Di awal pernikahanku dengan Koko, semua berjalan dengan sangat
baik. Tuhan sepertinya mendengar jerit hatiku yang sakit oleh perlakuan Toni
dan keluarganya. Tanpa harus menunggu lama, aku mendapatkan kabar luar biasa. AKU HAMIL.
Gejolak kegembiraan yang kurasakan tidak bisa digambarkan.
Ini adalah suatu pembuktian bahwa aku tidak mandul dan aku bukan perempuan
pembawa sial. Tuhan benar-benar membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin
di dunia ini. Jika Allah sudah berkehendak, tidak ada yang bisa
menghentikan-Nya. Toni, Mimih, apa yang akan kalian katakan sekarang?
Kebahagiaanku semakin memuncak dengan adanya kasih sayang
dan perhatian Koko yang tercurah padaku. Koko bukanlah Toni. Mereka berbeda hampir
180 derajat. Toni adalah orang yang senang dengan kemewahan sedangkan Koko
adalah orang yang sederhana. Toni adalah anak mami yang selalu berlindung pada
ketiak ibunya sedangkan Koko adalah anak tertua yang selalu bekerja keras untuk
membantu orang tuanya. Toni selalu mengekangku, sedangkan Koko memberikan
begitu banyak ruang untukku bekerja dan bersosialisasi
Satu lagi perbedaan yang mencolok antara Toni dan Koko,
yaitu perhatian terhadap adik-adikku. Koko sangat memperhatikan adik-adikku.
Koko tidak keberatan jika aku mengurus adik-adikku karena diapun adalah anak
tertua dengan tanggung jawab pada adik-adiknya. Alhasil, kami bahu membahu
menggurus dan menyekolahkan adik-adik kami.
Memang, Koko dan Toni juga memiliki kesamaan yaitu keduanya
sama-sama sering berbicara keras dan keras kepala. Koko adalah orang Jawa Timur
yang memang terkenal memiliki sifat keras. Namun, walaupun Koko suka berbicara
keras, dia juga memiliki sisi lembut yang bisa membuatku luluh. Selain itu,
pengalaman hidupku yang terdahulu membuat aku lebih kuat dan berani. Jika
dahulu aku hanya bisa mengangguk dan mengikuti keinginan suami, setelah menikah
dengan Koko aku lebih berani dalam menyatakan pendapat dan keinginanku.
Bukannya aku membangkang dan melawan suami, tetapi aku hanya berusaha untuk
mendapatkan keadilan agar cerita pernikahanku yang dahulu tidak terulang lagi. Hasilnya
cukup baik. Dengan keberanianku, aku bisa menekan sifat keras Koko.
Dengan adanya Koko, aku merasa beban hidupku berkurang. Aku
memiliki teman untuk berbagi senang maupun susah. Keadaan ekonomi keluargaku
juga semakin baik dengan nafkah yang diberikan Koko, walaupun gajinya tidak
diberikan sepenuhnya padaku. Setengah gajinya diberikan untuk menafkahi
anak-anak dari pernikahannya yang terdahulu. Yah, aku mengerti bahwa sebagai
ayah, dia masih memiliki kewajiban untuk menafkahi anak-anaknya. Oleh karena
itulah aku tidak keberatan jika gajinya dibagi dua. Untungnya, setelah
perceraian, mantan istri dan anak-anaknya tinggal di luar kota sehingga mereka
tidak sering bertemu. Aku merasa bahwa kekhawatiran ibuku tidak akan terbukti.
Selama aku hamil, aku cukup dimanjakan oleh Koko. Dia selalu
berusaha untuk memenuhi keinginanku selama ngidam. Walaupun kadang-kadang dia
suka malas dan berusaha membohongiku, tetapi aku bisa memaafkannya. Yah, paling
aku hanya sedikit ngambek dan segera berbaikan tidak lama kemudian. Lagipula,
Koko telah berpengalaman dalam menghadapi istri yang sedang hamil sebelumnya
sehingga dia lebih mengerti jika aku yang sedang hamil suka menginginkan
hal-hal yang cukup merepotkan dan memiliki emosi yang kadang tidak stabil.
Disaat usia kandunganku belum genap tujuh bulan, aku
mengalami kecelakaan kecil. Aku terpeleset saat akan mencuci rambut. Aku merasa
ada sesuatu yang basah dipahaku dan segera memanggil Koko. “Bapak…bapak”, aku
berteriak dengan keras. “Ada apa bu?” Koko menjawab dan segera mendekatiku.
“Ini lho pak ada yang kayak gini”, aku mempelihatkan cairan yang keluar. “Oh itu
slem”, kata dia. “Terus gimana?” kataku dengan cemas. Aku takut jika terjadi
sesuatu pada kandunganku, tapi aku juga tidak berani bercerita tentang jatuhku
karena takut Koko akan marah. “Kita harus kerumah sakit”, kata Koko.
Koko segera membawa aku ke rumah sakit. Dokter mengatakan
bahwa usia kandunganku sebenarnya belum cukup, tetapi dokter menyarankan agar
aku berjalan-jalan untuk melihat perkembangan selanjutnya. Jika terjadi
kontraksi, maka aku harus segera menemui dokter. Akupun berjalan-jalan sekitar
satu jam dan merasakan sakit. Saat aku kembali menemui dokter, terlihat
pembukaan dan dokter mengatakan aku bisa segera melahirkan. Alhamdullillah, aku
pun melahirkan anak pertamaku yang berjenis kelamin laki-laki.
“Alhamdulillahi robil’alamin”. Betapa bersyukurnya aku atas
keselamatan anakku yang usia kandungannya sebetulnya belum cukup. Aku bersyukur
atas semua karunia yang diberikan oleh Allah, terutama karena aku tidak perlu
menunggu lama untuk bisa menimang bayi yang begitu aku harapkan. Koko juga
terlihat begitu bahagia dengan bayi kami. Walaupun dia telah memiliki tiga anak
sebelumnya, tetapi anak yang kami beri nama Tito adalah buah cinta kami berdua.
Buah cinta yang menunjukkan bahwa Allah selalu memberikan sesuatu tepat pada
waktu yang terindah.
Namun, kebahagiaanku sedikit terganggu. Tito mengalami diare
yang cukup parah. Aku dan Koko segera memeriksakannya ke dokter. “Bagaimana
keadaan anak saya dok?” tanyaku dengan cemas setelah dokter memeriksa Tito.
“Begini bu. Anak ibu kan lahirnya prematur, jadi lambungnya belum terlalu kuat.
ASI ibu terlalu berlemak sehingga lambung anak ibu tidak sanggup mencerna ASI
dengan baik”, dokter menjelaskan. “Jadi saya harus bagaimana dok?” tanyaku.
“Sebaiknya ibu menghentikan pemberian ASI dan menggunakan susu formula yang
cocok untuk anak ibu”, kata dokter.
Betapa hancur hatiku mendapatkan kenyataan ini. Sebagai ibu, aku ingin menyusui anakku sendiri
sesuai dengan kodratku dan juga perintah Allah. Namun, apa yang bisa kulakukan
jika kenyataannya memang seperti ini? Aku tidak memiliki pilihan lain. Yang terpenting
adalah anakku sehat dan bisa tumbuh dengan baik.
Setelah menguatkan hati, akupun memberikan susu formula pada
Tito. Namun, kembali lagi masalah datang. Tito hanya cocok pada satu merek susu
formula yang harganya tidak murah dan tidak tersedia disembarang tempat. Karena
aku ingin anakku sehat, akupun berusaha keras memenuhi kebutuhannya. Walaupun
aku harus bekerja ekstra agar mendapatkan uang lebih, aku tidak keberatan
karena itu demi anakku tercinta.
Mengurus Tito memberikanku pengalaman yang luar biasa.
Anakku begitu lucu dan setiap perkembangan baru dari Tito merupakan anugerah
yang tidak ingin kulewatkan sedikitpun. Akupun berusaha untuk mengatur waktu
sebaik mungkin antara pekerjaan dan mengurus anak. Alhamdulillah ada yang
membantu di rumah dan adik-adik juga sangat membantu dalam menjaga Tito.
***
Sangat disayangkan. Ternyata kebahagiaan dengan hadirnya
Tito tidak dibarengi dengan kebahagiaan pernikahanku. Baru beberapa bulan
setelah Tito lahir, aku mendapatkan banyak kejadian yang mencurigakan dari
Koko. Kecurigaan seorang istri yang banyak orang menganggapnya kecemburuan
belaka, tetapi pada hakikatnya itu adalah insting yang hanya dimiliki oleh
istri, bukan orang lain.
Kecurigaanku diawali dari suatu malam saat dia bersiap-siap
untuk pergi. “Bapak ada rapat sama yayasan”, katanya. Aku yang notabene bekerja
satu sekolah dengan dia merasa bahwa dia berbohong karena aku sama sekali tidak
mengetahui tentang rapat itu. Secara logika, aku dan Koko sama-sama menjabat
sebagai wakil kepala sekolah sehingga seharusnya aku juga diundang jika ada
rapat. Namun, aku tidak ingin membuat masalah malam itu. “Hati-hati ya pak”,
kataku sambil mengantarkannya ke depan pintu. Dengan hati yang penuh kecurigaan,
aku mencatat tanggal dan jam rapat itu.
Keesokan harinya, aku melakukan konfirmasi tentang rapat itu
pada Pak Dito yang merupakan kepala sekolah. Kebetulan aku cukup dekat dengan
Pak Dito sehingga aku yakin bahwa beliau tidak akan berbohong padaku. “Pak,
kemarin Pak Koko katanya ada rapat sama yayasan. Kok saya tidak tahu ya Pak
kalau ada rapat yayasan? Rapat tentang apa ya Pak?”, tanyaku. Pak Dito terlihat
terkejut dan menjawab, “Tidak ada tuh. Tidak ada rapat yayasan”.
Tentu saja aku sudah meyakini bahwa jawabannya akan seperti
itu, tetapi aku mencoba memastikan. “Kata Pak Koko ada rapat. Anggota yayasan
datang dari Jakarta”, tanyaku. “Sebentar-sebentar, nanti saya tanya dulu sama
Pak Koko”, kata Pak Dito yang terlihat bingung. “Kalau Bapak tanya dulu, nanti Bapak
juga ikut bohong”, kataku. Pak Dito sepertinya mengetahui jika ada masalah
dalam keluarga kami. “Ya sudah, nanti ditanyakan saja pelan-pelan”, kata Pak
Dito untuk menenangkanku. “Tenang saja pak, ini urusan saya”, kataku. Aku pun
berterimakasih dan mohon diri pada Pak Dito.
Hatiku begitu kesal mengetahui kebohongan Koko. Ada apa ini?
Kenapa dia harus berbohong padaku? Untuk apa dia berbohong? Hal apa yang begitu
penting sampai aku tidak boleh tahu? Apa yang salah dariku sampai harus
dibohongi?
Kecurigaan dan kemarahan bergumul dalam hatiku, tapi aku
masih memiliki tugas sebagai guru yang harus terlihat tenang di depan
murid-murid dan rekan guru. Dengan sekuat hati, aku berusaha untuk meredam
amarahku selama di sekolah. Setelah sampai dirumah, aku tetap menahan kemarahan
dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Koko. Dahulu nenekku
pernah menasihatiku untuk tidak pernah bertengkar dengan suami di depan orang
lain. “Boleh kamu bertengkar dengan suami, tapi cicak diatas kepala tidak boleh
mendengar”, begitu pesannya.
Malam itu ketika kami telah berdua di kamar, akhirnya aku
mulai berbicara pada Koko. Aku mengawalinya dengan bertanya santai, “Gimana pak
kemaren rapat yayasan, ada apa sih?” Aku berusaha untuk tidak memperlihatkan
kemarahan atau sesuatu yang bisa membuatnya merasa ditekan. Aku khawatir, jika
tertekan, Koko justru semakin menyembunyikan kenyataan.
Koko terlihat sedikit terkejut mendengar pertanyaanku tapi
dengan cepat dia menjawab, “Oh nggak papa. Cuma ngebahas kurikulum baru”. Dia
pun menjelaskan sedikit tentang masalah kurikulum baru itu untuk membuatku
mengerti. Aku yakin bahwa dia sangat ingin membuatku berhenti bertanya karena
tingkah lakunya terlihat tidak nyaman.
Aku yang tahu bahwa Koko berbohong sangat marah mendengar
penjelasannya itu. Tetapi tentu saja aku tidak mau langsung membongkar
kebohongannya. Aku berusaha untuk pintar menghadapinya. Aku ingin dia jujur dan
mengakui ada apa sebenarnya sampai dia harus pergi dengan cara berbohong
seperti itu. “Oh gitu…”, kataku sambil mengangguk. “Awas ya Pak Dito, masa saya
nggak diajak. Kan saya wakil kepala sekolah. Masa saya nggak diajak rapat
penting seperti itu”, kataku sambil memperlihatkan muka kesal.
Koko terlihat sangat terkejut mendengat perkataanku itu. Sepertinya
dia baru menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar dengan melupakan
kenyataan bahwa aku adalah salah satu wakil kepala sekolah ditempat yang sama
dengannya mengajar. Tentu saja aku dengan mudah mengetahui kebohongannya. Koko
yang menyadari kesalahannya berdiri terpatung. “Iya yah”, hanya itu yang
dikatakan olehnya dengan wajah yang penuh ketakutan.
Aku tidak ingin kehilangan momentum dan segera melanjutkan
pembicaraanku. “Satu kali berbohong biasanya orang itu akan berbohong
seterusnya karena untuk melanjutkan kebohongan yang kemarin”, kataku dengan
santai. “Ibu ngomong apa sih?” tanya Koko dengan gugup. “Huh Bapak. Tenang aja
Pak sama Ibu mah”, aku menjawab sambil berlalu. Aku tidak ingin mempermasalahkan
lagi hal tersebut. Aku memutuskan untuk menanti kelanjutan masalah ini.
Selang beberapa hari kemudian, Koko berkata padaku bahwa dia
akan ke kampus untuk menemui dosen pembimbingnya. “Bu Bapak ke kampus dulu ya,
setidak-tidaknya unjuk muka”, katanya. Seperti halnya aku, Koko belum
menyelesaikan S1-nya. Saat itu, mahasiswa S1 masih diijinkan untuk mengajar di
sekolah menengah asalkan mampu. Selain itu, universitas juga masih memberikan
kelonggaran dalam perkuliahan sehingga mahasiswa tidak terlalu takut di DO.
Kebetulan hari itu akan ada rapat guru untuk mempersiapkan
ujian murid. Koko ditugaskan untuk memimpin rapat. Aku yang mengetahui tentang
rapat itu pun berkata, “Boleh-boleh kataku. Tapi jangan telat ya. Kan Bapak
pemimpin rapat nanti”, kataku. “Iya. Iya”, jawabnya. Kokopun segera pergi.
Sekali lagi Koko melakukan kesalahan. Sepertinya dia lupa
bahwa istrinya bukanlah orang bodoh. Setelah Koko pergi aku dengan tidak
sengaja melihat map yang berisi dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan kuliahnya tertinggal di atas mejanya. Aku juga melihat kacamatanya masih
ada. Aku pun menjadi curiga. Mana mungkin dia pergi ke kampus tanpa map dan
kacamatanya. Jangan-jangan kampusnya pindah ke tempat lain yang lebih
menyenangkan hatinya.
Dengan segera aku memutuskan untuk mencari tahu tentang hal
itu. Aku pergi ke tata usaha untuk meminta ijin. “Pak, maaf ya saya pergi
dulu”, kataku pada bapak tata usaha. “Mau kemana bu?” pak tata usaha itu
bertanya. “Ini, ada urusan sebentar”, jawabku. “Awas lho Bu Jingga, nanti ada
rapat. Kalau Bu Jingga nggak ada, Pak Koko nggak ada, bingung nanti pak Dito”,
kata bapak itu memperingatkanku. “Iya Pak, beres, tenang aja”, kataku sambil tersenyum
dan beranjak pergi.
Sebagai istri, aku memiliki firasat tentang kemana perginya
Koko. Aku segera menaiki bemo dengan satu tujuan, sebuah rumah di jalan P.
Rumah itu adalah rumah yang dahulu ditinggali Koko bersama keluarganya sebelum
bercerai. Saat aku sampai ke jalan P, aku melihat dari kejauhan bahwa motor
Koko terparkir tepat di depan rumah yang aku sangkakan itu. Tapi buat apa Koko
datang lagi ke rumah ini? Bukankah mantan istrinya telah tinggal di luar kota?
Apa mantan istrinya ada di Bandung?
Hatiku langsung terbakar api. Aku teringat bahwa perceraian
mereka sebenarnya disebabkan oleh tekanan dari keluarga mantan istrinya itu,
bukan keinginan mereka berdua. Pasti mantan istrinya itu memiliki keinginan
tersembunyi terhadap Koko. Dengan hati panas, aku berpikir untuk melaporkan hal
itu kepada RT agar mereka dipermalukan. Namun, belum sempat aku melakukannya,
otakku mengatakan bahwa aku tidak boleh terbawa emosi. Jika aku melaporkannya,
bukan mereka saja yang malu tapi akupun akan ikut malu juga. Akhirnya, aku
urungkan niatku karena aku tidak ingin membuat keributan. Dengan sekuat tenaga
aku menahan amarahku dan kembali ke sekolah.
Saat rapat sudah harus dimulai, Koko masih belum datang
juga. Aku pun mengambil alih tugas Koko untuk membuka rapat. Di tengah-tengah
rapat, barulah Koko datang. Melihat datangnya Koko membuat hatiku kembali panas.
Ingin rasanya aku langsung mencecarnya. Tapi, dihadapanku ada guru-guru dan ini
adalah rapat resmi. Aku tidak boleh mencampuradukkan urusan kerjaan dengan
urusan pribadi. Dengan kekuatan yang masih ada, kuredam amarah ini.
Seperti sebelumnya, aku teringat kembali pesan nenek untuk
tidak pernah bertengkar dengan suami didepan orang lain. Dirumah pun aku
menunggu sampai malam dan kami sudah berdua di dalam kamar untuk mulai
membicarakan masalah tadi siang.
Saat waktunya tiba, aku memulai seranganku. “Tadi kampus
pindah ya pak lokasinya?” tanyaku. “Kok bisa pindah?” Koko balik bertanya
dengan bingung. “Kan untuk Bapak mah khusus kampusnya pindah”, kataku. Seketika
Koko tertawa terbahak-bahak. “Ibu tuh suka ada-ada aja kalau bercanda”, katanya
padaku sambil terus tertawa. “Nggak bercanda. Ini mah serius”, kataku dengan
nada tegas. “Ibu tau, itu mah khusus untuk Bapak kampusnya”, lanjutku.
Koko belum mengerti tentang apa yang aku bicarakan. Dia
tetap menganggap aku bercanda. Merasa kesal karenanya, aku kembali berkata.
“Ibu serius. Lihat mata ibu. Bapak tadi kemana sebelum rapat?” Mataku menatap
tajam matanya. “Ke kampus”, jawab Koko singkat. “Kemana tadi Bapak sebelum
rapat?” ulangku dengan semakin tegas. “Kok ibu nanyanya kayak gitu? Tau sesuatu
ya?” Koko mulai terlihat sedikit takut. “Memangnya
Ibu bloon-bloon amat bisa dibohongin terus sama Bapak?” tanyaku. “Kemarin Bapak
bohong. Tidak ada rapat dengan yayasan. Kemana?” aku melanjutkan untuk
mendesaknya. Koko menyadari kesalahannya. Ia pun mengaku. “Kemaren kan udah
malem. Bapak nggak enak bilang sama Ibu kalau mau nemuin Ibunya Kuncoro. Ada
keperluan tentang anak-anak”, jawabnya.
Hatiku langsung hancur mendengar penjelasannya. Apa yang
dikhawatirkan oleh ibuku terbukti. Koko menemui mantan istrinya dibelakangku. Mengapa
dia tega melakukan ini kepadaku? Dia telah berjanji tidak akan kembali lagi
pada istrinya. Jika masalah anak, seharusnya dia tidak perlu menutupi hal itu
dariku. Bukankah selama ini aku tidak pernah menghalangi dia untuk menemui
anak-anaknya? Bukankah aku tidak pernah menghalangi dia untuk menafkahi
anak-anaknya? Setelah menikah, aku sadar bahwa sebagai ayah dia memiliki
kewajiban untuk menafkahi anak-anaknya baik secara moril maupun materiil. Jika
dia ingin bertemu dengan anaknya atau memberikan uang lebih, bukankah dia
seharusnya tinggal mengatakan hal itu padaku?
Aku merasa masih ada yang dia tutupi dari aku. Aku harus
membuka tabir kebohongannya. “Tiap bulan udah dibagi dua, gaji Bapak tuh. Udah
terang-terangan urusannya selama ini. Ngapain bohong sekarang?” aku bertanya
dengan nada tinggi. “Ya maaf”, hanya itu yang dikatakannya. Tak kuasa kutahan
amarah ini, kembali aku bertanya padanya, “Ibu tuh kurang gimana sama Bapak?
Ibu tuh udah sabar. Ibu tuh udah mengerti tentang urusan Bapak sama anak-anak.
Kenapa harus bohong?”
Wajah Koko terlihat begitu pucat. Dengan perlahan dia
menjawab, “Bapak tuh takut kalau ibu terganggu. Itu kan waktu istirahat Ibu
sama Bapak di rumah”. Suaranya begitu lemah, tetapi tidak bisa menghilangkan
amarahku. “Tau begitu kenapa nggak bilang besoknya aja ketemunya? Kenapa harus
malam-malam?” Amarahku semakin menjadi. “Bapak tau nggak Pak? Udah haram Bapak
tuh ketemu sama Bu Tanjung berduaan. Nggak boleh”, aku kembali meluapkan
kemarahanku karena dia hanya berdiam diri. “Kalau Bapak mau balik lagi, kata
ibu juga terus terang aja. Silahkan! Ibu mundur”, aku benar-benar sudah
kehilangan kesabaran menghadapi Koko yang terlihat begitu menyepelekan masalah
ini.
Koko sangat terkejut mendengar perkataanku. Dengan segera
dia menjawab, “Ya jangan gitu Bu. Bapak nggak ada niat untuk begitu. Kebetulan
anak-anak memang lagi banyak permintaan, Ati minta kado ulang tahun sama
bapaknya.” Dia berhenti sebentar kemudian melanjutkan, “Bapak hanya ingin buat
anak-anak senang.” Aku merasa kesal mendengar Koko yang menggunakan anak-anak
untuk membenarkan kelakuannya. “Bener itu haknya anak-anak, haknya Bapak juga.
Tapi ini sama Ibu urusannya, bukan sama anak-anak. Ngapain Bapak harus bohong?”
Aku masih belum bisa mengerti dengan keputusannya untuk bertindak dibelakangku.
“Maaf-maaf”, kata Koko memohon.
Aku masih belum puas karena kebohongan tadi siang belum
terjelaskan. “Terus tadi kenapa harus bohong. Kenapa kampusnya pindah?” tanyaku
dengan nada yang masih tinggi. “Kan Bapak nggak bilang kalau kampus pindah”,
Koko masih juga belum mau mengaku. Betapa kesalnya hati ini. Ku tahan emosi ini
dan berkata dengan tegas, “Pak, Ibu tahu persis dengan mata kepala Ibu sendiri.
Dengan kaki ibu sendiri. Tadi siang motor ada di jalan P.” Koko kembali
terlihat terkejut, “Lho tau dari siapa ibu?” Suara Koko tergagap. Aku pun
tertawa sinis. “Berarti bener kan?” tanyaku. Koko salah tingkah. “Ibu tahu dari
siapa?”, ia kembali bertanya. “Ibu tau sendiri. Tadi ibu pake bemo. Tadinya mau
ibu labrak tuh. Tapi ibu masih intelek. Ngapain ngelabrak orang bohong.
Buang-buang energi. Biar aja, yang dosa Bapak. Bukan dosa Ibu”, kataku dengan
pedas.
Koko sudah tidak punya pilihan lagi selain menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi. Dengan suara yang begitu pelan dia berkata, “Kemarin
kan Ati minta kado, jadi Bapak kesana lagi buat memberikan kadonya. Terus
ibunya cerita tentang anak-anak. Ati juga buat surat untuk Bapak. Ini suratnya
dari Ati.” Aku yang mendengar penjelasannya mulai mengerti tentang alasannya,
tetapi rasa kesalku belum hilang. “Ya Bapak tuh terang-terangan aja. Ibu kan
nggak akan ngelarang. Ibu nggak suka, tau nggak? Ibu nggak mau suami Ibu dosa
masuk neraka, mau nggak?” Aku memelototinya. “Ya, maaf, maaf”, katanya.
Malam itu aku memaafkannya. Walaupun kecurigaanku tidak
pernah hilang, aku berusaha untuk meredamnya dan melakukan kewajibanku sebagai
istri seperti biasa. Keadaan keluarga kami kembali berjalan seperti biasa
sampai pada suatu malam sekitar tiga bulan setelah pertengkaran terakhir kami.
Malam itu dia berkata akan menemui rekan dari Jakarta yang
bernama Hendri yang akan memberikan surat pengangkatan dirinya sebagai kepala
sekolah. Aku memang mengetahui tentang hal pengangkatannya sebagai kepala
sekolah sehingga percaya jika dia akan menemui rekannya itu. Namun, aku melihat
hal yang tidak biasa dari Koko. Biasanya Koko tidak berpenampilan formal jika
akan bertemu dengan Hendri, tapi kali ini dia terlihat begitu rapi dan tercium
wangi parfum yang kuat dari tubuhnya. Kecurigaanku pun kembali muncul tak
teredam.
Kebetulan saat itu ibu mertuaku sedang menginap di rumah.
Aku pun meminta ijin untuk meninggalkan rumah sebentar dan menitipkan anakku
pada ibu mertua dengan alasan aku harus menemui ketua RT untuk membicarakan
masalah meteran air. Dengan segera aku naik bemo ke jalan P dan seperti
dugaanku, motor Koko ada di depan rumah itu. Api kembali membakar hatiku
melihat kenyataan ini. Ingin rasanya aku labrak mereka. Namun kembali lagi,
otakku berkata untuk tidak terbawa emosi. Karena aku tidak ingin pergi begitu
saja tanpa melakukan apapun, aku memutuskan untuk menulis pesan. ‘Ingat-ingat Allah tidak tidur’.
Kuletakkan pesan itu di motor Koko dan segera pulang.
Sepanjang perjalanan, hatiku tidak tenang. Otakku berputar
memikirkan apa yang harus aku lakukan pada Koko. Sesampainya di rumah, aku memutuskan
untuk menemui ibu mertuaku dan menceritakan apa yang terjadi padanya. Aku
merasa ibu mertuaku akan berpikir lebih bijak untuk menyelesaikan masalahku
ini. “Kata ibu ketemu aja nggak boleh, ini malah kesana nggak bilang-bilang”,
kataku dengan sedih. “Yo wis nanti tak tanya. Paling cuma soal anak-anak”, kata
ibu mertuaku untuk menenangkanku. “Tapi Mas Koko bohong sama saya bu”, kataku
merajuk. “Iya nanti tak omongin”, kata ibu mertuaku.
Kutunggu kedatangan Koko dengan hati gundah gulana. Saat dia
datang, aku langsung bertanya tentang surat pengangkatannya. Memang benar bahwa
dia menemui temannya dan mendapatkan surat pengangkatan itu. Ternyata dia
menggunakan surat itu sebagai alasan untuk sekalian menemui mantan istrinya,
supaya tidak membuat aku curiga. Tetapi aku tidak mudah dibohongi. Aku berkata
padanya, “Ya Alhamdulillah, tetapi rejeki itu tidak usah sambil bohong
sekalian.” Koko terkejut dan terlihat kesal dengan perkataanku. “Ibu tuh mesti
lho bilang Bapak bohong. Bapak kan sudah minta ampun”, katanya. “Ah. Bohong! Ibu
tau persis. Ibu tadi ke jalan P pake Bemo. Ini overcoat jadi saksi. Ngapain ke
situ malem-malem?” aku langsung menyerangnya.
Wajah Koko berubah pucat seketika. Dia akhirnya bercerita
bahwa anak-anak sedang ngambek karena ibunya dijodohkan oleh kakaknya.
Menurutnya anak-anak tidak mau bapak yang lain. “Gitu lho Bu, Bapak kan jadi
bingung”, katanya. Aku kesal mendengarnya. Mengapa aku jadi harus ikut-ikutan
repot dengan urusan mantan istrinya itu? “Itu masalah Bu Tanjung. Kalau dia
repot ngurus anak-anak, bawa anak-anak ke sini, biar ibu yang ngurus anak-anak.
Atau Ibu saja yang mengundurkan diri biar Bapak ngurus anak-anak dan ngurus Bu
Tanjung? Pilih saja!” kataku dengan marah. “Ibu tuh begitu saja ancamannya”,
kata Koko. “Habis Bapak bohong melulu”, jawabku.
Ibu mertuaku yang mendengar pertengkaran kami datang
mendekat. Dia berusaha menenangkan kami berdua. Ibu mertuaku membelaku dan
menasehati Koko agar tidak membohongiku lagi. Kemudian ibu mertua memberikan
ide untuk menyelesaikan masalah kami. “Ya kalau begitu, nanti kalau kamu ada
urusan apa-apa, berangkatnya sama Jingga”, kata ibu mertuaku pada Koko.
Kami akhirnya setuju dengan ide yang diberikan oleh ibu
mertuaku. Hati dan otakku mulai dingin kembali. Setelah kejadian itu, Koko
selalu mengajakku serta untuk menemui anak-anak dan mantan istrinya. Hubungan
kami pun kembali membaik seiring kembalinya kepercayaanku padanya. Setidaknya
Koko tidak berbohong lagi dan aku juga tidak selalu curiga.
Sayangnya, keadaan tersebut tidak bertahan lama. Hanya
beberapa bulan setelah itu Koko jatuh sakit. Aku melihat ada sesuatu yang tidak
biasa dari sakitnya. Dia terlihat memiliki banyak pikiran. Instingku kembali
mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Aku berusaha untuk mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi. “Bapak kenapa sakit?” tanyaku perlahan. “Bapak
banyak pikiran Bu”, jawabnya. “Mikirin apa? Sekolah? Sekolah kayaknya nggak ada
masalah. Baik-baik aja”, kataku. “Apa mikirin anak-anak mau ujian?” tanyaku
lagi. Sebelum dia menjawab aku melanjutkan, “Anak-anak mah biar aja, kan ada orang
tuanya. Kita mah ngontrol doang.”
Koko terdiam, dia terlihat ragu. Aku kembali merasakan
sesuatu yang tidak benar sehingga jantungku mulai berdetak lebih kencang.
Setelah beberapa lama, akhirnya dia berkata, “Gini Bu. Bagaimana kalau kita
ngontrak rumah yang lebih besar?” Aku terkejut dengan pertanyaannya. Mengapa
tiba-tiba Koko menawarkan rumah yang lebih besar padahal kami tidak ada masalah
dengan rumah yang kami tinggali saat ini. “Untuk apa? Mentang-mentang jadi
kepala sekolah mau rumah yang lebih besar. Sekarang mah ngumpulin uang aja,
nabung buat masa depan anak-anak”, kataku.
Aku menunggu jawaban Koko dengan bingung. Aku tidak tahu ada
apa dengan jalan pikiran Koko. Dia bukanlah orang yang suka bermewah-mewah.
Penawarannya ini tidak wajar. Pasti ada sesuatu yang membuatnya berpikir
seperti itu. Tapi apa itu? Aku tidak tahu.
Kecurigaan hatiku ternyata beralasan. Koko memang menyimpan
keinginan tersembunyi. Sesuatu yang tidak pernah terbersit sedikitpun di
benakku. Sesuatu yang membuat hatiku hancur berkeping-keping saat mendengarnya
berkata, “Ya ini juga demi kepentingan
anak-anak. Bagaimana kalau kita ngontrak rumah yang besar? Ibu sama De Tanjung
jadi satu ngurus anak-anak. Kita jangan memikirkan perasaan masing-masing. Kita
pikirkan anak-anak saja”.
_____________________________________________________________