Jumat, 05 September 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB VIII



BAB VIII

Wafa sudah tidak sabar untuk segera menemui Endra. Tadi dia menghubungi kantornya untuk mengecek apa Endra masih di kantor atau tidak. Menurut orang kantornya, Endra sudah meninggalkan kantor sejak sore. Wafa ingin memberi kejutan sehingga memutuskan untuk pergi ke rumah Endra.

Sesampainya di rumah Endra, Wafa melihat ada sebuah mobil terparkir di halaman depan rumah Endra. Wafa tidak mengharapkan ada orang lain saat ini sehingga ia sedikit ragu. Namun, Wafa memutuskan untuk melanjutkan niatnya bertemu Endra. Kerinduannya sangat besar sehingga tidak ada yang bisa menahan langkahnya.

Satpam rumah Endra keluar untuk menemui Wafa tanpa membukakan gerbang. Raut wajahnya terlihat kaget dan resah melihat kedatangan Wafa..

Wafa membuka kaca mobilnya. “Ada tamu ya pak?”

“Iya mbak.” Sang satpam mengangguk.

“Siapa?”

“Hmmm…” Sang satpam kebingungan harus menjawab apa.

“Rekan bisnis?”

“Bukan mbak, urusan pribadi.” Sang satpam menggeleng.

“Keluarga?”

“Ya bisa dibilang gitu sih mbak.” Wajah pak satpam terlihat begitu takut.

“Kok mukanya kayak takut gitu sih pak?” Wafa curiga, tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak.

“Gimana ya mbak.. kayaknya Pak Endra lagi nggak bisa diganggu sekarang.” Satpam yang gagah sekarang terlihat seperti lelaki tanpa daya.

Kalau yang datang keluarga, sepertinya ada masalah besar sampai satpam itu terlihat begitu takut. Wafa semakin ingin tahu. “Emang siapa sih yang dateng?”

“Mbak besok lagi deh kesininya.” Satpam rumah Endra memohon pada Wafa.

Dilihat dari mobilnya, itu bukan mobil milik Bapak, Mama, atau Kesara. Tapi katanya keluarga dan sepertinya masalahnya serius.

“Gini deh pak, saya janji nggak akan ganggu, tapi ijinin masuk ya...” Giliran Wafa yang memohon. “Nanti saya tunggu di ruang olahraga aja sampe tamunya pulang.” Wafa meyakinkan.

“Ya.. tapi..”

“Endra pasti nggak akan marah deh pak.” Wafa menunjukkan muka memelas.

“Aduh… gimana ya mbak.” Sang satpam masih saja ragu.

“Ayolah pak, saya yang tanggung jawab sama Endra.” Wafa kembali berusaha meyakinkan sang satpam.

“Janji ya mbak, tunggunya di samping aja.”

“Iya.” Wafa pun tersenyum manis.

Satpam itu akhirnya membukakan gerbang. Wafa masuk dan memarkirkan mobilnya di tempat parkir mobil. Seperti janjinya, Wafa masuk ke ruang olahraga yang berada di samping rumah. Namun, Wafa tidak bisa menghentikan rasa ingin tahunya. Akhirnya, dia masuk ke dalam rumah secara diam-diam.

Wafa melihat tidak ada siapapun di ruang tamu. Dia melanjutkan ke ruang tengah dan begitu terkejut melihat siapa yang berada di ruangan tersebut. Endra sedang duduk di sofa dan di hadapannya ada dua orang perempuan yang Wafa lihat di rumah Kesara.

Jantung Wafa berdetak kencang. Endra sepertinya sedang terlibat pembicaraan serius dengan kedua istrinya. Wafa mencari tempat aman untuk bisa mendengarkan pembicaraan tersebut walaupun dia tidak bisa melihat Endra dan istri-istrinya dengan jelas.

“Ya udah, sekarang yang mau cerai duluan siapa?” Itu suara Endra. Jantung Wafa semakin berdetak kencang. Jadi benar bahwa kedua istri Endra meminta cerai.

“Bianca atau Siti dulu?” Terdengar kembali suara Endra. Nada bicaranya begitu tenang. Wafa tidak mempercayai pendengarannya. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa begitu tenangnya saat diminta bercerai oleh dua orang istri sekaligus.

“Aku aja dulu.” Terdengar suara perempuan yang sepertinya masih sangat muda.

“Oke, Bianca dulu. Kapan aku bisa ketemu orang tua kamu?” Wafa mendengar suara Endra. Jadi perempuan kecil itu bernama Bianca.

“Kenapa harus ketemu papa sama mama?” Bianca terdengar protes.

“Aku kan minta sama orang tua kamu untuk nikahin kamu secara baik-baik, jadi kalau mau cerai juga harus baik-baik.” Suara Endra datar dan tidak terdengar penyesalan.

“Mmm bisa panjang nih klo urusan sama papa mama. Tapi Mas Endra harus ngaku salah lo sama papa mama” Bianca terdengar seperti remaja yang manja.

“Kok jadi aku yang salah?” Endra protes.

“Emang yang salah Mas Endra, nggak kasih nafkah batin.”

Suasana hening sejenak, lalu terdengar suara Endra. “Oke. Aku yang salah. Terserah kamulah mau bilang apa.”

“Ya udah. Aku bilang dulu sama papa mama.

“Oke, kalau udah ada keputusan bilang sama aku.”

Suasana kembali hening sejenak. Setelah itu terdengar kembali suara Endra. “Kalau Siti gimana? Kapan aku bisa ketemu orang tua kamu?”

“Mmm nggak tau.” Perempuan ini suaranya begitu lembut. Sepertinya Siti jauh lebih dewasa daripada Bianca.

“Hhhhh.” Terdengar Endra menarik nafas dan melepaskannya. “Kalau bisa jangan minggu ini, aku sibuk banget.”

“Mas Endra kapan nggak sibuknya?” Kali ini terdengar suara Bianca yang manja.

“Udah deh… kamu tau kan aku kayak apa.” Endra menjawab. Dari suaranya Endra sepertinya sedang menahan amarah.

“Ya iyalah, udah tau dari dulu. Kalau nggak sibuk di kantor, sibuk sama cewek.” Bianca lagi yang bersuara.

“Bianca. Kalau kamu memang nggak suka aku, kenapa kamu mau nikah sama aku?” Endra sepertinya sudah tidak kuat menahan amarahnya.

“Makanya aku mau cerai.” Bianca juga tidak kalah marahnya.

“Udah-udah.. kok jadi berantem lagi sih. Kita pulang aja yuk.” Siti terdengar menengahi.

“Iyalah kita pulang aja, ngapain juga disini sama laki-laki yang bukan laki-laki.”

“Bianca udah..” Siti bersuara sedikit keras sedangkan Endra tidak terdengar berkomentar sama sekali. Mungkin Endra tidak ingin memperkeruh suasana.

“Emang bener kan, laki-laki mandul itu bukan laki-laki.” Bianca semakin berbicara sinis dan kalimatnya kali ini membuat Wafa benar-benar terkejut. Sepertinya, semua orang di ruangan itu juga terkejut. “Masa punya istri banyak tapi nggak ada satupun yang hamil. Apa coba namanya klo nggak mandul?

Kata-kata Bianca tadi membuat Wafa tersadar bahwa memang ada pertanyaan besar dibalik kenyataan bahwa Endra tidak memiliki satu anakpun dari istri-istrinya. Nafas Wafa tertahan, ia benar-benar ingin tahu bagaimana reaksi Endra.

Setelah beberapa saat, akhirnya Endra menjawab, “Emang aku maunya mandul. Salah?”

Jawaban Endra benar-benar diluar dugaan. Wafa tidak tahu apakah ia mengalami kelainan pendengaran sehingga salah mendengar atau memang Endra yang mengalami kelainan jiwa sampai-sampai ia berkata seperti itu. Bagaimana mungkin ada seorang laki-laki yang menginginkan dirinya sendiri mandul? Bukankah itu sama saja dengan menghancurkan harga dirinya sendiri?

“Maksud Mas apa? Mas maunya mandul?” Siti terdengar begitu tidak percaya dengan perkataan Endra, sama halnya dengan Wafa  yang hanya bisa menahan diri untuk tidak masuk dan ikut berbicara.

“Aku memang nggak mau punya anak.” Endra menjawab santai.

Wafa semakin tidak percaya dengan apa yang dikatakan Endra bahwa dia tidak mau punya anak. Lalu untuk apa dia punya banyak istri?

“Nggak mau punya anak nggak berarti mandul kan?” Itu suara Siti lagi.

“Aku laki-laki normal, tapi aku putuskan untuk nggak punya anak.” Untuk kedua kalinya, Endra membuat semua orang yang mendengarnya terkejut bukan main.

“Tapi kamu nggak pernah pake kondom dan Mas ga suruh aku KB.” Kali ini Bianca memotong.

“Kondom itu faktor kegagalannya besar.” Tidak ada perubahan dari nada suara Endra. Dia masih begitu tenang dan santai dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan kedua istrinya.

“Jadi?” Siti yang berbicara kali ini.

“Aku vasektomi.” Jawaban yang singkat dan padat dari Endra.

Kata-kata Endra kali ini membuat kepala Wafa tiba-tiba sakit. Kenapa? Itu pertanyaan yang memenuhi kepalanya.

“Jadi kamu….” Siti tidak melanjutkan.

“Va.. apaan sih itu?” Bianca bertanya dengan polos.

“Itu tuh operasi supaya laki-laki nggak bisa hamilin perempuan.” Siti menjelaskan dengan suara yang dipenuhi oleh emosi.

“Apa? Kenapa nggak bilang kalau Mas udah apa tadi namanya?” Bianca protes dengan keras.

“Memang aku harus kasih tau kamu?”

“Kalau mau nikah harus jujur dong.” Bianca kali ini berkata benar. Tapi sepertinya Endra tidak peduli.

“Kamu nggak tanya.” Jawaban Endra begitu membuat orang yang mendengarnya marah.

“Masa tanya kayak gituan.” Bianca marah sedangkan Wafa tetap berusaha sekuat tenaga untuk diam dan mendengarkan ketiga orang tersebut tanpa bersuara walaupun kakinya sepertinya sudah tidak sabar untuk melangkah masuk.

“Kenapa?” Akhirnya Siti mengeluarkan pertanyaan yang begitu ingin diketahui jawabannya oleh Wafa.

“Aku nggak mau aja ada yang paksa aku untuk nikah resmi gara-gara hamil.” Lagi-lagi suara Endra terdengar begitu santai.

Wafa merasa seperti habis ditampar berkali-kali sampai ia tersadar bahwa laki-laki yang dikaguminya ternyata begitu bejat. Jadi selama ini Endra hanya ingin… Wafa tidak sanggup untuk memikirkannya. Dia juga sudah tidak sanggup untuk mendengar apa-apa lagi. Dia mengambil langkah untuk pergi dengan hati yang begitu kacau balau.

Wafa memacu mobilnya. Dia benar-benar marah, kesal, sedih, benci, dan muak. Semuanya bercampuk aduk dalam hatinya. Sesampainya di apartemen, dia tidak tahu harus bagaimana.

Wafa duduk berjam-jam. Kadang dia menangis, kadang dia mengumpat, dan kadang dia hanya diam. Kepalanya dipenuhi oleh beragam pertanyaan dan hatinya dipenuhi oleh berbagai emosi yang bercampur aduk tidak karuan. Endra telah menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia tidak mungkin melanjutkan rencananya untuk membuat Endra jatuh cinta padanya karena orang seperti Endra sama sekali tidak mengenal cinta. Tapi bukankah hubungan mereka sudah begitu dekat? Bahkan Wafa sempat yakin jika Endra telah jatuh cinta pada dirinya.

Dalam kegusarannya, Wafa merasa harus berbicara dengan seseorang. Dia harus membagi ini agar bebannya sedikit berkurang dan juga mencari saran dari orang lain. Tetapi siapa yang harus dia hubungi?  Wafa merasa tidak mungkin menghubungi Kesara. Bagaimanapun juga, Kesara adalah adik Endra. Pasti dia akan merasa tidak enak. Wafa berpikir lagi. Akhirnya sebuah nama terlintas di pikirannya. Ike.

Wafa mengambil telpon dan langsung memencet nomor Ike. Tak berapa lama, terdengar jawaban dari seberang. Wafa pun langsung menangis dan bercerita panjang lebar pada Ike yang sempat terkejut diawal, tetapi segera bersikap tenang dan mendengarkan curahan hati sahabatnya dengan sabar.  

Sementara Wafa begitu kacau, Endra justru merasa bahagia. Dengan bercerai, berarti hubungannya dengan Wafa akan sedikit lebih mudah. Walaupun masih ada masalah besar dihadapannya, tetapi setidaknya bebannya sedikit berkurang. Ia memutuskan untuk menemui Wafa dan berbagi kebahagiaan ini.

Endra bergegas memasuki apartemen Wafa. Dia sudah tidak sabar untuk menemui gadis pujaannya itu. Beberapa hari tidak bertemu membuatnya begitu rindu. Dilihatnya pintu apartemen Wafa sedikit terbuka, sepertinya Wafa sedang terburu-buru sehingga lupa menutup pintu. Endra tidak peduli, yang penting Wafa ada di dalam. Endra pun masuk ke apartemen dan mendengar Wafa sedang berbicara keras.

“Suamiku itu emang laki-laki bejat. Aku nggak percaya aku dulu mau nikah sama dia.” Suara Wafa begitu keras dengan kemarahan yang luar biasa yang bercampur dengan tangis.

Endra menahan langkahnya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Wafa sudah bersuami? Apa maksudnya? Jadi selama ini ia sudah dibohongi? Jadi yang dikatakan oleh Sigra bahwa ada yang tidak beres pada Wafa itu benar?

“Harusnya dulu aku punya harga diri dan tolak permintaan konyol dia buat nikah.” Endra kembali mendengar suara Wafa dengan tangis yang semakin menjadi.

Endra sekarang yakin dengan apa yang didengarnya. Amarahnya pun memuncak. Dengan emosi Endra masuk ke dalam dan berhadapan dengan Wafa yang sangat terkejut melihat kedatangan Endra sampai ia menjatuhkan handphonenya.

“Jadi kamu udah punya suami?” Endra berteriak keras. Matanya menatap tajam mata Wafa yang masih belum bereaksi karena sangat terkejut.

“Jadi begini rupanya. Kamu sudah membodohi aku dan membuat aku menjadi orang paling tolol sedunia.” Teriakan Endra lebih keras lagi.

Wafa membuka mulutnya tetapi tidak sanggup bersuara.

“Apa.. mau cari pembelaan?” Sorot mata Endra yang dipenuhi kemarahan terlihat begitu menakutkan sehingga Wafa tidak berani menatapnya. “Kamu mau bilang aku bejat seperti suami kamu terus kamu mau hancurin semua laki-laki seperti aku? Gitu?”

“A..ku..” Tubuh Wafa bergetar karena takut dan marah dalam waktu bersamaan.

Endra menyentuh kedua bahu Wafa dan mengguncangkannya. “Aku nggak tau sebejat apa suami kamu. Tapi aku bukan suami kamu. Setidaknya aku jujur sama kamu dari awal dan aku berusaha memperlakukan kamu dengan baik.”

Wafa menangis sejadi-jadinya. Kenapa dia yang harus kena marah? Seharusnya Wafa yang marah besar karena Endra telah mempermainkan dirinya dan juga wanita-wanita lain.

“Tangisan kamu itu nggak bisa merubah apapun. Kamu sudah berbohong dan itu berarti selesai semuanya.” Endra berbalik untuk pergi. Dia merasa sudah tidak ada lagi yang harus dilakukannya di tempat ini. Harga dirinya sudah hancur karena dipecundangi habis-habisan oleh Wafa.

Wafa jatuh terpuruk di lantai. Tidak ada lagi yang bisa diperbuatnya. Dia belum pernah melihat ada orang yang semarah ini padanya sebelumnya. Tangisnya semakin menjadi dan tubuhnya bergetar hebat.

Endra menghentikan langkahnya di depan pintu. “Sigra dulu pernah memperingatkan aku. Dia bilang ada yang aneh sama kamu. Aku nyesel nggak percaya itu. Aku nyesel udah jatuh cinta sama kamu.” Kali ini suaranya tidak terdengar marah, suara Endra lebih pada perasaan sedih dan kecewa.

Wafa tidak yakin dengan apa yang didengarnya tadi. Endra jatuh cinta padanya. Itu bukan gosip atau perkiraan orang lain, kata-kata itu keluar dari mulut Endra sendiri, seorang laki-laki yang pernah tidak percaya bahwa cinta itu ada.

Lalu bagaimana ini? Wafa semakin bingung dengan keadaan ini. Endra sudah salah sangka pada dirinya. Tidak mungkin Endra akan memaafkannya. Sepertinya sudah tidak ada celah untuk memperbaiki hubungan mereka. Lagipula hatinya juga sudah hancur saat mengetahui siapa Endra yang sebenarnya. Inikah akhir semuanya?

_____________________________________________
Prolog      << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >>                                         


Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar