Selasa, 20 Januari 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab III




Di awal pernikahanku dengan Koko, semua berjalan dengan sangat baik. Tuhan sepertinya mendengar jerit hatiku yang sakit oleh perlakuan Toni dan keluarganya. Tanpa harus menunggu lama, aku mendapatkan kabar luar biasa. AKU HAMIL.

Gejolak kegembiraan yang kurasakan tidak bisa digambarkan. Ini adalah suatu pembuktian bahwa aku tidak mandul dan aku bukan perempuan pembawa sial. Tuhan benar-benar membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika Allah sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menghentikan-Nya. Toni, Mimih, apa yang akan kalian katakan sekarang?

Kebahagiaanku semakin memuncak dengan adanya kasih sayang dan perhatian Koko yang tercurah padaku. Koko bukanlah Toni. Mereka berbeda hampir 180 derajat. Toni adalah orang yang senang dengan kemewahan sedangkan Koko adalah orang yang sederhana. Toni adalah anak mami yang selalu berlindung pada ketiak ibunya sedangkan Koko adalah anak tertua yang selalu bekerja keras untuk membantu orang tuanya. Toni selalu mengekangku, sedangkan Koko memberikan begitu banyak ruang untukku bekerja dan bersosialisasi

Satu lagi perbedaan yang mencolok antara Toni dan Koko, yaitu perhatian terhadap adik-adikku. Koko sangat memperhatikan adik-adikku. Koko tidak keberatan jika aku mengurus adik-adikku karena diapun adalah anak tertua dengan tanggung jawab pada adik-adiknya. Alhasil, kami bahu membahu menggurus dan menyekolahkan adik-adik kami.

Memang, Koko dan Toni juga memiliki kesamaan yaitu keduanya sama-sama sering berbicara keras dan keras kepala. Koko adalah orang Jawa Timur yang memang terkenal memiliki sifat keras. Namun, walaupun Koko suka berbicara keras, dia juga memiliki sisi lembut yang bisa membuatku luluh. Selain itu, pengalaman hidupku yang terdahulu membuat aku lebih kuat dan berani. Jika dahulu aku hanya bisa mengangguk dan mengikuti keinginan suami, setelah menikah dengan Koko aku lebih berani dalam menyatakan pendapat dan keinginanku. Bukannya aku membangkang dan melawan suami, tetapi aku hanya berusaha untuk mendapatkan keadilan agar cerita pernikahanku yang dahulu tidak terulang lagi. Hasilnya cukup baik. Dengan keberanianku, aku bisa menekan sifat keras Koko.

Dengan adanya Koko, aku merasa beban hidupku berkurang. Aku memiliki teman untuk berbagi senang maupun susah. Keadaan ekonomi keluargaku juga semakin baik dengan nafkah yang diberikan Koko, walaupun gajinya tidak diberikan sepenuhnya padaku. Setengah gajinya diberikan untuk menafkahi anak-anak dari pernikahannya yang terdahulu. Yah, aku mengerti bahwa sebagai ayah, dia masih memiliki kewajiban untuk menafkahi anak-anaknya. Oleh karena itulah aku tidak keberatan jika gajinya dibagi dua. Untungnya, setelah perceraian, mantan istri dan anak-anaknya tinggal di luar kota sehingga mereka tidak sering bertemu. Aku merasa bahwa kekhawatiran ibuku tidak akan terbukti.

Selama aku hamil, aku cukup dimanjakan oleh Koko. Dia selalu berusaha untuk memenuhi keinginanku selama ngidam. Walaupun kadang-kadang dia suka malas dan berusaha membohongiku, tetapi aku bisa memaafkannya. Yah, paling aku hanya sedikit ngambek dan segera berbaikan tidak lama kemudian. Lagipula, Koko telah berpengalaman dalam menghadapi istri yang sedang hamil sebelumnya sehingga dia lebih mengerti jika aku yang sedang hamil suka menginginkan hal-hal yang cukup merepotkan dan memiliki emosi yang kadang tidak stabil.

Disaat usia kandunganku belum genap tujuh bulan, aku mengalami kecelakaan kecil. Aku terpeleset saat akan mencuci rambut. Aku merasa ada sesuatu yang basah dipahaku dan segera memanggil Koko. “Bapak…bapak”, aku berteriak dengan keras. “Ada apa bu?” Koko menjawab dan segera mendekatiku. “Ini lho pak ada yang kayak gini”, aku mempelihatkan cairan yang keluar. “Oh itu slem”, kata dia. “Terus gimana?” kataku dengan cemas. Aku takut jika terjadi sesuatu pada kandunganku, tapi aku juga tidak berani bercerita tentang jatuhku karena takut Koko akan marah. “Kita harus kerumah sakit”, kata Koko.

Koko segera membawa aku ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa usia kandunganku sebenarnya belum cukup, tetapi dokter menyarankan agar aku berjalan-jalan untuk melihat perkembangan selanjutnya. Jika terjadi kontraksi, maka aku harus segera menemui dokter. Akupun berjalan-jalan sekitar satu jam dan merasakan sakit. Saat aku kembali menemui dokter, terlihat pembukaan dan dokter mengatakan aku bisa segera melahirkan. Alhamdullillah, aku pun melahirkan anak pertamaku yang berjenis kelamin laki-laki.

“Alhamdulillahi robil’alamin”. Betapa bersyukurnya aku atas keselamatan anakku yang usia kandungannya sebetulnya belum cukup. Aku bersyukur atas semua karunia yang diberikan oleh Allah, terutama karena aku tidak perlu menunggu lama untuk bisa menimang bayi yang begitu aku harapkan. Koko juga terlihat begitu bahagia dengan bayi kami. Walaupun dia telah memiliki tiga anak sebelumnya, tetapi anak yang kami beri nama Tito adalah buah cinta kami berdua. Buah cinta yang menunjukkan bahwa Allah selalu memberikan sesuatu tepat pada waktu yang terindah.

Namun, kebahagiaanku sedikit terganggu. Tito mengalami diare yang cukup parah. Aku dan Koko segera memeriksakannya ke dokter. “Bagaimana keadaan anak saya dok?” tanyaku dengan cemas setelah dokter memeriksa Tito. “Begini bu. Anak ibu kan lahirnya prematur, jadi lambungnya belum terlalu kuat. ASI ibu terlalu berlemak sehingga lambung anak ibu tidak sanggup mencerna ASI dengan baik”, dokter menjelaskan. “Jadi saya harus bagaimana dok?” tanyaku. “Sebaiknya ibu menghentikan pemberian ASI dan menggunakan susu formula yang cocok untuk anak ibu”, kata dokter.

Betapa hancur hatiku mendapatkan kenyataan ini.  Sebagai ibu, aku ingin menyusui anakku sendiri sesuai dengan kodratku dan juga perintah Allah. Namun, apa yang bisa kulakukan jika kenyataannya memang seperti ini? Aku tidak memiliki pilihan lain. Yang terpenting adalah anakku sehat dan bisa tumbuh dengan baik.

Setelah menguatkan hati, akupun memberikan susu formula pada Tito. Namun, kembali lagi masalah datang. Tito hanya cocok pada satu merek susu formula yang harganya tidak murah dan tidak tersedia disembarang tempat. Karena aku ingin anakku sehat, akupun berusaha keras memenuhi kebutuhannya. Walaupun aku harus bekerja ekstra agar mendapatkan uang lebih, aku tidak keberatan karena itu demi anakku tercinta.

Mengurus Tito memberikanku pengalaman yang luar biasa. Anakku begitu lucu dan setiap perkembangan baru dari Tito merupakan anugerah yang tidak ingin kulewatkan sedikitpun. Akupun berusaha untuk mengatur waktu sebaik mungkin antara pekerjaan dan mengurus anak. Alhamdulillah ada yang membantu di rumah dan adik-adik juga sangat membantu dalam menjaga Tito.

***

Sangat disayangkan. Ternyata kebahagiaan dengan hadirnya Tito tidak dibarengi dengan kebahagiaan pernikahanku. Baru beberapa bulan setelah Tito lahir, aku mendapatkan banyak kejadian yang mencurigakan dari Koko. Kecurigaan seorang istri yang banyak orang menganggapnya kecemburuan belaka, tetapi pada hakikatnya itu adalah insting yang hanya dimiliki oleh istri, bukan orang lain.

Kecurigaanku diawali dari suatu malam saat dia bersiap-siap untuk pergi. “Bapak ada rapat sama yayasan”, katanya. Aku yang notabene bekerja satu sekolah dengan dia merasa bahwa dia berbohong karena aku sama sekali tidak mengetahui tentang rapat itu. Secara logika, aku dan Koko sama-sama menjabat sebagai wakil kepala sekolah sehingga seharusnya aku juga diundang jika ada rapat. Namun, aku tidak ingin membuat masalah malam itu. “Hati-hati ya pak”, kataku sambil mengantarkannya ke depan pintu. Dengan hati yang penuh kecurigaan, aku mencatat tanggal dan jam rapat itu.

Keesokan harinya, aku melakukan konfirmasi tentang rapat itu pada Pak Dito yang merupakan kepala sekolah. Kebetulan aku cukup dekat dengan Pak Dito sehingga aku yakin bahwa beliau tidak akan berbohong padaku. “Pak, kemarin Pak Koko katanya ada rapat sama yayasan. Kok saya tidak tahu ya Pak kalau ada rapat yayasan? Rapat tentang apa ya Pak?”, tanyaku. Pak Dito terlihat terkejut dan menjawab, “Tidak ada tuh. Tidak ada rapat yayasan”.

Tentu saja aku sudah meyakini bahwa jawabannya akan seperti itu, tetapi aku mencoba memastikan. “Kata Pak Koko ada rapat. Anggota yayasan datang dari Jakarta”, tanyaku. “Sebentar-sebentar, nanti saya tanya dulu sama Pak Koko”, kata Pak Dito yang terlihat bingung. “Kalau Bapak tanya dulu, nanti Bapak juga ikut bohong”, kataku. Pak Dito sepertinya mengetahui jika ada masalah dalam keluarga kami. “Ya sudah, nanti ditanyakan saja pelan-pelan”, kata Pak Dito untuk menenangkanku. “Tenang saja pak, ini urusan saya”, kataku. Aku pun berterimakasih dan mohon diri pada Pak Dito.

Hatiku begitu kesal mengetahui kebohongan Koko. Ada apa ini? Kenapa dia harus berbohong padaku? Untuk apa dia berbohong? Hal apa yang begitu penting sampai aku tidak boleh tahu? Apa yang salah dariku sampai harus dibohongi?

Kecurigaan dan kemarahan bergumul dalam hatiku, tapi aku masih memiliki tugas sebagai guru yang harus terlihat tenang di depan murid-murid dan rekan guru. Dengan sekuat hati, aku berusaha untuk meredam amarahku selama di sekolah. Setelah sampai dirumah, aku tetap menahan kemarahan dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Koko. Dahulu nenekku pernah menasihatiku untuk tidak pernah bertengkar dengan suami di depan orang lain. “Boleh kamu bertengkar dengan suami, tapi cicak diatas kepala tidak boleh mendengar”, begitu pesannya.

Malam itu ketika kami telah berdua di kamar, akhirnya aku mulai berbicara pada Koko. Aku mengawalinya dengan bertanya santai, “Gimana pak kemaren rapat yayasan, ada apa sih?” Aku berusaha untuk tidak memperlihatkan kemarahan atau sesuatu yang bisa membuatnya merasa ditekan. Aku khawatir, jika tertekan, Koko justru semakin menyembunyikan kenyataan.

Koko terlihat sedikit terkejut mendengar pertanyaanku tapi dengan cepat dia menjawab, “Oh nggak papa. Cuma ngebahas kurikulum baru”. Dia pun menjelaskan sedikit tentang masalah kurikulum baru itu untuk membuatku mengerti. Aku yakin bahwa dia sangat ingin membuatku berhenti bertanya karena tingkah lakunya terlihat tidak nyaman.  

Aku yang tahu bahwa Koko berbohong sangat marah mendengar penjelasannya itu. Tetapi tentu saja aku tidak mau langsung membongkar kebohongannya. Aku berusaha untuk pintar menghadapinya. Aku ingin dia jujur dan mengakui ada apa sebenarnya sampai dia harus pergi dengan cara berbohong seperti itu. “Oh gitu…”, kataku sambil mengangguk. “Awas ya Pak Dito, masa saya nggak diajak. Kan saya wakil kepala sekolah. Masa saya nggak diajak rapat penting seperti itu”, kataku sambil memperlihatkan muka kesal.

Koko terlihat sangat terkejut mendengat perkataanku itu. Sepertinya dia baru menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar dengan melupakan kenyataan bahwa aku adalah salah satu wakil kepala sekolah ditempat yang sama dengannya mengajar. Tentu saja aku dengan mudah mengetahui kebohongannya. Koko yang menyadari kesalahannya berdiri terpatung. “Iya yah”, hanya itu yang dikatakan olehnya dengan wajah yang penuh ketakutan.

Aku tidak ingin kehilangan momentum dan segera melanjutkan pembicaraanku. “Satu kali berbohong biasanya orang itu akan berbohong seterusnya karena untuk melanjutkan kebohongan yang kemarin”, kataku dengan santai. “Ibu ngomong apa sih?” tanya Koko dengan gugup. “Huh Bapak. Tenang aja Pak sama Ibu mah”, aku menjawab sambil berlalu. Aku tidak ingin mempermasalahkan lagi hal tersebut. Aku memutuskan untuk menanti kelanjutan masalah ini.

Selang beberapa hari kemudian, Koko berkata padaku bahwa dia akan ke kampus untuk menemui dosen pembimbingnya. “Bu Bapak ke kampus dulu ya, setidak-tidaknya unjuk muka”, katanya. Seperti halnya aku, Koko belum menyelesaikan S1-nya. Saat itu, mahasiswa S1 masih diijinkan untuk mengajar di sekolah menengah asalkan mampu. Selain itu, universitas juga masih memberikan kelonggaran dalam perkuliahan sehingga mahasiswa tidak terlalu takut di DO.

Kebetulan hari itu akan ada rapat guru untuk mempersiapkan ujian murid. Koko ditugaskan untuk memimpin rapat. Aku yang mengetahui tentang rapat itu pun berkata, “Boleh-boleh kataku. Tapi jangan telat ya. Kan Bapak pemimpin rapat nanti”, kataku. “Iya. Iya”, jawabnya. Kokopun segera pergi.

Sekali lagi Koko melakukan kesalahan. Sepertinya dia lupa bahwa istrinya bukanlah orang bodoh. Setelah Koko pergi aku dengan tidak sengaja melihat map yang berisi dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kuliahnya tertinggal di atas mejanya. Aku juga melihat kacamatanya masih ada. Aku pun menjadi curiga. Mana mungkin dia pergi ke kampus tanpa map dan kacamatanya. Jangan-jangan kampusnya pindah ke tempat lain yang lebih menyenangkan hatinya.

Dengan segera aku memutuskan untuk mencari tahu tentang hal itu. Aku pergi ke tata usaha untuk meminta ijin. “Pak, maaf ya saya pergi dulu”, kataku pada bapak tata usaha. “Mau kemana bu?” pak tata usaha itu bertanya. “Ini, ada urusan sebentar”, jawabku. “Awas lho Bu Jingga, nanti ada rapat. Kalau Bu Jingga nggak ada, Pak Koko nggak ada, bingung nanti pak Dito”, kata bapak itu memperingatkanku. “Iya Pak, beres, tenang aja”, kataku sambil tersenyum dan beranjak pergi.

Sebagai istri, aku memiliki firasat tentang kemana perginya Koko. Aku segera menaiki bemo dengan satu tujuan, sebuah rumah di jalan P. Rumah itu adalah rumah yang dahulu ditinggali Koko bersama keluarganya sebelum bercerai. Saat aku sampai ke jalan P, aku melihat dari kejauhan bahwa motor Koko terparkir tepat di depan rumah yang aku sangkakan itu. Tapi buat apa Koko datang lagi ke rumah ini? Bukankah mantan istrinya telah tinggal di luar kota? Apa mantan istrinya ada di Bandung?

Hatiku langsung terbakar api. Aku teringat bahwa perceraian mereka sebenarnya disebabkan oleh tekanan dari keluarga mantan istrinya itu, bukan keinginan mereka berdua. Pasti mantan istrinya itu memiliki keinginan tersembunyi terhadap Koko. Dengan hati panas, aku berpikir untuk melaporkan hal itu kepada RT agar mereka dipermalukan. Namun, belum sempat aku melakukannya, otakku mengatakan bahwa aku tidak boleh terbawa emosi. Jika aku melaporkannya, bukan mereka saja yang malu tapi akupun akan ikut malu juga. Akhirnya, aku urungkan niatku karena aku tidak ingin membuat keributan. Dengan sekuat tenaga aku menahan amarahku dan kembali ke sekolah.

Saat rapat sudah harus dimulai, Koko masih belum datang juga. Aku pun mengambil alih tugas Koko untuk membuka rapat. Di tengah-tengah rapat, barulah Koko datang. Melihat datangnya Koko membuat hatiku kembali panas. Ingin rasanya aku langsung mencecarnya. Tapi, dihadapanku ada guru-guru dan ini adalah rapat resmi. Aku tidak boleh mencampuradukkan urusan kerjaan dengan urusan pribadi. Dengan kekuatan yang masih ada, kuredam amarah ini.

Seperti sebelumnya, aku teringat kembali pesan nenek untuk tidak pernah bertengkar dengan suami didepan orang lain. Dirumah pun aku menunggu sampai malam dan kami sudah berdua di dalam kamar untuk mulai membicarakan masalah tadi siang.

Saat waktunya tiba, aku memulai seranganku. “Tadi kampus pindah ya pak lokasinya?” tanyaku. “Kok bisa pindah?” Koko balik bertanya dengan bingung. “Kan untuk Bapak mah khusus kampusnya pindah”, kataku. Seketika Koko tertawa terbahak-bahak. “Ibu tuh suka ada-ada aja kalau bercanda”, katanya padaku sambil terus tertawa. “Nggak bercanda. Ini mah serius”, kataku dengan nada tegas. “Ibu tau, itu mah khusus untuk Bapak kampusnya”, lanjutku.

Koko belum mengerti tentang apa yang aku bicarakan. Dia tetap menganggap aku bercanda. Merasa kesal karenanya, aku kembali berkata. “Ibu serius. Lihat mata ibu. Bapak tadi kemana sebelum rapat?” Mataku menatap tajam matanya. “Ke kampus”, jawab Koko singkat. “Kemana tadi Bapak sebelum rapat?” ulangku dengan semakin tegas. “Kok ibu nanyanya kayak gitu? Tau sesuatu ya?” Koko mulai terlihat sedikit takut.  “Memangnya Ibu bloon-bloon amat bisa dibohongin terus sama Bapak?” tanyaku. “Kemarin Bapak bohong. Tidak ada rapat dengan yayasan. Kemana?” aku melanjutkan untuk mendesaknya. Koko menyadari kesalahannya. Ia pun mengaku. “Kemaren kan udah malem. Bapak nggak enak bilang sama Ibu kalau mau nemuin Ibunya Kuncoro. Ada keperluan tentang anak-anak”, jawabnya.

Hatiku langsung hancur mendengar penjelasannya. Apa yang dikhawatirkan oleh ibuku terbukti. Koko menemui mantan istrinya dibelakangku. Mengapa dia tega melakukan ini kepadaku? Dia telah berjanji tidak akan kembali lagi pada istrinya. Jika masalah anak, seharusnya dia tidak perlu menutupi hal itu dariku. Bukankah selama ini aku tidak pernah menghalangi dia untuk menemui anak-anaknya? Bukankah aku tidak pernah menghalangi dia untuk menafkahi anak-anaknya? Setelah menikah, aku sadar bahwa sebagai ayah dia memiliki kewajiban untuk menafkahi anak-anaknya baik secara moril maupun materiil. Jika dia ingin bertemu dengan anaknya atau memberikan uang lebih, bukankah dia seharusnya tinggal mengatakan hal itu padaku?

Aku merasa masih ada yang dia tutupi dari aku. Aku harus membuka tabir kebohongannya. “Tiap bulan udah dibagi dua, gaji Bapak tuh. Udah terang-terangan urusannya selama ini. Ngapain bohong sekarang?” aku bertanya dengan nada tinggi. “Ya maaf”, hanya itu yang dikatakannya. Tak kuasa kutahan amarah ini, kembali aku bertanya padanya, “Ibu tuh kurang gimana sama Bapak? Ibu tuh udah sabar. Ibu tuh udah mengerti tentang urusan Bapak sama anak-anak. Kenapa harus bohong?”

Wajah Koko terlihat begitu pucat. Dengan perlahan dia menjawab, “Bapak tuh takut kalau ibu terganggu. Itu kan waktu istirahat Ibu sama Bapak di rumah”. Suaranya begitu lemah, tetapi tidak bisa menghilangkan amarahku. “Tau begitu kenapa nggak bilang besoknya aja ketemunya? Kenapa harus malam-malam?” Amarahku semakin menjadi. “Bapak tau nggak Pak? Udah haram Bapak tuh ketemu sama Bu Tanjung berduaan. Nggak boleh”, aku kembali meluapkan kemarahanku karena dia hanya berdiam diri. “Kalau Bapak mau balik lagi, kata ibu juga terus terang aja. Silahkan! Ibu mundur”, aku benar-benar sudah kehilangan kesabaran menghadapi Koko yang terlihat begitu menyepelekan masalah ini.

Koko sangat terkejut mendengar perkataanku. Dengan segera dia menjawab, “Ya jangan gitu Bu. Bapak nggak ada niat untuk begitu. Kebetulan anak-anak memang lagi banyak permintaan, Ati minta kado ulang tahun sama bapaknya.” Dia berhenti sebentar kemudian melanjutkan, “Bapak hanya ingin buat anak-anak senang.” Aku merasa kesal mendengar Koko yang menggunakan anak-anak untuk membenarkan kelakuannya. “Bener itu haknya anak-anak, haknya Bapak juga. Tapi ini sama Ibu urusannya, bukan sama anak-anak. Ngapain Bapak harus bohong?” Aku masih belum bisa mengerti dengan keputusannya untuk bertindak dibelakangku. “Maaf-maaf”, kata Koko memohon.

Aku masih belum puas karena kebohongan tadi siang belum terjelaskan. “Terus tadi kenapa harus bohong. Kenapa kampusnya pindah?” tanyaku dengan nada yang masih tinggi. “Kan Bapak nggak bilang kalau kampus pindah”, Koko masih juga belum mau mengaku. Betapa kesalnya hati ini. Ku tahan emosi ini dan berkata dengan tegas, “Pak, Ibu tahu persis dengan mata kepala Ibu sendiri. Dengan kaki ibu sendiri. Tadi siang motor ada di jalan P.” Koko kembali terlihat terkejut, “Lho tau dari siapa ibu?” Suara Koko tergagap. Aku pun tertawa sinis. “Berarti bener kan?” tanyaku. Koko salah tingkah. “Ibu tahu dari siapa?”, ia kembali bertanya. “Ibu tau sendiri. Tadi ibu pake bemo. Tadinya mau ibu labrak tuh. Tapi ibu masih intelek. Ngapain ngelabrak orang bohong. Buang-buang energi. Biar aja, yang dosa Bapak. Bukan dosa Ibu”, kataku dengan pedas.

Koko sudah tidak punya pilihan lagi selain menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan suara yang begitu pelan dia berkata, “Kemarin kan Ati minta kado, jadi Bapak kesana lagi buat memberikan kadonya. Terus ibunya cerita tentang anak-anak. Ati juga buat surat untuk Bapak. Ini suratnya dari Ati.” Aku yang mendengar penjelasannya mulai mengerti tentang alasannya, tetapi rasa kesalku belum hilang. “Ya Bapak tuh terang-terangan aja. Ibu kan nggak akan ngelarang. Ibu nggak suka, tau nggak? Ibu nggak mau suami Ibu dosa masuk neraka, mau nggak?” Aku memelototinya. “Ya, maaf, maaf”, katanya.

Malam itu aku memaafkannya. Walaupun kecurigaanku tidak pernah hilang, aku berusaha untuk meredamnya dan melakukan kewajibanku sebagai istri seperti biasa. Keadaan keluarga kami kembali berjalan seperti biasa sampai pada suatu malam sekitar tiga bulan setelah pertengkaran terakhir kami.

Malam itu dia berkata akan menemui rekan dari Jakarta yang bernama Hendri yang akan memberikan surat pengangkatan dirinya sebagai kepala sekolah. Aku memang mengetahui tentang hal pengangkatannya sebagai kepala sekolah sehingga percaya jika dia akan menemui rekannya itu. Namun, aku melihat hal yang tidak biasa dari Koko. Biasanya Koko tidak berpenampilan formal jika akan bertemu dengan Hendri, tapi kali ini dia terlihat begitu rapi dan tercium wangi parfum yang kuat dari tubuhnya. Kecurigaanku pun kembali muncul tak teredam.

Kebetulan saat itu ibu mertuaku sedang menginap di rumah. Aku pun meminta ijin untuk meninggalkan rumah sebentar dan menitipkan anakku pada ibu mertua dengan alasan aku harus menemui ketua RT untuk membicarakan masalah meteran air. Dengan segera aku naik bemo ke jalan P dan seperti dugaanku, motor Koko ada di depan rumah itu. Api kembali membakar hatiku melihat kenyataan ini. Ingin rasanya aku labrak mereka. Namun kembali lagi, otakku berkata untuk tidak terbawa emosi. Karena aku tidak ingin pergi begitu saja tanpa melakukan apapun, aku memutuskan untuk menulis pesan. ‘Ingat-ingat Allah tidak tidur’. Kuletakkan pesan itu di motor Koko dan segera pulang.

Sepanjang perjalanan, hatiku tidak tenang. Otakku berputar memikirkan apa yang harus aku lakukan pada Koko. Sesampainya di rumah, aku memutuskan untuk menemui ibu mertuaku dan menceritakan apa yang terjadi padanya. Aku merasa ibu mertuaku akan berpikir lebih bijak untuk menyelesaikan masalahku ini. “Kata ibu ketemu aja nggak boleh, ini malah kesana nggak bilang-bilang”, kataku dengan sedih. “Yo wis nanti tak tanya. Paling cuma soal anak-anak”, kata ibu mertuaku untuk menenangkanku. “Tapi Mas Koko bohong sama saya bu”, kataku merajuk. “Iya nanti tak omongin”, kata ibu mertuaku.

Kutunggu kedatangan Koko dengan hati gundah gulana. Saat dia datang, aku langsung bertanya tentang surat pengangkatannya. Memang benar bahwa dia menemui temannya dan mendapatkan surat pengangkatan itu. Ternyata dia menggunakan surat itu sebagai alasan untuk sekalian menemui mantan istrinya, supaya tidak membuat aku curiga. Tetapi aku tidak mudah dibohongi. Aku berkata padanya, “Ya Alhamdulillah, tetapi rejeki itu tidak usah sambil bohong sekalian.” Koko terkejut dan terlihat kesal dengan perkataanku. “Ibu tuh mesti lho bilang Bapak bohong. Bapak kan sudah minta ampun”, katanya. “Ah. Bohong! Ibu tau persis. Ibu tadi ke jalan P pake Bemo. Ini overcoat jadi saksi. Ngapain ke situ malem-malem?” aku langsung menyerangnya.

Wajah Koko berubah pucat seketika. Dia akhirnya bercerita bahwa anak-anak sedang ngambek karena ibunya dijodohkan oleh kakaknya. Menurutnya anak-anak tidak mau bapak yang lain. “Gitu lho Bu, Bapak kan jadi bingung”, katanya. Aku kesal mendengarnya. Mengapa aku jadi harus ikut-ikutan repot dengan urusan mantan istrinya itu? “Itu masalah Bu Tanjung. Kalau dia repot ngurus anak-anak, bawa anak-anak ke sini, biar ibu yang ngurus anak-anak. Atau Ibu saja yang mengundurkan diri biar Bapak ngurus anak-anak dan ngurus Bu Tanjung? Pilih saja!” kataku dengan marah. “Ibu tuh begitu saja ancamannya”, kata Koko. “Habis Bapak bohong melulu”, jawabku.

Ibu mertuaku yang mendengar pertengkaran kami datang mendekat. Dia berusaha menenangkan kami berdua. Ibu mertuaku membelaku dan menasehati Koko agar tidak membohongiku lagi. Kemudian ibu mertua memberikan ide untuk menyelesaikan masalah kami. “Ya kalau begitu, nanti kalau kamu ada urusan apa-apa, berangkatnya sama Jingga”, kata ibu mertuaku pada Koko.

Kami akhirnya setuju dengan ide yang diberikan oleh ibu mertuaku. Hati dan otakku mulai dingin kembali. Setelah kejadian itu, Koko selalu mengajakku serta untuk menemui anak-anak dan mantan istrinya. Hubungan kami pun kembali membaik seiring kembalinya kepercayaanku padanya. Setidaknya Koko tidak berbohong lagi dan aku juga tidak selalu curiga.

Sayangnya, keadaan tersebut tidak bertahan lama. Hanya beberapa bulan setelah itu Koko jatuh sakit. Aku melihat ada sesuatu yang tidak biasa dari sakitnya. Dia terlihat memiliki banyak pikiran. Instingku kembali mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Aku berusaha untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. “Bapak kenapa sakit?” tanyaku perlahan. “Bapak banyak pikiran Bu”, jawabnya. “Mikirin apa? Sekolah? Sekolah kayaknya nggak ada masalah. Baik-baik aja”, kataku. “Apa mikirin anak-anak mau ujian?” tanyaku lagi. Sebelum dia menjawab aku melanjutkan, “Anak-anak mah biar aja, kan ada orang tuanya. Kita mah ngontrol doang.”

Koko terdiam, dia terlihat ragu. Aku kembali merasakan sesuatu yang tidak benar sehingga jantungku mulai berdetak lebih kencang. Setelah beberapa lama, akhirnya dia berkata, “Gini Bu. Bagaimana kalau kita ngontrak rumah yang lebih besar?” Aku terkejut dengan pertanyaannya. Mengapa tiba-tiba Koko menawarkan rumah yang lebih besar padahal kami tidak ada masalah dengan rumah yang kami tinggali saat ini. “Untuk apa? Mentang-mentang jadi kepala sekolah mau rumah yang lebih besar. Sekarang mah ngumpulin uang aja, nabung buat masa depan anak-anak”, kataku.

Aku menunggu jawaban Koko dengan bingung. Aku tidak tahu ada apa dengan jalan pikiran Koko. Dia bukanlah orang yang suka bermewah-mewah. Penawarannya ini tidak wajar. Pasti ada sesuatu yang membuatnya berpikir seperti itu. Tapi apa itu? Aku tidak tahu.

Kecurigaan hatiku ternyata beralasan. Koko memang menyimpan keinginan tersembunyi. Sesuatu yang tidak pernah terbersit sedikitpun di benakku. Sesuatu yang membuat hatiku hancur berkeping-keping saat mendengarnya berkata, “Ya ini juga demi kepentingan anak-anak. Bagaimana kalau kita ngontrak rumah yang besar? Ibu sama De Tanjung jadi satu ngurus anak-anak. Kita jangan memikirkan perasaan masing-masing. Kita pikirkan anak-anak saja”.

_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >>