Jumat, 03 Oktober 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB XII





BAB XII  

Wafa begitu cemas dengan kedatangan Sigra ke butiknya, terlebih lagi Sigra mengajaknya untuk berbicara berdua saja di café dekat butik. Apa Endra yang mengirim Sigra untuk menemuinya? Tapi mengapa Endra harus menyuruh orang lain? Endra bukanlah lelaki pengecut. Dia tidak pernah takut untuk menghadapi masalah. Lagipula, sikap Endra sudah sangat jelas. Endra sangat kecewa dan tidak ingin melanjutkan hubungan mereka.

“Silahkan duduk.” Sigra menarik kursi untuk Wafa dan mempersilahkannya duduk. Sikap Sigra yang sangat sopan terhadap perempuan mengingatkan Wafa pada Endra yang juga selalu bersikap seperti itu. Sikap yang menunjukkan jika mereka berdua terdidik dengan baik di dalam keluarga kelas atas yang sangat menjunjung tinggi sopan santun.

“Makasih.” Wafa duduk dengan perlahan agar tidak terlihat kikuk dan cemas. Dia tidak berani memandang wajah Sigra dan hanya tertunduk.

“Kamu mau pesen apa?” Sigra menawarkan. Lagi-lagi sikap Sigra mengingatkan Wafa pada Endra. Ternyata kedua sepupu ini memiliki persamaan, walaupun pribadi dan pola pikir mereka sering kali bertolak belakang. Pikiran Wafapun kembali melayang dalam lamunannya tentang Endra.

“Wafa?” Sigra memecahkan lamunan Wafa yang langsung salah tingkah dan malu karena ketahuan sedang melamun.

“A.. apa? E..Tadi kamu ngomong apa?” Dengan tergagap, Wafa menjawab Sigra. Semoga saja Sigra tidak tahu jika dia sedang melamunkan Endra.

“Kamu mau pesen apa?” Sigra tersenyum simpul.

“Oh.. coklat panas aja.” Wafa begitu malu di hadapan Sigra yang terlihat begitu tenang dan senyum tipisnya menunjukkan jika Sigra sebenarnya sedang menahan tawa.

“Makanannya?”

“Oh.. nggak usah, aku udah makan tadi.”

“Oke.” Sigra segera memanggil pelayan dan memesan minuman yang diinginkan.

Setelah pelayan pergi, Sigra tersenyum pada Wafa dan berkata, “Maaf ya aku jadi ganggu kamu.”

“Oh.. nggak papa kok.” Wafa berbohong. Dalam hati, ia ingin sekali berlari meninggalkan Sigra. Kesopanan Sigralah yang membuat Wafa tidak enak hati dan memberanikan diri untuk menghadapinya.

“Gini. Aku denger dari Tante Felize kalau kamu juga terima pesenan eksklusif dengan rancangan yang berbeda dari koleksi yang biasa kamu pajang di butik kamu.” Sigra memulai pembicaraannya.

“Oh.. iya.” Wafa mengangguk. Ia tidak menyangka jika Sigra akan bertanya tentang pekerjaannya. Apa dia salah sangka dengan tujuan Sigra?

“Kamu bisa ngerancang gaun malam yang seksi nggak?” Sigra bertanya dengan suara berbisik.

“Apa?” Wafa semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Apa Sigra benar-benar ingin berbicara tentang desain busana dan bukan tentang Endra? Tapi kenapa busana seksi?

“Gimana ya ngomongnya. Sebenarnya aku malu juga sih.” Sigra berkata dengan canggung dan  terlihat salah tingkah sehingga Wafa semakin bingung dengan tujuan pembicaraan Sigra.

“Ngomong aja.” Wafa sangat penasaran.

“Ehmm… gini loh, bentar lagi kan ulang tahun pernikahan aku sama Yuvi yang pertama. Aku pengen bikin makan malam yang romatis buat kami berdua di rumah. Cuma kami berdua aja.” Sigra berbicara dengan perlahan dan nada yang menunjukkan keragu-raguan. Ia tidak melanjutkan pembicaraannya dan hanya menatap Wafa.

“Terus?” Wafa semakin penasaran.

Sigra terlihat berpikir sebentar dan kemudian melanjutkan, “Aku mau kasih gaun seksi buat dipake Yuvi waktu makan malam itu.”

“Oke.” Wafa mengangguk.

