BAB VIII
Wafa sudah tidak sabar untuk segera menemui Endra.
Tadi dia menghubungi kantornya untuk mengecek apa Endra masih di kantor atau
tidak. Menurut orang kantornya, Endra sudah meninggalkan kantor sejak sore.
Wafa ingin memberi kejutan sehingga memutuskan untuk pergi ke rumah Endra.
Sesampainya di rumah Endra, Wafa melihat ada sebuah
mobil terparkir di halaman depan rumah Endra. Wafa tidak mengharapkan ada orang lain saat ini
sehingga ia sedikit ragu.
Namun, Wafa memutuskan untuk melanjutkan niatnya bertemu
Endra. Kerinduannya sangat besar sehingga tidak ada yang bisa menahan
langkahnya.
Satpam rumah
Endra keluar untuk menemui Wafa tanpa membukakan gerbang. Raut wajahnya
terlihat kaget dan resah melihat kedatangan Wafa..
Wafa membuka kaca
mobilnya. “Ada tamu ya pak?”
“Iya mbak.” Sang
satpam mengangguk.
“Siapa?”
“Hmmm…” Sang
satpam kebingungan harus menjawab apa.
“Rekan bisnis?”
“Bukan mbak,
urusan pribadi.” Sang satpam menggeleng.
“Keluarga?”
“Ya… bisa dibilang gitu sih mbak.” Wajah pak
satpam terlihat begitu takut.
“Kok mukanya
kayak takut gitu sih pak?” Wafa curiga, tiba-tiba perasaannya menjadi tidak
enak.
“Gimana ya mbak..
kayaknya Pak Endra lagi nggak bisa diganggu sekarang.” Satpam yang gagah
sekarang terlihat seperti lelaki tanpa daya.
Kalau yang datang
keluarga, sepertinya ada masalah besar sampai satpam itu terlihat begitu takut.
Wafa semakin ingin tahu. “Emang siapa sih yang dateng?”
“Mbak besok lagi
deh kesininya.” Satpam rumah Endra memohon pada Wafa.
Dilihat dari mobilnya, itu bukan mobil milik Bapak,
Mama, atau Kesara. Tapi katanya keluarga dan sepertinya masalahnya serius.
“Gini deh pak,
saya janji nggak akan ganggu, tapi ijinin masuk ya...” Giliran Wafa yang memohon. “Nanti saya tunggu di ruang olahraga aja
sampe tamunya pulang.” Wafa meyakinkan.
“Ya.. tapi..”
“Endra pasti
nggak akan marah deh pak.” Wafa menunjukkan muka memelas.
“Aduh… gimana ya mbak.” Sang satpam masih saja ragu.
“Ayolah pak, saya yang tanggung jawab sama Endra.” Wafa
kembali berusaha meyakinkan sang satpam.
“Janji ya mbak,
tunggunya di samping aja.”
“Iya.”
Wafa pun tersenyum manis.
Satpam itu
akhirnya membukakan gerbang. Wafa masuk dan memarkirkan mobilnya di tempat
parkir mobil. Seperti janjinya, Wafa masuk ke ruang olahraga yang berada di samping rumah.
Namun, Wafa tidak bisa menghentikan rasa ingin tahunya. Akhirnya, dia masuk ke
dalam rumah secara diam-diam.
Wafa melihat
tidak ada siapapun di ruang tamu. Dia melanjutkan ke ruang tengah dan begitu
terkejut melihat siapa yang berada di ruangan tersebut. Endra sedang duduk di
sofa dan di hadapannya ada dua orang perempuan yang Wafa lihat di rumah Kesara.
Jantung Wafa
berdetak kencang. Endra sepertinya sedang terlibat pembicaraan serius dengan
kedua istrinya. Wafa mencari tempat aman untuk bisa mendengarkan pembicaraan
tersebut walaupun dia tidak bisa melihat Endra dan istri-istrinya dengan jelas.
“Ya udah,
sekarang yang mau cerai duluan siapa?” Itu suara Endra. Jantung Wafa semakin
berdetak kencang. Jadi benar bahwa kedua istri Endra meminta cerai.
“Bianca atau Siti
dulu?” Terdengar kembali suara Endra. Nada bicaranya begitu tenang. Wafa tidak mempercayai
pendengarannya. Bagaimana mungkin
seorang laki-laki bisa begitu tenangnya saat diminta bercerai oleh dua orang
istri sekaligus.
“Aku aja dulu.”
Terdengar suara perempuan yang sepertinya masih sangat muda.
“Oke, Bianca
dulu. Kapan aku bisa ketemu orang tua kamu?” Wafa mendengar suara Endra. Jadi perempuan kecil
itu bernama Bianca.
“Kenapa harus
ketemu papa sama mama?” Bianca terdengar protes.
“Aku kan minta
sama orang tua kamu untuk nikahin kamu secara baik-baik, jadi kalau mau cerai juga harus
baik-baik.” Suara Endra datar dan tidak terdengar penyesalan.
“Mmm bisa
panjang nih klo urusan sama papa mama. Tapi Mas Endra harus ngaku salah lo sama
papa mama” Bianca terdengar seperti
remaja yang manja.
“Kok jadi aku yang salah?” Endra protes.
“Emang yang salah Mas Endra, nggak kasih nafkah batin.”
Suasana hening sejenak, lalu terdengar suara Endra. “Oke.
Aku yang salah. Terserah kamulah mau bilang apa.”
“Ya udah. Aku
bilang dulu sama papa mama.”
“Oke, kalau udah
ada keputusan bilang sama aku.”
Suasana kembali
hening sejenak. Setelah itu
terdengar kembali suara Endra. “Kalau Siti gimana? Kapan aku bisa ketemu orang
tua kamu?”
“Mmm nggak tau.”
Perempuan ini suaranya begitu lembut. Sepertinya Siti jauh lebih dewasa
daripada Bianca.
“Hhhhh.”
Terdengar Endra menarik nafas dan melepaskannya. “Kalau bisa jangan minggu ini,
aku sibuk banget.”
“Mas Endra kapan
nggak sibuknya?” Kali ini
terdengar suara Bianca yang manja.
“Udah deh… kamu
tau kan aku kayak apa.” Endra menjawab. Dari suaranya Endra sepertinya
sedang menahan amarah.
“Ya iyalah, udah
tau dari dulu. Kalau nggak sibuk di kantor, sibuk sama cewek.” Bianca lagi yang
bersuara.
“Bianca. Kalau
kamu memang nggak suka aku, kenapa kamu mau nikah sama aku?” Endra sepertinya
sudah tidak kuat menahan amarahnya.
“Makanya aku mau
cerai.” Bianca juga tidak kalah marahnya.
“Udah-udah.. kok
jadi berantem lagi sih. Kita pulang aja yuk.” Siti terdengar menengahi.
“Iyalah kita
pulang aja, ngapain juga disini sama laki-laki yang bukan laki-laki.”
“Bianca udah..”
Siti bersuara sedikit keras
sedangkan Endra tidak terdengar berkomentar sama sekali. Mungkin Endra tidak
ingin memperkeruh suasana.
“Emang bener kan,
laki-laki mandul itu bukan laki-laki.” Bianca semakin berbicara sinis dan
kalimatnya kali ini membuat Wafa benar-benar terkejut. Sepertinya, semua orang
di ruangan itu juga terkejut. “Masa punya istri banyak tapi nggak ada satupun
yang hamil. Apa coba namanya klo nggak mandul?”
Kata-kata Bianca tadi membuat Wafa tersadar bahwa memang ada
pertanyaan besar dibalik kenyataan bahwa Endra tidak memiliki satu anakpun dari
istri-istrinya. Nafas Wafa tertahan, ia benar-benar ingin tahu bagaimana reaksi
Endra.
Setelah beberapa saat, akhirnya Endra menjawab, “Emang aku maunya mandul. Salah?”
Jawaban Endra
benar-benar diluar dugaan. Wafa tidak tahu apakah ia mengalami kelainan
pendengaran sehingga salah mendengar atau memang Endra yang mengalami kelainan
jiwa sampai-sampai ia berkata seperti itu. Bagaimana mungkin ada seorang
laki-laki yang menginginkan dirinya sendiri mandul? Bukankah itu sama saja
dengan menghancurkan harga dirinya sendiri?
“Maksud Mas apa?
Mas maunya mandul?” Siti terdengar begitu tidak percaya dengan perkataan Endra,
sama halnya dengan Wafa yang hanya
bisa menahan diri untuk tidak masuk
dan ikut berbicara.
“Aku memang nggak
mau punya anak.” Endra menjawab santai.
Wafa semakin
tidak percaya dengan apa yang
dikatakan Endra bahwa dia tidak mau punya anak. Lalu untuk apa dia punya
banyak istri?
“Nggak mau punya
anak nggak berarti mandul kan?” Itu suara Siti lagi.
“Aku laki-laki
normal, tapi aku putuskan untuk nggak punya anak.” Untuk kedua kalinya, Endra
membuat semua orang yang mendengarnya terkejut bukan main.
“Tapi kamu nggak
pernah pake kondom dan Mas ga suruh aku KB.” Kali ini Bianca memotong.
“Kondom itu
faktor kegagalannya besar.” Tidak ada perubahan dari nada suara Endra.
Dia masih begitu tenang dan santai dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan kedua
istrinya.
“Jadi?” Siti yang
berbicara kali ini.
“Aku vasektomi.” Jawaban
yang singkat dan padat dari Endra.
Kata-kata Endra
kali ini membuat kepala Wafa tiba-tiba sakit. Kenapa? Itu pertanyaan yang
memenuhi kepalanya.
“Jadi kamu….”
Siti tidak melanjutkan.
“Va.. apaan sih
itu?” Bianca bertanya dengan polos.
“Itu tuh operasi
supaya laki-laki nggak bisa hamilin perempuan.” Siti menjelaskan dengan
suara yang dipenuhi oleh emosi.
“Apa? Kenapa
nggak bilang kalau Mas udah apa tadi namanya?” Bianca protes dengan keras.
“Memang aku harus
kasih tau kamu?”
“Kalau mau nikah
harus jujur dong.” Bianca kali ini berkata benar. Tapi sepertinya Endra tidak
peduli.
“Kamu nggak
tanya.” Jawaban Endra begitu membuat orang yang mendengarnya marah.
“Masa tanya kayak
gituan.” Bianca marah sedangkan Wafa tetap berusaha sekuat tenaga untuk diam dan mendengarkan ketiga orang
tersebut tanpa bersuara walaupun kakinya sepertinya sudah tidak sabar
untuk melangkah masuk.
“Kenapa?”
Akhirnya Siti mengeluarkan pertanyaan yang begitu ingin diketahui jawabannya
oleh Wafa.
“Aku nggak mau
aja ada yang paksa aku untuk nikah resmi gara-gara hamil.” Lagi-lagi
suara Endra terdengar begitu santai.
Wafa merasa seperti habis ditampar berkali-kali sampai ia
tersadar bahwa laki-laki yang dikaguminya ternyata begitu bejat. Jadi selama ini Endra hanya ingin… Wafa tidak
sanggup untuk memikirkannya. Dia juga sudah tidak sanggup untuk mendengar
apa-apa lagi. Dia mengambil langkah untuk pergi dengan hati yang begitu kacau
balau.
Wafa memacu
mobilnya. Dia benar-benar marah, kesal, sedih, benci, dan muak. Semuanya
bercampuk aduk dalam hatinya. Sesampainya di apartemen, dia tidak tahu harus
bagaimana.
Wafa duduk
berjam-jam. Kadang dia menangis, kadang dia mengumpat, dan kadang dia hanya
diam. Kepalanya dipenuhi oleh beragam pertanyaan dan hatinya dipenuhi
oleh berbagai emosi yang bercampur aduk tidak karuan. Endra telah menunjukkan
jati dirinya yang sebenarnya. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia
tidak mungkin melanjutkan rencananya untuk membuat Endra jatuh cinta padanya
karena orang seperti Endra sama sekali tidak mengenal cinta. Tapi bukankah hubungan
mereka sudah begitu dekat? Bahkan Wafa sempat yakin jika Endra telah jatuh
cinta pada dirinya.
Dalam kegusarannya, Wafa merasa harus berbicara dengan seseorang. Dia harus membagi ini agar
bebannya sedikit berkurang dan juga mencari saran dari orang lain. Tetapi siapa
yang harus dia hubungi? Wafa merasa tidak mungkin
menghubungi Kesara. Bagaimanapun juga, Kesara adalah adik Endra. Pasti dia akan
merasa tidak enak. Wafa berpikir lagi. Akhirnya sebuah nama terlintas di
pikirannya. Ike.
Wafa mengambil telpon dan langsung memencet nomor Ike. Tak
berapa lama, terdengar jawaban dari seberang. Wafa pun langsung menangis dan
bercerita panjang lebar pada Ike yang sempat terkejut diawal, tetapi segera
bersikap tenang dan mendengarkan curahan hati sahabatnya dengan sabar.
Sementara Wafa
begitu kacau, Endra justru merasa bahagia. Dengan bercerai, berarti hubungannya
dengan Wafa akan sedikit lebih mudah. Walaupun masih ada masalah besar
dihadapannya, tetapi setidaknya bebannya sedikit berkurang. Ia
memutuskan untuk menemui Wafa dan berbagi kebahagiaan ini.
Endra bergegas
memasuki apartemen Wafa. Dia sudah tidak sabar untuk menemui gadis
pujaannya itu. Beberapa hari tidak
bertemu membuatnya begitu rindu. Dilihatnya pintu apartemen Wafa sedikit
terbuka, sepertinya Wafa sedang terburu-buru sehingga lupa menutup pintu. Endra
tidak peduli, yang penting Wafa ada di dalam. Endra pun masuk ke apartemen dan
mendengar Wafa sedang berbicara keras.
“Suamiku itu
emang laki-laki bejat. Aku nggak percaya aku dulu mau nikah sama dia.” Suara
Wafa begitu keras dengan kemarahan yang luar biasa yang bercampur dengan
tangis.
Endra menahan
langkahnya. Ia tidak bisa
mempercayai apa yang didengarnya.
Wafa sudah bersuami? Apa
maksudnya? Jadi selama ini ia sudah dibohongi? Jadi yang dikatakan oleh
Sigra bahwa ada yang tidak beres pada Wafa itu benar?
“Harusnya dulu
aku punya harga diri dan tolak permintaan konyol dia buat nikah.” Endra
kembali mendengar suara Wafa dengan tangis yang semakin menjadi.
Endra sekarang
yakin dengan apa yang didengarnya. Amarahnya
pun memuncak. Dengan emosi Endra
masuk ke dalam dan berhadapan dengan Wafa yang sangat terkejut melihat
kedatangan Endra sampai ia
menjatuhkan handphonenya.
“Jadi kamu udah
punya suami?” Endra berteriak keras. Matanya menatap tajam mata Wafa yang masih
belum bereaksi karena sangat terkejut.
“Jadi begini
rupanya. Kamu sudah membodohi aku dan membuat aku menjadi orang paling tolol
sedunia.” Teriakan Endra lebih keras lagi.
Wafa membuka
mulutnya tetapi tidak sanggup bersuara.
“Apa.. mau cari
pembelaan?” Sorot mata Endra yang dipenuhi kemarahan terlihat begitu
menakutkan sehingga Wafa tidak berani menatapnya. “Kamu mau bilang aku bejat seperti suami kamu terus kamu mau
hancurin semua laki-laki seperti aku? Gitu?”
“A..ku..” Tubuh
Wafa bergetar karena takut dan marah dalam waktu bersamaan.
Endra menyentuh
kedua bahu Wafa dan mengguncangkannya. “Aku nggak tau sebejat apa suami
kamu. Tapi aku bukan suami kamu. Setidaknya
aku jujur sama kamu dari awal dan aku berusaha memperlakukan kamu dengan
baik.”
Wafa menangis
sejadi-jadinya. Kenapa dia yang harus kena marah? Seharusnya Wafa yang marah besar karena Endra
telah mempermainkan dirinya dan juga wanita-wanita lain.
“Tangisan kamu
itu nggak bisa merubah apapun. Kamu sudah berbohong dan itu berarti selesai
semuanya.” Endra berbalik untuk pergi. Dia merasa
sudah tidak ada lagi yang harus dilakukannya di tempat ini. Harga dirinya sudah
hancur karena dipecundangi habis-habisan oleh Wafa.
Wafa jatuh
terpuruk di lantai. Tidak ada lagi yang bisa diperbuatnya. Dia belum pernah
melihat ada orang yang semarah ini padanya sebelumnya. Tangisnya semakin
menjadi dan tubuhnya bergetar hebat.
Endra
menghentikan langkahnya di depan pintu. “Sigra dulu pernah memperingatkan aku.
Dia bilang ada yang aneh sama kamu. Aku nyesel nggak percaya itu. Aku nyesel
udah jatuh cinta sama kamu.” Kali ini suaranya tidak terdengar marah, suara
Endra lebih pada perasaan sedih dan kecewa.
Wafa tidak
yakin dengan apa yang didengarnya
tadi. Endra jatuh cinta padanya. Itu bukan gosip atau perkiraan orang lain,
kata-kata itu keluar dari mulut Endra sendiri, seorang laki-laki yang pernah tidak
percaya bahwa cinta itu ada.
Lalu bagaimana ini? Wafa semakin bingung dengan keadaan ini.
Endra sudah salah sangka pada dirinya. Tidak mungkin Endra akan memaafkannya. Sepertinya
sudah tidak ada celah untuk memperbaiki hubungan mereka. Lagipula hatinya juga
sudah hancur saat mengetahui siapa Endra yang sebenarnya. Inikah akhir
semuanya?
_____________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_____________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar