kamu tau kapan kamu merasakan sesuatu yang muncul di hati kamu.”

“Ya masalahnya aku nggak yakin sama yang aku rasain.”

“Ya kalau gitu, kamu cerita aja apa yang terjadi, biar aku yang menyimpulkan.” Senyum simpul Sigra menunjukkan jika dia merasa menang.

“Gimana ya?” Endra berpikir dan mencoba mengingat detail yang terjadi. Waktu pertama kali liat mata dia itu, ada sesuatu yang berbeda dan bikin aku deg-deg an.”

“Pertama kali liat mata dia?”

“Kamu boleh bilang aku gila, tapi itu yang terjadi.”

Sigra tersenyum lebar. Jadi ini cinta pada pandangan pertama?”

“Nggak tau deh.”

“Apa lagi coba kalau bukan cinta pada pandangan pertama? Kamu liat matanya dan langsung klepek-klepek.” Sigra tertawa.

“Ya nggak gitu juga kali. Aku juga masih punya otak. Aku nggak langsung bilang suka sama dia.” Endra merasa menjadi orang tolol di hadapan Sigra yang mentertawainya.

“Ya tapi kamu jadi terdorong untuk ngelakuin ide gila buat nikahin dia.”

Itukan karena aku memang harus cepet-cepet nikah. Ultimatum Bapak nggak maen-maen lho.” Endra harus membela diri jika tidak ingin menjadi bulan-bulanan Sigra.

“Ya ya ya.” Sigra terus saja tertawa.

Tapi waktu aku ketemu dia lagi dan mulai ngobrol banyak, aku jadi tau kalau dia itu sebenarnya lugu banget.” Nada bicara Endra terdengar begitu tulus dari dalam lubuk hatinya. Ketulusan itu menghentikan tawa Sigra yang kemudian menjadi serius mendengarkan kelanjutan cerita Endra.

Dia itu nggak matre dan dia itu caaaantik banget.” Nada bicara Endra terdengar begitu bersemangat kali ini. Sepertinya dia sudah tidak takut lagi untuk menceritakan semuanya pada Sigra.

Sigra tersenyum. Dia tahu bagaimana rasanya jika melihat perempuan yang cantik.

“Cantiknya itu natural. Tanpa polesan.” Endra menambahkan. Kemudian ia berhenti sebentar untuk menarik nafas dan melanjutkan. “Yang paling penting, hatinya baik banget. Dia itu sayang banget sama keluarganya, sama temen-temennya, dan … pokoknya baik banget”

Sigra merasa ini adalah saat yang tepat untuk melontarkan pertanyaan yang begitu ingin ditanyakannya. “Kalau kamu emang suka dia, kenapa nggak kamu nikahin dengan cara normal aja?”

“Aku kan juga masih punya pikiran. Nggak mungkin aku nikahin orang gitu aja tanpa yakin bahwa dia adalah yang terbaik. Jadi aku tetep nikahin dia dengan syarat. Rencananya, aku akan deketin dia dan menghentikan perjanjian pra-nikah kami setelah aku yakin.”

“Tapi ternyata dia tidak seperti yang kamu kira?” Sigra dengan cepat menebak apa yang terjadi.

“Ya gitu deh.” Endra menggangguk. Sebelum Sigra menanggapi, Endra segera menambahkan. Tapi bukan negatif lho.”

“Maksudnya?” Sigra penasaran.

“Dia itu bener-bener cewek baik-baik. Kamu sendiri tau kan kalau sampai saat ini Misha nggak pernah nuntut apa-apa dari aku.”

“Terus?” Sigra semakin penasaran.

Raut muka Endra berubah menjadi sendu. “Ternyata dia itu udah punya pacar. Jadi dia itu sebenarnya patah hati waktu nikahin aku. Ya aku kan jadinya nggak enak.”

“Merasa marah, bersalah, atau cemburu?”

“Semuanya. Sebagai laki-laki aku nggak terima kalau dia cinta sama orang lain.”

Sigra tertawa. “Ego seorang Endra.”

“Bukan ego tapi harga diri.”

“Itu juga alasan kamu untuk langsung ninggalin dia setelah akad?” Sigra menyimpulkan.

“Ya iyalah, sebelum ditolak, lebih baik aku yang nolak dia terlebih dahulu.” Nada bicara Endra sedikit meninggi.

“Tapi dengan mencintai orang lain bukan berarti dia salah sama kamu. Kan kamu yang paksa dia buat nikah. Trus kenapa kamu justru nyakitin dia dengan poligami?”

Endra terdiam. Tidak bisa menjawab apapun.

“Kalau kamu emang bener-bener cinta sama dia, kejar dong. Toh pada dasarnya dia milik kamu.”

“Hubungan kita itu simbiosis mutualisme. Cuma itu. Nggak lebih.

“Oke, tapi sesuai sama cerita kamu, dia nggak pernah nyakitin kamu setelah kalian nikah, tapi justru kamu nyakitin dia dengan poligami. Seharusnya kamu juga jaga diri dong biar adil. Kan kamu cinta sama dia. Sigra kembali mencecar Endra yang mulai kesulitan untuk mendapatkan jawaban.

“Aku kan laki-laki yang punya kebutuhan.” Akhirnya Endra menjawab singkat.

“Emang dia enggak?”

“Ya itu konsekuensinya karena perempuan nggak punya hak untuk memiliki suami lebih dari satu.”

“Berarti kalau misalnya Tuhan memberikan hak itu, kamu akan biarin dia untuk poliandri?” Sigra melontarkan pertanyaan yang tepat mengarah ke jantung Endra.

“Ya… nggak mungkinlah, aturannya udah jelas.” Endra mengelak.

“Aku kan bilang kalau. Bukan mungkin atau tidak mungkin.”

“Pokoknya perempuan nggak boleh begitu.”       

“Tuh kan. Kamu nggak adil.”

“Habis gimana lagi, aku nggak ada pilihan lain.” Endra berusaha mencari jalan untuk menghentikan perdebatan ini. Sigra sekarang berada di atas angin sehingga sangat mudah untuk menyerangnya.

“Makanya, kenapa kamu nggak deketin dia aja sih? Kamu belum coba kan? Kalaupun ternyata kalian nggak cocok ya nggak usah dilanjutin. Toh nggak dosa. Malah lebih dosa sekarang karena kamu nggak kasih nafkah batin sama dia.”

“Aku nggak mau dia terpaksa cinta sama aku. Lebih baik aku sama orang lain. Biar nanti setelah perjanjian kita selesai, dia bisa bebas tanpa beban dengan tetap suci sebagai perempuan yang belum pernah terjamah laki-laki.” Suara Endra terdengar berat. Sepertinya dia berusaha keras menahan perasaan.

Kata-kata Endra menyentuh hati Sigra. Ternyata sepupunya bisa juga jatuh cinta. Bahkan saat jatuh cinta, perasaannya bisa begitu besar. “Segitu besarnya cinta kamu sama dia, sampai kamu setengah mati ngejaga kesucian dia.”

Endra terkejut. Apa benar yang dikatakan oleh Sigra? Sebesar itukah cintanya pada Misha? Yang dia yakini, dia tidak ingin Misha ternodai oleh cinta yang dipaksakan. “Aku…”  Endra pun kehilangan kata-kata.

“Kamu pernah kepikiran nggak sih kalau mungkin suatu saat dia bisa jatuh cinta sama kamu?” Sigra kembali berusaha merubah jalan pikiran Endra.

“Enggak mungkinlah. Kita aja nggak pernah ketemu lagi sampai sekarang.”

“Karena kamu nggak pernah usaha untuk nemuin dia lagi. Kalau kamu deketin terus-menerus, bukannya nggak mungkin dia akan jatuh cinta sama kamu.” Sigra terus berusaha agar sepupunya mau memperbaiki perkawinannya.

“Nggak lah, dia itu cinta banget sama cowoknya itu. Dia aja nggak pernah mau aku sentuh.” Endra merasa sedih begitu teringat masa lalunya.

“Bukannya kamu langsung ninggalin dia habis akad?” Sigra menjadi kurang mengerti.

“Maksudnya.. habis aku ngelamar dia kan aku beberapa kali nemuin dia. Selama itu dia selalu jaga jarak sama aku. Kalau ngobrol sih masih mendingan, tapi sentuhan fisik nggak ada sama sekali. Salaman pun dia keliatan ogah, kepaksa banget kayaknya.”

“Pantes aja kamu langsung ilfill.” Sigra tertawa tipis.

“Bukan ilfill lagi, bĂȘte setengah mati.”

Sigra tertawa lepas mendengar perkataan Endra. “Tapi sampai sekarang kamu masih nggak bisa ngelupain dia kan?”

Pertanyaan Sigra menusuk hati Endra. Harus diakui bahwa Misha masih mengisi ruang hatinya walaupun beberapa bulan terakhir ini Endra sempat yakin bahwa Wafa telah berhasil mengambil alih tempat Misha.

Kembalinya ingatan atas Wafa membuat emosi Endra kembali meninggi. “Cuma Wafa yang bisa buat aku ngelupain Misha. Tapi ternyata dia juga sama.” Endra memukul keras meja yang ada dihadapannya. Raut muka Endra terlihat begitu marah. Suasana pun berubah menjadi tegang.

Sigra merasa tidak enak dengan keadaan ini. Dia sedikit takut jika emosi Endra meledak karena sepupunya itu bisa berbuat nekat jika sedang emosi tinggi.

“Eh.. aku lupa.. tadi Pak Hedi bilang kalau dia mau ketemuan sama kamu besok.” Sigra berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Setidaknya sekarang dia sudah mulai mengerti mengapa Endra menjadi seperti ini sekarang.

Endra yang sedang emosi menjadi sedikit kaget karena Sigra merubah arah pembicaraan mereka dengan tiba-tiba. Tapi dia tahu bahwa sepupunya itu pasti berusaha meredam emosinya yang sudah meningkat tajam. Endra bersyukur bahwa dia memiliki Sigra yang begitu mengerti dirinya dan selalu menjaganya agar tidak berlaku gila.

“Tadi dia udah telpon aku kok. Tapi aku bilang jadwal aku padet, jadi biar diwakilin sama Unva aja. Aku lagi males ngurusin kerjaan.” Endra memperhatikan mejanya yang penuh dengan dokumen untuk diperiksa tetapi belum satu pun dikerjakannya. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Tiba-tiba handphone Endra berbunyi. Dilihatnya layar dan ternyata yang menelpon adalah Om Aswin. Segera dijawabnya telpon tersebut. Mereka berbicara ringan sebentar sampai akhirnya  Endra diam seribu bahasa. Dia menurunkan dan meletakkan handphone di meja.

“Hai.. kamu nggak apa apa?” Sepertinya ada sesuatu yang besar yang sedang terjadi dan Sigra merasa khawatir.

“Tadi itu Om Aswin.”

“Ya aku denger tadi.”

“Katanya Misha telpon dia.”

“Misha? Kok bisa kebetulan ya? Baru aja diomongin.”

“Tau deh.”

“Kenapa Ndra?”

“Misha minta cerai.”

_________________________________________________
Prolog           << Bab Sebelumnya          Bab Selanjutnya >>



Beranda                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar