Kamis, 28 Agustus 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB VII



Bab VII

Beberapa hari ini, Endra dan Wafa tidak bertemu karena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Pekerjaan mereka memang menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak bertemu, tetapi ada alasan lain yang membuat mereka tidak memaksakan diri untuk bertemu seperti hari-hari sebelumnya. Ada perasaan tidak nyaman dalam diri masing-masing.

Pagi ini Wafa ada janji dengan Viza, teman kuliahnya yang juga merupakan adik Sandra. Mereka janji bertemu di butik milik Sandra tempat Viza bekerja untuk membantu kakaknya. Namun Viza ternyata belum datang dan Wafa akhirnya berbincang-bincang dengan Sandra.

Awalnya mereka berbincang ringan seputar tren-tren mode terbaru. Setelah beberapa lama, Sandra terpikir mengenai hubungan Wafa dan Endra. Sandra sebelumnya telah beberapa kali berbicara dengan Endra dan melihat bahwa Endra menjadi orang yang sangat berbeda kali ini. Sandra juga pernah berbincang dengan Sigra mengenai Endra dan Wafa. Keduanya sepakat jika Endra telah berubah drastis. Sandra penasaran dan ingin mengetahui cerita dari pihak Wafa.

“Kayaknya hubungan kamu sama Endra serius ya?”

Wafa terkejut mendengar pertanyaan dari Sandra. “Kak Sandra tau dari mana aku jalan sama Endra?”

Sandra tidak kalah kagetnya saat menyadari bahwa Wafa tidak tahu jika Sandra berteman dengan Endra. Dia menyesal sudah bertanya seperti itu, tetapi sudah terlanjur.

“Sebenernya, yang kasih alamat butik kamu ke Endra itu aku.” Akhirnya Sandra mengaku.

“Apa?” Wafa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pengakuan Sandra membuatnya benar-benar kaget.

“Jadi gini, Endra itu dulu dateng ke sini tanya kamu. Aku nggak bisa tolak, jadi aku kasih alamat butik kamu. Maaf ya.. aku nggak bilang dulu sama kamu.” Sandra terlihat sangat merasa bersalah.

“Kak Sandra kenal Endra?” Wafa masih tidak percaya hal ini bisa terjadi.

“Iya gitu deh…” Sandra benar-benar menyesal telah memulai pembicaraan ini. Dia menjadi kikuk.

Tiba-tiba terbersit di benak Wafa jika Sandra adalah salah satu mantan Endra. Sesaat kemudian dihilangkannya pikiran tersebut karena secara logika dia berpikir bahwa tidak mungkin Endra begitu dekat dengan mantannya. Namun, saat melihat Sandra yang salah tingkah, Wafa kembali penasaran. “Jangan-jangan kakak mantannya Endra ya?” Wafa tidak bisa menahan diri.

Sandra kembali terkejut mendengar pertanyaan Wafa, ia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya memainkan gelas didepannya.

“Udah deh kak, nggak usah bohong.” Wafa memaksa.

“Iya.” Sandra menyerah.

Terpikir di benak Wafa bahwa Sandra adalah mantan istri Endra, tetapi Wafa tau benar kalau Sandra adalah anak orang kaya. Selama ini Endra selalu menikahi orang miskin. Ofisa yang seorang model itu tidak sampai dinikahi oleh Endra. Lagipula, tidak mungkin jika Sandra adalah mantan istri Endra karena sepengetahuannya, Sandra belum pernah menikah.

“Kok kakak tau kalau aku sama Endra serius?”

“Endra cerita sama aku.” Sandra tidak berani menatap mata Wafa.

“Kok bisa Endra cerita sama kakak? Emang kalian masih berhubungan deket?” Wafa berpikir bahwa ada yang tidak beres dengan mereka.

“Ya kita masih temenan. Bukan pacaran lo.” Sandra berusaha untuk meyakinkan Wafa.

Wafa tidak percaya jika mantan pacar bisa sebegitu dekat. Jantungnya berdetak cepat, dia tidak tahu harus bagaimana.

“Mungkin karena kita udah temenan dari kecil, jadi kita deket banget. Walaupun aku udah putus dari dia, kita tetep temenan.” Sandra berusaha menerangkan supaya Wafa tidak curiga. Dia tidak ingin membuat Wafa kecewa karena Wafa sudah seperti adik baginya.

“Udah temenan sejak kecil?” Wafa kembali terkejut. Berarti Sandra bukan teman biasa.

“Iya. Bapaknya Endra sama papa aku itu teman baik sejak kuliah jadi anak-anaknya juga ikutan berteman.” Sandra menjelaskan.

Berarti kakak udah lama dong pacarannya sama dia?” Wafa berfikir kalau memang begitu, seharusnya Sandra mengetahui tentang pernikahan Endra dengannya.

Itu udah lama banget.. waktu itu dia belum kayak gini.” Sandra terkejut dengan apa yang dia katakan. Seharusnya dia tidak berbicara seperti itu. Pasti Wafa akan curiga.

“Maksudnya?” Benar. Wafa memang curiga.

“Dulu dia itu gila kerja.” Sandra berharap Wafa berhenti menanyainya.

“Sekarang juga gila kerja, trus bedanya apa?” Wafa semakin menekan.

“Ya dulu cuma gila kerja, nggak gila cewek.” Sandra benar-benar kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa menjaga mulut.

Trus kenapa kalian putus? Apa Kakak putus gara-gara dia terlalu sibuk sama kerjaan?”

“Ya…bukan cuma dia, kami berdua sama-sama sibuk kerja.” Walaupun tidak seratus persen benar, tetapi putusnya hubungan mereka berdua salah satunya memang karena alasan pekerjaan.

“Kalau kakak deket sama dia, kakak tau dong kenapa dia berubah?” Akhirnya Wafa mengeluarkan pertanyaan yang begitu ditakuti Sandra.

Sandra bingung harus menjawab apa. Dia ingin berbohong tetapi takut dosa.

“Ayo dong kak cerita.. please…” Wafa memohon dengan wajah yang begitu memelas.

Sandra merasa tidak mungkin untuk menceritakan semuanya, kali ini saja dia sudah terlalu banyak bicara. Tapi Wafa ini perempuan yang polos. Kasihan jika Wafa harus menjadi korban Endra yang kesekian, walaupun Sandra tahu bahwa kali ini Endra telah berubah. Akhirnya Sandra pun memutuskan untuk bercerita karena Wafa berhak tahu siapa Endra sebenarnya. Siapa tahu hal ini bisa membantu hubungan mereka dan mungkin saja Wafa bisa benar-benar merubah sifat Endra menjadi baik.

“Tapi janji ya, kamu nggak cerita ini sama siapa-siapa termasuk Endra.” Sandra menatap Wafa dan memohon.

“Iya aku janji.” Wafa mengangguk dan mengangkat dua jarinya.

“Janji juga kamu nggak akan kaget trus marah sama aku.”

“Emang kenapa?” Wafa bingung.

“Janji dulu.”

“Iya deh.” Wafa tidak punya pilihan lain.

“Jadi gini… aduhh.  “ Sandra menggaruk kepalanya.

“Kak.. ayo dong cerita.” Wafa memohon sambil memegang tangan Sandra.

Sandra menjadi tidak enak dan akhirnya melanjutkan ceritanya. “Sebenernya dulu Endra pernah ngelamar aku.”

Wafa kembali terkejut, apakah ini berarti Sandra adalah pacar yang diceritakan Endra saat melamarnya dulu. Namun, dia tidak ingin Sandra curiga sehingga berusaha untuk tetap diam dan mendengarkan cerita Sandra selanjutnya.

“Waktu itu aku baru aja buka butik dan sibuk. Aku nggak mungkin menikah dengan Endra karena dia hanya kasih aku waktu 30 hari.”

Jadi benar apa yang dipikirkan Wafa. Ia menjadi bersemangat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia memajukan tubuhnya agar cerita Sandra terdengar lebih jelas.

Sandra menarik nafas. “Gini, waktu itu Bapaknya mau ngasih posisi presiden direktur sama anak angkatnya yang namanya Izaan. Endra yang udah lama banget ngincer posisi itu nggak terima karena alasan bapaknya kasih jabatan itu ke Izaan cuma karena anak angkatnya itu udah nikah sehingga terbukti bertanggung jawab dan mampu berkomitmen, nggak seperti Endra yang suka gonta-ganti pacar. Akhirnya, Bapaknya kasih ultimatum. Kalau Endra mau jabatan itu, Endra harus nikah dalam 30 hari”

Wafa mulai mengerti kejadian yang sebenarnya. Selama ini dia hanya tau sedikit tentang mengapa Endra melamarnya dengan tiba-tiba.

Sandra melanjutkan ceritanya. “Waktu itu aku nggak terima dia karena aku emang lagi sibuk dan dia ngelamar bukan karena mau nikah, tapi cuma karena posisi presiden direktur itu.”

Wafa mengerti bahwa sebagai perempuan, Sandra pasti tidak terima dilamar dengan cara seperti itu. Ia menganggukkan kepala.

“Waktu aku tolak,  Endra marah dan minta putus. Aku kira cuma emosi sesaat, ternyata bener. Dia bener-bener putusin aku dan..” Sandra tidak melanjutkan ceritanya. Kali ini dia begitu takut untuk bercerita yang sebenarnya. Selama ini, hanya keluarga dekat yang tahu pernikahan resmi Endra.

“Dan….?”

“Aduh…” Sandra gugup. Matanya bergerak kesana kemari.

“Ayo dong Kak… cerita semuanya.”

“Tapi ini rahasia, jangan cerita siapa-siapa ya?

“Iya aku janji.”

Sandra memegang kepalanya. Dia yang memulai dan dia harus menyelesaikannya. “Saking kepepetnya, dia nikah sama perempuan yang baru dia kenal.”

Jantung Wafa berdetak semakin kencang. Dia sangat penasaran dengan cerita selanjutnya.

Sandra menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya. “Aku nggak tau persis ceritanya gimana, tapi sejak saat itu, Endra jadi suka main perempuan. Mungkin ada masalah sama istri sahnya itu

Wafa kecewa. Mengapa hanya seperti itu ceritanya. Dia juga tau tentang itu.

Melihat Wafa yang terlihat kecewa membuat Sandra berusaha untuk membela Endra. “Tapi Endra itu nggak main perempuan kayak cowok-cowok lain. Kalau memang dia suka, dia nikahin cewek itu. Dia itu nggak mau zina.”  

Wafa masih terlihat begitu kecewa sehingga Sandra melanjutkan pembelaannya. Dia itu selalu deketin cewek miskin. Cewek itu dicukupin harta dan dididik usaha. Setelah istrinya punya usaha yang berjalan lancar, dicerai.”

“Hah?.” Cuma itu yang keluar dari mulut Wafa.

“Aku nggak tau ada perjanjian apa antara mereka, tapi mantan-mantan istrinya nggak ada yang benci sama dia. Mereka justru ngerasa dibantu sama Endra. Karena sekarang kan hidup mereka cukup dan bisa cari uang sendiri.” Sandra bercerita lebih lancar tentang hal ini.

“Tapi Ofisa bukan orang miskin.” Wafa teringat model yang dulu membuatnya begitu marah pada Endra.

“Kalau Ofisa lain, itu mah dia yang kejar-kejar Endra.” Sandra mengambil gelas di depannya dan meminum isinya.

“Maksudnya?” Wafa tidak mengerti, dia tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya tentang Ofisa.

“Ofisa itu udah tau kalau Endra suka nikah siri. Nah, Ofisa waktu itu baru rekaman single, tapi status dia sebagai model nggak cukup buat naikin ketenaran dia. Jadi, dia buat sensasi dengan mengangkat isu kalau dia dijadiin mainan sama pengusaha muda yang suka gonta-ganti istri.”

“Apa?” Ini benar-benar diluar dugaan Wafa.

“Endra tuh banyak yang ngejar,  biasanya dia itu bisa nahan diri untuk nggak terjebak sama cewek. Dia biasanya pegang kendali. Kayaknya sih dia lagi banyak pikiran waktu itu, jadi agak sedikit kehilangan kendali sampe mau diajak jalan sama Ofisa.”

“Tapi siapa juga yang kuat nahan godaan dari perempuan cantik dan seksi kayak Ofisa itu.” Wafa berkomentar.

“Tapi kayaknya Endra emang lagi ada masalah deh, soalnya Ofisa itu biasa aja. Cewek-cewek lain masih banyak yang lebih cantik dan seksi.” Sandra tetap membela Endra..”

“Tapi laki-laki kan emang gitu. Dikasih kesempatan dikit langsung nyosor.”

“Ya sebagian besar mungkin gitu, tapi Endra tuh beda. Lagian cerita sebenernya gak kayak yang di infotainment. Ofisanya aja yang pinter banget bikin setingan supaya keliatan kalau mereka itu memang udah deket banget, padahal mereka itu cuma jalan doang. Nggak ngapa-ngapain.”

“Emang gitu kak?” Wafa memang hanya mengetahui cerita Endra dan Ofisa dari infotainment. Endra tidak pernah membicarakan Ofisa dan Wafa tidak berani bertanya. Keluarga Endra pun tidak pernah membicarakan hubungan Endra dan Ofisa karena mereka tidak menyukai hal tersebut dan tidak mau tahu.

Kali ini Sandra yang terkejut. “Emang kamu nggak tau? Endra sama Ofisa itu kan cuma jalan dua kali, trus beritanya digedein kayak mereka udah pacaran lama gitu dan Endra mencampakkan Ofisa dengan semena-mena.”

“Masa sih? Kenapa Endra nggak bela diri?”

“Ngapain juga susah-susah bela diri. Infotainment kan emang gitu, yang kecil jadi gede, yang gede jadi kecil.”

“Tapi kan…” Penjelasan Sandra masih kurang memuaskan bagi Wafa. Kalau memang seperti itu, mengapa Kesara tidak menceritakan hal ini padanya? Mengapa Kesara justru terlihat menyalahkan kakaknya atas masalah dengan Ofisa?

“Yang penting bagi Endra tuh keluarga sama sahabat-sahabatnya tau gimana dia sebenarnya. Kalau orang lain terserah.” Sandra menjelaskan.

“Tapi Kesara justru nyalahin Endra.” Akhirnya Wafa bertanya juga.

“Kesara ya?” Sandra mengernyitkan keningnya. “Kalau dia itu mah bete banget sama Endra gara-gara sifat playboynya itu. Semua yang dilakuin Endra tuh nggak ada yang bener buat Kesara. Walaupun dia tahu untuk masalah Ofisa, yang salah sebenernya Ofisa. Endra cuma dijadiin alat buat promosi terselubung.”

“Ohh. Gitu ya.”

 Sandra tiba-tiba menegakkan tubuhnya. “Kamu tau nggak?”

“Apa?” Wafa berpikir ada apa lagi ini.

“Sejak dia nikah, Endra itu nggak pernah pacaran lebih dari satu bulan.” Wajah Sandra terlihat serius.

“Maksudnya?” Wafa tidak mengerti.

“Bagi dia, satu bulan itu waktu yang cukup untuk mengenal perempuan. Kalau dia suka, ya dinikahi, kalau nggak diputusin baik-baik.”

“Emang iya?” Wafa tidak percaya.

“Iya.. makanya kamu itu spesial. Udah lebih dari enam bulan dan Endra masih pacaran sama kamu. Dia nggak mau ngelepasin kamu.”

“Tapi kenapa dia nggak nikahin aku?” Wafa justru merasa rendah diri mendengar penjelasan Sandra. Jika Endra memang menyukainya, mengapa Endra tidak meminta dia untuk menjadi istri?

“Soalnya dia tau kalau kamu nggak layak jadi istri simpenan.”

Hah?”?”?.”

“Iya. Gara-gara kamu, dia sadar kalau dia udah nggak boleh maenin perempuan lagi.”

“Kakak tau dari mana?” Wafa tidak mungkin percaya begitu saja karena sudah terlalu banyak cerita buruk tentang Endra yang tidak bisa dilupakannya.

“Dia sendiri yang bilang. Dia cerita sama aku tentang kamu.”

“Dan kakak percaya?”

“Aku kan udah bilang, aku kenal Endra udah lama. Dari matanya, aku tahu kalau dia nggak bohong kali ini.”

Apa yang dikatakan Sandra terdengar bagai nyanyian indah yang memberi berjuta kebahagiaan. Kebenaran ini merubah pola pikir Wafa terhadap Endra. Cintanya pada Endra pun semakin kuat.

Eh, ada lagi yang kamu harus tau.” Sandra berpikir jika dia harus menceritakan semuanya, karena sudah terlanjur.

“Apa?” Wafa tidak percaya karena ada lagi yang akan membuatnya terkejut.

“Jadi gini, sebenarnya waktu itu, Om Wira, bapaknya Endra sama Papa aku pengen banget besanan. Keluarga kami udah deket dari dulu dan maunya hubungan keluarga kita tuh jadi resmi. Ya, sebenernya sih ada alasan bisnis juga, biar semakin kuat hubungan bisnis keluarga kita.

Wafa begitu tertarik mendengar cerita Sandra. Sepertinya dia akan mengetahui satu rahasia penting tentang Endra. Wafapun mendengarkan Sandra dengan baik dan berusaha untuk diam sehingga tidak memutus cerita Sandra.

“Tapi Om Wira tau banget klo Endra nggak bisa diminta baik-baik buat nikah sama aku. Nah, kalau Om Wira paksa Endra pake alasan jabatan, Om Wira pikir akan sukses.”

Wafa hanya menggangguk-angguk tanda mengerti. Dia sudah tahu kemana arah cerita Sandra.

“Om Wira juga tahu kalau Endra pasti nggak akan terima kalau posisi presiden direktur dikasih ke Izaan karena emang udah lama banget Endra berusaha keras dapetin posisi itu. Jadi ultimatum pernikahan itu sebenernya diseting supaya Endra bikin komitmen dan nikah sama aku.”

 “Ohh.” Wafa mengangguk-angguk. Semuanya menjadi masuk akal sekarang.

“Tapi, ternyata Om Wira salah strategi dan perhitungan. Dia cuma minta Endra buat nikah, bukan harus nikah sama aku. Terus, Om Wira salah karena nggak kompromi dulu sama Papa dan aku. Jadi, waktu Endra ngelamar, aku nggak tau klo itu ultimatum setingan. Ya aku tolak. Nah, waktu tau Endra nikah sama perempuan lain, Om Wira marah. Karena ngerasa dia memang salah dalam hal ini, akhirnya dia bikin perjanjian baru sama Endra.” Sandra berhenti.

“Perjanjian?” Wafa ingin tahu apakah perjanjian itu sama seperti yang dia ketahui.

“Om Wira mengharuskan Endra menikah setidaknya selama sepuluh tahun. Kalau cerai, posisinya diserahkan ke orang lain.”

Yah. Tepat seperti yang dipikirkan Wafa.

“Nah.. aku kan liat kamu sama Endra serius dan aku yakin kamu nggak mau jadi istri simpenan.”

Pernyataan Sandra ini sangatlah benar. Wafa mengangguk setuju, tanpa berkomentar.

“Sekarang ini udah sekitar enam atau tujuh tahun…. Kalau kamu mau nikah sama Endra, kayaknya kamu masih harus nunggu lama.” Sandra menjelaskan.

Wafa mengangguk lagi.

“Kamu bisa tunggu selama itu?” Sandra bertanya.

Sebenarnya Wafa tidak perlu menunggu, tapi dia juga tidak mungkin membuka rahasianya. Dia hanya terdiam.

“Ya sudah lah, yang penting kamu udah tau keadaan yang sebenarnya seperti apa.” Sandra memegang tangan Wafa. “Kamu yang sabar ya.”

Wafa hanya tersenyum.

Tapi kamu tenang aja, kan Endra bener-bener cinta mati sama kamu.” Sandra tersenyum penuh arti.

Ah Kakak nih bisa aja.” Wafa tersipu.

“Aku kan udah bilang tadi, kalau kamu berhasil merubah Endra.”  Sorot mata Sandra terlihat begitu yakin. “Aku kenal Endra udah lama. Dia belum pernah seperti ini sama perempuan sebelumnya. Bahkan waktu pacaran sama aku, dia itu cuma ngerasa nyaman sama aku.”

“Masa sih?” Wafa ingin sekali percaya, tapi dia takut.

“Dari matanya aja keliatan kalau dia anggap kamu spesial.“ Sandra tersenyum lebar.

“Kakak segitu yakinnya bisa baca mata Endra”.

“Aku kan udah bilang kalau kami udah temenan sejak kecil, jadi aku tau dia itu gimana.”

Mendengar Sandra yang begitu memahami Endra membuat Wafa ingin tahu tentang perasaan Sandra pada Endra. Wafa sedikit kuatir jika ternyata Sandra masih menyimpan hati untuk Endra. “Maaf ya Kak, aku boleh tanya ga?”

“Nanya Apa?”

Dengan sedikit ragu, Wafa bertanya perlahan, “Kakak nyesel ga udah nolak lamaran Endra?”

“Apa?” Sandra tidak pernah terpikir jika Wafa akan bertanya seperti itu.

“Ya, setelah Kak Sandra tau kalau ultimatum itu cuma setingan yang gagal dan akhirnya Endra nikah sama orang lain, kakak nggak sedih gitu?”

Sandra terdiam. Rasa sakit itu sudah lama sekali terkubur, mengapa tiba-tiba dia harus mengingatnya kembali.

“Maaf ya kak. Aku salah ya nanya gitu?” Wafa menyesal telah membuat Sandra sedih.

“Enggak papa kok. Wajar kalau kamu nanya gitu.” Sandra berpikir sejenak untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. “Waktu itu aku memang pernah sakit hati karena aku ngerasa dihianati. Tapi waktu aku tau tentang setingan itu, aku justru bersyukur udah nolak lamaran Endra.”

“Kok bisa?”

“Ya aku bahagia karena nggak terjebak dalam cinta semu. Karena aku nggak tau tentang setingan itu, aku kan jadi nolak Endra. Ternyata dia lebih milih posisi presiden direktur daripada aku, jadi dia nggak beneran cinta sama aku. Coba kalau aku dikompromi dulu tentang setingan itu dan mau aja nikah sama Endra, pasti pernikahan kita nggak akan bahagia.”

“Tapi kalau kalian pacaran, berarti kalian saling suka kan?”

“Suka itu bukan berarti cinta.” Sandra tersenyum sebelum melanjutkan penjelasannya. “Beberapa saat setelah kami putus dan Endra menikah, aku pernah memikirkan tentang hubungan kami. Akhirnya aku sadar kalau ternyata kami itu pacaran bukan karena cinta, tapi karena rasa nyaman dan aman.”

“Nyaman dan aman?”

“Iya. Nyaman karena kami udah kenal sejak kecil dan aman karena orang tua kami pasti setuju, bahkan sangat mendukung.”

Sandra menangkap kebingungan di mata Wafa. Ia pun berusaha untuk menjelaskan dengan terang. “Walau sekarang udah bukan jaman Siti Nurbaya, yang namanya orang tua tuh tetep aja seneng jodohin anaknya. Orang tua aku sama Endra juga sama. Kami tuh sering dijodoh-jodohin. Karena aku sama Endra sama-sama nggak suka dijodohin, kami sering curhat satu sama lain dan akhirnya jadi deket banget. Kedekatan kami itu bikin orang tua kami bahagia. Melihat kebahagiaan itu, aku sama Endra jadi lebih nyaman dan merasa aman karena nggak dijodoh-jodohin lagi. Jadilah kita pacaran.”

“Tapi beneran nggak ada sedikit pun rasa cinta?”

Sandra menggeleng. “Setelah Endra nikah, aku sadar kalau aku juga sebenernya nggak cinta dia. Ya itu tadi, cuma ngerasa nyaman aja sama dia.”

“Tapi tadi katanya kakak sakit hati waktu tau Endra nikah sama perempuan lain?”

“Itu sih cuma harga diri yang tersakiti. Bener deh, aku bahagia putus dari Endra karena kita malah jadi sahabat baik setelah putus.”

“Trus kenapa kakak belum nikah?”

“Ini nih, paling bete jawabnya.” Raut wajah Sandra seketika berubah menjadi kesal.

“Kok?”

"Bosen aja ditanyain gitu.”

“Maaf”

“Nggak papa.” Sandra melunak. “Aku tau kamu takut kalau aku belum nikah karena belum move on dari Endra kan?”

Wafa menjadi salah tingkah dan malu karena pikirannya terbaca oleh Sandra.

“Aku tuh belum nikah karena belum yakin. Seumur hidup aku, belum ada satupun laki-laki yang bisa bikin aku deg-deg-an. Yang kata orang tuh bikin kita melayang. Kayak kamu sama Endra gitu.” Sandra tertawa bahagia, bisa menggoda Wafa.

“Kakak apaan sih.” Wafa tersipu.

“Udah.. kamu tenang aja. Kalian itu cocok kok.”

Wafa pun tersenyum. Dia merasa bahagia sekali. Semua kegundahannya hilang. Dia ingin segera bertemu dengan Endra dan mengatakan bahwa ia sangat mencintai lelaki pujaan hatinya itu.

“Eh.. tapi janji ya.. kamu nggak bilang siapa-siapa rahasia yang tadi.” Sandra menggenggam tangan Wafa kencang sekali.

Wafa mengangguk.

_________________________________________________
Prolog               << Bab Sebelumnya      Bab Selanjutnya >>                                  


Beranda

Jumat, 22 Agustus 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB VI



BAB VI

Endra dan Wafa semakin dekat saja. Hampir setiap hari mereka bertemu jika Endra atau Wafa tidak keluar kota. Kalaupun mereka tidak bisa bertemu, mereka menghabiskan banyak waktu di telfon, video chat, atau video call. Endra merasakan kebahagiaan yang amat sangat dan Wafa pun merasakan hal yang sama. Wafa begitu yakin jika semua rencananya akan berjalan lancar.

Di lain pihak, ada sepupu yang merasakan hal berbeda. Walaupun Sigra merasa senang melihat Endra bahagia, masih ada ganjalan di hatinya.

“Kamu yakin Wafa itu cewek baik-baik?” Sigra akhirnya memberanikan diri menyampaikan kekhawatiannya pada Endra setelah lebih dari enam bulan sepupunya itu tidak bisa lepas dari Wafa.

“Kamu kayaknya nggak suka banget aku sama Wafa.” Endra menjawab sekadarnya dan meneruskan memeriksa laporan keuangan perusahaan.

Sigra tahu bahwa tidak mudah meyakinkan Endra, tapi dia akan merasa bersalah jika tidak melakukan apapun. “Bukan nggak suka, cuma semua ini tuh aneh banget.”

“Aneh dimananya?” Endra berhenti memeriksa berkas yang ada di tangannya. Matanya menatap sepupunya yang terlihat tidak nyaman.

“Gimana ya ngomongnya… Ehm…kata Sandra, Wafa itu cewek alim.” Sigra berkata pelan dan berusaha tidak terdengar menghakimi.

“Kapan kamu ketemu Sandra?” Mendengar Sigra menyebutkan nama Sandra, Endra menjadi curiga. Sepertinya ada yang tidak beres jika Sigra bertemu Sandra untuk membicarakan hubungannya dengan Wafa.

“Dulu… udahlah itu nggak penting, yang penting sekarang itu kamu sama Wafa.” Sigra berusaha mengembalikan topik pembicaraan.

“Oke.. trus?”

“Kalau memang dia cewek alim, kenapa dia mau berhubungan sama kamu?” Sigra mengangkat kedua tangannya.

Endra tidak menjawab. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Sigra. Endra tahu benar bahwa sepupunya itu tidak pernah menjelek-jelekkan orang tanpa bukti yang jelas. Jika Sigra berusaha untuk menjelekkan Wafa, mungkin Sigra mengetahui sesuatu tentang Wafa yang tidak diketahuinya.

Sigra melanjutkan analisisnya. “Kalau memang dia cewek alim, dia harusnya tau kalau mengganggu suami orang itu dosa.” Sigra berhenti untuk melihat reaksi Endra. Saat Endra tidak bereaksi, Sigra melanjutkan. “Beberapa kali aku ketemu kamu sama dia, aku liat dia nggak keberatan kamu peluk, bahkan kamu cium.” Sigra menarik nafas. “Cewek alim nggak akan begitu.”

“Jadi maksud kamu dia cewek nakal yang pura-pura jadi alim?” Nada bicara Endra meningkat. “Yang dimaksud alim sama Sandra itu rajin sholat.” Endra menatap tajam mata Sigra. “Jaman sekarang banyak cewek rajin sholat yang senang banget ciuman. Lagian aku cuma cium pipi dia, nggak pernah lebih dari itu.

Sigra sedikit kebingungan dengan apa yang akan dikatakannya. Terlihat jelas jika Endra begitu membela Wafa, tapi dia juga takut jika Endra menyesal nantinya. “Pokoknya ada yang terasa ganjil sama Wafa itu.”

“Kamu nggak suka aku seneng?” Wajah Endra mulai memerah.

“Bukan gitu, justru aku takut kalau ternyata ini semua berakhir dengan cara yang nggak baik. Jangan salah sangka.” Sigra berusaha keras menenangkan sepupunya.

“Kamu yang bikin aku salah sangka.” Endra masih terdengar begitu emosi.

“Aku cuma khawatir sama kamu.” Sigra berusaha memperbaiki posisi duduknya yang terasa tidak nyaman, walaupun ketidaknyamanan itu sebenarnya disebabkan oleh hatinya.

“Aku udah gede, nggak perlu kamu kuatirin.” Endra kembali lagi pada berkasnya. Dia merasa tidak perlu lagi memperhatikan sepupunya.

“Kamu udah tau latar belakangnya?” Sigra bukan orang yang mudah menyerah. Dia tetap berusaha membuat Endra berpikir.

“Maksudnya?”

“Siapa keluarganya. Orang-orang sekitar dia seperti apa?”

“Aku pacaran sama dia, bukan mau nikahin dia.”

“Justru itu.” Akhirnya Sigra mendapatkan kata yang tepat untuk menarik perhatian Endra.

Kali ini Endra benar-benar penasaran dengan sepupunya. Namun dia tidak mengucapkan sepatah katapun, dia hanya menatap Sigra dengan pancaran keingintahuan yang besar.

“Kamu biasanya nggak pernah pacaran lebih dari satu bulan. Kalau kamu suka, kamu nikahin dan kalau kamu nggak suka, kamu putusin.”

Yang dibicarakan Sigra adalah kenyataan dan hal itu membuat Endra menyadari bahwa ia telah mengalami sesuatu yang berbeda. Dia pun mulai berpikir.

“Hubungan kamu kali ini benar-benar spesial dan aku nggak mau kamu melakukan kesalahan.” Sigra melanjutkan untuk menjelaskan kekhawatirannya.

“Aku…” Endra menjadi bingung harus berkata apa. Hubungan dia dengan Wafa benar-benar spesial seperti yang dikatakan Sigra. Tapi dimana letak kesalahannya?

“Kalau Wafa benar-benar cinta sama kamu, dia nggak akan mau sekedar pacaran sama kamu.” Sigra berhenti sebentar sebelum melanjutkan. “Dia  nggak seperti istri-istri kamu yang lain, dia punya uang dan kedudukan…. Yang pasti dia nggak akan mau jadi istri simpanan.”

Kata-kata Sigra membuat Endra resah. Sedikit rasa takut mulai muncul di hatinya. Namun dia terlalu bahagia untuk berpikir negatif. “Kita liat aja nanti.”

“Maaf, aku cuma mau kamu buat hati-hati. Inget pengalaman kamu sama Ofisa. Saat perempuan sudah punya uang sendiri, dia pasti menginginkan hal lain dari laki-lakinya.” Sigra berdiri dan meninggalkan Endra yang gelisah.

Sementara itu, Wafa juga mengalami hari yang tidak cukup baik. Hari itu Wafa pergi ke rumah Kesara untuk mengantarkan gaun malam yang dipesan Kesara. Pembantu Kesara yang membukakan pintu dan mempersilahkan Wafa masuk. Pembantunya mengatakan bahwa Kesara sedang menerima tamu dan akan memberitahukan kedatangan Wafa pada Kesara.

Karena Wafa sudah biasa berkunjung ke rumah Kesara, Wafa pun masuk ke ruang tengah. Disana dia melihat Kesara sedang berbicara dengan dua orang perempuan. Keduanya terlihat masih sangat muda dan dari raut wajahnya, terlihat dua perempuan itu sedang kesal.

“Pokoknya aku mau cerai sama kakak kamu.” Seorang perempuan berteriak marah hingga terdengar oleh Wafa.

“Aku juga.” Seorang perempuan lagi juga berteriak.

“Itu hak kalian, tapi kalian harusnya bicara langsung sama Mas Endra, bukan sama aku.” Kali ini terdengar suara Kesara. Jantung Wafapun berdetak lebih kencang saat mendengar nama Endra disebut. Berarti kedua perempuan tersebut adalah istri-istri siri Endra.

“Mas Endranya nggak mau nemuin kita… Ada aja alasannya.” Istri Endra yang terlihat masih sangat muda berbicara dengan nada tinggi.

Kesara melihat pembantunya yang berdiri mematung di dekat pintu. “Ada apa mbak?”

“Eh itu… ada Mbak Wafa.. nganterin baju.” Pembantunya berbicara sedikit terbata karena takut mengganggu.

Kesara terkejut karena bisa ada masalah baru jika Wafa tahu bahwa disini ada dua orang istri Endra. “Oh.. suruh tunggu aja, tolong bikinin minum ya.” Kesara memberi perintah pada pembantunya yang hanya menggangguk dan segera pergi.

“Ya udahlah… kita pergi aja sekarang. Kamu bilangin yang tadi kita minta sama Mas kamu itu.” Istri Endra yang terlihat lebih tua mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Kesara diikuti oleh istri Endra yang muda.

Kesara menarik nafas dan pergi menemui Wafa.

“Tadi itu istri-istri Endra?” Wafa langsung bertanya begitu melihat Kesara.

“Kamu denger?” Kesara langsung merasa tidak enak hati.

“Mereka teriak begitu, masa aku nggak denger.”

Kesara mendekat dan duduk di dekat Wafa. “Iya. Seperti yang kamu denger, mereka minta cerai.”

“Emang kenapa?”

“Sejak Mas Endra sama kamu, Mas Endra nggak pernah nemuin mereka lagi. Mereka protes, Mas Endra nggak peduliin mereka lagi. Gitu deh.” Kesara merasa tidak nyaman dan tidak suka dengan keadaan seperti ini.

Wafa senang mendengar cerita Kesara karena hal itu menunjukkan bahwa rencananya hampir berhasil. Tetapi dia juga merasa tidak enak pada istri-istri Endra. Mereka tidak berhak mendapatkan perlakuan seperti ini dari Endra.

Wafa tidak mau membahas ini lebih lanjut dengan Kesara yang juga terlihat tidak nyaman, akhirnya dia membicarakan gaun yang dipesan oleh Kesara dan segera pulang dengan alasan banyak kerjaan.

***

Saat malam sudah begitu gelap, Endra kembali berpikir tentang Wafa. Sebenarnya tadi pagi Wafa sudah mengatakan jika Endra tidak perlu datang karena Wafa tau Endra begitu sibuk dan Wafa pun sibuk. Namun, perkataan Sigra tadi pagi begitu mengganggu pikirannya. Dia harus bertemu Wafa walaupun sudah terlalu malam untuk berkunjung.

Jam menunjukkan pukul satu malam. Endra menekan bel dan menunggu Wafa membukakan pintu. Endra berharap Wafa belum tidur.

Wafa terkejut mendengar suara bel. Dia belum tidur karena pekerjaannya cukup banyak dan pikirannya juga terganggu oleh bayangan istri-istri Endra. Wafa melangkah ke pintu dan melihat dari lubang. Ada Endra di luar.

Wafa membuka pintu dan menyambut Endra dengan perasaan yang sedikit tidak enak. “Hei.. kok malem-malem kesini?” Walaupun Endra sering datang malam, tapi ini terlalu malam. Selain itu, raut muka Endra terlihat muram.  

“Aku mau ketemu kamu.” Endra menatap Wafa dalam-dalam. Walaupun terlihat sekali kelelahan pada wajah Wafa, perempuan ini benar-benar cantik dan selalu bisa membuat hati Endra begitu bahagia setiap kali melihatnya. Kegalauan melanda hati Endra, dia tidak yakin dengan apa yang akan dia lakukan.

Wafa yang masih terkejut dengan kedatangan Endra berdiri mematung tanpa kata. Ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul.

“Aku pulang ya.” Tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Endra yang begitu ragu untuk melanjutkan rencananya semula.

Wafa heran melihat kelakuan Endra. Memang, Endra memang pernah melakukan ini sebelumnya. Dia datang tengah malam hanya untuk bertemu sebentar dan kemudian pulang. Tapi waktu itu Endra memang telah berjanji untuk datang. Kali ini, dia tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan dan terlihat kebingungan di matanya. Hati Wafa merasa tidak enak dan jantungnya mulai berdetak lebih kencang.

“Masuk dulu yuk.” Wafa mengajak Endra masuk karena ingin tahu ada apa sebenarnya.

Suasana hati Endra sedikit berubah saat Wafa mengajaknya masuk. Tiba-tiba dia ingin menggoda Wafa. Mood Endra memang selalu naik turun semenjak bertemu dengan Wafa. “Kayaknya ada yang mau macem-macem nih.”
“Endra apaan sih. Kamu masuk dulu, istirahat bentar, baru nanti pulang.” Wajah Wafa berubah menjadi cemberut, tetapi tetap terlihat kekhawatirannya. “Kamu keliatan capek banget, kalo nyupir bahaya.”

Wafa menarik tangan Endra yang mengikutinya masuk.  Wafa meminta Endra untuk duduk di sofa. “Aku bikinin kopi ya biar kamu nggak ngantuk di jalan.”

Endra hanya mengangguk. Dia memang sangat lelah sekali hari ini. Tetapi dia tetap harus bertemu Wafa seberapapun lelahnya ia agar kegelisahan dalam hatinya bisa hilang. Terbukti bahwa hanya dengan melihat wajah cantik Wafa, Endra mulai merasa lebih nyaman. Dengan kegelisahan yang berangsur menghilang, Endra mulai merasa kantuk dan akhirnya tertidur.

Wafa selesai membuat kopi dan membawanya ke ruang tengah. Langkahnya terhenti saat dilihatnya Endra telah tertidur di sofa. Wafa mendekat dan meletakkan cangkir kopinya di meja. Diperhatikannya wajah Endra. Sebenarnya, Wafa ingin sekali menyentuh wajah Endra, tetapi dia tidak mau membangunkan Endra yang terlihat begitu lelah.

Wafa memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sesaat kemudian dia merasa begitu lelah dan ingin beristirahat, tapi ada Endra di rumahnya. Dilihatnya Endra tidur dengan lelap. Tidak mungkin dia membangunkan Endra dan menyuruhnya pulang. Akhirnya Wafa memutuskan untuk membiarkan Endra tidur. Lagipula Endra kan suaminya, tidak ada salahnya jika dia tidur disini, di rumah istrinya sendiri. Wafa mengunci pintu apartemen, kemudian mengambil selimut. Diselimutinya Endra dengan sangat hati-hati. Setelah memandangi Endra sebentar, Wafa pun masuk kamar dan tidur.

Saat subuh, Endra dibangunkan oleh suara perempuan mengaji. Dirumahnya tidak ada perempuan, semua pembantunya laki-laki dan mereka tidak suka mengaji. Dia pun teringat bahwa tadi dia baru saja menemui Wafa. Endra langsung bangun dan duduk. Dilihatnya sekeliling ruangan, secangkir kopi di meja, dan selimut yang terjatuh. Dilihatnya jam dan dia tidak mempercayai matanya. Dia tertidur sampai pagi di rumah Wafa. Berarti perempuan yang sedang mengaji itu Wafa?

Suara Wafa terdengar indah sekali, hati Endra pun tergetar mendengarnya. Endra berdiri dan melangkahkan kaki ke tempat suara mengaji itu. Kamarnya tertutup. Seketika Endra menjadi resah kembali. Semuanya menjadi aneh baginya. Sandra benar bahwa Wafa adalah perempuan alim, tapi Sigra juga benar. Jika Wafa memang alim, mengapa Wafa mau berhubungan dengan dirinya?

Endra tidak bisa berhenti berpikir. Ia kemudian melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia mau berwudhu. Mendengar Wafa mengaji dan kegalauan yang melandanya membuat ia ingin menyembah Tuhannya untuk mendapatkan ketenangan. Endra berwudhu dengan perlahan, prasangka dan pertanyaan masih memenuhi otaknya. Selesai berwudhu, Endra keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan.

Wafa yang baru saja selesai mengaji keluar kamar untuk melihat keadaan Endra. Saat melihat wajah Endra yang basah saat keluar dari kamar mandi, Wafa bertanya, “Mau sholat ya?”

“Eh .. iya.” Endra menjadi gugup saat melihat Wafa.

“Di kamar sana aja kayak biasa.” Wafa menunjuk sebuah kamar yang biasa digunakan Endra untuk beribadah saat berkunjung ke apartemen Wafa. “Bentar ya aku ambilin sajadah soalnya kemaren habis dicuci.” Wafa kembali bersama sajadah dan memberikannya kepada Endra yang menerimanya dan segera memasuki kamar yang ditunjuk.

Selesai sholat, Endra keluar kamar. Dilihatnya Wafa sedang sibuk di dapur. Endra pun mendekat. “Maaf ya aku ketiduran.” Endra malu sekali. Baru kali ini ia tertidur dirumah perempuan.

“Nggak papa kok.” Wafa menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Tadi malem kamu tidurnya pules banget, aku nggak tega banguninnya.”

Endra tersenyum tipis.

 “Kamu mau sarapan apa? Aku buat krim sup sama French toast. Mau?” Wafa menawarkan.

“Udah numpang tidur, dapet sarapan gratis lagi.” Endra melihat jamnya. “Emang nggak kepagian sarapan jam segini?”

“Kamu kan harus pulang buat ganti baju sebelum ke kantor. Ya aku masak aja sekarang biar kamu sarapan dulu.” Wafa terus sibuk dengan masakannya.

Endra menatap perempuan dihadapannya. Ia ingin sekali memeluk Wafa, tetapi setelah mendengar Wafa mengaji, dia merasa tidak nyaman dengan semua ini. Kali ini dia merasa begitu berdosa. Walaupun mereka tidak pernah tidur bersama, dia merasa telah menodai wanita yang suci dengan apa yang dilakukannya selama ini pada Wafa. Tapi apa benar dia itu suci? Jika benar Wafa masih suci, mengapa dia mau dipeluk dan dicium?

“Kok malah berdiri bengong gitu sih? Kamu mau minum apa?” Wafa menarik salah satu kursi di meja makan. “Duduk sini.” Kemudian Wafa kembali memasak.

“Iya.” Cuma itu yang bisa diucapkan Endra. Dia masih merasa sangat tidak enak, resah, dan gelisah.

“Cobain deh..” Wafa menyodorkan sendok berisi krim sup yang dibuatnya.

Endra mengambil sendok dan merasakan supnya.

“Kurang apa?” Wafa memperhatikan wajah Endra untuk melihat reaksinya.

“Nggak kurang apa-apa. Enak.” Endra tersenyum.

Wafa mematikan kompornya dan mulai menyajikan makanan. “Kamu kalo pagi minum susu nggak?”

“Kadang-kadang aja. Aku biasanya minum kopi.” Endra menjelaskan.

“Kalau pagi jangan langsung minum kopi sebelum makan. Nggak bagus buat lambung.” Wafa meletakkan gelas minum berisi air putih dan duduk dihadapan Endra.

Endra tersenyum, dalam hatinya dia yakin bahwa jika Wafa menikah, ia akan menjadi istri yang baik. Namun, hatinya menjadi sesak saat memikirkan tentang Wafa sebagai istri. Endra merasa begitu bersalah telah menjerumuskan Wafa ke dalam hidupnya yang tidak karuan. Wafa berhak mendapat perlakuan yang lebih baik. Wafa tidak layak menjadi wanita simpanan.

“Kok bengong lagi sih? Mikirin apa?” Wafa menatap dalam-dalam lelaki yang terlihat begitu gelisah sejak tadi malam. “Mikirin istri kamu yang lagi nungguin kamu ya?” Wafa kembali teringat istri-istri Endra yang dilihatnya di rumah Kesara. Hatinya mendadak terasa sakit.

Endra tersentak. “Enggak.. enggak kok.” Endra menggelengkan kepalanya. Dia begitu terkejut. Mengapa Wafa tiba-tiba membicarakan istrinya?. “Aku masih ngantuk aja.” Endra berkilah dan mengalihkan perhatiannya pada sarapan yang ada di depannya. Galau, bingung, gelisah, takut, dan berbagai perasaan aneh dirasakannya.

Endra dan Wafa sarapan tanpa banyak bicara. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Selesai sarapan, Endra langsung pulang. Setelah sekian lama merasakan kebahagiaan, baru kali ini mereka merasa tidak yakin dengan hubungan yang mereka jalani.

___________________________________________________
 Prolog                << Bab Sebelumnya        Bab Selanjutnya >>                


 Beranda