“Nah.. kamu bisa bantu rancangin dan buatin gaunnya nggak?” Sigra menatap Wafa sambil menunggu jawaban.

Jadi Sigra ingin dibuatkan gaun, bukan ingin membicarakan masalah Endra. Wafa bernafas lega. Semua beban menguap dari pundaknya. Hidup terasa indah kembali.

“Ada apa?” Sigra melihat raut wajah Wafa yang berubah dengan tiba-tiba.

“Oh nggak kok. Nggak papa.” Wafa kembali merasa malu karena telah menyangka yang tidak-tidak pada Sigra.

“Jadi kamu bisa bantu kan? Soalnya aku nggak enak kalau mau pesen sama perancang lain. Malu.” Sigra menatap Wafa dengan pandangan memohon.

Akhirnya Wafa bisa tertawa juga. Dia begitu senang karena semua sangkaannya terhadap Sigra salah. “Pasti. Pasti aku bantu kamu.”

“Huh… lega banget rasanya. Aku sebenarnya agak ragu waktu mau ketemu kamu.” Sikap Sigra terlihat lebih santai.

“Emang kenapa?”

“Ya malu aja dan takut.”

“Takut? Takut apa?”

“Ya takutnya nanti kamu kira otak aku ngeres karena pesen baju seksi.”

Wafa kembali tertawa mendengar pengakuan Sigra. “Ya nggak lah, justru romantis kalau suami sampe memikirkan detail seperti itu.”

“Oya? Bukannya malah nunjukin kalau aku ini cowok yang bernafsu gede gitu?”

“Ya kalau keliatan nafsu sih iya. Tapi bukannya kamu nafsu sama istri kamu sendiri? Kalau suami nggak nafsu sama istri malah lebih bahaya kan?

“Enggak berlebihan ya?”

“Ya nggak lah. Justru itu artinya udah nggak ada jarak dan penghalang lagi antara suami  dan istri karena kamu nggak canggung untuk tunjukin apa yang kamu rasain dan apa yang kamu mau ke istri kamu.”

“Tapi kan tetep aja malu kalau laki-laki pesen baju seksi buat perempuan.”

“Nggak perlu malulah kalau sama aku.”

“Makanya aku minta tolong sama kamu, nggak yang lain.” Sigra tersenyum dan Wafa membalas senyuman itu sambil mengangguk.

Pesanan mereka tiba dan keduanya menikmati minuman yang terhidang. Kemudian mereka membicarakan rancangan busana yang diinginkan Sigra untuk istrinya. Sigra sangat detail dengan apa yang diinginkannya sehingga tidak sulit bagi Wafa untuk mengerti dan mewujudkan keinginan Sigra tersebut. Setelah semuanya jelas, Wafa berjanji akan segera menyelesaikan dan menunjukkan rancangan gaun yang diinginkan Sigra dan meminta persetujuan Sigra terlebih dahulu sebelum membuat gaunnya.

Setelah masalah pesanan gaun selesai, mereka lanjut dengan obrolan santai. Sigra mengatakan jika dia tidak ada jadwal hari ini dan Wafa juga tidak ada janji dengan siapa-siapa sehingga memiliki banyak waktu kosong untuk mengobrol.

“Kamu kuat banget sih ngadepin Tante Felize?” Sigra bertanya pada Wafa.

“Emang Tante Felize kenapa?”

“Dia kan orangnya ribet banget. Banyak maunya. Sok berkelas.”

“Kamu kok ngomongnya kayak gitu sih? Wajar kali kalau dia cuma mau yang terbaik. Dia punya alasan yang kuat buat itu.”

“Ehm.. Kamu tau nggak sih latar belakangnya Tante Felize?” Sigra berbicara sedikit berbisik.

“Emang Tante Felize kenapa?” Wafa menjadi terkejut dengan pertanyaan Sigra. Apa yang sebenarnya diketahui oleh Sigra? Kenapa tiba-tiba Sigra ingin membicarakan ini dengannya?

“Tante Felize itu bukan dari keluarga kaya.” Sigra membuka rahasia yang tersimpan cukup rapat di keluarga Wirasena Karkasa.

“Bukan dari keluarga kaya?”

“Iya. Dia itu sebenarnya perempuan dari desa yang dinikahi sama Om Wira karena dijodohin sama orang tua Tante Felize. Jadi keluarga Tante Felize itu punya utang budi sama Om Wira.”

“Oh.” Wafa tidak pernah menyangka jika Tante Felize yang terlihat begitu berkelas ternyata memiliki latar belakang yang seperti dia.

“Nama aslinya tuh Peni.”

“Peni?”

“Iya. Menurut cerita, dulu dia itu pernah dibuli sama temen-temen Om Wira. Ya maklumlah. Orang kaya kan suka ngerendahin orang desa.”

“Terus?”

“Awalnya Tante Felize itu nggak tahan, bahkan katanya sempet mau bunuh diri.”

“Masa?”

“Iya, tapi untungnya dia keburu sadar dan nggak jadi bunuh diri. Dan untungnya lagi, ibunya Om Wira kasih dukungan yang besar sama Tante Felize. Setelah itu, Tante Felize belajar buat jadi lebih kuat, lebih cantik, lebih pintar, lebih percaya diri, dan berkelakuan seperti perempuan berkelas yang sangat modern.”

“Oh.”

“Dan dia berhasil dengan sangat baik. Dia juga ganti nama jadi Felize biar lebih keren. Dan nggak mau dipanggil ‘ibu’ sama anak-anaknya. Maunya dipanggil ‘mama’ biar kayak orang kota.”

“Wow.”

“Ya.. walau kadang-kadang suka berlebihan.”

“Tapi wajarlah kalau latar belakangnya emang seperti itu. Dia cuma nggak mau diremehin lagi sama orang lain.” Wafa merasa simpati pada mama mertuanya.

“Iya.” Sigra mengangguk. “Lagipula Om Wira juga ikut andil dalam perubahan kejiwaan Tante Felize.” Sigra menurunkan nada bicaranya.

“Emang kenapa?”

“Dulu.. Dulu ya bukan sekarang.” Sigra meyakinkan Wafa bahwa kejadian itu telah lalu.

Wafa mengangguk tanda mengerti.

“Dulu Om Wira tuh pencinta wanita.”

“Maksudnya?”

“Dia punya banyak perempuan.”

“Hah?”

“Dan lebih parah daripada Endra.”

“Parah?”

“Kalau Endra sih masih takut dosa. Perempuan yang dia suka, dinikahin. Kalau Om Wira dulu nggak pake nikah. Langsung aja.”

“Astaghfirullah.”

“Makanya Tante Felize berusaha kuat untuk menjadi perempuan yang sempurna dan ngalahin semua perempuan-perempuan yang ganggu rumah tangga dia.”

“Pastilah.” Wafa tahu pasti bagaimana rasanya dihianati oleh suami sendiri. Rasa sakitnya tidak ada tandingannya. Pantas saja Mama Felize begitu membelanya dan mengajarinya banyak hal supaya bisa masuk lingkungan kelas atas. Ternyata Mama Felize memiliki cerita yang sedikit mirip dengan dirinya sehingga sangat mengerti dengan apa yang dialaminya. Wafa menjadi semakin kagum dan sayang pada mama mertuanya itu.

“Itulah orang tua Endra. Mungkin karena itu juga Endra jadi kayak sekarang. Entah meniru bapaknya atau mau balas dendam sama bapaknya.”

Wafa tidak menyangka Sigra akan menyebutkan nama Endra. Dia hanya bisa menatap Sigra dengan pandangan terkejut.

“Maaf. Bukan maksud aku buat bikin kamu nggak enak hati.”

“Nggak papa kok. Tapi.. kenapa tiba-tiba kamu cerita ini ke aku? Bukannya kamu seharusnya menjaga aib keluarga kamu sendiri?” Wafa menjadi curiga karena selama ini Sigra tidak terlihat seperti orang yang senang bergosip.

“Ya aku liat hubungan kamu sama Endra udah deket banget. Kayaknya lebih baik kalau kamu tahu sedikit tentang latar belakang keluarga mereka supaya kamu lebih ngerti lagi tentang Endra.”

“Kamu nggak takut kalau aku nyebarin cerita ini ke orang lain?”

“Aku tahu kamu bukan perempuan yang suka nyebar aib orang.” Sigra tersenyum.

“Makasih.” Wafa tersenyum.

“Buat apa?”

“Udah percaya sama aku.”

Sigra kembali tersenyum. Namun, raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi lebih serius. Dia menarik nafas dan  mulai berbicara kembali. “Ehmm. Sebenernya aku mau tanya sesuatu sama kamu.”

“Tentang apa?” Wafa menjadi kuatir jika Sigra akan bertanya hal yang tidak-tidak. Apa ini tentang Endra? Jantungnya kembali berdetak kencang.

“Tapi kamu jangan marah ya?”

“Tergantung. Kamu mau tanya tentang apa?”

Sigra menarik nafas untuk mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya bertanya pada Wafa. “Aku pernah cerita kan kalau aku pernah liat kamu di rumah Om Wira?”

Wafa menahan nafas. Perasaannya menjadi tidak enak. Dia hanya bisa mengangguk.

Sigra terdiam sesaat dan berpikir untuk berbicara dengan baik supaya tidak terkesan menyerang Wafa. “Waktu itu aku liat kalau kamu sedang meluk Om Wira.”

Ternyata benar. Sigra melihat sesuatu saat di rumah Om Wira. Tetapi kenapa dia baru bertanya sekarang? Mengapa tidak sejak mereka bertemu di rumah Endra beberapa bulan yang lalu? Wafa bingung harus berkata apa, tetapi dia tidak boleh lari. Wafa harus menghadapi Sigra agar tidak ada kesalahpahaman. “Kamu pikir aku selingkuhan Om kamu?”

“Bukan.. bukan gitu.” Sigra salah tingkah. Iya tidak enak sudah bertanya hal yang begitu sensitif seperti ini.

“Kalau bukan gitu apa?”

“Om Wira udah berubah, sekarang dia udah takut sama Tuhan dan mencintai Tante Felize dengan tulus. Lagian nggak mungkin juga kalau kamu selingkuh di rumah Om Wira. Bunuh diri namanya.”

“Terus?”

“Aku pernah berpikir kalau ada kemungkinan kamu itu anak Om Wira.”

“Aku bukan anak Om Wira.” Wafa langsung memotong Sigra karena pernyataan Sigra membuat emosinya naik. Wafa tidak berbohong dalam hal ini. Ia bukan anak kandung tetapi anak mantu.

“Itu cuma pemikiran sesaat, soalnya kalau kamu anak Om Wira, kamu nggak akan berhubungan sama Endra.”

“Terus?”

“Itu yang aku ingin tahu jawabannya. Sebenernya apa hubungan kamu sama Om Wira?”

Wafa tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Sigra. Apa dia harus berbohong? Tapi Sigra adalah orang baik yang tidak layak untuk dibohongi.

“Maaf. Aku nggak bermaksud menyudutkan kamu. Kalau kamu nggak mau jawab ya nggak papa.” Sigra merendahkan suaranya. Dia takut jika menyinggung Wafa dan membuatnya marah.

“Kenapa kamu baru tanya sekarang? Kenapa nggak dari dulu?” Wafa menatap tajam mata Sigra.

Sigra menunduk dan kemudian menegakkan kembali kepalanya. “Aku sebenernya nggak mau ganggu Endra sama kamu. Makanya aku diem. Tapi aku tahu apa yang aku liat dan rasa penasaranku nggak bisa ilang.”

Wafa menatap Sigra dengan ragu. Dia masih belum bisa memutuskan harus menjawab apa pada Sigra.

“Kamu nggak perlu jawab kalau kamu emang nggak mau cerita. Masalah penasaranku biarin aja. Toh kalau aku emang harus tau, pasti ada jalannya supaya aku tahu.” Sigra berusaha untuk tidak terkesan menekan Wafa.

Perkataan Sigra menyentuh hati Wafa. Entah mengapa Wafa merasa yakin jika Sigra bisa membantu menyelesaikan masalahnya dengan Endra. Lagipula sampai kapan rahasia ini bisa dia simpan? Apa juga gunanya menyimpan rahasia ini? Semua rencananya sudah berantakan.

“Kamu ada waktu nggak?” Wafa bertanya pada Sigra.

“Kapan? Sekarang?”

Wafa mengangguk. “Ada sesuatu yang mau aku tunjukin sama kamu.”

“Oke.”

Wafa mengajak Sigra ke apartemennya. Dia sudah yakin dengan keputusannya. Sementara Sigra justru merasa tidak mengerti dengan tujuan Wafa mengajaknya ke apartemen.

“Duduk dulu deh. Mau minum nggak?” Wafa berusaha untuk menjadi tuan rumah yang baik.

“Tadi kan baru aja minum, kamu nggak usah repot.” Sigra duduk dengan tenang sambil menahan rasa penasarannya.

Wafa meninggalkan Sigra dan masuk ke dalam kamarnya. Beberapa saat kemudian Wafa keluar sambil membawa sebuah buku kecil di tangannya. Wafa mendekati Sigra dan menyerahkan buku yang dibawanya.

Sigra menerima buku tersebut dan terlihat begitu terkejut. Ia membuka halaman pertama dan kembali terkejut. Dilihatnya wajah Wafa beberapa saat kemudian dilihatnya kembali buku tersebut. Kemudian dia pun menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut wajah yang masih sangat terkejut.

***

Sigra sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Endra. Dia merasa senang karena rencananya untuk membongkar teka-teki tentang siapa sebenarnya Wafa sudah berhasil. Dia memang sengaja membuat alasan pemesanan gaun supaya Wafa tidak curiga dan nyaman untuk berbicara dengannya. Lagipula Sigra tidak berbohong, karena dia benar-benar akan memesan gaun itu untuk istrinya. Jika Wafa sudah merasa nyaman dan santai, akan lebih mudah untuk mengubah alur pembicaraan dan menembakkan pertanyaan pada waktu yang tepat. Dan semua berjalan sesuai rencananya. Namun, Wafa berhasil membuatnya tidak percaya saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Sesuatu yang tidak pernah disangkanya selama ini.

“Halo Bos, lagi dimana?” Sigra bertanya pada Endra melalui telepon genggamnya.

“Di kantorlah.” Endra menjawab dari seberang.

“Aku lagi di rumah kamu nih. Kamu bisa ke sini sekarang nggak?”

“Di rumah aku? Ngapain?”

“Pokoknya kesini aja sekarang. Aku tunggu ya.” Tanpa menunggu jawaban dari Endra, Sigra menutup teleponnya.

Tidak berapa lama kemudian Endra sampai di rumahnya. Dia begitu penasaran dengan Sigra. Pasti ada sesuatu yang serius sampai Sigra berlaku seperti ini.

Endra mendapati Sigra sedang duduk di ruang tengah sambil menonton TV. Melihat Endra datang, Sigra langsung berdiri.

“Akhirnya dateng juga.” Sigra terlihat tidak sabaran. Sesuatu yang jarang sekali terlihat dari Sigra yang biasanya sabar dan tenang.

“Ada apa sih?” Endra semakin penasaran.

“Aku mau liat buku nikah kamu.”

“Buat apa?” Endra bertanya-tanya mengapa tiba-tiba Sigra ingin melihat buku nikahnya. Ada apa sebenarnya dengan Sigra?

“Aku pengen liat istri kamu kayak apa.”

“Maksudnya?”

“Kamu kan udah mau cerai, tapi aku belum pernah liat istri kamu sama sekali.”

“Apaan sih?” Endra merasa tidak nyaman. Tidak mungkin Sigra hanya ingin melihat foto Misha, pasti Sigra memiliki alasan lain yang disembunyikannya.

“Kamu kan bilang kalau kamu nggak punya foto Misha karena kamu nggak mau inget dia. Tapi dibuku nikah pasti ada fotonya dong?”

“Jujur deh. Buat apa kamu liat buku nikah aku?” Endra sedikit emosi dengan sepupunya yang tiba-tiba meminta sesuatu yang begitu pribadi.

“Udah deh. Kasih liat aja. Nanti kamu juga tau maksud aku apa.” Sigra tidak ingin menjelaskan sedikitpun pada Endra.

Endra melangkah ke kamarnya untuk mengambil buku nikah yang diinginkan Sigra. Walaupun enggan, Endra tetap mengambil buku nikah itu karena ia sangat ingin tahu dengan tujuan Sigra. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Endra segera keluar dan menyerahkan buku itu pada Sigra yang dengan segera menerimanya.

“Nama lengkap istri kamu siapa sih?” Sigra bertanya pada Endra.

“Disitu kan ada. Baca aja sendiri.”

“Kamu nggak inget nama istri kamu sendiri?” Sigra tidak bisa percaya.

“Apa sih? Nggak penting banget.” Endra semakin emosi.

Sigra membuka buku nikah itu dan menunjukkan sesuatu pada Endra. “Nama istri kamu itu ‘Misha Aafiyah WAFA’.”

_________________________________________________



Prolog             << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >>


Beranda 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar