Bab VII
Beberapa hari
ini, Endra dan Wafa tidak bertemu karena sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing. Pekerjaan mereka memang menjadi salah satu alasan mengapa mereka
tidak bertemu, tetapi ada alasan lain yang membuat mereka tidak memaksakan diri
untuk bertemu seperti hari-hari sebelumnya. Ada perasaan tidak nyaman dalam diri masing-masing.
Pagi ini Wafa ada
janji dengan Viza, teman kuliahnya yang juga merupakan adik Sandra. Mereka
janji bertemu di butik milik Sandra tempat Viza bekerja untuk membantu kakaknya. Namun Viza
ternyata belum datang dan Wafa akhirnya berbincang-bincang dengan Sandra.
Awalnya mereka
berbincang ringan seputar tren-tren mode terbaru. Setelah beberapa lama, Sandra terpikir mengenai hubungan Wafa dan Endra. Sandra sebelumnya
telah beberapa kali berbicara dengan Endra dan melihat bahwa Endra menjadi
orang yang sangat berbeda kali ini. Sandra juga pernah berbincang dengan Sigra
mengenai Endra dan Wafa. Keduanya sepakat jika Endra telah berubah drastis. Sandra
penasaran dan ingin mengetahui cerita dari pihak Wafa.
“Kayaknya
hubungan kamu sama Endra serius ya?”
Wafa terkejut
mendengar pertanyaan dari Sandra.
“Kak Sandra tau dari mana aku jalan sama Endra?”
Sandra tidak
kalah kagetnya saat menyadari
bahwa Wafa tidak tahu jika Sandra
berteman dengan Endra. Dia menyesal sudah bertanya seperti itu, tetapi sudah
terlanjur.
“Sebenernya, yang
kasih alamat butik kamu ke Endra itu aku.” Akhirnya Sandra mengaku.
“Apa?” Wafa tidak
percaya dengan apa yang didengarnya. Pengakuan Sandra membuatnya benar-benar
kaget.
“Jadi gini, Endra
itu dulu dateng ke sini tanya kamu. Aku nggak bisa tolak, jadi aku kasih alamat
butik kamu. Maaf ya.. aku nggak bilang dulu sama kamu.” Sandra terlihat
sangat merasa bersalah.
“Kak Sandra kenal
Endra?” Wafa masih tidak percaya hal ini bisa terjadi.
“Iya gitu deh…”
Sandra benar-benar menyesal telah memulai pembicaraan ini. Dia menjadi
kikuk.
Tiba-tiba
terbersit di benak Wafa jika Sandra
adalah salah satu mantan Endra. Sesaat kemudian dihilangkannya pikiran
tersebut karena secara logika dia berpikir bahwa tidak mungkin Endra begitu dekat dengan mantannya.
Namun, saat melihat Sandra yang salah tingkah, Wafa kembali penasaran. “Jangan-jangan kakak mantannya
Endra ya?” Wafa tidak bisa menahan diri.
Sandra kembali
terkejut mendengar pertanyaan Wafa, ia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya memainkan gelas didepannya.
“Udah deh kak,
nggak usah bohong.” Wafa memaksa.
“Iya.” Sandra
menyerah.
Terpikir di benak
Wafa bahwa Sandra adalah mantan istri Endra, tetapi Wafa tau benar kalau Sandra
adalah anak orang kaya. Selama ini Endra selalu menikahi orang miskin. Ofisa
yang seorang model itu tidak sampai dinikahi oleh Endra. Lagipula,
tidak mungkin jika Sandra adalah mantan istri Endra karena sepengetahuannya,
Sandra belum pernah menikah.
“Kok kakak tau
kalau aku sama Endra serius?”
“Endra cerita
sama aku.” Sandra tidak berani menatap mata Wafa.
“Kok bisa Endra
cerita sama kakak? Emang kalian masih berhubungan deket?” Wafa berpikir bahwa ada yang tidak beres dengan
mereka.
“Ya kita
masih temenan. Bukan pacaran lo.” Sandra berusaha untuk meyakinkan Wafa.
Wafa tidak
percaya jika mantan pacar
bisa sebegitu dekat. Jantungnya berdetak cepat, dia tidak tahu harus bagaimana.
“Mungkin karena
kita udah temenan dari kecil, jadi kita deket banget. Walaupun aku udah putus
dari dia, kita tetep temenan.” Sandra berusaha menerangkan supaya Wafa tidak
curiga. Dia tidak ingin membuat Wafa kecewa karena Wafa sudah seperti
adik baginya.
“Udah temenan
sejak kecil?” Wafa kembali terkejut. Berarti Sandra bukan teman biasa.
“Iya. Bapaknya Endra sama papa aku itu teman baik sejak
kuliah jadi anak-anaknya juga ikutan berteman.” Sandra menjelaskan.
“Berarti kakak
udah lama dong pacarannya sama dia?” Wafa berfikir kalau memang begitu,
seharusnya Sandra mengetahui tentang pernikahan Endra dengannya.
“Itu udah
lama banget.. waktu itu dia belum
kayak gini.” Sandra terkejut dengan apa yang dia katakan. Seharusnya dia tidak
berbicara seperti itu. Pasti Wafa akan curiga.
“Maksudnya?”
Benar. Wafa memang curiga.
“Dulu dia itu
gila kerja.” Sandra berharap Wafa berhenti menanyainya.
“Sekarang juga
gila kerja, trus bedanya apa?” Wafa semakin menekan.
“Ya dulu cuma
gila kerja, nggak gila cewek.” Sandra benar-benar kesal pada dirinya sendiri.
Seharusnya dia bisa menjaga mulut.
“Trus
kenapa kalian putus? Apa Kakak putus
gara-gara dia terlalu sibuk sama kerjaan?”
“Ya…bukan cuma
dia, kami berdua sama-sama sibuk kerja.” Walaupun tidak
seratus persen benar, tetapi putusnya hubungan mereka berdua salah
satunya memang karena alasan pekerjaan.
“Kalau kakak
deket sama dia, kakak tau dong kenapa dia berubah?” Akhirnya Wafa mengeluarkan
pertanyaan yang begitu ditakuti Sandra.
Sandra bingung
harus menjawab apa. Dia ingin berbohong tetapi takut dosa.
“Ayo dong kak
cerita.. please…” Wafa memohon dengan wajah yang begitu memelas.
Sandra merasa
tidak mungkin untuk menceritakan semuanya, kali ini saja dia sudah
terlalu banyak bicara. Tapi Wafa ini perempuan yang polos. Kasihan jika Wafa
harus menjadi korban Endra yang kesekian, walaupun Sandra tahu bahwa kali ini
Endra telah berubah. Akhirnya Sandra pun memutuskan untuk bercerita karena Wafa berhak tahu siapa Endra
sebenarnya. Siapa tahu hal ini bisa
membantu hubungan mereka dan mungkin saja Wafa bisa benar-benar merubah
sifat Endra menjadi baik.
“Tapi janji ya,
kamu nggak cerita ini sama siapa-siapa termasuk Endra.” Sandra menatap Wafa dan
memohon.
“Iya aku janji.”
Wafa mengangguk dan mengangkat dua jarinya.
“Janji juga kamu
nggak akan kaget trus marah sama aku.”
“Emang kenapa?”
Wafa bingung.
“Janji dulu.”
“Iya deh.” Wafa
tidak punya pilihan lain.
“Jadi gini…
aduhh. “ Sandra menggaruk kepalanya.
“Kak.. ayo dong
cerita.” Wafa memohon sambil memegang tangan Sandra.
Sandra menjadi
tidak enak dan akhirnya melanjutkan ceritanya. “Sebenernya dulu Endra pernah
ngelamar aku.”
Wafa kembali
terkejut, apakah ini berarti
Sandra adalah pacar yang diceritakan Endra saat melamarnya dulu. Namun, dia
tidak ingin Sandra curiga sehingga berusaha untuk tetap diam dan
mendengarkan cerita Sandra selanjutnya.
“Waktu itu aku
baru aja buka butik dan sibuk. Aku nggak mungkin menikah dengan Endra karena
dia hanya kasih aku waktu 30 hari.”
Jadi benar apa yang dipikirkan Wafa. Ia menjadi bersemangat
untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia memajukan tubuhnya agar
cerita Sandra terdengar lebih jelas.
Sandra menarik
nafas. “Gini, waktu itu
Bapaknya mau ngasih posisi presiden
direktur sama anak angkatnya
yang namanya Izaan. Endra yang
udah lama banget ngincer posisi itu nggak terima karena alasan bapaknya kasih jabatan itu ke Izaan cuma karena anak angkatnya itu udah nikah
sehingga terbukti bertanggung jawab dan mampu berkomitmen, nggak seperti Endra
yang suka gonta-ganti pacar.
Akhirnya, Bapaknya kasih
ultimatum. Kalau Endra mau jabatan itu, Endra harus nikah dalam 30 hari”
Wafa mulai
mengerti kejadian yang sebenarnya.
Selama ini dia hanya tau sedikit tentang mengapa Endra melamarnya dengan
tiba-tiba.
Sandra
melanjutkan ceritanya. “Waktu itu aku nggak terima dia karena aku emang lagi
sibuk dan dia ngelamar bukan karena mau nikah, tapi cuma karena posisi presiden
direktur itu.”
Wafa mengerti
bahwa sebagai perempuan, Sandra pasti tidak terima dilamar dengan cara seperti
itu. Ia menganggukkan kepala.
“Waktu aku tolak,
Endra marah dan minta putus. Aku kira cuma
emosi sesaat, ternyata bener. Dia bener-bener putusin aku dan..” Sandra tidak melanjutkan ceritanya.
Kali ini dia begitu takut untuk bercerita yang sebenarnya. Selama ini, hanya
keluarga dekat yang tahu
pernikahan resmi Endra.
“Dan….?”
“Aduh…” Sandra
gugup. Matanya bergerak kesana kemari.
“Ayo dong Kak…
cerita semuanya.”
“Tapi ini rahasia,
jangan cerita siapa-siapa ya?”
“Iya aku janji.”
Sandra memegang
kepalanya. Dia yang memulai dan dia harus menyelesaikannya. “Saking kepepetnya,
dia nikah sama perempuan yang baru dia kenal.”
Jantung Wafa
berdetak semakin kencang. Dia sangat penasaran dengan cerita selanjutnya.
Sandra menarik
nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya. “Aku nggak tau persis ceritanya gimana,
tapi sejak saat itu, Endra jadi suka main perempuan. Mungkin ada masalah
sama istri sahnya itu”
Wafa kecewa.
Mengapa hanya seperti itu ceritanya. Dia juga tau tentang itu.
Melihat Wafa yang terlihat kecewa membuat Sandra berusaha
untuk membela Endra. “Tapi Endra itu
nggak main perempuan kayak cowok-cowok lain. Kalau memang dia suka, dia nikahin
cewek itu. Dia itu nggak mau zina.”
Wafa masih terlihat begitu kecewa sehingga Sandra
melanjutkan pembelaannya. “Dia itu selalu deketin cewek miskin. Cewek
itu dicukupin harta dan dididik usaha. Setelah istrinya punya usaha yang
berjalan lancar, dicerai.”
“Hah?.” Cuma itu
yang keluar dari mulut Wafa.
“Aku nggak tau
ada perjanjian apa antara mereka, tapi mantan-mantan istrinya nggak ada yang
benci sama dia. Mereka justru ngerasa dibantu sama Endra. Karena sekarang kan
hidup mereka cukup dan bisa cari uang sendiri.” Sandra bercerita lebih lancar
tentang hal ini.
“Tapi Ofisa bukan
orang miskin.” Wafa teringat model yang dulu membuatnya begitu marah pada
Endra.
“Kalau Ofisa
lain, itu mah dia yang kejar-kejar Endra.” Sandra mengambil gelas di depannya
dan meminum isinya.
“Maksudnya?” Wafa
tidak mengerti, dia tidak pernah tahu cerita yang sebenarnya tentang Ofisa.
“Ofisa itu udah
tau kalau Endra suka nikah siri. Nah,
Ofisa waktu itu baru rekaman single,
tapi status dia sebagai model nggak cukup buat naikin ketenaran dia. Jadi, dia buat sensasi dengan mengangkat isu
kalau dia dijadiin mainan sama pengusaha muda yang suka gonta-ganti istri.”
“Apa?” Ini
benar-benar diluar dugaan Wafa.
“Endra tuh banyak
yang ngejar, biasanya dia itu bisa nahan
diri untuk nggak terjebak sama cewek. Dia biasanya pegang kendali. Kayaknya sih dia lagi banyak pikiran
waktu itu, jadi agak sedikit kehilangan kendali sampe mau diajak jalan
sama Ofisa.”
“Tapi siapa juga yang kuat nahan godaan dari perempuan cantik
dan seksi kayak Ofisa itu.” Wafa berkomentar.
“Tapi kayaknya Endra emang lagi ada masalah deh, soalnya
Ofisa itu biasa aja. Cewek-cewek lain masih banyak yang lebih cantik dan seksi.”
Sandra tetap membela Endra..”
“Tapi laki-laki kan emang gitu. Dikasih kesempatan dikit
langsung nyosor.”
“Ya sebagian besar mungkin gitu, tapi Endra tuh beda. Lagian
cerita sebenernya gak kayak yang di infotainment. Ofisanya aja yang pinter
banget bikin setingan supaya keliatan kalau mereka itu memang udah deket
banget, padahal mereka itu cuma jalan doang. Nggak ngapa-ngapain.”
“Emang gitu kak?” Wafa memang hanya mengetahui cerita Endra
dan Ofisa dari infotainment. Endra tidak pernah membicarakan Ofisa dan Wafa
tidak berani bertanya. Keluarga Endra pun tidak pernah membicarakan hubungan
Endra dan Ofisa karena mereka tidak menyukai hal tersebut dan tidak mau tahu.
Kali ini Sandra yang terkejut. “Emang kamu nggak tau? Endra
sama Ofisa itu kan cuma jalan dua kali, trus beritanya digedein kayak mereka
udah pacaran lama gitu dan Endra mencampakkan Ofisa dengan semena-mena.”
“Masa sih? Kenapa Endra nggak bela diri?”
“Ngapain juga susah-susah bela diri. Infotainment kan emang
gitu, yang kecil jadi gede, yang gede jadi kecil.”
“Tapi kan…” Penjelasan Sandra masih kurang memuaskan bagi
Wafa. Kalau memang seperti itu, mengapa Kesara tidak menceritakan hal ini
padanya? Mengapa Kesara justru terlihat menyalahkan kakaknya atas masalah
dengan Ofisa?
“Yang penting bagi Endra tuh keluarga sama
sahabat-sahabatnya tau gimana dia sebenarnya. Kalau orang lain terserah.”
Sandra menjelaskan.
“Tapi Kesara justru nyalahin Endra.” Akhirnya Wafa bertanya
juga.
“Kesara ya?” Sandra mengernyitkan keningnya. “Kalau dia itu
mah bete banget sama Endra gara-gara sifat playboynya itu. Semua yang dilakuin
Endra tuh nggak ada yang bener buat Kesara. Walaupun dia tahu untuk masalah
Ofisa, yang salah sebenernya Ofisa. Endra cuma dijadiin alat buat promosi
terselubung.”
“Ohh. Gitu ya.”
Sandra tiba-tiba menegakkan
tubuhnya. “Kamu tau nggak?”
“Apa?” Wafa berpikir ada apa lagi ini.
“Sejak dia nikah, Endra itu nggak pernah pacaran lebih dari
satu bulan.” Wajah Sandra terlihat serius.
“Maksudnya?” Wafa tidak mengerti.
“Bagi dia, satu bulan itu waktu yang cukup untuk mengenal
perempuan. Kalau dia suka, ya dinikahi, kalau nggak diputusin baik-baik.”
“Emang iya?” Wafa tidak percaya.
“Iya.. makanya kamu itu spesial. Udah lebih dari enam bulan
dan Endra masih pacaran sama kamu. Dia nggak mau ngelepasin kamu.”
“Tapi kenapa dia nggak nikahin aku?” Wafa justru merasa
rendah diri mendengar penjelasan Sandra. Jika Endra memang menyukainya, mengapa
Endra tidak meminta dia untuk menjadi istri?
“Soalnya dia tau kalau kamu nggak layak jadi istri
simpenan.”
“Hah?”?”?.”
“Iya. Gara-gara kamu, dia sadar kalau dia udah nggak boleh
maenin perempuan lagi.”
“Kakak tau dari mana?” Wafa tidak mungkin percaya begitu
saja karena sudah terlalu banyak cerita buruk tentang Endra yang tidak bisa
dilupakannya.
“Dia sendiri yang bilang. Dia cerita sama aku tentang kamu.”
“Dan kakak percaya?”
“Aku kan udah bilang, aku kenal Endra udah lama. Dari
matanya, aku tahu kalau dia nggak bohong kali ini.”
Apa yang dikatakan Sandra terdengar bagai nyanyian indah
yang memberi berjuta kebahagiaan. Kebenaran
ini merubah pola pikir Wafa terhadap Endra. Cintanya pada Endra pun
semakin kuat.
“Eh, ada lagi yang kamu harus tau.” Sandra
berpikir jika dia harus menceritakan semuanya, karena sudah terlanjur.
“Apa?” Wafa tidak
percaya karena ada lagi yang akan membuatnya terkejut.
“Jadi gini,
sebenarnya waktu itu, Om
Wira, bapaknya Endra sama Papa aku pengen banget besanan. Keluarga kami udah deket dari dulu dan maunya
hubungan keluarga kita tuh jadi resmi. Ya, sebenernya sih ada alasan bisnis
juga, biar semakin kuat hubungan bisnis keluarga kita.”
Wafa begitu tertarik mendengar cerita Sandra. Sepertinya dia
akan mengetahui satu rahasia penting tentang Endra. Wafapun mendengarkan Sandra
dengan baik dan berusaha untuk diam sehingga tidak memutus cerita Sandra.
“Tapi Om Wira tau banget klo Endra nggak bisa diminta
baik-baik buat nikah sama aku. Nah, kalau Om Wira paksa Endra pake alasan
jabatan, Om Wira pikir akan sukses.”
Wafa hanya menggangguk-angguk tanda mengerti. Dia sudah tahu
kemana arah cerita Sandra.
“Om Wira juga
tahu kalau Endra pasti nggak akan terima kalau posisi presiden direktur dikasih
ke Izaan karena emang udah lama banget Endra berusaha keras dapetin
posisi itu. Jadi ultimatum pernikahan itu sebenernya diseting supaya Endra bikin komitmen dan nikah
sama aku.”
“Ohh.” Wafa mengangguk-angguk. Semuanya
menjadi masuk akal
sekarang.
“Tapi, ternyata Om Wira salah strategi dan perhitungan. Dia cuma minta Endra buat
nikah, bukan harus nikah sama aku. Terus, Om Wira salah karena nggak
kompromi dulu sama Papa dan aku. Jadi, waktu Endra ngelamar, aku nggak tau klo
itu ultimatum setingan. Ya aku tolak. Nah, waktu tau Endra nikah sama perempuan lain, Om Wira marah. Karena ngerasa
dia memang salah dalam hal ini,
akhirnya dia bikin perjanjian baru sama Endra.” Sandra berhenti.
“Perjanjian?”
Wafa ingin tahu apakah perjanjian itu sama seperti yang dia ketahui.
“Om Wira
mengharuskan Endra menikah setidaknya selama sepuluh tahun. Kalau cerai,
posisinya diserahkan ke orang lain.”
Yah. Tepat
seperti yang dipikirkan Wafa.
“Nah.. aku kan
liat kamu sama Endra serius dan aku yakin kamu nggak mau jadi istri simpenan.”
Pernyataan Sandra ini sangatlah benar. Wafa mengangguk setuju, tanpa berkomentar.
“Sekarang ini
udah sekitar enam atau tujuh tahun…. Kalau kamu mau nikah sama Endra, kayaknya
kamu masih harus nunggu
lama.” Sandra menjelaskan.
Wafa mengangguk
lagi.
“Kamu bisa tunggu
selama itu?” Sandra bertanya.
Sebenarnya Wafa
tidak perlu menunggu, tapi dia juga tidak mungkin membuka rahasianya. Dia hanya
terdiam.
“Ya sudah lah,
yang penting kamu udah tau keadaan yang sebenarnya seperti apa.” Sandra
memegang tangan Wafa. “Kamu yang sabar ya.”
Wafa hanya
tersenyum.
“Tapi kamu tenang aja, kan Endra bener-bener cinta mati sama kamu.” Sandra tersenyum penuh arti.
“Ah Kakak
nih bisa aja.” Wafa tersipu.
“Aku kan
udah bilang tadi, kalau kamu berhasil merubah Endra.” Sorot mata Sandra terlihat begitu yakin. “Aku
kenal Endra udah lama. Dia belum
pernah seperti ini sama perempuan sebelumnya. Bahkan waktu pacaran sama aku,
dia itu cuma ngerasa nyaman sama aku.”
“Masa sih?” Wafa ingin sekali percaya, tapi dia takut.
“Dari matanya aja keliatan kalau dia anggap kamu spesial.“ Sandra tersenyum lebar.
“Kakak segitu yakinnya bisa baca mata Endra”.
“Aku kan udah bilang kalau kami udah temenan sejak kecil,
jadi aku tau dia itu gimana.”
Mendengar Sandra yang begitu memahami Endra membuat Wafa
ingin tahu tentang perasaan Sandra pada Endra. Wafa sedikit kuatir jika
ternyata Sandra masih menyimpan hati untuk Endra. “Maaf ya Kak, aku boleh tanya
ga?”
“Nanya Apa?”
Dengan sedikit ragu, Wafa bertanya perlahan, “Kakak nyesel
ga udah nolak lamaran Endra?”
“Apa?” Sandra tidak pernah terpikir jika Wafa akan bertanya
seperti itu.
“Ya, setelah Kak Sandra tau kalau ultimatum itu cuma setingan
yang gagal dan akhirnya Endra nikah sama orang lain, kakak nggak sedih gitu?”
Sandra terdiam. Rasa sakit itu sudah lama sekali terkubur,
mengapa tiba-tiba dia harus mengingatnya kembali.
“Maaf ya kak. Aku salah ya nanya gitu?” Wafa menyesal telah
membuat Sandra sedih.
“Enggak papa kok. Wajar kalau kamu nanya gitu.” Sandra
berpikir sejenak untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan
perasaannya. “Waktu itu aku memang pernah sakit hati karena aku ngerasa
dihianati. Tapi waktu aku tau tentang setingan itu, aku justru bersyukur udah
nolak lamaran Endra.”
“Kok bisa?”
“Ya aku bahagia karena nggak terjebak dalam cinta semu. Karena
aku nggak tau tentang setingan itu, aku kan jadi nolak Endra. Ternyata dia lebih
milih posisi presiden direktur daripada aku, jadi dia nggak beneran cinta sama
aku. Coba kalau aku dikompromi dulu tentang setingan itu dan mau aja nikah sama
Endra, pasti pernikahan kita nggak akan bahagia.”
“Tapi kalau kalian pacaran, berarti kalian saling suka kan?”
“Suka itu bukan berarti cinta.” Sandra tersenyum sebelum
melanjutkan penjelasannya. “Beberapa saat setelah kami putus dan Endra menikah,
aku pernah memikirkan tentang hubungan kami. Akhirnya aku sadar kalau ternyata
kami itu pacaran bukan karena cinta, tapi karena rasa nyaman dan aman.”
“Nyaman dan aman?”
“Iya. Nyaman karena kami udah kenal sejak kecil dan aman
karena orang tua kami pasti setuju, bahkan sangat mendukung.”
Sandra menangkap kebingungan di mata Wafa. Ia pun berusaha
untuk menjelaskan dengan terang. “Walau sekarang udah bukan jaman Siti Nurbaya,
yang namanya orang tua tuh tetep aja seneng jodohin anaknya. Orang tua aku sama
Endra juga sama. Kami tuh sering dijodoh-jodohin. Karena aku sama Endra sama-sama
nggak suka dijodohin, kami sering curhat satu sama lain dan akhirnya jadi deket
banget. Kedekatan kami itu bikin orang tua kami bahagia. Melihat kebahagiaan
itu, aku sama Endra jadi lebih nyaman dan merasa aman karena nggak
dijodoh-jodohin lagi. Jadilah kita pacaran.”
“Tapi beneran nggak ada sedikit pun rasa cinta?”
Sandra menggeleng. “Setelah Endra nikah, aku sadar kalau aku
juga sebenernya nggak cinta dia. Ya itu tadi, cuma ngerasa nyaman aja sama dia.”
“Tapi tadi katanya kakak sakit hati waktu tau Endra nikah
sama perempuan lain?”
“Itu sih cuma harga diri yang tersakiti. Bener deh, aku bahagia
putus dari Endra karena kita malah jadi sahabat baik setelah putus.”
“Trus kenapa kakak belum nikah?”
“Ini nih, paling bete jawabnya.” Raut wajah Sandra seketika
berubah menjadi kesal.
“Kok?”
"Bosen aja ditanyain gitu.”
“Maaf”
“Nggak papa.” Sandra melunak. “Aku tau kamu takut kalau aku
belum nikah karena belum move on dari Endra kan?”
Wafa menjadi salah tingkah dan malu karena pikirannya
terbaca oleh Sandra.
“Aku tuh belum nikah karena belum yakin. Seumur hidup aku,
belum ada satupun laki-laki yang bisa bikin aku deg-deg-an. Yang kata orang tuh
bikin kita melayang. Kayak kamu sama Endra gitu.” Sandra tertawa bahagia, bisa
menggoda Wafa.
“Kakak apaan sih.” Wafa tersipu.
“Udah.. kamu tenang aja. Kalian itu cocok kok.”
Wafa pun tersenyum. Dia merasa bahagia sekali.
Semua kegundahannya hilang. Dia ingin segera bertemu dengan Endra dan mengatakan bahwa
ia sangat mencintai lelaki pujaan hatinya itu.
“Eh.. tapi janji
ya.. kamu nggak bilang siapa-siapa rahasia yang tadi.” Sandra menggenggam tangan Wafa kencang sekali.
Wafa mengangguk.
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda