Namaku Jingga. Aku
adalah anak pertama dengan tujuh adik. Aku lahir satu tahun setelah
Indonesia merdeka. Kehidupan masa
kecilku sangatlah bahagia. Keluarga kami bisa dibilang mapan karena ayahku
adalah seorang pejabat disalah satu lembaga pemerintah. Aku terlahir dengan berbagai kelebihan
yang membuat aku sangat bersyukur. Aku mudah bergaul sehingga memiliki banyak
teman. Tidak hanya teman dari kalangan anak pejabat saja, tetapi aku juga tidak
malu untuk berteman dengan anak-anak lain yang nasibnya tidak seberuntung
diriku. Hal itu disebabkan karena sejak kecil aku selalu dilatih untuk
bersopan-santun dan selalu menghormati orang lain apapun latar belakangnya.
Selain kemampuan berkomunikasi yang baik, aku juga dilahirkan dengan kondisi
fisik yang baik. Kulitku putih dan wajahku disukai oleh banyak orang. Gaya
berpakaian dan dandananku pun banyak dipuji oleh orang-orang disekitarku.
Sebagai anak
muda, aku juga sering mengalami cinta monyet, tetapi aku tidak bisa
leluasa untuk berpacaran karena ayahku memberikan peraturan yang sangat ketat
bagi laki-laki yang ingin mendekatiku. Selain itu, ibuku sangat senang
menjodohkan aku sehingga aku tidak boleh berpacaran dengan laki-laki lain yang
bukan pilihan ibuku. Barulah saat aku beranjak dewasa ada pria yang berhasil
memikat hatiku dan merubah jalan hidupku. Inilah ceritanya.
Saat itu aku sedang kuliah di Bandung. Karena keluargaku
tinggal di Tasikmalaya, di Bandung aku tinggal bersama bibiku di daerah Bandung
Timur. Pada suatu hari ada dua orang laki-laki muda datang berkunjung ke rumah
bibiku. Aku sendiri yang membukakan pintu. “Apa benar Neng Jingga tinggal
disini?”, tanya salah seorang dari mereka. “Iya, saya sendiri Jingga, mangga
silahkan masuk”, aku menjawab. Aku mempersilahkan mereka masuk dan kami pun
berbincang. Mereka memperkenalkan diri mereka masing-masing. Seorang bernama
Doni dan seorang bernama Toni Atmaja. Keduanya adalah mahasiswa Unpad. Toni
mengatakan bahwa dia diberitahu jika ada Neng Jingga yang keluarganya berasal dari
Sumedang yang sedang belajar di Bandung dan dia datang untuk berkenalan. Aku
mengiyakan bahwa aku adalah orang yang dimaksud dan kamipun melanjutkan
perbincangan ringan sampai akhirnya mereka meminta ijin untuk pulang. Beberapa
kali kedua lelaki tersebut datang untuk menemuiku dan seperti biasa kami
berbincang ringan.
Saat hari libur, aku mengunjungi keluargaku yang berada di
Sumedang. Bibi jauhku, Cicih yang menikah beberapa waktu lalu berkata jika aku
telah mengganggu acara pernikahannya. Aku tidak mengerti apa yang dia maksudkan
karena aku merasa tidak ada yang salah pada waktu pernikahannya. Ternyata,
fotografer di pernikahan tersebut tertarik terhadapku dan mengambil fotoku jauh
lebih banyak daripada foto pengantin. Aku tidak tahu menahu tentang hal itu dan
hanya bisa meminta maaf.
Suatu saat ketika aku sudah kembali ke Bandung, Toni datang
seorang diri. Setelah berbincang ringan sebentar, dia bertanya kepadaku, “Eneng
sudah punya teman dekat belum?”. Aku yang tidak berpikir macam-macam langsung
menjawab, “Wah kalau teman dekat mah banyak. Di kampus semua teman dekat
apalagi yang teman belajar.” Akupun menyebutkan nama-nama temanku dengan
bersemangat. Dia menyadari jika aku salah mengartikan pertanyaannya dan
berkata, “Nggak, maksudnya teman kencan gitu.” Mendengar perkataannya aku
sedikit tersipu. “Kalau teman kencan sih belum ada”, aku menjawab. Sayangnya
tidak ada reaksi besar dari Toni atas jawabanku itu. Dia hanya melanjutkan
perbincangan ringan dan dia pun akhirnya pulang. Namun aku sangat yakin jika
dia menyukaiku.
Saat ada libur lagi, aku kembali berkunjung ke Sumedang. Saat
itu aku bertemu dengan Bi Cicih dan seorang paman yang merupakan ipar jauh
dengan Bi Cicih, bernama Mang Tom. Bi Cicih berkata padaku, “Neng tuh nu naksir
Eneng, fotografer, tah alo na si emang, Otong
namanya.” Mang Tom kemudian berkata, “Eneng ada surat dari Otong, katanya mau
kirim surat sama Eneng.” Mang Tom memberikan suratnya padaku. Aku merasa tidak
enak hati karena di Bandung aku sudah dekat dengan Toni. Walaupun kami belum
jadian, tetapi dia jelas-jelas memberikan sinyal jika dia menyukaiku. Akupun
suka dengan dia karena selain orangnya baik, dia juga tampan dan selalu
berpakaian rapi. Dengan perlahan akupun berkata pada pamanku, “Mang puntennya, Eneng
sudah ada calon di Bandung. Maaf ya, suratnya jangan diberikan ke Eneng. Salam
aja, terima kasih perhatiannya, gitu ya Mang.” Dengan berat hati aku menolak
untuk menerima suratnya. Memang awalnya Mang Tom bingung dan memintaku untuk
memikirkan keputusanku lagi, tetapi akhirnya dia mau melakukan permintaanku.
Aku tidak menyesal dengan keputusan aku itu dan ternyata
benar, Toni memang menyukaiku. Kamipun akhirnya berpacaran. Berbulan-bulan aku
menikmati masa pacaran yang menyenangkan dengan Toni. Namun, kami tidak seperti
pasangan lainnya. Jika biasanya orang berpacaran di malam minggu, Toni tidak
pernah datang pada malam minggu. Biasanya dia datang pada selasa malam karena
malam minggu dia ada kuliah.
Suatu saat, aku dan keluarga bibiku ada rencana untuk
menghadiri acara tujuh bulanan anak bibiku di Cirebon. Pamanku berkata padaku
supaya mengajak Toni untuk ikut, tetapi karena saat itu alat komunikasi sangat
terbatas, akupun tidak bisa menghubunginya. Kebetulan sekali Toni datang beberapa
hari kemudian. Aku menyampaikan berita itu padanya dan dia menyambut baik
ajakan tersebut. Kemudian aku memberitahu paman tentang kedatangan Toni.
Pamanku mengajaknya berbincang dan akupun masuk ke kamar
sambil mendengarkan percakapan mereka. Pamanku berkata jika dia butuh bantuan
untuk dicarikan kamera. Toni menyanggupi untuk menyediakan kamera yang
dibutuhkan. Saat berbincang tentang rencana keberangkatan, Toni berkata jika
sebaiknya dia dijemput saja di Sumedang. Pamanku kaget mendengar bahwa Toni
ternyata berasal dari Sumedang dan bertanya lebih lanjut tentang itu. Tonipun
menjelaskan bahwa orangtuanya berasal dari Sumedang dan memberitahukan lokasi
rumahnya. Saat mendengar lokasi rumahnya, jantungku berdetak kencang sekali.
Siapa dia sebenarnya? Jangan-jangan dia Otong. Itulah yang terbersit di
kepalaku.
Aku berusaha untuk mendengarkan pembicaraan Toni dan pamanku
dengan lebih seksama. Dari keterangan yang diberikan Toni, aku semakin yakin
bahwa dia adalah Otong. Aku pun langsung mengadu ke bibiku tentang Toni yang
ternyata adalah Otong yang dahulu pernah aku tolak suratnya. “Mih. Eneng malu,
kan Eneng udah nolak Otong”, kataku pada bibiku. “Loh malah kebeneran kalau
begitu. Eneng sudah mencintai Toni kan?,
bibiku bertanya padaku. “Ya iya”, jawabku perlahan. “Ya sudah jadian saja”,
kata bibiku dengan santainya.
Akupun menceritakan hal ini pada paman dan Toni yang
langsung mentertawaiku. Saat aku protes pada Toni dan bertanya mengapa ia tidak
pernah mengatakan bahwa dia bernama Otong, dia hanya berkata jika dia tidak
berbohong. Toni Atmaja adalah nama lengkapnya sedangkan Otong adalah nama
panggilan di keluarganya. “Enggak mungkinlah kalau aku nge-otongkan diri
sendiri”, begitu katanya. Aku merasa begitu malu dan tidak tahu harus bagaimana
menghadapi bibi dan pamanku di Sumedang yang menjodohkan aku. Namun, saat
mengetahui hal tersebut, seluruh keluarga justru bersyukur dan memintaku untuk
segera melanjutkan hubungan lebih dekat lagi.
Setelah kami berhubungan cukup lama, ayahku meminta
kepastian dariku. Saat itu aku sedang liburan kuliah semester 4. Ayahku
bertanya, “Neng, Eneng teh sudah serius sama Otong? Memang sudah yakin mau
memilih Otong sebagai suami?” Mendengar pertanyaan itu aku bingung harus
menjawab apa. “Ya barang kali,” kataku. “Kok barang kali? Emang belum mantep?”,
tanya ayahku. “Ya mantep sih udah pah, orangnya baik”, aku menjelaskan. Aku
menjadi semakin bingung dan juga salah tingkah.
Sesaat kemudian ayahku berkata dengan sangat hati-hati
padaku. “Tapi gini ya Neng, kalau kang Otong itu kan background keluarganya
petani kaya, pebisnis kaya. Biasanya orang yang pebisnis kaya mah suka
hati-hati banget sama materi dan yang dilihatnya adalah materi dan materi aja.
Sedangkan kita, Eneng mah kan anak papah, cuma anak pegawai negeri, gajinya
sedikit. Apa nanti Eneng bisa mengimbangi? Bisa sabar?” kata ayahku. Aku
kembali bingung mendengar perkataan ayah. “Ya gimana ya pah, kan udah janji”,
kataku pada ayah. “Ya papah mah cuma tanya aja supaya Eneng nanti kalau ada
apa-apa inget apa yang papah bilangin. Tapi papah mah nggak akan melarang dan
nggak akan menyuruh karena itu hak Eneng untuk menentukan masa depan Eneng sendiri”,
kata ayahku dan diapun melanjutkan memberikan nasehat-nasehat bijaknya.
Setelah pembicaraan kami, ayahku mengajak beberapa anggota
keluarga untuk membicarakan tentang hubungan aku dan Toni yang sudah sangat
dekat. Beliau khawatir jika kami tergoda untuk melakukan hal-hal terlarang. Kakekku
merasakan kekhawatiran yang sama dan memintaku untuk segera menikah dengan
maksud mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Beliau menjelaskan bahwa dalam
agama, tidak baik jika lelaki dan perempuan berhubungan terlalu lama tanpa
ikatan yang sah. Namun, aku menolak karena ingin menyelesaikan kuliah terlebih
dahulu.
Selain berbicara padaku, ayahku juga ingin berbicara dengan
Toni. Seminggu kemudian, Toni datang ke Tasik memenuhi permintaan ayah bersama
dengan pamannya. Diluar dugaanku, Toni justru sangat bersemangat untuk segera
menikah. “Wah saya mah sudah lebih dari mantap Om, dari dulu sejak pandangan
pertama”, itu yang dikatakan oleh Toni. Akhirnya setelah perbincangan yang cukup lama,
disepakati bahwa kami segera lamaran dahulu baru nanti dibicarakan pernikahan
setelah kami lulus.
Berita pertunanganku membuat banyak temanku terkejut karena
selama ini mereka sering sekali mengunjungiku di malam minggu dan tidak pernah
melihat aku berpacaran di malam minggu. Keterkejutan mereka juga dibarengi
dengan banyaknya lelaki yang patah hati karena ternyata, banyak teman laki-laki
dikampus yang memendam rasa padaku. Bahkan ada salah seorang sahabatku bernama Tanto yang
terlihat begitu sedih dan terpukul dengan pertunanganku. Aku tidak menyadari
sama sekali tentang perasaannya padaku karena selama ini dia hanya diam saja.
Tetapi hal itu tidak merubah apapun. Aku sudah membuat pilihan dan aku pun
bertunangan dengan Toni walaupun banyak yang merasa sakit hati.
Setahun setelah kami bertunangan, terjadi hal besar yang
menghancurkan hatiku dan seluruh anggota keluargaku. Ayahku yang sedang berada
di puncak karirnya, bahkan saat itu ayah sedang mendapatkan tawaran untuk
menjadi menteri muda, jatuh sakit. Ayahku mengidap penyakit liver akut dan
harus dirawat di rumah sakit di Tasik.
Saat aku sedang menunggu ayahku yang sakit, beliau tiba-tiba
berpesan padaku, “Eneng, Papah kan
sakit, Papah tuh sakitnya lama jadi Papah tidak bisa kerja. Sekarang pundak
Papah pindah ke pundak Eneng da Eneng anak yang paling besar. Jaga mamah sama
ade-ade, bantu mamah sama ade-ade. Bantu nyekolahkan ade-ade minimum sampe SMA
da nanti mah SMP teh nggak ada nilainya kalau bekerja”. Aku begitu terkejut
mendengar kata-kata yang diucapkan ayah dan sangat kebingungan. “Loh papah tuh
emang mau kemana? Kok udah pesen-pesen kayak gitu?”, tanyaku pada ayah. “Kan
papah kata dokter lama sakitnya”, ayahku menjawab dengan lembut. Otakku seperti
membeku dan hatiku kacau mendengarnya. Tapi aku tidak ingin mengecewakan ayah. “Ya
insyaallah Pah,” aku berjanji pada ayah. Ternyata itu adalah pesan terakhir
ayah. Beberapa hari kemudian ayahku menghembuskan nafas terakhirnya,
meninggalkan kami sekeluarga yang begitu terpukul dengan kematian beliau.
Sebagai seorang
muslim, aku tahu bahwa kematian adalah ketetapan Tuhan yang tidak bisa ditawar.
Aku berusaha keras menerima kenyataan ini. Namun, keluarga kami tidaklah siap
untuk menerima perubahan keadaan yang sangat drastis ini. Ibuku adalah ibu
rumah tangga biasa yang sangat tergantung dengan suami sehingga meninggalnya ayah membuat dia shock berat, bahkan ibu sempat
mengalami stroke ringan. Aku
sendiri masih duduk dibangku kuliah saat itu dengan minim pengalaman untuk bisa
bertahan hidup tanpa ayah yang selama ini begitu mencintai dan memanjakan aku. Adik-adikku yang lain juga masih
belum ada yang mandiri, bahkan yang terkecil masih bayi.
Beberapa minggu setelah ayah meninggal, ibu dan adik-adikku
pindah ke Bandung. Mereka dipinjami rumah oleh keluarga Toni agar adik-adikku
bisa bersekolah di Bandung. Kebetulan rumah di Gatot Subroto itu memang kosong
sehingga tidak masalah jika keluargaku tinggal di sana. Keluarga Toni, terutama
ayah dan kakek neneknya memang begitu menyayangi aku dan keluargaku sehingga tidak
heran jika mereka sangat bersimpati dengan musibah yang kami alami dan berusaha
untuk membantu sebisa mereka. Untuk harta peninggalan ayahku, pengelolaannya
diserahkan pada Mang Eka, saudara jauh yang juga merupakan anak angkat ayah.
Hal itu diputuskan karena wasiat ayah dan mempertimbangkan bahwa adikku yang
laki-laki masih kecil sehingga belum mampu mengelola harta warisan.
Ibuku yang merasakan beratnya menjadi orang tua tunggal, meminta aku untuk segera menikah dengan
harapan bahwa suami aku nanti bisa menjadi pengganti ayah bagi aku dan
adik-adik aku. Kakek dan nenekku juga setuju karena bagi mereka tidak
baik jika bertunangan terlalu lama. Awalnya aku kurang setuju dengan hal
tersebut karena aku masih belum terpikir untuk menikah. Namun, saat ibuku
membicarakan hal tersebut pada Toni, dia justru setuju karena sebenarnya ia
sudah ingin menikah sejak dulu. Akhirnya, kami pun menikah di Bandung.
Setelah menikah, aku dan Toni tinggal di kontrakan dia, sedangkan
keluargaku tetap tinggal di Gatot Subroto. Dikontrakan itu aku bersebelahan
dengan Emi, adik Toni yang juga sudah menikah. Awal pernikahan begitu
menyenangkan untukku karena aku sangat bahagia bisa hidup dengan lelaki yang
mencintai dan memanjakan aku. Kami berdua sangatlah mesra dan saling
memperhatikan. Hubunganku dengan keluarga Emi juga sangat baik. Kami sering
berbagi makanan dan berbincang tentang berbagai hal.
Memang ada beberapa ganjalan yang aku rasakan setelah
menikah. Pertama adalah aku diminta untuk tidak kuliah dahulu sampai Toni
lulus. Agar bergantian, begitulah alasan yang diberikan keluarganya. Aku memang
kecewa dengan hal itu, tetapi aku berusaha untuk menerimanya dengan lapang
dada. Ganjalan kedua adalah ketidakbebasan ekonomi. Saat itu Toni masih kuliah
dan hanya mendapatkan honor dari mengajar di SMA yang jumlahnya sedikit. Untuk
kebutuhan sehari-hari, kami masih bergantung pada keluarga Toni yang masih
memberikan biaya rutin setiap bulannya. Oleh karena itulah kami tidak leluasa
untuk berbelanja dan harus pintar berhemat agar tidak membebani keluarga Toni. Untungnya
hal ini bukan masalah besar karena aku sudah dibiasakan untuk hidup sederhana
sejak kecil. Yang ketiga adalah sifat Toni yang ternyata cukup keras. Dia mudah
marah jika tersinggung atau jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginannya. Untungnya dia tidak pernah bermain fisik. Tidak pernah sekalipun
dia memukulku. Karena aku begitu mencintainya, hal itupun tidak menjadi masalah
besar.
Beberapa bulan setelah menikah, terjadi kejadian yang tidak
aku sangka. Saat itu aku dan Toni sedang santai duduk di ruang makan. Tiba-tiba
Emi adik Toni menarik rambutku dan terus menyerangku dengan pisau besar. Saat
itu Toni berhasil menenangkan Emi sehingga akupun selamat. Namun, pada hari-hari
selanjutnya, Emi kembali berusaha menyerang aku. Ternyata saat itu Emi sedang
hamil dan mungkin kehamilannya mempengaruhi kondisi psikologisnya. Karena aku
takut, akhirnya aku meminta Toni untuk pindah dan kamipun mengontrak rumah di
dekat paman suami Emi. Aku menceritakan hal tersebut pada paman itu dan meminta
agar paman tidak menceritakan keberadaan aku pada Emi.
Disaat aku masih mengontrak untuk menghindari Emi, Ibuku
memutuskan untuk menjual rumah di Tasik. Setelah rumah terjual, uang penjualannya
dikelola oleh Mang Eka untuk kebutuhan keluarga kami. Setelah mendapatkan uang
penjualan rumah, Mang Eka meminta ibu dan adik-adikku untuk pindah ke Sumedang.
Akhirnya ibu dan adik-adikku pun meninggalkan rumah keluarga Toni dan pindah ke
Sumedang, tanah kelahiran Ibuku. Karena rumah di Gatot Subroto telah kosong,
aku dan Toni akhirnya pindah ke rumah besar itu. Karena aku telah tinggal
dirumah besar, diputuskan bahwa dua orang adikku, Bunga dan Juna, tinggal
bersamaku agar beban ibuku bisa sedikit berkurang.
Selang berapa lama, Emi pun melahirkan. Karena kontrakan
mereka habis dan kondisi di kontrakan tidak terlalu nyaman untuk keluarga
dengan bayi kecil, keluarga Toni menyarankan agar Emi pindah ke pavilyun yang tidak
terpakai di rumah Gatot Subroto yang aku tempati. Aku sebenarnya masih kuatir
dan takut, tetapi keluarga Toni meyakinkan aku bahwa Emi telah berubah dan
tidak akan menyerang aku seperti dahulu. Aku tidak bisa menolak dan akhirnya
Emi pindah ke pavilyun itu.
Dengan adanya keluarga Emi di rumah, ayah dan ibu Toni
semakin sering datang berkunjung. Pada suatu hari, sekitar tiga tahun setelah
kami menikah, aku dengan tidak sengaja mendengarkan percakapan antara Toni dan
ibunya yang sedang berada di pavilyun Emi. Rumah kami adalah rumah setengah
tembok dan bagian atasnya terbuat dari bilik atau anyaman bambu sehingga suara
mudah terdengar antar ruangan. Dalam percakapan itu, terdengar jelas bahwa Ibu
Toni tidak suka dengan aku dan keluargaku. “Tong kamu itu belum apa-apa sudah
disuruh ngurus adi-adi. Kamu mau bagaimana hidup? Mau bagaimana bisa senang
kamu mah? Belum apa-apa udah direcokin. Sekarang gini, kalau ngasih belanja ke si
Eneng dijatah setiap hari. Jangan dikasih semuanya kalau punya duit. Sekarang mah
dikasih tiap hari 50 perak”, ibunya berkata pada Toni. “Iyalah nanti gampang,
Mimih kok begitu banget? Da dia mah sama adi-adi ada yang ngurusnya, kan ada
pamannya yang suka ngasih untuk dana sekolah”, Toni menjawab ibunya. “Ah,
setidak-tidaknya ikut makan di tempat kita”, ibunya menimpali.
Aku begitu sakit hati mendengar kata-kata ibunya. Memang
adik-adikku ikut bersamaku, tetapi kami tidak seratus persen bergantung pada
Toni karena kami masih mendapat biaya dari Mang Eka. Walaupun sedikit, tetapi
uang tersebut sangatlah membantu kami. Lagipula, aku bukannya tidak mau
membantu ekonomi keluarga. Aku mau bekerja, tetapi Toni melarangku. Dia bilang
dia sanggup menghidupi keluarga sehingga aku tidak perlu bekerja.
Sakit hati yang aku rasakan hanya bisa aku pendam dalam
hati. Aku tidak berani bercerita pada ibuku karena aku takut hal tersebut akan
menjadi beban dan membuat ibu stress. Aku juga tidak bisa bercerita pada teman
karena setelah menikah, Toni tidak mengijinkan aku untuk pergi jauh dari rumah.
Aku diharuskan untuk tinggal dan mengurus rumah saja. Aku seperti burung di sangkar
emas.
Setelah perbincangan dengan ibunya, Toni ternyata mengikuti
kata-kata ibunya itu. Setiap hari, dia hanya memberiku uang 50 rupiah. Saat
itu, harga daging satu ons adalah 40 rupiah sehingga uang 50 rupiah tidaklah
mencukupi untuk kebutuhan kami. Karena uang yang sangat sedikit, aku harus
memutar otak untuk belanja. Aku tidak pernah membeli daging karena terlalu
mahal. Lauk yang paling mahal adalah ikan mujaer. Itupun aku hanya bisa membeli
dua ekor karena aku masih harus membeli sayuran dan bahan lain. Karena tidak
bisa membeli lauk yang banyak, ikan yang aku beli itu hanya untuk makan Toni
saja. Untuk aku dan adik-adikku, aku hanya memasak sayur dengan lauk tahu atau
tempe saja.
Suatu saat, minyak tanah untuk kompor hampir habis sedangkan
Toni sudah pergi dan seperti biasa, hanya meninggalkan 50 rupiah. Aku bingung harus
bagaimana. Jika aku membeli minyak tanah, maka aku tidak akan bisa belanja.
Jika aku belanja, maka tidak akan ada minyak tanah untuk memasak. Aku memeriksa
kembali kompor dan melihat bahwa minyak tanah yang tersisa masih cukup untuk
memasak nasi. Akhirnya aku memutuskan untuk memasak nasi dan menggoreng ikan
asin. Uang belanja yang diberikan Toni aku biarkan begitu saja di meja.
Saat Toni datang, ternyata dia datang bersama sahabatnya,
Kang Hari namanya. Begitu melihat tidak ada makanan, dia langsung emosi. Aku
berusaha menjelaskan apa yang terjadi tetapi Toni sudah terlanjur marah. “Jadi
harus makan duit ini teh?” katanya dengan marah. Dengan perasaan campur aduk
aku menjelaskan hal yang terjadi sambil menangis. Baru kali itu aku menangis
karena masalah uang.
Kebetulan saat itu ada Kang Hari yang mendengarkan dan
akupun mengadu padanya. “Jadi begini nih Kang Hari, Eneng tuh tiap hari cuma
dikasih 50 perak buat belanja. Padahal kan kalau belanja tuh buat apa-apa,
untuk sayurnya, untuk apanya. Eneng tuh bingung harus gimana belanjanya”,
kataku pada Kang Hari. “Tong, kamu tuh kebangetan. Masa sama istri begitu?”,
Kang Hari membelaku. Mereka pun berdebat cukup lama. Namun, apapun yang
dikatakan Kang Hari tidak masuk ke otak Toni. Dia justru semakin marah padaku. Karena
kasihan padaku, diam-diam Kang Hari memberiku uang sebanyak 200 rupiah untuk
membantuku mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Aku bahagia mendapatkan uang dari Kang Hari karena belanjaku
menjadi lebih longgar. Namun, uang yang diberikan oleh Kang Hari hanya bisa
membantu selama beberapa hari saja. Setelah uangnya habis, aku kembali bingung
mengatur uang belanja. Hatiku terasa begitu sakit melihat adik-adikku yang
tidak bisa makan dengan layak. Akupun memutar otak untuk bisa menghasilkan
uang. Aku tidak berani untuk bekerja karena aku selalu diajarkan untuk tidak
pernah melawan suami. Namun, bagaimanapun juga aku harus mendapatkan uang.
Karena didekat rumahku saat itu ada toko kelontong, aku mendapat ide menitipkan
makanan untuk dijual. Aku berbicara pada pemiliknya dan bertanya apakah aku
boleh menitipkan jualan disana. Alhamdulillah, pemilik toko itu memperbolehkan
permintaanku.
Karena dirumahku tidak banyak perabot untuk memasak, aku
memutuskan untuk membuat dodol tape. Untuk modalnya, aku menjual beberapa baju
yang aku punya. Aku berjualan dengan sembunyi-sembunyi karena tidak ingin Toni
mengetahui hal tersebut. Setelah Toni pergi barulah aku memasak dodol. Agar
tidak ketahuan, dodol yang sudah jadi aku sembunyikan dibawah tempat tidur yang
terletak di kamar yang tidak digunakan.
Dengan berjualan dodol tape, aku jadi memiliki uang lebih
untuk adik-adikku. Gembira sekali aku karena sudah bisa membelikan telur untuk
makan dan juga jajanan lain seperti es cendol untuk adik-adikku. Tentunya, aku
hanya memasak telur dan jajan disaat Toni tidak dirumah supaya dia tidak
curiga. Aku juga berpesan pada adik-adikku untuk tidak bercerita pada Toni agar
kami tidak kena marah.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari,
Toni sedang membetulkan sesuatu dan kehilangan obeng. Dia berusaha mencari
obeng tersebut dan celakanya, dia mencari di kamar kosong tempat aku menyembunyikan
dodol tape yang aku buat. Dia pun menemukan dodol yang kubuat. “Dari mana
ini?”, Toni berteriak. Aku kaget tapi segera membuat alasan. “Tadi ada uang
sisa dibeliin tape. Ah mau bikin dodol, kok kepengen bikin dodol. Kayaknya enak
buat dodol tape, Kang Otong juga suka kan dodol tape?”, aku berbohong padanya.
“Kok banyak-banyak teuing? Nggak kira-kira”, Toni tidak percaya dengan ceritaku.
Kemudian Toni melanjutkan marahnya. “Nah gini kayaknya nih, duit belanja tidak
cukup tuh. Kayak gini nih, dibuat gini-ginian”, kata Toni penuh amarah. Disaat
aku berusaha untuk mencari jawaban terbaik, datanglah adik laki-lakiku Juna dan
langsung berkata, “Bukan, bukan ngeboros-boros belanja. Ceuceu mah buat mencari
uang”. Terang saja Toni semakin marah mendengar kata-kata Juna. “Cari uang
gimana?” tanya Toni. “Kan Ceuceu jualan dodol tape dititipkan di Cici”, jawab Juna
polos. Toni langsung murka mendengar itu. Diinjak-injaknya dodol tape yang
kubuat. “Kamu tuh bikin malu, nanti dikirain tidak dikasih makan sama aku. Kamu
tuh bikin malu. Awas kalau bikin-bikin lagi”, Toni mengancamku.
Kejadian itu begitu menyakitkan buatku. Dengan kejadian itu,
aku meminta adik-adikku untuk kos ditempat lain. Aku sendiri menjadi sering
melamun dan bertanya mengapa aku bisa menjadi seperti ini. Aku tidak boleh
sekolah, aku tidak boleh bekerja, dan aku juga tidak diberi keleluasaan untuk
mengurus adik-adikku, padahal aku sudah berjanji pada ayah untuk mengurus
mereka. Aku bingung dengan keadaanku yang sulit padahal suamiku berasal dari
keluarga kaya.
Hati yang hancur juga mempengaruhi kondisi fisikku. Jika sedang
mengepel, aku bisa tiba-tiba jatuh pingsan. Jika adikku ada dirumah dan dia
melihat aku pingsan, dengan segera dia meminta bantuan pada tetangga. Saat
memasak di dapur, aku juga sering jauh pingsan. Jika terdengar suara berisik
dari dapurku, tetangga dekatku yang mendengar langsung tahu jika itu pasti aku
yang jatuh pingsan. Dengan segera, nenek yang berjualan sayur itu akan datang
dan membantu menyadarkanku.
Keadaan itu terjadi selama beberapa bulan lamanya. Aku tidak
berani untuk bercerita pada Toni karena takut dia tidak percaya dan semakin
marah padaku. Karena kuatir, akupun diam-diam memeriksakan diri ke klinik di
kampus. Oleh dokter, aku diberi tahu bahwa aku mengidap gangguan klep jantung dan
harus dioperasi. Namun aku tidak memiliki biaya waktu itu dan dokter
menyarankan aku untuk menjaga diri baik-baik. Aku tidak boleh terlalu tertekan
perasaan. Aku tidak boleh terlalu gembira maupun sedih. Dokter juga memberikan daftar makanan dan minuman
yang tidak boleh aku konsumsi dalam jumlah yang banyak. Aku mengikuti saran
dokter dan banyak minum air putih supaya sehat. Aku menguatkan diri agar tidak
merepotkan orang lain.
Setelah kondisiku beranjak baik, kami mendapatkan berita
baik. Orang tua Toni membelikan kami motor. Kamipun gembira karena tentunya
akan menjadi lebih mudah bagi kami untuk berpergian. Namun kebahagiaan itu juga
tidak bertahan lama. Saat adik perempuanku yang bernama Bunga sedang belajar
bersama dirumah temannya, ayah teman adikku menghubungiku dan memberitahukan
bahwa Bunga jatuh sakit. Bunga telah dibawa ke dokter dan diketahui bahwa dia
mengidap usus buntu. Aku segera datang
ke rumah sakit dan dokter berkata bahwa adikku harus segera dioperasi karena kondisinya
sudah sangat parah. Dokter membutuhkan surat kuasa untuk operasi tetapi dokter
mengatakan bahwa tidak mungkin jika harus menunggu ibuku datang dari Sumedang.
Akhirnya aku menandatangani surat kuasa untuk operasi.
Setelah mengurus operasi adikku, aku segera pergi ke Sumedang
untuk memberitahu ibuku dan meminjam uang pada tetangga untuk kebutuhan
mengurus Bunga yang sakit. Ibuku dan adik laki-lakiku yang bernama Ali pun
pergi ke Bandung untuk membantu mengurus Bunga. Tetapi malang tidak bisa
ditolak. Ali yang ikut bersama ibuku jatuh sakit. Menurut dokter, itu adalah
gejala tifus. Beberapa hari kemudian, Bunga sudah diperbolehkan pulang sehingga
pekerjaan rumah menjadi lebih banyak karena aku dan ibuku harus mengurus dua
orang yang sedang sakit.
Disaat aku harus mengurus dua orang adik yang sakit, Emi dan
adik lelaki Toni yang bernama Jaka datang ke rumah. Orang tua Toni juga datang
berkunjung. Ibu Toni bercerita padaku bahwa Emi dan Jaka juga sudah membeli
motor baru. Aku ikut gembira dengan mereka. Tidak ada pikiran buruk di kepalaku
mengenai hal itu.
Saat sore hari, Toni datang dan berkata bahwa ia dan
adik-adiknya berencana ingin pawai ke Subang dengan motor untuk mengunjungi
paman mereka. Aku menjadi bingung dan bertanya mengapa Toni harus pergi
sekarang padahal aku harus mengurus dua orang adik yang sedang sakit. “Kan ada
mamah”, kata Toni. Aku semakin bingung karena tidak mungkin bagiku meninggalkan
ibu yang pasti akan sangat kerepotan untuk mengurus dua orang anak yang sedang
sakit tanpa aku. “Kan ada mimih sama apah juga”, Toni menambahkan. Tapi aku
tetap bertahan karena aku tahu hubungan ibuku dengan besan tidak terlalu dekat
sehingga ibu pasti merasa canggung. Akhirnya, Toni membiarkan aku untuk tetap
tinggal dirumah dengan emosi yang masih sangat terlihat di wajahnya. Bahkan
Toni pergi begitu saja disaat aku masih sholat asar sehingga aku tidak
mengantarkannya.
Baru saja Toni pergi, tiba-tiba ibu mertuaku datang dan
mengajakku bicara di ruang tamu. “Neng, ini makanya yang mimih buktikan
sekarang begini, Eneng tuh sama Otong tidak repok. Tidak bagus jodoh Eneng tuh
sama Otong. Nyatanya sudah berapa tahun ini tidak punya anak. Kalau perempuan
tidak punya anak itu tidak bawa rejeki. Terus keduanya, Eneng sama Otong tuh
tidak seirama. Sekarang diajak enak-enak, diajak gumbira-gumbira maen kesana pake
motor sama ade-ade, tidak mau. Apa itu seiya sekata? Kalau menurut mimih mah Otong
sama Eneng harus cerai”, ibu mertuaku berbicara dengan nada keras.
Aku yang mendengar ucapan ibu mertuaku sontak kaget.
“Astagfirullah”, kataku. Disaat aku begitu terkejut, aku menyadari bahwa aku
tidak boleh terbawa emosi. Akupun berusaha untuk menjawab ibu mertuaku dengan
lebih bijak. “Yang pertama mimih, ini
saya belum mempunyai anak, tapi kan anak itu pemberian Allah. Saya mah tidak
bisa ngapa-ngapain. Meskipun saya terus mencoba, yang menimbulkan kejadian itu
Allah. Kersaning Allah anak mah. Sekarang saya belum dapet ya kersaning Allah
belum dapet”, kataku sambil berusaha untuk menahan emosi dalam dada. “Ah
pokoknya itu mah tidak bagus jodohnya”, Ibu mertuaku menimpali. “Ya terserah
mimih kalau begitu”, kataku.
Aku meneruskan pembicaraanku. “Yang kedua, saya tidak ikut
pergi. Kan mimih lihat sendiri ada ibu saya, besannya mimih. Ada adik saya juga
yang sedang sakit. Apa saya tega meninggalkan?” kataku. “Ah, da itu mah sudah
baik. Tinggal dirumah saja. Kan ditinggalnya cuma sehari. Besok udah pulang”,
Ibu mertuaku tidak mau mengerti. “Ya gimana ya mih. Kalau mamah ada apa-apa,
kalau Bunga ada apa-apa kan mamah nanti bingung. Mimih juga mungkin bingung
kalau ada apa-apa nanti”, aku berusaha keras untuk membuat ibu mertuaku
mengerti. Tapi masih saja ibu mertuaku berbicara keras. “Ah itu mah dibuat-buat
saja”, katanya.
Aku menarik nafas dan kembali berbicara. “Nah yang
ketiganya, Mimih bilang jodoh saya tidak baik sama Kang Otong. Saya disuruh
cerai sama Mimih. Subhanallah Mih. Kalau yang saya dengar. Kalau anak-anak yang
sudah berumah tangga bertengkar mau bercerai, biasanya orang tuanya itu
mengingatkan dan menasehati. Jangan begitu larinya. Itu dosa, tidak boleh sama gusti Allah. Kamu
harus belajar memperbaiki dan rukun. Itu seingat saya dan sepengetahuan saya,
orang tua biasanya begitu. Tapi kok Mimih mah malah saya yang sama Kang Otong tidak
pernah bertengkar, tidak pernah apa-apa, baik-baik saja, kok malah disuruh
cerai? Saya tidak mengerti dengan pemikiran Mimih”, kataku.
Aku tidak percaya jika ibu mertuaku sendiri meminta aku
untuk bercerai. Tapi aku berusaha untuk tegar dan melanjutkan, “Tapi Mih,
terlepas dari itu, saya mah perempuan. Saya ada disini menjadi istri Kang Otong
karena Kang Otong mencintai saya dan mau menikahi saya. Tapi kalau Kang Otong sudah
tidak mau bersama-sama saya, tidak mau berumah-tangga dengan saya, sudah tidak
mencintai saya lagi, Lillahita’ala, saya dicerai juga nggak apa-apa. Saya
pulang. Saya juga masih punya orang tua.” Aku tidak tahu dari mana datangnya
kekuatan itu dan mengapa aku bisa berbicara seperti itu, tetapi aku bersyukur
pada Tuhan karena sanggup menghadapi ibu mertuaku dengan tegar. “Ya terserah.
Pokoknya Mimih mah maunya begitu saja”, ibu mertuaku menimpali dan langsung
pergi kembali ke pavilyun Emi.
Tubuhku langsung terasa lemas dan tulang-tulang sepertinya
hilang dari tubuhku sesaat setelah ibu mertuaku pergi. Aku langsung menemui
ibuku yang ternyata sedang menangis bersama dengan adik-adikku. Ibuku merasa
bersalah karena merasa dirinya yang telah menyusahkan aku sehingga hidupku
menjadi seperti ini. Aku tidak ingin ibuku bersedih dan hanya bisa meminta maaf
sambil menangis tersedu. Adikku Ali bereaksi lain. Dia marah-marah mendengar
perkataan ibu mertuaku. Namun, aku tidak mau jika adikku berlaku tidak baik.
Akupun berusaha menenangkannya. Jadilah kami bertiga bertangis-tangisan.
Disaat keadaanku sedang begitu hancur, tiba-tiba setelah
waktu isya, datang polisi ke rumah. Polisi itu memberitahukan bahwa Toni dan
adik-adiknya mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit di Cimahi. Mendengar
berita itu, ibu mertuaku semakin menyalahkan aku sebagai pembawa sial. “Tah da
eta tah doa ti pamajikan nana teu baleg. Si Otong teh cilaka”, ibu mertuaku
berteriak keras. “Tah Eneng, kamu mah memang begitu. Kamu mah tidak mendukung
suami apa-apa juga. Kamu mah mendoakannya jelek sama suami”, beliau menambahkan
sambil tetap berteriak marah. Aku menjadi gemetar dan berusaha keras untuk
membela diri, tetapi tidak berhasil.
Karena keadaan sangat mendesak, aku tidak ingin lebih lama
lagi bertengkar dengan ibu mertuaku. Dengan segera aku membereskan barang dan
pergi untuk menjenguk Toni. Sampai di rumah sakit, aku melihat keadaan Toni dan
adik-adiknya yang terluka cukup parah. Aku menginap di rumah sakit selama lima
hari tanpa pulang untuk mengurusi Toni. Hanya ayah mertuaku saja yang sering
bolak-balik untuk menjenguk karena ibu mertuaku harus mengurus anak Emi dan
ibuku harus mengurus adik-adikku.
Pada hari keenam Toni dirawat dirumah sakit, aku pulang ke
rumah untuk mengambil beberapa barang. Saat itu kondisi Toni sudah membaik dan
menurut dokter beberapa hari lagi Toni sudah boleh pulang. Sesampainya aku di
rumah, aku dikagetkan lagi oleh kedatangan saudara dari Sumedang. Saudaraku
memberitahukan bahwa nenekku dari ayah sakit dan meminta aku untuk menemui
nenekku. Aku tidak mungkin menolak permintaan itu karena aku berhutang budi
banyak sekali pada nenekku. Semasa kecil aku pernah tinggal bersama nenek dan
kakekku selama beberapa tahun. Selama bersama mereka, aku selalu disayang dan
dimanjakan.
Karena nenekku sakit, aku akhirnya meminta ibuku untuk
pindah ke kos Bunga untuk sementara karena kondisi di rumah juga tidak nyaman.
Setelah mengantarkan ibu dan adik-adikku, aku kembali ke rumah sakit untuk
meminta ijin pada Toni agar aku bisa mengurus nenekku yang sedang sakit. Toni
memberikan ijinnya.
Sebelum pergi, aku pamit pada mertuaku. Saat pamit dengan
ayah mertuaku, aku sempat berbicara padanya tentang pembicaraan aku dan ibu
mertuaku. Aku mohon pada ayah mertuaku untuk tidak membahas masalah itu dengan
Toni karena dia masih sakit dan aku masih punya kewajiban untuk merawatnya. Ayah
mertuaku setuju dan meminta aku untuk tenang.
Sesampainya di Sumedang, aku menemui nenekku yang sedang
sakit. Beliau meminta aku untuk membawanya ke rumah sakit. Aku memenuhi
permintaannya. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata nenekku harus opname.
Setelah itu, aku kembali ke Bandung untuk memberitahukan keadaan nenek pada
ibuku. Karena keadaan itu, diputuskan untuk membawa adik-adikku ke Sumedang
agar bisa dirawat oleh nenekku dari pihak ibu. Setelah nenek dirawat beberapa
hari di Sumedang, dokter berkata bahwa mereka sudah tidak sanggup merawat nenek
sehingga harus dirawat di rumah sakit di Bandung. Aku akhirnya membawa nenek ke
Bandung. Setelah selesai mengurus kepindahan nenek di rumah sakit Bandung, aku
langsung ke Cimahi untuk menjenguk Toni, menceritakan kondisi nenek, dan juga
meminta ijin darinya untuk mengurus nenek.
Keesokan harinya, nenekku sudah selesai diobservasi oleh
dokter. Menurut hasil pemeriksaan, diketahui bahwa nenekku mengidap kanker
hati. Karena keadaan nenek yang sudah renta, dokter mengatakan bahwa kesempatan
untuk sembuh sangat kecil. Dokter menyarankan agar nenek dibawa pulang saja
supaya bisa lebih merasa nyaman. Akupun membawa nenek kembali ke Sumedang
ditemani oleh adik sepupuku. Hanya beberapa menit setelah sampai di rumah,
nenek menghembuskan nafas yang terakhir. Aku sempat pingsan saat mengetahui
meninggalnya nenek. Setelah sadar, aku berusaha untuk bisa tegar.
Siang harinya, keluarga Toni datang untuk melayat. Ternyata
Toni sudah keluar dari rumah sakit tetapi belum bisa datang karena masih lelah.
Keluarganya berkata bahwa mungkin esok hari Toni bisa datang melayat. Aku pun
meminta maaf karena tidak bisa merawat Toni selama ini. Aku menjelaskan bahwa
hanya aku satu-satunya cucu yang bisa mengurus nenekku saat ini. Aku lebih
mementingkan nenek karena aku tahu bahwa keadaan Toni sudah membaik.
Keesokan harinya Toni datang. Setelah berberapa lama
berbincang ringan, dia berbicara serius denganku. Dia menceritakan kondisinya
yang masih tidak sehat sehingga masih sangat bergantung dengan orang tuanya
untuk beberapa waktu. Dia juga menceritakan permintaan ibunya untuk berpisah
dengan aku. “Nggak ngerti Akang, kok bisa begitu, memang ada apa?” dia bertanya
padaku. “Justru Eneng tidak mengerti ada apa, tanya aja sama Mimih”, itu
jawabku. “Sekarang mah kewajiban Eneng untuk ngerawat Kang Otong. Insyaallah
setelah tujuh hari, Eneng pulang buat ngurus Akang. Urusan Akang tidak kerja
mah tidak apa-apa, biar nanti giliran Eneng yang kerja”, aku menambahkan untuk
meyakinkan bahwa aku masih mau menjadi istri yang baik. “Tapi Eneng minta ijin
ya Kang untuk disini dulu sampai tujuh hari”, kataku untuk mendapatkan ijin
dari suami karena saat itu tidak ada lagi orang yang bisa mengurus tahlilan
nenek selain aku. Toni pun mengijinkan aku untuk mengurus tahlilan sampai tujuh
hari.
Saat hari ketujuh meninggalnya nenek, ibuku memutuskan untuk
pergi ke rumah ibunya untuk mempersiapkan kebutuhan acara 40 hari nenek. Akupun
hanya sendirian dan membereskan rumah nenek. Selang berapa lama, Toni datang.
Aku menyambutnya dengan gembira. Kami berbincang dan aku mengajaknya untuk
makan siang bersama. Makan siang kami lalui dengan senang. Setelah membereskan
sisa makan, aku duduk beristirahat dan kami mengobrol. Aku meminta maaf pada
Toni karena tidak bisa mengurusnya selama ini. Aku menjelaskan bahwa disini
tidak ada yang bisa mengurus masalah keuangan untuk tahlilan selain aku. “Iya
ngerti”, kata Toni.
Tak berapa lama, Toni berkata bahwa dia tidak bisa menginap.
“Akang tuh ke sini mau ada yang diomongin sama Eneng”, katanya. “Mau bicara
apa? Ya sudah bicara saja. Kang Otong mau apa, mau dibuatkan apa?” kataku. “Eneng
juga mau pulang kok besok ke Bandung, mau ngurusin Kang Otong”, aku
menambahkan. “Ah nggak usahlah, nggak usah ke Bandung”, katanya. Aku tidak
mengerti apa yang dia maksudkan. “Kenapa?” tanyaku. “Ya.. Akang kan mau ngasih
ini”, kata Toni sambil mengeluarkan surat dari tas dan memberikannya padaku.
Aku membuka surat yang diberikannya dan membaca isinya.
Betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa itu adalah surat talaknya untukku.
Aku serasa disambar petir. Dunia sepertinya runtuh menimpa tubuhku. Selama
beberapa saat, aku tidak bisa memikirkan apapun. Namun, aku kemudian beristigfar.
“Astagfirullah hal adzim”, ucapku berkali-kali. Aku berusaha untuk menenangkan
pikiran dan hati agar aku bisa mencari cara terbaik untuk menghadapi masalah
besar ini.
“Kok ini surat talak Kang? Memang benar Akang mau bercerai
sama Eneng? Nggak nyesel? Nggak inget dulu kita berusaha memperjuangkan
hubungan seperti apa?” tanyaku. “Ya gimana? Da Akang harus nurut sama orang
tua. Soalnya Akang kan sekarang sedang tergantung sama orang tua lagi. Akang
tidak bisa kerja, tidak bisa ini itu”, jawabnya. “Lho itukan bukan masalah,
karena orang tua sudah bertanggung jawab menikahkan kita, nggak papa kalau bantu
anaknya yang lagi susah. Lagipula Eneng bisa mengatasi kok, Eneng bisa kerja”,
aku berusaha merubah pemikirannya dan meyakinkan bahwa kami masih bisa bertahan.
“Ah nggak ah, nggak usah, nggak usah”, katanya.
Setelah menguatkan hati dan berpikir dengan logika, akupun
akhirnya menerima perceraian ini. Aku berterimakasih pada Toni karena telah
memberikan surat talak padaku sehingga tidak menambah dosa jika pernikahan ini
dilanjutkan dengan keterpaksaan. Aku meminta maaf apabila selama menjadi
istrinya, aku banyak kesalahan dan tidak bisa menjadi istri yang baik menurut
Toni. Semoga pengabdianku padanya tidak jadi hilang nilainya di mata Allah.
_____________________________________________________________________