Selasa, 28 Oktober 2014

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab I



Namaku Jingga. Aku adalah anak pertama dengan tujuh adik. Aku lahir satu tahun setelah Indonesia merdeka. Kehidupan masa kecilku sangatlah bahagia. Keluarga kami bisa dibilang mapan karena ayahku adalah seorang pejabat disalah satu lembaga pemerintah. Aku terlahir dengan berbagai kelebihan yang membuat aku sangat bersyukur. Aku mudah bergaul sehingga memiliki banyak teman. Tidak hanya teman dari kalangan anak pejabat saja, tetapi aku juga tidak malu untuk berteman dengan anak-anak lain yang nasibnya tidak seberuntung diriku. Hal itu disebabkan karena sejak kecil aku selalu dilatih untuk bersopan-santun dan selalu menghormati orang lain apapun latar belakangnya. Selain kemampuan berkomunikasi yang baik, aku juga dilahirkan dengan kondisi fisik yang baik. Kulitku putih dan wajahku disukai oleh banyak orang. Gaya berpakaian dan dandananku pun banyak dipuji oleh orang-orang disekitarku.

Sebagai anak muda, aku juga sering mengalami cinta monyet, tetapi aku tidak bisa leluasa untuk berpacaran karena ayahku memberikan peraturan yang sangat ketat bagi laki-laki yang ingin mendekatiku. Selain itu, ibuku sangat senang menjodohkan aku sehingga aku tidak boleh berpacaran dengan laki-laki lain yang bukan pilihan ibuku. Barulah saat aku beranjak dewasa ada pria yang berhasil memikat hatiku dan merubah jalan hidupku. Inilah ceritanya.

Saat itu aku sedang kuliah di Bandung. Karena keluargaku tinggal di Tasikmalaya, di Bandung aku tinggal bersama bibiku di daerah Bandung Timur. Pada suatu hari ada dua orang laki-laki muda datang berkunjung ke rumah bibiku. Aku sendiri yang membukakan pintu. “Apa benar Neng Jingga tinggal disini?”, tanya salah seorang dari mereka. “Iya, saya sendiri Jingga, mangga silahkan masuk”, aku menjawab. Aku mempersilahkan mereka masuk dan kami pun berbincang. Mereka memperkenalkan diri mereka masing-masing. Seorang bernama Doni dan seorang bernama Toni Atmaja. Keduanya adalah mahasiswa Unpad. Toni mengatakan bahwa dia diberitahu jika ada Neng Jingga yang keluarganya berasal dari Sumedang yang sedang belajar di Bandung dan dia datang untuk berkenalan. Aku mengiyakan bahwa aku adalah orang yang dimaksud dan kamipun melanjutkan perbincangan ringan sampai akhirnya mereka meminta ijin untuk pulang. Beberapa kali kedua lelaki tersebut datang untuk menemuiku dan seperti biasa kami berbincang ringan.

Saat hari libur, aku mengunjungi keluargaku yang berada di Sumedang. Bibi jauhku, Cicih yang menikah beberapa waktu lalu berkata jika aku telah mengganggu acara pernikahannya. Aku tidak mengerti apa yang dia maksudkan karena aku merasa tidak ada yang salah pada waktu pernikahannya. Ternyata, fotografer di pernikahan tersebut tertarik terhadapku dan mengambil fotoku jauh lebih banyak daripada foto pengantin. Aku tidak tahu menahu tentang hal itu dan hanya bisa meminta maaf.

Suatu saat ketika aku sudah kembali ke Bandung, Toni datang seorang diri. Setelah berbincang ringan sebentar, dia bertanya kepadaku, “Eneng sudah punya teman dekat belum?”. Aku yang tidak berpikir macam-macam langsung menjawab, “Wah kalau teman dekat mah banyak. Di kampus semua teman dekat apalagi yang teman belajar.” Akupun menyebutkan nama-nama temanku dengan bersemangat. Dia menyadari jika aku salah mengartikan pertanyaannya dan berkata, “Nggak, maksudnya teman kencan gitu.” Mendengar perkataannya aku sedikit tersipu. “Kalau teman kencan sih belum ada”, aku menjawab. Sayangnya tidak ada reaksi besar dari Toni atas jawabanku itu. Dia hanya melanjutkan perbincangan ringan dan dia pun akhirnya pulang. Namun aku sangat yakin jika dia menyukaiku.

Saat ada libur lagi, aku kembali berkunjung ke Sumedang. Saat itu aku bertemu dengan Bi Cicih dan seorang paman yang merupakan ipar jauh dengan Bi Cicih, bernama Mang Tom. Bi Cicih berkata padaku, “Neng tuh nu naksir Eneng, fotografer,  tah alo na si emang, Otong namanya.” Mang Tom kemudian berkata, “Eneng ada surat dari Otong, katanya mau kirim surat sama Eneng.” Mang Tom memberikan suratnya padaku. Aku merasa tidak enak hati karena di Bandung aku sudah dekat dengan Toni. Walaupun kami belum jadian, tetapi dia jelas-jelas memberikan sinyal jika dia menyukaiku. Akupun suka dengan dia karena selain orangnya baik, dia juga tampan dan selalu berpakaian rapi. Dengan perlahan akupun berkata pada pamanku, “Mang puntennya, Eneng sudah ada calon di Bandung. Maaf ya, suratnya jangan diberikan ke Eneng. Salam aja, terima kasih perhatiannya, gitu ya Mang.” Dengan berat hati aku menolak untuk menerima suratnya. Memang awalnya Mang Tom bingung dan memintaku untuk memikirkan keputusanku lagi, tetapi akhirnya dia mau melakukan permintaanku.

Aku tidak menyesal dengan keputusan aku itu dan ternyata benar, Toni memang menyukaiku. Kamipun akhirnya berpacaran. Berbulan-bulan aku menikmati masa pacaran yang menyenangkan dengan Toni. Namun, kami tidak seperti pasangan lainnya. Jika biasanya orang berpacaran di malam minggu, Toni tidak pernah datang pada malam minggu. Biasanya dia datang pada selasa malam karena malam minggu dia ada kuliah.

Suatu saat, aku dan keluarga bibiku ada rencana untuk menghadiri acara tujuh bulanan anak bibiku di Cirebon. Pamanku berkata padaku supaya mengajak Toni untuk ikut, tetapi karena saat itu alat komunikasi sangat terbatas, akupun tidak bisa menghubunginya. Kebetulan sekali Toni datang beberapa hari kemudian. Aku menyampaikan berita itu padanya dan dia menyambut baik ajakan tersebut. Kemudian aku memberitahu paman tentang kedatangan Toni.

Pamanku mengajaknya berbincang dan akupun masuk ke kamar sambil mendengarkan percakapan mereka. Pamanku berkata jika dia butuh bantuan untuk dicarikan kamera. Toni menyanggupi untuk menyediakan kamera yang dibutuhkan. Saat berbincang tentang rencana keberangkatan, Toni berkata jika sebaiknya dia dijemput saja di Sumedang. Pamanku kaget mendengar bahwa Toni ternyata berasal dari Sumedang dan bertanya lebih lanjut tentang itu. Tonipun menjelaskan bahwa orangtuanya berasal dari Sumedang dan memberitahukan lokasi rumahnya. Saat mendengar lokasi rumahnya, jantungku berdetak kencang sekali. Siapa dia sebenarnya? Jangan-jangan dia Otong. Itulah yang terbersit di kepalaku.

Aku berusaha untuk mendengarkan pembicaraan Toni dan pamanku dengan lebih seksama. Dari keterangan yang diberikan Toni, aku semakin yakin bahwa dia adalah Otong. Aku pun langsung mengadu ke bibiku tentang Toni yang ternyata adalah Otong yang dahulu pernah aku tolak suratnya. “Mih. Eneng malu, kan Eneng udah nolak Otong”, kataku pada bibiku. “Loh malah kebeneran kalau begitu.  Eneng sudah mencintai Toni kan?, bibiku bertanya padaku. “Ya iya”, jawabku perlahan. “Ya sudah jadian saja”, kata bibiku dengan santainya.

Akupun menceritakan hal ini pada paman dan Toni yang langsung mentertawaiku. Saat aku protes pada Toni dan bertanya mengapa ia tidak pernah mengatakan bahwa dia bernama Otong, dia hanya berkata jika dia tidak berbohong. Toni Atmaja adalah nama lengkapnya sedangkan Otong adalah nama panggilan di keluarganya. “Enggak mungkinlah kalau aku nge-otongkan diri sendiri”, begitu katanya. Aku merasa begitu malu dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi bibi dan pamanku di Sumedang yang menjodohkan aku. Namun, saat mengetahui hal tersebut, seluruh keluarga justru bersyukur dan memintaku untuk segera melanjutkan hubungan lebih dekat lagi.

Setelah kami berhubungan cukup lama, ayahku meminta kepastian dariku. Saat itu aku sedang liburan kuliah semester 4. Ayahku bertanya, “Neng, Eneng teh sudah serius sama Otong? Memang sudah yakin mau memilih Otong sebagai suami?” Mendengar pertanyaan itu aku bingung harus menjawab apa. “Ya barang kali,” kataku. “Kok barang kali? Emang belum mantep?”, tanya ayahku. “Ya mantep sih udah pah, orangnya baik”, aku menjelaskan. Aku menjadi semakin bingung dan juga salah tingkah.

Sesaat kemudian ayahku berkata dengan sangat hati-hati padaku. “Tapi gini ya Neng, kalau kang Otong itu kan background keluarganya petani kaya, pebisnis kaya. Biasanya orang yang pebisnis kaya mah suka hati-hati banget sama materi dan yang dilihatnya adalah materi dan materi aja. Sedangkan kita, Eneng mah kan anak papah, cuma anak pegawai negeri, gajinya sedikit. Apa nanti Eneng bisa mengimbangi? Bisa sabar?” kata ayahku. Aku kembali bingung mendengar perkataan ayah. “Ya gimana ya pah, kan udah janji”, kataku pada ayah. “Ya papah mah cuma tanya aja supaya Eneng nanti kalau ada apa-apa inget apa yang papah bilangin. Tapi papah mah nggak akan melarang dan nggak akan menyuruh karena itu hak Eneng untuk menentukan masa depan Eneng sendiri”, kata ayahku dan diapun melanjutkan memberikan nasehat-nasehat bijaknya.

Setelah pembicaraan kami, ayahku mengajak beberapa anggota keluarga untuk membicarakan tentang hubungan aku dan Toni yang sudah sangat dekat. Beliau khawatir jika kami tergoda untuk melakukan hal-hal terlarang. Kakekku merasakan kekhawatiran yang sama dan memintaku untuk segera menikah dengan maksud mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Beliau menjelaskan bahwa dalam agama, tidak baik jika lelaki dan perempuan berhubungan terlalu lama tanpa ikatan yang sah. Namun, aku menolak karena ingin menyelesaikan kuliah terlebih dahulu.

Selain berbicara padaku, ayahku juga ingin berbicara dengan Toni. Seminggu kemudian, Toni datang ke Tasik memenuhi permintaan ayah bersama dengan pamannya. Diluar dugaanku, Toni justru sangat bersemangat untuk segera menikah. “Wah saya mah sudah lebih dari mantap Om, dari dulu sejak pandangan pertama”, itu yang dikatakan oleh Toni.  Akhirnya setelah perbincangan yang cukup lama, disepakati bahwa kami segera lamaran dahulu baru nanti dibicarakan pernikahan setelah kami lulus.

Berita pertunanganku membuat banyak temanku terkejut karena selama ini mereka sering sekali mengunjungiku di malam minggu dan tidak pernah melihat aku berpacaran di malam minggu. Keterkejutan mereka juga dibarengi dengan banyaknya lelaki yang patah hati karena ternyata, banyak teman laki-laki dikampus yang memendam rasa padaku. Bahkan ada salah seorang sahabatku bernama Tanto yang terlihat begitu sedih dan terpukul dengan pertunanganku. Aku tidak menyadari sama sekali tentang perasaannya padaku karena selama ini dia hanya diam saja. Tetapi hal itu tidak merubah apapun. Aku sudah membuat pilihan dan aku pun bertunangan dengan Toni walaupun banyak yang merasa sakit hati.

Setahun setelah kami bertunangan, terjadi hal besar yang menghancurkan hatiku dan seluruh anggota keluargaku. Ayahku yang sedang berada di puncak karirnya, bahkan saat itu ayah sedang mendapatkan tawaran untuk menjadi menteri muda, jatuh sakit. Ayahku mengidap penyakit liver akut dan harus dirawat di rumah sakit di Tasik.

Saat aku sedang menunggu ayahku yang sakit, beliau tiba-tiba berpesan padaku, “Eneng,  Papah kan sakit, Papah tuh sakitnya lama jadi Papah tidak bisa kerja. Sekarang pundak Papah pindah ke pundak Eneng da Eneng anak yang paling besar. Jaga mamah sama ade-ade, bantu mamah sama ade-ade. Bantu nyekolahkan ade-ade minimum sampe SMA da nanti mah SMP teh nggak ada nilainya kalau bekerja”. Aku begitu terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan ayah dan sangat kebingungan. “Loh papah tuh emang mau kemana? Kok udah pesen-pesen kayak gitu?”, tanyaku pada ayah. “Kan papah kata dokter lama sakitnya”, ayahku menjawab dengan lembut. Otakku seperti membeku dan hatiku kacau mendengarnya. Tapi aku tidak ingin mengecewakan ayah. “Ya insyaallah Pah,” aku berjanji pada ayah. Ternyata itu adalah pesan terakhir ayah. Beberapa hari kemudian ayahku menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan kami sekeluarga yang begitu terpukul dengan kematian beliau.

Sebagai seorang muslim, aku tahu bahwa kematian adalah ketetapan Tuhan yang tidak bisa ditawar. Aku berusaha keras menerima kenyataan ini. Namun, keluarga kami tidaklah siap untuk menerima perubahan keadaan yang sangat drastis ini. Ibuku adalah ibu rumah tangga biasa yang sangat tergantung dengan suami sehingga meninggalnya ayah membuat dia shock berat, bahkan ibu sempat mengalami stroke ringan. Aku sendiri masih duduk dibangku kuliah saat itu dengan minim pengalaman untuk bisa bertahan hidup tanpa ayah yang selama ini begitu mencintai dan memanjakan aku. Adik-adikku yang lain juga masih belum ada yang mandiri, bahkan yang terkecil masih bayi.

Beberapa minggu setelah ayah meninggal, ibu dan adik-adikku pindah ke Bandung. Mereka dipinjami rumah oleh keluarga Toni agar adik-adikku bisa bersekolah di Bandung. Kebetulan rumah di Gatot Subroto itu memang kosong sehingga tidak masalah jika keluargaku tinggal di sana. Keluarga Toni, terutama ayah dan kakek neneknya memang begitu menyayangi aku dan keluargaku sehingga tidak heran jika mereka sangat bersimpati dengan musibah yang kami alami dan berusaha untuk membantu sebisa mereka. Untuk harta peninggalan ayahku, pengelolaannya diserahkan pada Mang Eka, saudara jauh yang juga merupakan anak angkat ayah. Hal itu diputuskan karena wasiat ayah dan mempertimbangkan bahwa adikku yang laki-laki masih kecil sehingga belum mampu mengelola harta warisan.

Ibuku yang merasakan beratnya menjadi orang tua tunggal, meminta aku untuk segera menikah dengan harapan bahwa suami aku nanti bisa menjadi pengganti ayah bagi aku dan adik-adik aku. Kakek dan nenekku juga setuju karena bagi mereka tidak baik jika bertunangan terlalu lama. Awalnya aku kurang setuju dengan hal tersebut karena aku masih belum terpikir untuk menikah. Namun, saat ibuku membicarakan hal tersebut pada Toni, dia justru setuju karena sebenarnya ia sudah ingin menikah sejak dulu. Akhirnya, kami pun menikah di Bandung.

Setelah menikah, aku dan Toni tinggal di kontrakan dia, sedangkan keluargaku tetap tinggal di Gatot Subroto. Dikontrakan itu aku bersebelahan dengan Emi, adik Toni yang juga sudah menikah. Awal pernikahan begitu menyenangkan untukku karena aku sangat bahagia bisa hidup dengan lelaki yang mencintai dan memanjakan aku. Kami berdua sangatlah mesra dan saling memperhatikan. Hubunganku dengan keluarga Emi juga sangat baik. Kami sering berbagi makanan dan berbincang tentang berbagai hal.

Memang ada beberapa ganjalan yang aku rasakan setelah menikah. Pertama adalah aku diminta untuk tidak kuliah dahulu sampai Toni lulus. Agar bergantian, begitulah alasan yang diberikan keluarganya. Aku memang kecewa dengan hal itu, tetapi aku berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada. Ganjalan kedua adalah ketidakbebasan ekonomi. Saat itu Toni masih kuliah dan hanya mendapatkan honor dari mengajar di SMA yang jumlahnya sedikit. Untuk kebutuhan sehari-hari, kami masih bergantung pada keluarga Toni yang masih memberikan biaya rutin setiap bulannya. Oleh karena itulah kami tidak leluasa untuk berbelanja dan harus pintar berhemat agar tidak membebani keluarga Toni. Untungnya hal ini bukan masalah besar karena aku sudah dibiasakan untuk hidup sederhana sejak kecil. Yang ketiga adalah sifat Toni yang ternyata cukup keras. Dia mudah marah jika tersinggung atau jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Untungnya dia tidak pernah bermain fisik. Tidak pernah sekalipun dia memukulku. Karena aku begitu mencintainya, hal itupun tidak menjadi masalah besar.

Beberapa bulan setelah menikah, terjadi kejadian yang tidak aku sangka. Saat itu aku dan Toni sedang santai duduk di ruang makan. Tiba-tiba Emi adik Toni menarik rambutku dan terus menyerangku dengan pisau besar. Saat itu Toni berhasil menenangkan Emi sehingga akupun selamat. Namun, pada hari-hari selanjutnya, Emi kembali berusaha menyerang aku. Ternyata saat itu Emi sedang hamil dan mungkin kehamilannya mempengaruhi kondisi psikologisnya. Karena aku takut, akhirnya aku meminta Toni untuk pindah dan kamipun mengontrak rumah di dekat paman suami Emi. Aku menceritakan hal tersebut pada paman itu dan meminta agar paman tidak menceritakan keberadaan aku pada Emi.

Disaat aku masih mengontrak untuk menghindari Emi, Ibuku memutuskan untuk menjual rumah di Tasik. Setelah rumah terjual, uang penjualannya dikelola oleh Mang Eka untuk kebutuhan keluarga kami. Setelah mendapatkan uang penjualan rumah, Mang Eka meminta ibu dan adik-adikku untuk pindah ke Sumedang. Akhirnya ibu dan adik-adikku pun meninggalkan rumah keluarga Toni dan pindah ke Sumedang, tanah kelahiran Ibuku. Karena rumah di Gatot Subroto telah kosong, aku dan Toni akhirnya pindah ke rumah besar itu. Karena aku telah tinggal dirumah besar, diputuskan bahwa dua orang adikku, Bunga dan Juna, tinggal bersamaku agar beban ibuku bisa sedikit berkurang.

Selang berapa lama, Emi pun melahirkan. Karena kontrakan mereka habis dan kondisi di kontrakan tidak terlalu nyaman untuk keluarga dengan bayi kecil, keluarga Toni menyarankan agar Emi pindah ke pavilyun yang tidak terpakai di rumah Gatot Subroto yang aku tempati. Aku sebenarnya masih kuatir dan takut, tetapi keluarga Toni meyakinkan aku bahwa Emi telah berubah dan tidak akan menyerang aku seperti dahulu. Aku tidak bisa menolak dan akhirnya Emi pindah ke pavilyun itu.

Dengan adanya keluarga Emi di rumah, ayah dan ibu Toni semakin sering datang berkunjung. Pada suatu hari, sekitar tiga tahun setelah kami menikah, aku dengan tidak sengaja mendengarkan percakapan antara Toni dan ibunya yang sedang berada di pavilyun Emi. Rumah kami adalah rumah setengah tembok dan bagian atasnya terbuat dari bilik atau anyaman bambu sehingga suara mudah terdengar antar ruangan. Dalam percakapan itu, terdengar jelas bahwa Ibu Toni tidak suka dengan aku dan keluargaku. “Tong kamu itu belum apa-apa sudah disuruh ngurus adi-adi. Kamu mau bagaimana hidup? Mau bagaimana bisa senang kamu mah? Belum apa-apa udah direcokin. Sekarang gini, kalau ngasih belanja ke si Eneng dijatah setiap hari. Jangan dikasih semuanya kalau punya duit. Sekarang mah dikasih tiap hari 50 perak”, ibunya berkata pada Toni. “Iyalah nanti gampang, Mimih kok begitu banget? Da dia mah sama adi-adi ada yang ngurusnya, kan ada pamannya yang suka ngasih untuk dana sekolah”, Toni menjawab ibunya. “Ah, setidak-tidaknya ikut makan di tempat kita”, ibunya menimpali.

Aku begitu sakit hati mendengar kata-kata ibunya. Memang adik-adikku ikut bersamaku, tetapi kami tidak seratus persen bergantung pada Toni karena kami masih mendapat biaya dari Mang Eka. Walaupun sedikit, tetapi uang tersebut sangatlah membantu kami. Lagipula, aku bukannya tidak mau membantu ekonomi keluarga. Aku mau bekerja, tetapi Toni melarangku. Dia bilang dia sanggup menghidupi keluarga sehingga aku tidak perlu bekerja.

Sakit hati yang aku rasakan hanya bisa aku pendam dalam hati. Aku tidak berani bercerita pada ibuku karena aku takut hal tersebut akan menjadi beban dan membuat ibu stress. Aku juga tidak bisa bercerita pada teman karena setelah menikah, Toni tidak mengijinkan aku untuk pergi jauh dari rumah. Aku diharuskan untuk tinggal dan mengurus rumah saja. Aku seperti burung di sangkar emas.

Setelah perbincangan dengan ibunya, Toni ternyata mengikuti kata-kata ibunya itu. Setiap hari, dia hanya memberiku uang 50 rupiah. Saat itu, harga daging satu ons adalah 40 rupiah sehingga uang 50 rupiah tidaklah mencukupi untuk kebutuhan kami. Karena uang yang sangat sedikit, aku harus memutar otak untuk belanja. Aku tidak pernah membeli daging karena terlalu mahal. Lauk yang paling mahal adalah ikan mujaer. Itupun aku hanya bisa membeli dua ekor karena aku masih harus membeli sayuran dan bahan lain. Karena tidak bisa membeli lauk yang banyak, ikan yang aku beli itu hanya untuk makan Toni saja. Untuk aku dan adik-adikku, aku hanya memasak sayur dengan lauk tahu atau tempe saja.

Suatu saat, minyak tanah untuk kompor hampir habis sedangkan Toni sudah pergi dan seperti biasa, hanya meninggalkan 50 rupiah. Aku bingung harus bagaimana. Jika aku membeli minyak tanah, maka aku tidak akan bisa belanja. Jika aku belanja, maka tidak akan ada minyak tanah untuk memasak. Aku memeriksa kembali kompor dan melihat bahwa minyak tanah yang tersisa masih cukup untuk memasak nasi. Akhirnya aku memutuskan untuk memasak nasi dan menggoreng ikan asin. Uang belanja yang diberikan Toni aku biarkan begitu saja di meja.

Saat Toni datang, ternyata dia datang bersama sahabatnya, Kang Hari namanya. Begitu melihat tidak ada makanan, dia langsung emosi. Aku berusaha menjelaskan apa yang terjadi tetapi Toni sudah terlanjur marah. “Jadi harus makan duit ini teh?” katanya dengan marah. Dengan perasaan campur aduk aku menjelaskan hal yang terjadi sambil menangis. Baru kali itu aku menangis karena masalah uang.

Kebetulan saat itu ada Kang Hari yang mendengarkan dan akupun mengadu padanya. “Jadi begini nih Kang Hari, Eneng tuh tiap hari cuma dikasih 50 perak buat belanja. Padahal kan kalau belanja tuh buat apa-apa, untuk sayurnya, untuk apanya. Eneng tuh bingung harus gimana belanjanya”, kataku pada Kang Hari. “Tong, kamu tuh kebangetan. Masa sama istri begitu?”, Kang Hari membelaku. Mereka pun berdebat cukup lama. Namun, apapun yang dikatakan Kang Hari tidak masuk ke otak Toni. Dia justru semakin marah padaku. Karena kasihan padaku, diam-diam Kang Hari memberiku uang sebanyak 200 rupiah untuk membantuku mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Aku bahagia mendapatkan uang dari Kang Hari karena belanjaku menjadi lebih longgar. Namun, uang yang diberikan oleh Kang Hari hanya bisa membantu selama beberapa hari saja. Setelah uangnya habis, aku kembali bingung mengatur uang belanja. Hatiku terasa begitu sakit melihat adik-adikku yang tidak bisa makan dengan layak. Akupun memutar otak untuk bisa menghasilkan uang. Aku tidak berani untuk bekerja karena aku selalu diajarkan untuk tidak pernah melawan suami. Namun, bagaimanapun juga aku harus mendapatkan uang. Karena didekat rumahku saat itu ada toko kelontong, aku mendapat ide menitipkan makanan untuk dijual. Aku berbicara pada pemiliknya dan bertanya apakah aku boleh menitipkan jualan disana. Alhamdulillah, pemilik toko itu memperbolehkan permintaanku.

Karena dirumahku tidak banyak perabot untuk memasak, aku memutuskan untuk membuat dodol tape. Untuk modalnya, aku menjual beberapa baju yang aku punya. Aku berjualan dengan sembunyi-sembunyi karena tidak ingin Toni mengetahui hal tersebut. Setelah Toni pergi barulah aku memasak dodol. Agar tidak ketahuan, dodol yang sudah jadi aku sembunyikan dibawah tempat tidur yang terletak di kamar yang tidak digunakan.

Dengan berjualan dodol tape, aku jadi memiliki uang lebih untuk adik-adikku. Gembira sekali aku karena sudah bisa membelikan telur untuk makan dan juga jajanan lain seperti es cendol untuk adik-adikku. Tentunya, aku hanya memasak telur dan jajan disaat Toni tidak dirumah supaya dia tidak curiga. Aku juga berpesan pada adik-adikku untuk tidak bercerita pada Toni agar kami tidak kena marah.

Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari, Toni sedang membetulkan sesuatu dan kehilangan obeng. Dia berusaha mencari obeng tersebut dan celakanya, dia mencari di kamar kosong tempat aku menyembunyikan dodol tape yang aku buat. Dia pun menemukan dodol yang kubuat. “Dari mana ini?”, Toni berteriak. Aku kaget tapi segera membuat alasan. “Tadi ada uang sisa dibeliin tape. Ah mau bikin dodol, kok kepengen bikin dodol. Kayaknya enak buat dodol tape, Kang Otong juga suka kan dodol tape?”, aku berbohong padanya. “Kok banyak-banyak teuing? Nggak kira-kira”, Toni tidak percaya dengan ceritaku. Kemudian Toni melanjutkan marahnya. “Nah gini kayaknya nih, duit belanja tidak cukup tuh. Kayak gini nih, dibuat gini-ginian”, kata Toni penuh amarah. Disaat aku berusaha untuk mencari jawaban terbaik, datanglah adik laki-lakiku Juna dan langsung berkata, “Bukan, bukan ngeboros-boros belanja. Ceuceu mah buat mencari uang”. Terang saja Toni semakin marah mendengar kata-kata Juna. “Cari uang gimana?” tanya Toni. “Kan Ceuceu jualan dodol tape dititipkan di Cici”, jawab Juna polos. Toni langsung murka mendengar itu. Diinjak-injaknya dodol tape yang kubuat. “Kamu tuh bikin malu, nanti dikirain tidak dikasih makan sama aku. Kamu tuh bikin malu. Awas kalau bikin-bikin lagi”, Toni mengancamku.

Kejadian itu begitu menyakitkan buatku. Dengan kejadian itu, aku meminta adik-adikku untuk kos ditempat lain. Aku sendiri menjadi sering melamun dan bertanya mengapa aku bisa menjadi seperti ini. Aku tidak boleh sekolah, aku tidak boleh bekerja, dan aku juga tidak diberi keleluasaan untuk mengurus adik-adikku, padahal aku sudah berjanji pada ayah untuk mengurus mereka. Aku bingung dengan keadaanku yang sulit padahal suamiku berasal dari keluarga kaya.

Hati yang hancur juga mempengaruhi kondisi fisikku. Jika sedang mengepel, aku bisa tiba-tiba jatuh pingsan. Jika adikku ada dirumah dan dia melihat aku pingsan, dengan segera dia meminta bantuan pada tetangga. Saat memasak di dapur, aku juga sering jauh pingsan. Jika terdengar suara berisik dari dapurku, tetangga dekatku yang mendengar langsung tahu jika itu pasti aku yang jatuh pingsan. Dengan segera, nenek yang berjualan sayur itu akan datang dan membantu menyadarkanku.

Keadaan itu terjadi selama beberapa bulan lamanya. Aku tidak berani untuk bercerita pada Toni karena takut dia tidak percaya dan semakin marah padaku. Karena kuatir, akupun diam-diam memeriksakan diri ke klinik di kampus. Oleh dokter, aku diberi tahu bahwa aku mengidap gangguan klep jantung dan harus dioperasi. Namun aku tidak memiliki biaya waktu itu dan dokter menyarankan aku untuk menjaga diri baik-baik. Aku tidak boleh terlalu tertekan perasaan. Aku tidak boleh terlalu gembira maupun sedih.  Dokter juga memberikan daftar makanan dan minuman yang tidak boleh aku konsumsi dalam jumlah yang banyak. Aku mengikuti saran dokter dan banyak minum air putih supaya sehat. Aku menguatkan diri agar tidak merepotkan orang lain.

Setelah kondisiku beranjak baik, kami mendapatkan berita baik. Orang tua Toni membelikan kami motor. Kamipun gembira karena tentunya akan menjadi lebih mudah bagi kami untuk berpergian. Namun kebahagiaan itu juga tidak bertahan lama. Saat adik perempuanku yang bernama Bunga sedang belajar bersama dirumah temannya, ayah teman adikku menghubungiku dan memberitahukan bahwa Bunga jatuh sakit. Bunga telah dibawa ke dokter dan diketahui bahwa dia mengidap usus buntu.  Aku segera datang ke rumah sakit dan dokter berkata bahwa adikku harus segera dioperasi karena kondisinya sudah sangat parah. Dokter membutuhkan surat kuasa untuk operasi tetapi dokter mengatakan bahwa tidak mungkin jika harus menunggu ibuku datang dari Sumedang. Akhirnya aku menandatangani surat kuasa untuk operasi.

Setelah mengurus operasi adikku, aku segera pergi ke Sumedang untuk memberitahu ibuku dan meminjam uang pada tetangga untuk kebutuhan mengurus Bunga yang sakit. Ibuku dan adik laki-lakiku yang bernama Ali pun pergi ke Bandung untuk membantu mengurus Bunga. Tetapi malang tidak bisa ditolak. Ali yang ikut bersama ibuku jatuh sakit. Menurut dokter, itu adalah gejala tifus. Beberapa hari kemudian, Bunga sudah diperbolehkan pulang sehingga pekerjaan rumah menjadi lebih banyak karena aku dan ibuku harus mengurus dua orang yang sedang sakit.

Disaat aku harus mengurus dua orang adik yang sakit, Emi dan adik lelaki Toni yang bernama Jaka datang ke rumah. Orang tua Toni juga datang berkunjung. Ibu Toni bercerita padaku bahwa Emi dan Jaka juga sudah membeli motor baru. Aku ikut gembira dengan mereka. Tidak ada pikiran buruk di kepalaku mengenai hal itu.

Saat sore hari, Toni datang dan berkata bahwa ia dan adik-adiknya berencana ingin pawai ke Subang dengan motor untuk mengunjungi paman mereka. Aku menjadi bingung dan bertanya mengapa Toni harus pergi sekarang padahal aku harus mengurus dua orang adik yang sedang sakit. “Kan ada mamah”, kata Toni. Aku semakin bingung karena tidak mungkin bagiku meninggalkan ibu yang pasti akan sangat kerepotan untuk mengurus dua orang anak yang sedang sakit tanpa aku. “Kan ada mimih sama apah juga”, Toni menambahkan. Tapi aku tetap bertahan karena aku tahu hubungan ibuku dengan besan tidak terlalu dekat sehingga ibu pasti merasa canggung. Akhirnya, Toni membiarkan aku untuk tetap tinggal dirumah dengan emosi yang masih sangat terlihat di wajahnya. Bahkan Toni pergi begitu saja disaat aku masih sholat asar sehingga aku tidak mengantarkannya.

Baru saja Toni pergi, tiba-tiba ibu mertuaku datang dan mengajakku bicara di ruang tamu. “Neng, ini makanya yang mimih buktikan sekarang begini, Eneng tuh sama Otong tidak repok. Tidak bagus jodoh Eneng tuh sama Otong. Nyatanya sudah berapa tahun ini tidak punya anak. Kalau perempuan tidak punya anak itu tidak bawa rejeki. Terus keduanya, Eneng sama Otong tuh tidak seirama. Sekarang diajak enak-enak, diajak gumbira-gumbira maen kesana pake motor sama ade-ade, tidak mau. Apa itu seiya sekata? Kalau menurut mimih mah Otong sama Eneng harus cerai”, ibu mertuaku berbicara dengan nada keras.

Aku yang mendengar ucapan ibu mertuaku sontak kaget. “Astagfirullah”, kataku. Disaat aku begitu terkejut, aku menyadari bahwa aku tidak boleh terbawa emosi. Akupun berusaha untuk menjawab ibu mertuaku dengan lebih bijak.  “Yang pertama mimih, ini saya belum mempunyai anak, tapi kan anak itu pemberian Allah. Saya mah tidak bisa ngapa-ngapain. Meskipun saya terus mencoba, yang menimbulkan kejadian itu Allah. Kersaning Allah anak mah. Sekarang saya belum dapet ya kersaning Allah belum dapet”, kataku sambil berusaha untuk menahan emosi dalam dada. “Ah pokoknya itu mah tidak bagus jodohnya”, Ibu mertuaku menimpali. “Ya terserah mimih kalau begitu”, kataku.

Aku meneruskan pembicaraanku. “Yang kedua, saya tidak ikut pergi. Kan mimih lihat sendiri ada ibu saya, besannya mimih. Ada adik saya juga yang sedang sakit. Apa saya tega meninggalkan?” kataku. “Ah, da itu mah sudah baik. Tinggal dirumah saja. Kan ditinggalnya cuma sehari. Besok udah pulang”, Ibu mertuaku tidak mau mengerti. “Ya gimana ya mih. Kalau mamah ada apa-apa, kalau Bunga ada apa-apa kan mamah nanti bingung. Mimih juga mungkin bingung kalau ada apa-apa nanti”, aku berusaha keras untuk membuat ibu mertuaku mengerti. Tapi masih saja ibu mertuaku berbicara keras. “Ah itu mah dibuat-buat saja”, katanya.

Aku menarik nafas dan kembali berbicara. “Nah yang ketiganya, Mimih bilang jodoh saya tidak baik sama Kang Otong. Saya disuruh cerai sama Mimih. Subhanallah Mih. Kalau yang saya dengar. Kalau anak-anak yang sudah berumah tangga bertengkar mau bercerai, biasanya orang tuanya itu mengingatkan dan menasehati. Jangan begitu larinya.  Itu dosa, tidak boleh sama gusti Allah. Kamu harus belajar memperbaiki dan rukun. Itu seingat saya dan sepengetahuan saya, orang tua biasanya begitu. Tapi kok Mimih mah malah saya yang sama Kang Otong tidak pernah bertengkar, tidak pernah apa-apa, baik-baik saja, kok malah disuruh cerai? Saya tidak mengerti dengan pemikiran Mimih”, kataku.

Aku tidak percaya jika ibu mertuaku sendiri meminta aku untuk bercerai. Tapi aku berusaha untuk tegar dan melanjutkan, “Tapi Mih, terlepas dari itu, saya mah perempuan. Saya ada disini menjadi istri Kang Otong karena Kang Otong mencintai saya dan mau menikahi saya. Tapi kalau Kang Otong sudah tidak mau bersama-sama saya, tidak mau berumah-tangga dengan saya, sudah tidak mencintai saya lagi, Lillahita’ala, saya dicerai juga nggak apa-apa. Saya pulang. Saya juga masih punya orang tua.” Aku tidak tahu dari mana datangnya kekuatan itu dan mengapa aku bisa berbicara seperti itu, tetapi aku bersyukur pada Tuhan karena sanggup menghadapi ibu mertuaku dengan tegar. “Ya terserah. Pokoknya Mimih mah maunya begitu saja”, ibu mertuaku menimpali dan langsung pergi kembali ke pavilyun Emi.

Tubuhku langsung terasa lemas dan tulang-tulang sepertinya hilang dari tubuhku sesaat setelah ibu mertuaku pergi. Aku langsung menemui ibuku yang ternyata sedang menangis bersama dengan adik-adikku. Ibuku merasa bersalah karena merasa dirinya yang telah menyusahkan aku sehingga hidupku menjadi seperti ini. Aku tidak ingin ibuku bersedih dan hanya bisa meminta maaf sambil menangis tersedu. Adikku Ali bereaksi lain. Dia marah-marah mendengar perkataan ibu mertuaku. Namun, aku tidak mau jika adikku berlaku tidak baik. Akupun berusaha menenangkannya. Jadilah kami bertiga bertangis-tangisan.

Disaat keadaanku sedang begitu hancur, tiba-tiba setelah waktu isya, datang polisi ke rumah. Polisi itu memberitahukan bahwa Toni dan adik-adiknya mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit di Cimahi. Mendengar berita itu, ibu mertuaku semakin menyalahkan aku sebagai pembawa sial. “Tah da eta tah doa ti pamajikan nana teu baleg. Si Otong teh cilaka”, ibu mertuaku berteriak keras. “Tah Eneng, kamu mah memang begitu. Kamu mah tidak mendukung suami apa-apa juga. Kamu mah mendoakannya jelek sama suami”, beliau menambahkan sambil tetap berteriak marah. Aku menjadi gemetar dan berusaha keras untuk membela diri, tetapi tidak berhasil.

Karena keadaan sangat mendesak, aku tidak ingin lebih lama lagi bertengkar dengan ibu mertuaku. Dengan segera aku membereskan barang dan pergi untuk menjenguk Toni. Sampai di rumah sakit, aku melihat keadaan Toni dan adik-adiknya yang terluka cukup parah. Aku menginap di rumah sakit selama lima hari tanpa pulang untuk mengurusi Toni. Hanya ayah mertuaku saja yang sering bolak-balik untuk menjenguk karena ibu mertuaku harus mengurus anak Emi dan ibuku harus mengurus adik-adikku.

Pada hari keenam Toni dirawat dirumah sakit, aku pulang ke rumah untuk mengambil beberapa barang. Saat itu kondisi Toni sudah membaik dan menurut dokter beberapa hari lagi Toni sudah boleh pulang. Sesampainya aku di rumah, aku dikagetkan lagi oleh kedatangan saudara dari Sumedang. Saudaraku memberitahukan bahwa nenekku dari ayah sakit dan meminta aku untuk menemui nenekku. Aku tidak mungkin menolak permintaan itu karena aku berhutang budi banyak sekali pada nenekku. Semasa kecil aku pernah tinggal bersama nenek dan kakekku selama beberapa tahun. Selama bersama mereka, aku selalu disayang dan dimanjakan.

Karena nenekku sakit, aku akhirnya meminta ibuku untuk pindah ke kos Bunga untuk sementara karena kondisi di rumah juga tidak nyaman. Setelah mengantarkan ibu dan adik-adikku, aku kembali ke rumah sakit untuk meminta ijin pada Toni agar aku bisa mengurus nenekku yang sedang sakit. Toni memberikan ijinnya.

Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku. Saat pamit dengan ayah mertuaku, aku sempat berbicara padanya tentang pembicaraan aku dan ibu mertuaku. Aku mohon pada ayah mertuaku untuk tidak membahas masalah itu dengan Toni karena dia masih sakit dan aku masih punya kewajiban untuk merawatnya. Ayah mertuaku setuju dan meminta aku untuk tenang.

Sesampainya di Sumedang, aku menemui nenekku yang sedang sakit. Beliau meminta aku untuk membawanya ke rumah sakit. Aku memenuhi permintaannya. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata nenekku harus opname. Setelah itu, aku kembali ke Bandung untuk memberitahukan keadaan nenek pada ibuku. Karena keadaan itu, diputuskan untuk membawa adik-adikku ke Sumedang agar bisa dirawat oleh nenekku dari pihak ibu. Setelah nenek dirawat beberapa hari di Sumedang, dokter berkata bahwa mereka sudah tidak sanggup merawat nenek sehingga harus dirawat di rumah sakit di Bandung. Aku akhirnya membawa nenek ke Bandung. Setelah selesai mengurus kepindahan nenek di rumah sakit Bandung, aku langsung ke Cimahi untuk menjenguk Toni, menceritakan kondisi nenek, dan juga meminta ijin darinya untuk mengurus nenek.

Keesokan harinya, nenekku sudah selesai diobservasi oleh dokter. Menurut hasil pemeriksaan, diketahui bahwa nenekku mengidap kanker hati. Karena keadaan nenek yang sudah renta, dokter mengatakan bahwa kesempatan untuk sembuh sangat kecil. Dokter menyarankan agar nenek dibawa pulang saja supaya bisa lebih merasa nyaman. Akupun membawa nenek kembali ke Sumedang ditemani oleh adik sepupuku. Hanya beberapa menit setelah sampai di rumah, nenek menghembuskan nafas yang terakhir. Aku sempat pingsan saat mengetahui meninggalnya nenek. Setelah sadar, aku berusaha untuk bisa tegar.

Siang harinya, keluarga Toni datang untuk melayat. Ternyata Toni sudah keluar dari rumah sakit tetapi belum bisa datang karena masih lelah. Keluarganya berkata bahwa mungkin esok hari Toni bisa datang melayat. Aku pun meminta maaf karena tidak bisa merawat Toni selama ini. Aku menjelaskan bahwa hanya aku satu-satunya cucu yang bisa mengurus nenekku saat ini. Aku lebih mementingkan nenek karena aku tahu bahwa keadaan Toni sudah membaik.

Keesokan harinya Toni datang. Setelah berberapa lama berbincang ringan, dia berbicara serius denganku. Dia menceritakan kondisinya yang masih tidak sehat sehingga masih sangat bergantung dengan orang tuanya untuk beberapa waktu. Dia juga menceritakan permintaan ibunya untuk berpisah dengan aku. “Nggak ngerti Akang, kok bisa begitu, memang ada apa?” dia bertanya padaku. “Justru Eneng tidak mengerti ada apa, tanya aja sama Mimih”, itu jawabku. “Sekarang mah kewajiban Eneng untuk ngerawat Kang Otong. Insyaallah setelah tujuh hari, Eneng pulang buat ngurus Akang. Urusan Akang tidak kerja mah tidak apa-apa, biar nanti giliran Eneng yang kerja”, aku menambahkan untuk meyakinkan bahwa aku masih mau menjadi istri yang baik. “Tapi Eneng minta ijin ya Kang untuk disini dulu sampai tujuh hari”, kataku untuk mendapatkan ijin dari suami karena saat itu tidak ada lagi orang yang bisa mengurus tahlilan nenek selain aku. Toni pun mengijinkan aku untuk mengurus tahlilan sampai tujuh hari.

Saat hari ketujuh meninggalnya nenek, ibuku memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya untuk mempersiapkan kebutuhan acara 40 hari nenek. Akupun hanya sendirian dan membereskan rumah nenek. Selang berapa lama, Toni datang. Aku menyambutnya dengan gembira. Kami berbincang dan aku mengajaknya untuk makan siang bersama. Makan siang kami lalui dengan senang. Setelah membereskan sisa makan, aku duduk beristirahat dan kami mengobrol. Aku meminta maaf pada Toni karena tidak bisa mengurusnya selama ini. Aku menjelaskan bahwa disini tidak ada yang bisa mengurus masalah keuangan untuk tahlilan selain aku. “Iya ngerti”, kata Toni.

Tak berapa lama, Toni berkata bahwa dia tidak bisa menginap. “Akang tuh ke sini mau ada yang diomongin sama Eneng”, katanya. “Mau bicara apa? Ya sudah bicara saja. Kang Otong mau apa, mau dibuatkan apa?” kataku. “Eneng juga mau pulang kok besok ke Bandung, mau ngurusin Kang Otong”, aku menambahkan. “Ah nggak usahlah, nggak usah ke Bandung”, katanya. Aku tidak mengerti apa yang dia maksudkan. “Kenapa?” tanyaku. “Ya.. Akang kan mau ngasih ini”, kata Toni sambil mengeluarkan surat dari tas dan memberikannya padaku.

Aku membuka surat yang diberikannya dan membaca isinya. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa itu adalah surat talaknya untukku. Aku serasa disambar petir. Dunia sepertinya runtuh menimpa tubuhku. Selama beberapa saat, aku tidak bisa memikirkan apapun. Namun, aku kemudian beristigfar. “Astagfirullah hal adzim”, ucapku berkali-kali. Aku berusaha untuk menenangkan pikiran dan hati agar aku bisa mencari cara terbaik untuk menghadapi masalah besar ini.

“Kok ini surat talak Kang? Memang benar Akang mau bercerai sama Eneng? Nggak nyesel? Nggak inget dulu kita berusaha memperjuangkan hubungan seperti apa?” tanyaku. “Ya gimana? Da Akang harus nurut sama orang tua. Soalnya Akang kan sekarang sedang tergantung sama orang tua lagi. Akang tidak bisa kerja, tidak bisa ini itu”, jawabnya. “Lho itukan bukan masalah, karena orang tua sudah bertanggung jawab menikahkan kita, nggak papa kalau bantu anaknya yang lagi susah. Lagipula Eneng bisa mengatasi kok, Eneng bisa kerja”, aku berusaha merubah pemikirannya dan meyakinkan bahwa kami masih bisa bertahan. “Ah nggak ah, nggak usah, nggak usah”, katanya.

Setelah menguatkan hati dan berpikir dengan logika, akupun akhirnya menerima perceraian ini. Aku berterimakasih pada Toni karena telah memberikan surat talak padaku sehingga tidak menambah dosa jika pernikahan ini dilanjutkan dengan keterpaksaan. Aku meminta maaf apabila selama menjadi istrinya, aku banyak kesalahan dan tidak bisa menjadi istri yang baik menurut Toni. Semoga pengabdianku padanya tidak jadi hilang nilainya di mata Allah. 

 _____________________________________________________________________

Mengapa Aku Memilih Poligami - Pengantar



Banyak orang disekitarku mengatakan bahwa aku adalah wanita yang cantik, pintar, dan mandiri, sehingga tidak heran jika banyak sekali laki-laki yang mengejarku. Oleh karena itulah, mereka tidak percaya jika aku mau dimadu oleh suamiku tanpa harta yang berlimpah. Mereka bilang aku ini bodoh, tidak pakai otak, lembek, dan masih banyak ejekan lain yang kudengar. Menurut mereka, aku memiliki  banyak sekali pilihan untuk bisa hidup bahagia dengan suami kaya yang akan menjadikan aku satu-satunya ratu dalam hidupnya. Namun, setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing. Aku pun seperti itu. Disaat muda dahulu, tidak pernah sedikitpun aku berpikir untuk berpoligami. Tetapi takdir berkata lain. Bagi siapa saja yang masih menyimpan pertanyaan tentang aku, inilah jawaban MENGAPA AKU MEMILIH POLIGAMI.



Kata Pengantar dari Penulis

Alhamdulillah, novel kedua saya akhirnya dimulai. Penulisan novel kedua ini memang memakan waktu sehingga postingan blog ini sempat tertunda. Setelah menyelesaikan novel pertama, ada beberapa kejadian yang membuat saya harus menunda penulisan novel kedua ini. Selain itu, cerita yang diangkat dalam novel ini terinspirasi oleh kisah nyata sehingga membutuhkan waktu untuk mengumpulkan data dan juga waktu untuk mengedit agar cerita yang disajikan menjadi sesempurna mungkin.

Saya mengangkat topik poligami karena poligami tidak hentinya menjadi topik hangat untuk dibicarakan dalam berbagai bentuk, seperti pembicaraan ibu-ibu saat arisan, dibahas dalam pengajian, dalam talkshow, artikel, buku, sinetron, film, dan lain sebagainya. Poligami selalu menjadi bahan perdebatan karena dihalalkan dalam Islam, tetapi begitu menyakitkan bagi perempuan. Karena menggunakan topik yang selalu hangat, saya berharap bahwa novel ini bisa menarik banyak orang untuk membacanya.

Alasan kedua untuk menulis novel ini adalah permintaan pelaku utamanya sendiri. Beliau ingin membagi pengalaman hidupnya agar siapa saja yang membaca novel ini bisa mengetahui bahwa poligami itu bagian dari takdir Tuhan. Beliau ingin memberikan gambaran bahwa takdir itu mau tidak mau harus dijalani. Beliau ingin menggambarkan betapa sulitnya menjalankan poligami tetapi beliau juga ingin menekankan bahwa Allah tidak pernah pergi dari hambanya. Allah selalu membuat skenario terbaik bagi setiap orang sehingga cobaan yang terasa begitu berat ternyata bisa dijalani dengan karunia dan hikmah yang diberikan-Nya.

Pelaku sangat menyadari bahwa jika cerita hidupnya diungkap, mungkin ada beberapa orang yang kecewa, tersinggung, dan sakit hati. Untuk menghindari hal-hal tersebut dan memperkecil kemungkinan konflik dengan orang-orang disekitar pelaku, nama-nama tokoh dalam cerita ini disamarkan. Yang terpenting bukanlah tentang tokoh ini jahat atau tokoh ini baik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana pembaca mendapatkan pelajaran dari cerita hidup seorang wanita yang menjalani poligami.


Saya berharap semoga pembaca bisa melihat sisi lain dari poligami yang mungkin bisa merubah cara pandang kita terhadap poligami. Saya sendiri dahulu begitu membenci poligami sehingga terkesan mengharamkan poligami. Namun, saya tekankan sekali lagi. Poligami itu sulit tetapi halal. Jika bisa dihindari, cobalah sekuat tenaga untuk menghindarinya. Jika ditakdirkan untuk berpoligami, lakukanlah yang terbaik untuk menjalani takdir Allah. Kita harus ingat bahwa selalu ada hikmah dari takdir hidup yang digariskan. Sekejam-kejamnya takdir, hikmah selalu menentramkan.
  
Seperti novel sebelumnya, Insyaallah, novel ini akan diposting di blog ini satu bab setiap minggunya, dimulai dari hari ini. 
Selamat Membaca !
_____________________________________________________