Rabu, 23 September 2015

Kenapa Kamu? - Bab 2



BAB 2




“De. Tuh bank telfon lagi”. Bu Dahlia, mendekati Lily yang sedang menonton TV.

“Terus?” Lily menengok ke arah ibunya.

“Ya nggak Ibu angkat. Ade pasti nggak mau jawab kan?” Bu Dahlia menjawab.

“Ya abis gimana lagi? Kartu kredit tuh klo kita nggak ada uang nggak bisa diselesain. Nah uang kita cuma cukup buat makan, mana ada buat kartu kredit.”  Lily memegang kepalanya yang mulai sakit lagi saat mendengar telfon tagihan itu.

“Terus gimana dong?” Bu Dahlia kembali bertanya.

“Nggak tau. Sekarang Ade udah nyadar. Emang kartu rentenir tuh. Klo ga bayar, bunga sama dendanya ampun-ampunan. Sekarang udah jadi dua belas juta lo Bu, dari Sembilan juta.”

“Apa kita jadi jual rumah aja ya De, trus pindah ke tempat Nenek?” Bu Dahlia memberi saran.

“Iya yah… biar beres semua, termasuk yang di pegadaian sama BPR.” Lily mengiyakan saran ibunya.

“Iya, lagian Ibu juga pengen ngurus Nenek.”

Lily melihat kearah ibunya sambil berpikir. “Tapi kayaknya kita nggak bisa tinggal di tempat Nenek deh. Mendingan di Bandung, aksesnya lebih banyak.”

“Ya udah. Kita tinggal di tempat Bi Mawar aja, kayak rencana yang dulu. Kalau Ibu tinggal di rumah Bi Mawar, Nenek juga mau kok pindah ke sana, jadi Ibu masih bisa ngurus Nenek.”

Melihat ibunya yang begitu bersemangat, hati Lily menjadi sakit. Dia tidak percaya jika harus 
meninggalkan Jogja, kota kelahiran yang begitu dicintainya. Dulu Lily pernah kerja di Jakarta dan dia menyadari bahwa baginya, tidak ada tempat yang lebih nyaman dari kota gudeg.

“Tapi kita juga harus ngomong sama anak-anaknya Bi Mawar dulu. Walaupun mereka udah punya rumah sendiri-sendiri, kan lebih enak kalau kita minta ijin dulu buat tinggal di rumah mamahnya.”
 Kata-kata Bu Dahlia memecahkan lamunan Lily.

“Ehh? Iya.” Lily mengangguk.

“Sebenarnya sih De Kayla udah setuju kalau kita tinggal sama Bi Mawar. Malah seneng banget dia karena kasian mamahnya sendirian di rumah sebesar itu. Berarti tinggal ngomong sama De Agi aja.” Bu Dahlia menambahkan.

“Terserah aja deh. Ade mah ikut aja.” Lily menjawab dengan lemah.

“Ya, tapi juga nggak sekarang. Ini mah baru wacana aja. Nanti kalau kita bener-bener nggak kuat, baru kita jual rumah. Sayang juga kalau rumah harus dijual.”

Lega juga mendengar kata-kata ibunya. Berarti Lily masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan cara lain untuk membayar hutang mereka yang semakin menggunung karena denda keterlambatan.

Namun, bagaimana caranya mencari uang? Lily sudah kehabisan ide. Berbagai cara dicobanya dan gagal. Bahkan usaha terakhir mereka untuk membuka warung makan gagal total sehingga mereka justru memiliki hutang yang jauh lebih banyak.

“Eh. Menurut Ade, Pak Ragil orangnya gimana?” Bu Dahlia kembali memecahkan lamunan Lily.

“Kok tiba-tiba ngomongin Pak Ragil?”

“Ya.. dia kan belum nikah De.”

“Pasti deh Ibu tuh. Nggak ah, udah tua.”

“Paling baru tiga puluh berapa. Ade aja udah tiga puluh.”

“Pokoknya Ade nggak mau kalau disuruh deketin cowok. Ade kan perempuan. Harusnya cowok yang deketin Ade.” Lily menjawab ketus.

“Ibu juga nggak nyuruh Ade buat deketin cowok. Maksudnya, kalau Ade suka, nanti Ibu Tanti mau bantuin nyomblangin.” Bu Dahlia berusaha meredam emosi Lily yang sudah mulai naik.

“Terserah.” Hanya itu yang dikatakan Lily.

“Orangnya baik lho De. Udah mapan lagi. Udah punya rumah sendiri, kendaraan sendiri.”

“Terserah.”

“Pokoknya kalau Ade setuju, nanti Ibu tinggal bilang sama Bu Tanti, biar dia cepet bergerak.”

“Hhhh”. Lily merasa lelah dengan ibunya yang tidak henti-henti mencarikan jodoh untuknya.

“Tapi, kalau sampe umur segitu belum punya istri, pasti dia punya masalah deh. Orangnya nggak jelek-jelek amat kok.” Lily mencoba mencari alasan agar ibunya mengurungkan niat perjodohan itu.

“Itu juga sebenarnya yang Ibu agak khawatir. Tapi orangnya baik kok. Cuma agak pendiam, mungkin itu yang bikin dia susah deket sama perempuan.” Bu Dahlia menimpali.

“Hhhhh”.

Lily sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Tiba-tiba dia teringat pada mimpinya. Enam bulan telah berlalu, tetapi Lily masih belum bisa mendapatkan informasi baru tentang Anggita.  

Sebenarnya ia ingin sekali memberitahukan masalah mimpinya tentang Anggita pada ibunya. Jika dia menceritakan hal ini pada ibunya, apa yang akan terjadi? Lily takut jika dia menceritakan hal tersebut, maka semuanya tidak akan menjadi kenyataan.

Lily memang merasa dirinya aneh. Jika dia berbicara tentang suatu kemungkinan, biasanya hal itu tidak terjadi sehingga dia menjadi malu. Tapi, jika dia memikirkan sesuatu tetapi tidak diucapkannya, maka hal itu menjadi kenyataan sehingga dia menyesal karena tidak bercerita.

Tentang Anggita, Lily memang benci jika melihat wajah lelaki itu, tetapi dalam hatinya ada rasa gembira karena dia merasa Tuhan telah menyiapkan seseorang untuk menemaninya. Lily merasa yakin bahwa pada akhirnya dia tidak akan sendiri.

Mimpi tentang laki-laki yang kemudian bertemu secara nyata memang telah beberapa kali dialaminya. Walaupun cerita dalam dunia nyatanya tidak sama persis dengan mimpi, tetapi dia memang bertemu dengan laki-laki yang memiliki ciri atau sesuatu yang sesuai dengan mimpinya.

Yang dia ingat, sudah ada lima orang lelaki yang sebelumnya pernah muncul di mimpi dan akhirnya mereka bertemu di dunia nyata. Sedangkan untuk lelaki yang disebutkan namanya dalam mimpi, Anggita adalah yang kedua.

Pertama kali dia bermimpi tentang laki-laki adalah saat Lily baru lulus SD. Saat itu dia bermimpi akan menikah dengan lelaki yang bernama Deva tetapi batal karena mereka berbeda keyakinan. Karena waktu itu dia masih kecil, mimpi itu tidak dianggap walaupun tidak bisa dilupakan.

Yang membuat Lily terkejut adalah dia bertemu dengan lelaki bernama Deva saat kuliah dan lelaki itu memiliki keyakinan yang berbeda dengan dirinya. Lily sebenarnya menyimpan perasaan untuk Deva, tetapi segera dihilangkannya perasaan itu karena perbedaan keyakinan sudah membuat semua pintu tertutup.

Mimpi-mimpi yang lain tidak hadir dengan nama, tetapi dia bertemu dengan lelaki yang memiliki kesamaan dengan mimpinya.

Dia pernah bermimpi tentang lelaki yang sangat pendiam dan serius, yang pada akhirnya membuatnya menangis. Saat kuliah dia akhirnya bertemu dengan lelaki pendiam dan serius yang membuat jantungnya berdetak kencang setiap kali bertemu. Sayangnya, Lily harus meneteskan airmata karena ternyata lelaki itu telah berpacaran dengan temannya sendiri.

Ada lagi mimpi tentang brondong yang mengaku sangat mencintainya. Saat Lily bekerja di Jakarta, ada lelaki muda yang menyatakan cinta padanya.

Mimpi-mimpi yang seperti itu membuat Lily yakin jika Anggita juga seharusnya merupakan petunjuk tentang masa depannya dan kali ini tidak main-main. Dalam mimpi tersebutkan bahwa Anggita akan menikahinya.

Sebenarnya perasaan yakin bahwa Anggita adalah jodohnya membuatnya sedikit terganggu. Jika sebelumnya Lily tidak pernah mengetahui sosok sebenarnya dari lelaki yang ada dalam mimpinya, sosok Anggita sudah jelas orangnya. Dahulu Lily suka berhayal seperti apa sesungguhnya lelaki dalam mimpi-mimpinya sebelum bertemu di dunia nyata, kini Lily sudah tidak bisa menghayalkan sosok Anggita karena sudah jelas seperti apa rupanya, termasuk data-data pribadinya. 

Lily memang perempuan yang suka berkhayal. Karena memiliki kecintaan khusus pada negara Italia, dia sering berkhayal bertemu dengan pria Itali yang tampan dan kaya. Saat begitu senang dengan drama Korea, dia juga berhayal bertemu dengan orang Korea yang ganteng dan baik hati. Dengan adanya Anggita, semua khayalan itu musnah sudah.

“Hey… ngelamunin apa ayooo?” Bu Dahlia penasaran melihat anaknya yang tiba-tiba terdiam dan terlihat memikirkan sesuatu.

“Eh? Enggak apa-apa kok.” Lily begitu malu karena ketahuan melamun.

“Ahhh bohong.. pasti lagi mikirin Pak Ragil ya? Mulai kepikiran kan kalau Ibu bener?” Bu Dahlia menggoda anaknya.

“Apaan mikirin Pak Ragil? Yang bener aja? Nggak penting banget.”

“Trus mikirin apa dong?”

“Nggak…”

“Ayoo.. nggak boleh bohong. Dosa lho?” Bu Dahlia mendesak. Ia yakin jika anaknya pasti menutupi sesuatu darinya.

Lily ragu, tetapi dia merasa sudah tidak kuat menyimpan cerita ini sendiri. “Hmmm. Tau nggak Bu?”

“Nggak”

“Ihhh Ibu nih… “ Lily merajuk.

“Iya bener kan Ibu nggak tau. Jadi Ade harus cerita, gituu….”

“Mmmhhh…. “ Lily menjadi ragu kembali.

“Tuh kan kalau didengerin tuh malah diem.”

Ade tuh…mmhh  pernah mimpi ada yang mau nikahin Ade, namanya Anggita Pramudya.” Akhirnya pengakuan itu keluar dari mulutnya.

“Apa?” Bu Dahlia membelalakkan mata. “Terus?”

“Di mimpi itukan Ade tuh ngerasa kalau dia temen SMP ato SMA. Trus waktu udah bangun ade cek, ternyata bener dia itu temen SMP SMA.”

“Teruuus?” Bu Dahlia semakin tertarik dengan cerita anaknya.

“Masalahnya Ade nggak kenal sama dia. Nggak ada ingetan apapun tentang dia.”

“Maksudnya?”

“Ade nggak inget kita pernah ketemu atau pernah ngobrol, tapi kenapa namanya bisa muncul di mimpi? Lengkap lagi.”

“Bukan temen sekelas?” Bu Dahlia mencoba membantu mengingat.

“Bukan. Waktu SMP kan tiga tahun nggak berubah kelasnya. Dia itu di kelas H, Ade kelas E. Cuman kalo SMA nggak terlalu yakin sih Ade, soalnya kelasnya kan dirubah-rubah. Yang pasti kelas satu ade yakin nggak sekelas, trus kelas tiga juga nggak, soalnya dia kelas IPA 1, Ade IPA 2. Kalau kelas 2 Ade nggak inget.” Lily menerangkan dengan detail agar Ibunya mengerti.

“Coba tanya sama siapa tuh yang temen Ade SMA?”

“Dini?”

“Iya.”

“Udah… Ade tanya, kata dia sih nggak ada Anggita waktu kelas 2. Dini juga nggak kenal sama anak yang namanya Anggita.”

“Ya coba tanya yang lain dong.”Bu Dahlia kembali mendorong Lily untuk melakukan sesuatu yang nyata.

“Kemaren tuh kan ada reuni…”

“Nah itu kan malah bisa ketemu. Pasti Ade nggak dateng ya? Makanya, jangan susah sosialisasi. Kerjaannya kok nonton Korea aja.” Bu Dahlia memotong perkataan Lily.

“Ibu tuh kebiasaan nuduh. Kemaren itu kita lagi di Bandung, mana bisa ikut reuni.” Lily langsung membela diri.

“Ohh.. terus gimana?”

“Ya udah.”

“Gitu aja?”

“Ya maksudnya…. jodoh Ade itu udah ada, jadi kita tunggu aja sampe dia dateng.”

“Ya harusnya Ade lebih usaha lagi buat ketemu.”

“Ya masa Ade harus dateng ke rumahnya gitu? Yang bener aja?”

“Ya.. nggak juga sih.” Bu Dahlia menjadi bingung apa yang harus dikatakannya.

“Makanya, Ade nunggu aja.”

Bu Dahlia termenung. Sebenarnya dia senang mendengar kemungkinan jodoh untuk anaknya, tetapi bukankah itu hanya mimpi?

 “Tapi, itu kan cuma mimpi. Belum tentu bener.” Bu Dahlia mengucapkan apa yang ada dibenaknya.

“Tapi Ade itu udah sering mimpi laki-laki dan ternyata laki-laki itu emang ketemu, ada di dunia nyata.” Lily menegaskan.

“Tetep aja nggak jelas. Belum pasti kalau dia emang jodoh Ade.” Bu Dahlia kembali beralasan.

Tuh kan. Pasti begini. Ibu nggak akan bisa ngerti.” Lily berkata dalam hati.

“Ya udahlah nggak usah dipikirin. Cuma mimpi aja.” Bu Dahlia mengakhiri pembicaraan mereka tentang Anggita.

“Yaaaaaa…”Lily semakin kesal dengan ibunya yang tidak bersemangat mendengar mimpinya.

“Eh, bulan depan kan De Kayla mau aqiqah Viena. Nanti kalau kita ke Bandung, sekalian aja ngomong masalah rencana pindah ke Bandung ya?” Bu Dahlia mengalihkan pembicaraan.

Hati Lily kembali berguncang saat teringat masalah meninggalkan Jogja.

“Iya.” Lily menjawab singkat dengan nada yang sangat datar.

***

 “Hei Ga… Gimana kabarnya bos?” Anggita menyapa Hoga yang sudah menunggunya di dalam kafe.

“Hei Pampam… Baik Pak. Kamu sendiri gimana?” Hoga menjabat tangan Anggita.

“Ya begini aja. Pengangguran.” Anggita menarik kursi dan duduk.

“Pengangguran banyak uang. Bingung ngabisinnya gimana.” Hoga mencandai sahabatnya.

“Pampam”, Anggita menyombongkan diri sambil menepuk dadanya.

Eh. Desain rumah minimalis kamu yang kemaren bagus banget lo. Pak Kadi suka banget.”

Oh ya? Haruslah itu. Ngerjainnya lama banget masa nggak suka? Kata Anggita penuh semangat.

"Mau pesen apa nih Pak?" Hoga menawarkan.

"Apa ya? Teh aja deh, aku udah nggak boleh minum kopi banyak-banyak," jawab Anggita.

"Emang ngaruh sama tulang?" Tanya Hoga.

"Enggak juga sih, tapi kata Ibu biar sehat seluruh badan," Anggita menjawab.

"Sekarang kan nggak ada Ibu kamu, nggak akan ketahuan kan kalau minum kopi?" Hoga memberikan ide curangnya.

"Nanti kualat kalau gitu", Anggita menjelaskan.

"Emang ya, bapak yang satu ini. Super nuruuutttt sama ibunya. Ck ck ck" Hoga menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Biar dapet berkah", jawab Anggita yang kemudian mengalihkan pembicaraan. "Katanya ada hal penting yang mau diomongin, apa?"
Hoga berpikir sesaat. Ada sedikit keraguan diraut wajahnya.Hhmm.. Kenapa nggak bikin kantor sendiri aja Pak?”

“Maksudnya?” Anggita terkejut karena Hoga tiba-tiba bertanya masalah seperti itu.

“Daripada kerja jarak jauh gini? Cuma kirim gambar tanpa bisa ngeliat proses pengerjaannya. Kayaknya kurang memuaskan gitu.”

Anggita mencoba mencerna pertanyaan Hoga dan mencari jawaban terbaik. “Ya maunya sih emang bikin kantor sendiri, tapi aku nggak yakin bisa managementnya. Aku kan bukan orang bisnis.”

“Gimana kalau kita kerjasama?” Raut wajah Hoga berubah menjadi penuh semangat.

“Kerja sama?”

“Iya, kita bikin kantor berdua. Aku yang urus managementnya, kamu yang ngurus desain.”

“Emang kamu mau keluar kerja?”

“Nggak ada kamu nggak seru.”

“Ha.ha.ha…”

 “Bener. Bosen aku. Lagian Pak Kadi lebih suka desain kamu daripada punyaku.”Hoga menjelaskan.

Kata-kata Hoga membuat Anggita merasa tidak enak. “Maaf.”

Suasana yang ceria berubah menjadi sendu. Mereka telah menghabiskan lebih dari sepuluh tahun bersama, mulai dari kuliah sampai bekerja di luar kota. Suka dan duka mereka bagi setiap hari. Namun, dalam urusan pekerjaan, Anggita memang lebih beruntung dari Hoga. Ide dan gambar Anggita lebih disukai daripada milik Hoga.

“Bukan salah kamu juga.” Hoga tidak ingin menyalahkan siapapun dalam hal itu, karena memang tidak ada yang bersalah.

“Tapi posisi kamu kan udah bagus.” Anggita tidak ingin Hoga salah mengambil langkah karena hal ini bukan main-main.  

“Gimana ya? Aku rasa aku lebih suka bisnis. Gambar tuh semacam hobi aja.” Hoga mencoba menjelaskan.

Anggita melihat semangat yang besar di mata Hoga. Dia tidak ingin menghancurkan semangat itu. “Terus bikin kantornya dimana?”

“Di sini lah. Kita kan sama-sama orang Jogja. Mau kemana lagi? Lagian kamu bukannya nggak boleh pergi dari Jogja?”

“Hmmmm.” Anggita berpikir sebentar dan melanjutkan, “Tapi aku nggak yakin potensi di sini.”

“Iya sih. Jogja emang nggak sepotensial Surabaya atau Jakarta. Tapi orang Jogja udah aware sama kebutuhan rumah yang bagus, yang artistik, dan yang terencana dengan baik lho.”

“Hmm.Anggita masih kurang yakin dengan ide Hoga.

“Kalau kita mau cari, aku yakin banyak yang butuh bantuan desain.” Hoga berusaha meyakinkan.

“Iya sih. Tapi kan udah banyak yang nawarin jasa desain di sini. Malah banyak perusahaan yang lebih lengkap jasanya, kayak perusahaannya Pak Kadi. Bukan cuma desain, tapi termasuk pembangunan, interior, landscape, jadi satu paket gitu. Anggita masih belum yakin.

Iya sih, tapi kita kan bisa menawarkan sesuatu yang berbeda.”

“Seperti?”

“Seperti kamu.”

“Aku?”

“Otak kamu kan ajaib.”

“Hah?”

“Ide-ide kamu tuh sering gila, tapi kamu selalu bisa membuat hasil akhir yang bikin orang terpesona.”

Anggita menatap Hoga dengan pandangan tak percaya.

“Buktinya Pak Kadi aja nggak mau arsitek lain.”

“Heh?”

“Kamu tau berapa banyak arsitek yang ngelamar buat gantiin kamu?”

Anggita menggeleng.

“Ratusan. Dan semuanya ditolak. Pak Kadi maksa untuk tetep pake kamu, walaupun harus jarak jauh kayak sekarang.”

“HHhhhh.” Anggita menarik nafas panjang.

“Perasaan tadi ada nyombongin diri, kok sekarang jadi nggak percaya diri?” Kata Hoga.

“Hmmm. Ya beda lah. Bikin kantor sendiri tuh masalah serius.” Anggita menjawab.

“Ohh.. jadi kamu udah bisa serius? Itu modal bagus buat mulai usaha.” Hoga semakin bersemangat.

“Nih anak ya, kalau ada maunya.”

“Kekuatan sebuah ide itu nggak ternilai harganya. Selain unik, desain kamu itu penuh perasaan. Itu yang dicari orang.” Hoga kembali melancarkan jurus andalannya untuk meyakinkan Anggita.

“Emang cukup aku doang?”

“Kamu inget Eli nggak?”

“Yang tinggi itu ya?”

“Ya. Aku udah hubungin dia kemaren. Dia suka sama ide aku dan mau gabung. Dia juga udah eneg kerja di kantornya sekarang.”

“Oh?”

“Aku juga punya temen namanya, Ilsa. Dia desainer interior. Dia juga mau gabung.”

Anggita membelalakkan matanya.

“Trus, buat landscape, aku udah hubungin Viko. Masih inget dia nggak? Dia yang dulu bantuin Pak Kadi ngerjain rumah Pak Bupati.”

Kamu udah sejauh itu?” Anggita tidak percaya bahwa Hoga benar-benar serius dengan rencananya.

Hoga tersenyum. “Ya gitu deh. Sejak kamu pulang ke Jogja, aku bener-bener nggak betah. Capek jadi karyawan.”

“Dan aku yang katanya sahabat kamu, jadi yang terakhir?”

“Karena aku tahu kalau kamu jadi yang pertama, kamu nggak akan setuju.”

“Hah?”

“Iya lah.. kayak sekarang. Kamu cari berjuta alasan buat nolak rencana aku.”

“Okay.” Anggita kembali menggangguk.

“Jadi setuju nih bikin kantor kita?” Hoga tersenyum. Tinggal sedikit lagi dan rencananya akan berhasil.

Trus modalnya gimana?”

“Kita bisa bagi dua. Ya… baiknya sih kamu modalin lebih banyak.” Hoga tersenyum simpul.

“Kok aku yang lebih banyak? Aku ini penggangguran lo. Kamu yang pekerja ahli.”

“Pengangguran cuma status. Tapi nggambar terus dan harga gambarnya waaoooww….”

Anggita tersenyum. “Alhamdulillah dapet rejeki.”

“Nah itu dia. Karena kamu punya banyak rejeki, kamu yang jadi bossnya.” Hoga merasa mendapat kesempatan emas untuk semakin meyakinkan Anggita.

“Terus kamu jadi apa dong?”

“Aku jadi general manager. Keren kan?”

 “Terus yang lain ngasih modal juga?”

“Nggak. Mereka cuma mau jadi karyawan. Mereka udah punya keluarga, jadi nggak punya tabungan banyak.”

Anggita menarik nafas. Penawaran Hoga terdengar menarik tetapi beresiko besar.

“Tapi bener lo, aku masih nge-blank masalah bisnis. Aku nggak tahu apa-apa. Bisanya cuma ngegambar.”

Hoga tersenyum. Untuk masalah tersebut, dia sudah menyiapkan jawabannya. “Jadi gini Pak. Aku punya temen yang udah cukup berhasil bikin kantor sendiri dari awal. Dia tuh suka banget bantu orang yang mau bisnis sendiri. Nah.. kita bisa belajar banyak dari dia.”

“Dia mau ngajarin?” Anggita kurang yakin.

Iya. Orangnya itu alim banget. Bagi dia itu, ilmu adalah anugrah dari Tuhan yang harus dibagikan pada orang lain. Jadi dia itu nggak main rahasia bisnis gitu. Yang menjadi rahasia cukup masalah kerjaan dia sama klien aja. Kalau ilmu bisnis dia bagi secara terbuka.”

“Ada ya orang macam itu?” Anggita masih tidak percaya.

“Ada. Dan justru katanya membagi ilmu itulah yang membuka jalan rejeki buat dia. Kata dia, rejeki itu udah ada jatahnya, jadi kita nggak perlu rebutan.”

“Waow.”

Raut wajah Hoga tiba-tiba berubah menjadi serius. “Masalahnya….”

“Ada masalahnya juga?” Anggita tahu bahwa tidak ada yang sempurna.

 “Dia di Bandung.” Hoga tersenyum kecil.

“Bandung?”

“Iya. Jadi kita harus ke Bandung dan stay .. yaa.. mungkin sebulanlah biar bisa belajar menyeluruh.”

“Sebulan?” Anggita terkejut.

“Kamu kan penggangguran. Nggak masalah kalau cuma pergi ke Bandung sebulan.” Hoga meyakinkan.

“Iya sih. Tapi kamu gimana? Emang kantor nggak papa?”

“Kantor siapa?”

Anggita membelalakkan mata. “Kamu bener-bener udah keluar?”

Hoga mengangguk sambil tersenyum.

“Astaga! Jadi kamu ambil resiko sebesar ini?” Anggita tidak percaya pada sahabatnya itu.

“Yups.”

“Kalau misalnya aku nggak setuju sama rencana kamu gimana?”

“Ya aku akan ngejar kamu terus sampe kamu mau. Kalau perlu pake kekerasan.” Hoga tertawa.

Anggita menggeleng-gelengkan kepalanya. Temannya ini memang istimewa. Semangatnya luar biasa dan selalu bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

“Jadi kapan kita ke Bandung?” Hoga bertanya.

“Gimana ya?.. Gini. Aku masih harus mikir dulu dan minta pendapat dari keluarga aku.”

“Jangan lama-lama mikirnya.”

Anggita tidak ingin mengecewakan Hoga. Akhirnya dia memberikan penawaran. “Gimana kalau bulan depan ke Bandungnya? Soalnya aku juga masih ada gambar yang harus diselesain.”

“Emang nih Pak Penggangguran. Banyak banget kerjaannya.”

“Mau nggak ke Bandung?”

“Ya maulaa…h.”

“Tapi yang penting cari ilmu dulu ya. Urusan bisnisnya nanti aja kita bicarain lagi kalau udah jelas kita punya kemampuan apa nggak buat ngejalaninnya.” Anggita berusaha meredam semangat Hoga agar tidak berlebihan.

“Beres Boss.” Hoga tersenyum penuh kemenangan. 
 ________________________________________________
Bab 1 <<                                                     >>Bab 3