Bab X
Sigra bergegas
menuju ruangan Endra. Sigra memang masih khawatir dengan keadaan Endra, tetapi yang ada dibenaknya saat ini lebih
pada rasa penasaran. Pembicaraan semalam belum selesai dan Sigra ingin tau apa
yang sebenarnya dirasakan oleh sepupunya.
Sigra merasa
sedikit lega karena Endra telah ada diruangannya. Dilihatnya raut muka Endra
yang masih terlihat kacau. “Assalamualaikum”, Sigra memberi salam
perlahan agar tidak mengagetkan.
Endra melihat ke arah Sigra dan menjawab, “Wa’alaikum salam.”
Sigra duduk di
depan Endra dan menatapnya. “Mau terusin cerita tadi malem?”
“Hah?” Endra tahu
bahwa hal ini pasti terjadi. Sepupunya memang tidak suka menunda-nunda sesuatu
terutama jika ada hal yang begitu ingin diketahuinya, pasti dia akan secepatnya
mencari jawaban. Tapi Endra tidak ingin membicarakan hal tersebut. Dia sudah cukup malu tentang tadi malam dan tidak ingin
menambah rasa malu itu. Untuk menghindar Endra berpura-pura terlihat sibuk
dengan pekerjaannya.
Sigra sangat mengenal sepupunya sehingga dia tidak mudah
dibodohi. “Kamu nggak boleh ngeles
sekarang”.
Endra menghela
nafas panjang. Dia tahu bahwa jika Sigra sudah berbicara
seperti itu, dia pasti akan sekuat tenaga mengejar sampai Endra menjawabnya. Namun,
susah sekali bagi Endra untuk menceritakan rahasia terbesar dalam
hidupnya.
Sigra sudah tidak
sabar. Dia harus memulai agar Endra mau bicara. “Sebenarnya selama ini aku selalu ingin tau kenapa kamu
menikahi Misha.”
Endra menatap mata Sigra. Pandangan Sigra sangat tajam,
sia-sia jika Endra terus mengelak. “Aku
sedang terdesak saat itu. Ultimatum bapak udah bener-bener mepet.” Akhirnya
Endra membuka mulut.
Sigra pun
tersenyum. Dimulai dari beberapa kata, dia yakin akan berhasil membuat Endra
menceritakan semuanya.
“Aku kenal kamu
cukup lama untuk tau bahwa kamu orang yang pintar dan selalu berpikir panjang
sebelum menentukan sesuatu.” Sigra memulai serangannya.
“Dalam posisi
terdesak, orang bisa melakukan apapun, bahkan sesuatu yang gila.” Endra masih
berusaha mengelak.
“Tapi menikahi
orang yang baru saja kamu kenal dikategorikan sebagai sesuatu yang lebih dari
sekedar gila.” Berhenti sesaat, Sigra melanjutkan. “Semua orang juga tahu bahwa
menikah memiliki konsekuensi yang begitu besar. Terlebih lagi pernikahan yang
berkekuatan hukum.”
“Justru itu. Dengan
perjanjian pra-nikah yang kuat, aku bisa mengamankan diri.” Kali ini Endra
berhasil menjawab dengan baik.
Sigra merasa
senang karena akhirnya bisa membawa Endra ke arah yang diinginkannya. Sekarang
saatnya menembakkan peluru tepat ke sasaran. “Kalau memang benar itu alasannya, kenapa mata Wafa yang mirip dengan
Misha bisa membuat kamu lupa diri?”
Endra benar-benar
menyesal sudah minum-minum lagi semalam. Alkohol membuat dia kehilangan
kontrol dan kelepasan bicara
sehingga saat ini dia sudah tidak bisa lagi lari dari kejaran sepupunya.
“Walaupun masih
kurang masuk akal, tetapi aku yakin kalau kamu sebenarnya jatuh cinta pada
Misha sehingga berani menikahinya.” Sigra terus menekan Endra.
“Aku nggak tau
itu cinta atau …” Endra tidak berhasil menemukan kata-kata yang tepat untuk
menyelesaikan kalimatnya.
“Kayaknya lebih
enak kalau kamu cerita dari awal.” Sigra merasa kemenangannya sudah dekat.
Sudah terpojok, Endra sulit untuk berkata tidak. Lagipula,
dia juga ingin membagi kegalauannya dengan orang lain. Tidak mudah untuk
menyimpan perasaan seperti ini seorang diri. Endra pun akhirnya bercerita. “Waktu itu aku lagi jalan-jalan di taman
mikirin ultimatum bapak. Sandra udah nolak aku, berarti aku harus cari perempuan lain untuk
dinikahi.” Endra membuka ceritanya.
Sigra mendengarkan
dengan seksama. Dia tidak mau melewatkan satu
katapun yang keluar dari mulut Endra.
“Tiba-tiba aku
denger ada perempuan sedang berdoa. Dia bilang akan ngelakuin apa aja jika
Tuhan menjatuhkan sebatang emas untuk dirinya.”
“Dan kamu dapet ide
gila itu?” Sigra langsung menebak.
“Ya gitu, aku
tawarin dia untuk nikahin aku dan dia akan dapet sebatang emas yang dia mau.”
“Dia langsung
mau?”
“Justru dia
bilang aku nggak waras dan langsung pergi, tapi aku tahan.” Endra mengambil
nafas dan melanjutkan. “Kita berdebat cukup panjang sampai akhirnya aku kasih
dia kartu nama aku dan waktu untuk berpikir.”
“Kapan dia bilang
‘YA’?” Sigra bertanya.
“Besoknya.” Jawab
Endra singkat.
“Dan kamu percaya
kalau dia perempuan baik-baik? Kamu udah nggak punya otak apa?” Sigra
menggelengkan kepalanya.
“Awalnya aku juga
ragu. Sama kayak kamu. Aku bertanya kenapa hanya dalam satu malam dia bisa
mengambil keputusan seperti itu.”
“Tapi?” Sigra
memotong
“Aku kan langsung hubungin temen aku yang
pengacara buat bikinin aku surat perjanjian pra-nikah, jadi ya aku lanjutin aja
sambil cari tahu sebenarnya dia itu seperti apa.”
Sigra terkejut mendengar penjelasan Endra. “Bukannya selama ini yang ngurusin Misha Om
Aswin?”
“Ya nggak lah,
mana mau Om Aswin bantuin aku buat urusan kayak gitu.”
“Sekarang kok
yang ngurusin istri kamu itu Om Aswin?”
“Ya awalnya aku
minta bantuan sama temen sampe aku bisa nikah soalnya aku nggak mau Om
Aswin ngerusak rencana aku. Setelah
aku nikah kan Om Aswin udah nggak bisa protes lagi. Akhirnya dia mau bantu aku
buat ngurusin masalah-masalah yang berhubungan sama Misha.”
“Ohh, nah trus
cerita yang tadi sama Misha gimana
terusannya?” Sigra merasa bahwa pembicaraan mereka mulai melenceng dan berusaha
meluruskannya lagi.
“Kirain kamu udah
lupa.” Endra meregangkan badannya.
“Bukan Sigra
namanya kalau lupa sama tujuan utama.” Sigra tersenyum.
“Habis dia telpon, aku langsung pergi ke rumahnya. Waktu
masuk kampungnya, aku tanya dulu sama beberapa orang untuk mastiin kalau dia
memang udah lama tinggal di sana. Ternyata benar kalau dia emang asli daerah
itu dan keluarganya terkenal baik.”
“Oke” Sigra
mengangguk. Ternyata Endra memang masih sedikit berhati-hati walau tetap gila.
“Waktu aku ketemu
dia lagi, keliatan banget kalau dia sebenarnya masih ragu dan takut. Tapi
ibunya cerita kenapa sampai mereka harus terima penawaran aku.”
“Kenapa?” Sigra
penasaran.
“Jadi..
keluarganya itu kebelit utang sama rentenir gara-gara kakaknya Misha pengen
pesta pernikahan yang besar. Awalnya hutangnya 50 juta dan dalam waktu singkat
udah jadi seratus juta. Mereka belum pernah punya utang sebanyak itu, makanya
mereka jadi takut banget. Apalagi yang namanya rentenir kan selalu kasar kalau
nagih”
“Emang mereka
nggak punya harta untuk dijual atau gimana gitu? Seharusnya mereka kan
berhitung dulu sebelum berani meminjam uang?” Sigra mulai curiga.
“Namanya juga
orang tua pengen nyenengin anak. Lagian di desanya itu adatnya memang begitu.
Harus pesta besar untuk menikahkan anak. Jadi ya dipaksain.” Endra menghela
nafas sebentar. “Parahnya, pengantinnya yang pengen pesta besar itu nggak mau
ikut tanggung jawab. Katanya itu udah jadi tanggung jawab orang tua.”
“Buset.”
“Orang tuanya itu
kan sederhana banget dan nggak .. apa ya? Sedikit kurang berilmu lah. Jadi ya
nggak hati-hati dan kurang perhitungan.”
Sigra mengangguk-angguk. “Tapi kalau masalah uang sih, yang berilmu juga bisa salah.”
“Itu dia. Waktu
itu, mereka cuma punya waktu dua hari atau rentenir itu akan mengusir mereka
dari rumah yang merupakan satu-satunya harta mereka yang tersisa dan
bahkan rentenir itu ngancam akan mengirim bapaknya Misha ke penjara.”
“Makanya Misha
bisa berdoa seperti itu.” Sigra mulai mengerti.
“Iya. Selain itu, mereka juga denger kalau rentenir itu suka
maen kekerasan. Bahkan ada rumor kalau ada beberapa orang yang pernah meminjam
ke rentenir itu meninggal dengan cara yang aneh.”
“Wow. Gede juga masalahnya ya.”
“Itulah kenapa Misha langsung telpon aku
besoknya. Karena dia merasa tidak punya pilihan lain.”
“Oke. Tapi, walaupun
ceritanya masuk akal, tetep aja mengkhawatirkan kalau kamu langsung nikah sama
orang yang baru dua kali ketemu”. Sigra kembali berusaha menekan Endra.
“Waktu ngajak dia
nikah, aku mungkin memang
gila. Tapi aku nggak cuma ketemu dia dua kali. Sebelum nikah, aku dateng lagi
ke sana beberapa kali. Bahkan sempat nginep. Jadi aku bisa ngerti keadaan di
sana dan semakin yakin kalau dia dan keluarganya itu baik.” Endra berusaha
membela diri.
“Oke… Nah
sekarang pertanyaannya kapan kamu jatuh cinta sama Misha?” Sigra langsung
menuju sasaran utamanya.
“Haruskah
sevulgar itu nanyanya?”
“Kamu kan tau
kalau aku nggak suka buang-buang waktu.”
“Tapi pertanyaan
itu sulit untuk dijawab.”
“Kamu kan yang
punya hati, jadi harusnya kamu tau kapan kamu merasakan sesuatu yang muncul di
hati kamu.”
“Ya… masalahnya aku nggak yakin sama yang aku
rasain.”
“Ya kalau gitu, kamu cerita aja apa yang terjadi, biar
aku yang menyimpulkan.” Senyum simpul Sigra menunjukkan jika dia merasa
menang.
“Gimana ya?”
Endra berpikir dan mencoba mengingat detail yang terjadi. “Waktu pertama kali liat mata dia itu, ada sesuatu yang berbeda dan bikin
aku deg-deg an.”
“Pertama kali
liat mata dia?”
“Kamu boleh
bilang aku gila, tapi itu yang terjadi.”
Sigra tersenyum lebar. “Jadi ini cinta pada pandangan pertama?”
“Nggak tau deh.”
“Apa lagi coba kalau bukan cinta pada pandangan pertama?
Kamu liat matanya dan langsung klepek-klepek.” Sigra tertawa.
“Ya nggak gitu juga kali. Aku juga masih punya otak. Aku nggak
langsung bilang suka sama dia.” Endra merasa menjadi orang tolol di hadapan
Sigra yang mentertawainya.
“Ya tapi kamu jadi terdorong untuk ngelakuin ide gila buat
nikahin dia.”
“Itukan
karena aku memang harus cepet-cepet nikah. Ultimatum Bapak nggak maen-maen lho.”
Endra harus membela diri jika tidak ingin menjadi bulan-bulanan Sigra.
“Ya ya ya.” Sigra terus saja tertawa.
“Tapi waktu aku
ketemu dia lagi dan mulai ngobrol banyak, aku jadi tau kalau dia itu sebenarnya
lugu banget.” Nada bicara Endra terdengar begitu tulus dari dalam lubuk
hatinya. Ketulusan itu menghentikan tawa Sigra yang kemudian menjadi serius
mendengarkan kelanjutan cerita Endra.
Dia itu nggak matre
dan dia itu caaaantik
banget.” Nada bicara Endra terdengar begitu bersemangat kali ini.
Sepertinya dia sudah tidak takut lagi untuk menceritakan semuanya pada Sigra.
Sigra tersenyum. Dia tahu bagaimana rasanya jika melihat perempuan yang cantik.
“Cantiknya itu
natural. Tanpa polesan.” Endra menambahkan. Kemudian ia berhenti sebentar untuk menarik nafas dan
melanjutkan. “Yang paling penting, hatinya baik banget. Dia itu sayang banget
sama keluarganya, sama temen-temennya, dan … pokoknya baik banget”
Sigra merasa ini adalah saat yang tepat untuk melontarkan
pertanyaan yang begitu ingin ditanyakannya. “Kalau kamu emang suka dia, kenapa nggak kamu nikahin dengan cara normal aja?”
“Aku kan juga
masih punya pikiran. Nggak mungkin aku nikahin orang gitu aja tanpa yakin bahwa
dia adalah yang terbaik. Jadi aku tetep nikahin dia dengan syarat. Rencananya, aku akan deketin dia dan menghentikan
perjanjian pra-nikah kami setelah aku yakin.”
“Tapi ternyata
dia tidak seperti yang kamu kira?” Sigra dengan cepat menebak apa yang
terjadi.
“Ya gitu deh.”
Endra menggangguk. Sebelum Sigra menanggapi, Endra segera menambahkan. “Tapi bukan negatif lho.”
“Maksudnya?”
Sigra penasaran.
“Dia itu
bener-bener cewek baik-baik. Kamu sendiri tau kan kalau sampai saat ini Misha
nggak pernah nuntut apa-apa dari aku.”
“Terus?” Sigra
semakin penasaran.
Raut muka Endra berubah menjadi sendu. “Ternyata dia itu udah punya pacar. Jadi dia itu
sebenarnya patah hati waktu nikahin aku. Ya aku kan jadinya nggak enak.”
“Merasa marah, bersalah,
atau cemburu?”
“Semuanya.
Sebagai laki-laki aku nggak terima kalau dia cinta sama orang lain.”
Sigra tertawa.
“Ego seorang Endra.”
“Bukan ego tapi
harga diri.”
“Itu juga alasan
kamu untuk langsung ninggalin dia setelah akad?” Sigra menyimpulkan.
“Ya iyalah,
sebelum ditolak, lebih baik aku yang nolak dia terlebih dahulu.” Nada bicara
Endra sedikit meninggi.
“Tapi dengan
mencintai orang lain bukan berarti dia salah sama kamu. Kan kamu yang paksa dia buat nikah. Trus kenapa kamu justru nyakitin dia dengan
poligami?”
Endra terdiam.
Tidak bisa menjawab apapun.
“Kalau kamu emang
bener-bener cinta sama dia, kejar dong. Toh pada dasarnya dia milik kamu.”
“Hubungan kita
itu simbiosis mutualisme. Cuma itu. Nggak lebih.”
“Oke, tapi sesuai
sama cerita kamu, dia nggak pernah nyakitin kamu setelah kalian nikah, tapi justru kamu nyakitin dia dengan
poligami. Seharusnya kamu juga jaga diri dong biar adil. Kan kamu cinta
sama dia.” Sigra kembali mencecar
Endra yang mulai kesulitan untuk mendapatkan jawaban.
“Aku kan
laki-laki yang punya kebutuhan.” Akhirnya Endra menjawab singkat.
“Emang dia
enggak?”
“Ya itu
konsekuensinya karena perempuan nggak punya hak untuk memiliki suami lebih dari
satu.”
“Berarti kalau
misalnya Tuhan memberikan hak itu, kamu akan biarin dia untuk poliandri?”
Sigra melontarkan pertanyaan yang tepat mengarah ke jantung Endra.
“Ya… nggak
mungkinlah, aturannya udah jelas.” Endra mengelak.
“Aku kan bilang
kalau. Bukan mungkin atau tidak mungkin.”
“Pokoknya perempuan nggak boleh begitu.”
“Tuh kan. Kamu
nggak adil.”
“Habis gimana
lagi, aku nggak ada pilihan lain.” Endra berusaha
mencari jalan untuk menghentikan perdebatan ini. Sigra sekarang berada di atas
angin sehingga sangat mudah untuk menyerangnya.
“Makanya, kenapa
kamu nggak deketin dia aja sih? Kamu belum coba kan? Kalaupun ternyata kalian
nggak cocok ya nggak usah dilanjutin. Toh nggak dosa. Malah lebih dosa sekarang
karena kamu nggak kasih nafkah batin sama dia.”
“Aku nggak mau
dia terpaksa cinta sama aku. Lebih baik aku sama orang lain. Biar nanti setelah
perjanjian kita selesai, dia bisa bebas tanpa beban dengan tetap suci sebagai
perempuan yang belum pernah terjamah laki-laki.” Suara Endra terdengar
berat. Sepertinya dia berusaha keras menahan perasaan.
Kata-kata Endra menyentuh hati Sigra. Ternyata sepupunya bisa juga jatuh cinta. Bahkan
saat jatuh cinta, perasaannya bisa begitu besar. “Segitu besarnya cinta kamu
sama dia, sampai kamu
setengah mati ngejaga kesucian dia.”
Endra terkejut. Apa
benar yang dikatakan oleh Sigra? Sebesar itukah cintanya pada Misha? Yang dia yakini, dia tidak ingin Misha
ternodai oleh cinta yang dipaksakan. “Aku…” Endra pun kehilangan
kata-kata.
“Kamu pernah
kepikiran nggak sih kalau mungkin suatu saat dia bisa jatuh cinta sama kamu?”
Sigra kembali berusaha merubah jalan pikiran Endra.
“Enggak
mungkinlah. Kita aja nggak pernah ketemu lagi sampai sekarang.”
“Karena kamu
nggak pernah usaha untuk nemuin dia lagi. Kalau kamu deketin terus-menerus,
bukannya nggak mungkin dia
akan jatuh cinta sama kamu.” Sigra terus berusaha agar sepupunya mau memperbaiki perkawinannya.
“Nggak lah, dia
itu cinta banget sama cowoknya itu. Dia aja nggak pernah mau aku sentuh.”
Endra merasa sedih begitu teringat masa lalunya.
“Bukannya kamu
langsung ninggalin dia habis akad?” Sigra menjadi kurang mengerti.
“Maksudnya..
habis aku ngelamar dia kan aku beberapa kali nemuin dia. Selama itu dia selalu
jaga jarak sama aku. Kalau ngobrol sih masih mendingan, tapi sentuhan fisik nggak ada sama sekali. Salaman
pun dia keliatan ogah, kepaksa banget kayaknya.”
“Pantes aja kamu
langsung ilfill.” Sigra tertawa tipis.
“Bukan ilfill
lagi, bĂȘte setengah mati.”
Sigra tertawa
lepas mendengar perkataan Endra. “Tapi sampai sekarang kamu masih nggak bisa
ngelupain dia kan?”
Pertanyaan Sigra menusuk
hati Endra. Harus diakui bahwa Misha masih mengisi ruang hatinya walaupun
beberapa bulan terakhir ini Endra sempat yakin bahwa Wafa telah berhasil mengambil
alih tempat Misha.
Kembalinya ingatan atas Wafa membuat emosi Endra kembali
meninggi. “Cuma Wafa yang bisa buat
aku ngelupain Misha. Tapi ternyata dia juga sama.” Endra memukul keras
meja yang ada dihadapannya. Raut
muka Endra terlihat begitu marah. Suasana pun berubah menjadi tegang.
Sigra merasa
tidak enak dengan keadaan ini. Dia sedikit takut jika emosi Endra meledak
karena sepupunya itu bisa berbuat nekat jika sedang emosi tinggi.
“Eh.. aku lupa..
tadi Pak Hedi bilang kalau dia mau ketemuan sama kamu besok.” Sigra berusaha
untuk mengalihkan pembicaraan. Setidaknya sekarang dia sudah mulai mengerti
mengapa Endra menjadi seperti ini sekarang.
Endra yang sedang
emosi menjadi sedikit kaget karena Sigra merubah arah pembicaraan mereka
dengan tiba-tiba. Tapi dia tahu
bahwa sepupunya itu pasti berusaha meredam emosinya yang sudah meningkat tajam.
Endra bersyukur bahwa dia memiliki Sigra yang begitu mengerti dirinya dan
selalu menjaganya agar tidak berlaku gila.
“Tadi dia udah
telpon aku kok. Tapi aku bilang jadwal aku padet, jadi biar diwakilin sama
Unva aja. Aku lagi males ngurusin kerjaan.” Endra memperhatikan mejanya yang
penuh dengan dokumen untuk diperiksa tetapi belum satu pun dikerjakannya. Sesuatu yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Tiba-tiba
handphone Endra berbunyi. Dilihatnya layar dan ternyata yang menelpon adalah Om
Aswin. Segera dijawabnya telpon tersebut. Mereka berbicara ringan sebentar
sampai akhirnya Endra diam seribu
bahasa. Dia menurunkan dan meletakkan handphone di meja.
“Hai.. kamu nggak
apa apa?” Sepertinya ada sesuatu yang besar yang sedang terjadi dan Sigra merasa
khawatir.
“Tadi itu Om Aswin.”
“Ya aku denger tadi.”
“Katanya Misha telpon dia.”
“Misha? Kok bisa kebetulan ya? Baru aja diomongin.”
“Tau deh.”
“Kenapa Ndra?”
“Misha minta cerai.”
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar