Selasa, 26 Mei 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab VI



Terbongkarnya poligami Koko membuat keluargaku marah. Hera begitu sakit hati mengetahui keadaanku dan suaminya yang sangat menghormatiku, tidak terima jika kakak iparnya dihianati. Mereka sebenarnya sudah curiga, tetapi tidak berani bertanya karena takut akan menyakiti hatiku.

Adik-adikku yang lain juga tidak kalah sakit hati. Bahkan Ali menggunakan alasan tidak diterima di SKALU (penerimaan mahasiswa di PTN) untuk pergi ke Kalimantan, mengikuti Bunga yang sudah menikah dan suaminya yang ditugaskan ke Kalimantan. Padahal aku tahu bahwa Ali sebenarnya tidak tahan melihat aku yang sedih karena dimadu.

Pantas saja jika mereka marah. Selain dibohongi, mereka tentunya merasa tidak dihargai karena aku tidak pernah meminta pertimbangan mereka bahkan tidak pernah bercerita sedikitpun tentang masalahku dengan Koko sampai mereka mengetahui hal itu dari ibu. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Aku hanya bisa menunggu sampai amarah mereka mereda.  

Yang masih sedikit mengganggu adalah kemungkinan para tetangga curiga. Aku tidak menceritakan apa-apa ke tetangga karena bagiku ini adalah urusan dalam rumah tangga. Buat apa tetangga tahu? Namun, tetap saja aku kuatir jika mereka bergosip atau bahkan bertanya langsung padaku tentang kecurigaan mereka. Untungnya yang kukuatirkan tidak terjadi. Tetanggaku tidak pernah bertanya aneh-aneh dan tidak ada perubahan sikap dari mereka.

Masalah dengan keluarga sudah kuanggap selesai. Tetangga juga tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah justru hati dan pikiranku sendiri. Sekeras apapun aku berusaha cuek dan menjalani hidup seperti biasa, aku ini masih seorang perempuan yang tidak bisa melihat laki-laki yang menjadi suaminya bersama dengan wanita lain. Cemburu, rasa sakit, amarah, dan dendam masih menggerogoti hati. Bayangan Koko berkasih dengan wanita lain secara perlahan meruntuhkan benteng pertahananku.

Dalam kurun waktu satu tahun, beberapa kali aku merasa benar-benar tidak kuat dan mulai memikirkan 
perceraian. Aku merasa tidak ada gunanya lagi aku hidup bersama Koko. Aku merasa bahwa aku ini kan wanita kuat, tentunya aku bisa hidup sendiri tanpa bantuan Koko. Aku mulai mengevaluasi kondisi ku dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.

Dalam masalah ekonomi, aku merasa tidak terlalu masalah. Aku bisa mencari nafkah sendiri. Dulu sebelum bersama Koko, aku juga sudah membuktikan bahwa aku berhasil menyekolahkan adik-adik sampai  SMA seperti yang diamanatkan ayah. Dua adikku yaitu Hera dan Bunga sekarang sudah memiliki keluarga sendiri sehingga mereka bukan tanggunganku lagi. Bahkan mereka bisa membantu aku dan ibu untuk mengurus adik-adik yang masih sekolah.

Keluargaku tentunya tidak akan menjadi masalah jika aku memutuskan untuk meminta cerai. Mereka saja begitu marah saat mengetahui aku dimadu. Bagaimana mungkin mereka akan membela Koko? Aku yakin mereka akan memberikan dukungan penuh jika aku hidup sendiri bersama anakku saja.

Mertua juga bukan sesuatu yang harus aku jadikan masalah. Mereka saja terkesan tidak peduli pada kesusahanku. Mereka yang dahulu begitu meyakinkanku bahwa Koko tidak akan kembali pada mantan istrinya, justru kini terkesan membiarkan kami. Mereka lebih memperdulikan perasaan anak mereka yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan dibanding menantunya yang sangat menderita karena anak mereka.

Aku teringat saat ibu mertua berkunjung ke rumah dan aku mengeluh pada Ibu mertua tentang kembalinya Koko ke mantan istrinya. Aku meminta pertanggungjawaban ibu mertua tentang janji mereka padaku. “Bagaimana saya? Tolong saya dong Bu”, kataku memohon pada ibu mertua. Saat itu ibu hanya berkata, “Kok Koko ngono to? Sek nanti ibu bicarakan sama Bapak dan keluarga dulu bagaimana baiknya. Kamu sabar dulu ya.” Setelah itu ibu pamit pulang ke Jawa Timur dan tidak pernah mengunjungiku lagi setelahnya. Jika mereka saja tidak mau membelaku, untuk apa aku membela anak mereka?

Namun, aku langsung teringat pada Tigo saat aku memikirkan cerai. Dia begitu dekat dengan bapaknya. Jika aku berpisah dengan Koko, bagaimana dengan Tigo? Seorang anak pasti mengalami trauma akibat perceraian. Dia pasti begitu sedih jika tidak bisa bertemu dengan bapaknya. Bagaimana masa depannya jika dia tumbuh tanpa bimbingan dari bapaknya? Apa aku tega membiarkan anak laki-lakiku jauh dari bapaknya? Tidak! Tidak mungkin aku sanggup melihat kesedihan dimata anak yang begitu kusayangi.

Akhirnya aku mencoba untuk bertahan demi Tigo. Aku berusaha untuk terlihat cuek dan santai setiap harinya. Jika ada masalah, aku hanya membicarakannya dengan Koko di dalam kamar yang tertutup agar tidak ada orang lain yang tahu. Saat rasa cemburu dan sakit datang menghantui, aku memendamnya sekuat tenaga dalam hati.

Dengan kondisi keluarga yang cukup mendukung, Koko meneruskan kuliahnya dan selesai di awal tahun 80’an. Saat itu kami sudah 6 tahun menikah dan 4 tahun berpoligami. Kebetulan waktu itu dia mendapat ikatan dinas untuk bekerja di salah satu lembaga milik pemerintah dan ditempatkan di Jogja.

Saat dia mendapat berita tentang penempatan itu, kami berbicara serius tentang masa depan kami. DIa mengatakan ingin membawa dua keluarga, tetapi aku menolak. Lebih baik aku menyerah saja dan mundur dari hubungan kami jika dia mau membawa dua istri. Dia kembali takut mendengar ancamanku.

Aku berkata padanya bahwa aku ingin tetap tinggal di Bandung karena aku sudah memiliki pekerjaan tetap yang cukup baik. Dia akhirnya setuju dan diputuskan bahwa sementara ini dia akan tinggal bersama keluarganya yang ada di Jogja.  Dia akan kembali ke Bandung setiap akhir bulan untuk menengok kami.

Ternyata Koko tidaklah setangguh itu. Baru satu minggu Koko pindah ke Jogja, dia sudah pulang. “Kenapa Bapak sudah pulang lagi?” tanyaku saat dia sudah beristirahat sebentar. “Aku tidak tenang kalau tidak tinggal bersama keluarga. Bapak susah tidur”, jawabnya. “Ya sabar”, kataku. “Nggak! Bapak maunya kita semua pindah ke sana saja”, katanya.

Aku mulai kesal mendengar kata-kata Koko. “Bapak tuh keluarganya dua, masa mau dibawa dua-duanya? Nanti bagaimana status di kepegawaian? Kan tidak boleh pegawai negeri punya istri dua”, aku berusaha mengingatkan Koko tentang keadaan kami. Tiba-tiba terbersit dipikiranku bahwa mungkin Koko mulai terpikir untuk meresmikan pernikahannya. ”Terus, Ibu nggak mau kalau pernikahan Bapak sama Mbak Tanjung diresmiin. Pokoknya kalau Bapak mau diresmiin, Ibu cerai saja”, kataku.  

Koko terkejut mendengar aku yang tiba-tiba membicarakan masalah dia dan Tanjung. “Kan sekarang Bapak sudah sarjana, sudah pegawai negeri,” katanya. Aku menjadi bingung mendengar perkataannya. Seharusnya dia meyakinkan aku jika dia tidak akan meresmikan poligami, bukannya memberikan alasan yang bisa mendukung poligami resmi. Jadi memang benar jika dia ternyata sudah memikirkan kemungkinan meresmikan poligami. Gila! Aku tidak bisa terima ini. “Pokoknya nggak ada pilihan lain”, tegasku.  

Koko tersentak. Sepertinya dia menyadari jika sudah melakukan kesalahan. “Ya nggak-nggak. Seperti biasa saja, seperti sekarang”, kata Koko gugup. Ternyata dia masih takut jika aku meninggalkannya. “Terserah”, kataku.

Keesokan harinya Koko pulang ke Jogja dan aku menjalani hari-hari seperti biasa. Namun tanpa kuduga, Koko datang lagi seminggu kemudian dengan sebuah truk besar. Koko meminta kami untuk beres-beres dan segera ikut dengannya ke Jogja. Terang saja aku kaget dan protes, tetapi Koko bersikeras. Aku tidak berdaya. Sebagai istri, aku harus menuruti suami.

Sebelum pindah, aku meminta syarat pada Koko. Aku hanya mau pindah ke Jogja jika keluarga Tanjung tidak ikut ke Jogja. Jika Koko membawa Tanjung, lebih baik aku tetap di Bandung saja. Aku tidak mau kami berdekatan. “Tenang saja. De Tanjung tidak akan pindah ke Jogja. Soalnya anak-anak juga susah kalau mau pindah-pindah sekolah”, itu yang dikatakan Koko untuk meyakinkan supaya aku mau ikut pindah dengannya.

Lagi-lagi aku tertipu. Saat aku pindah, ternyata Tanjung sudah pindah ke Jogja. Aku begitu shock mendapati kenyataan itu. Terlebih lagi, rumah kontrakan Tanjung dan aku hanya berbeda RT. Aku marah karena Koko sudah membohongiku. Ia pun meminta maaf dan memberi alasan mengapa dia memutuskan untuk membawa kedua keluarga. “Kalau berjauhan kan sulit untuk mengurusnya. Banyak biaya untuk bolak-balik ke Bandung”, begitu katanya. Aku tidak punya pilihan selain menerima alasannya karena memang sudah terlanjur.

Setelah di tempat yang baru, muncul masalah yang cukup besar di keluarga kami. Masalah kami kali ini adalah di bidang ekonomi. Saat itu dia masih belum resmi diangkat sebagai pegawai dan hanya menerima honor yang kecil, sedangkan aku tidak punya pekerjaan sama sekali. Kota itu begitu asing bagiku dan aku juga tidak memiliki saudara yang tinggal di Jogja sehingga sulit mencari informasi lowongan pekerjaan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk bisa menghasilkan uang.

Aku merasa begitu berat untuk mengatur ekonomi keluarga, terlebih karena aku masih memiliki tanggungan. Saat itu aku mengajak adikku Juna dan Eno, dan satu keponakan untuk tinggal bersamaku di Jogja. Oleh karena itu, timbul krisis ekonomi yang sangat berat. Untuk makan saja aku harus menjual berbagai macam barang. Perhiasan yang kukumpulkan sekian lama, satu per satu kurelakan agar kami bisa bertahan hidup.

Setelah beberapa bulan mengalami stress yang luar biasa, aku memutuskan untuk kembali ke Bandung supaya aku bisa bekerja lagi. Tentu saja Koko tidak menyetujui keinginanku. Karena aku sudah tidak tahan, akhirnya aku pergi dengan anakku tanpa persetujuannya. Aku hanya menitipkan pesan pada adik dan keponakanku yang aku minta untuk bertahan dulu di Jogja.

Aku membuat surat untuk Koko yang mengatakan bahwa aku tidak akan kembali lagi ke Jogja. Aku akan bekerja di Bandung karena di Jogja aku tidak ada penghasilan. Sulit sekali untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ‘Ibu mundur saja. Insyaallah nanti adik-adik akan Ibu jemput’, begitulah janji yang kutuliskan.  
Karena aku sudah tidak ada rumah di Bandung, aku memutuskan untuk tinggal di rumah ibuku saja. Alhamdulillah keputusanku ternyata tidak salah. Tak berapa lama, aku sudah mendapatkan penawaran pekerjaan. Ada sekolah SMP di dekat rumah ibuku yang mau menerimaku untuk menjadi guru. Namun, belum sempat aku bekerja ada kejadian yang begitu mengagetkan.

Pagi itu, sekitar jam 3 pagi ada yang datang mengetuk pintu. Saat kubuka, kulihat Koko berdiri. Aku begitu kaget melihat penampilannya. Dia memakai celana pendek dengan kaki diperban dari paha sampai betis. “Lho Pak, Bapak kenapa?” tanyaku penuh kekhawatiran. Aku segera menyuruhnya masuk dan segera kusiapkan minum untuknya.

Setelah dia beristirahat sebentar, dia mulai bercerita. Dia mengatakan bahwa dia sangat terkejut saat membaca surat dariku. Dia begitu terganggu dan selalu memikirkan aku. Saat di lab, dia tidak bisa berkonsentrasi untuk bekerja. Dia menumpahkan spiritus yang mengenai api sehingga membakar celana dan kakinya. Untung saja tidak terjadi kebakaran hebat di lab.

Saat Tigo sudah bangun dia begitu senang bisa bertemu dengan bapaknya, tetapi dia begitu sedih ketika melihat keadaan kaki bapaknya. “Ibu ayo kita pulang, kasihan Bapak Bu. Kita pulang sama Bapak aja”, kata Tigo dengan memelas. Tentu saja aku menjadi tidak tega mendengar permohonan Tigo. Ibuku juga setali tiga uang. “Bagaimanapun juga dia suami Eneng. Sekarang Eneng pulang aja. Rawat suami Eneng”, kata ibuku.

Aku tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Kamipun pulang agar aku bisa merawat Koko. Masalah keluarga kami untuk sementara disisihkan dulu. Alhamdulillah. Pengorbananku tidak sia-sia. Tidak berapa lama, aku mendapatkan pertolongan luar biasa dari Allah.

Waktu itu Tigo yang berusia 5 tahun masuk TK yang tidak terlalu jauh dari rumah. Saat aku mengantarnya, aku membawa kue yang aku buat sendiri untuk bekal aku selama menunggu. Saat sedang menunggu bersama dengan ibu-ibu yang lain, aku membagi kue yang kubawa pada mereka. Saat itu ada ibu yang menyukai kue yang kubuat itu. “Wah enak sekali kuenya. Ini Ibu yang buat sendiri?” tanya ibu itu. “Alhamdulillah kalau Ibu suka. Iya itu buatan saya sendiri”, jawabku. “Wah kebetulan Bu, saya itu pegang koperasi di dekat sini. Kalau ibu mau, ibu bisa nitip kue di koperasi saya”, kata ibu itu lagi.

Tentu saja aku girang mendengarnya. Aku begitu bahagia mendapatkan cara menghasilkan uang. Aku mengiyakan tawaran ibu itu dan segera mempersiapkan diri untuk memulai usaha. Saat aku menceritakan hal tersebut pada Koko, dia memberikan ijinnya. Itulah satu hal yang kusuka dari Koko. Dia memberiku banyak ruang untuk menghasilkan uang sendiri, tidak seperti Toni.

Setelah kupikirkan masak-masak, aku memutuskan untuk membuat kue kering yang lebih tahan lama. Dengan modal dan peralatan seadanya, ku buatlah berbagai macam kue kering. Aku cukup beruntung karena ada adik dan keponakanku yang sangat bersemangat untuk membantuku.

Waktu itu, jenis plastik masih sangat terbatas. Tidak seperti jaman sekarang, toples-toples plastik masih belum banyak tersedia di toko. Sebagai tempat kue, aku menggunakan kantong plastik bening yang diberi kertas karton agar plastiknya kencang dan tidak mudah berubah bentuk. Kususun kue-kuenya di dalam plastik tersebut dan kubakar ujung plastiknya agar tertutup dan angin tidak masuk.

Alhamdulillah, banyak yang menyukai kue-kue ku sehingga aku mendapatkan uang jajan lebih untuk anak dan adik-adikkku. Stress ku pun mulai berkurang dan aku mulai bisa menjalani hidup dengan senyum. Selain itu, kesibukan membuat kue membuatku melupakan sejenak masalah-masalahku dengan Koko.

Setelah usaha kueku berjalan lancar, aku berpikir untuk bisa mendapatkan uang lebih. Kebetulan aku pernah kursus potong rambut saat masih di Bandung. Dengan sedikit uang yang kukumpulkan dari hasil berjualan kue, aku membeli beberapa alat potong rambut dan membuka salon kecil di rumah.

Aku sempat takut jika tidak ada yang mau memotong rambut di salonku karena sangat kecil dan sederhana. Tapi ternyata aku salah. Diawali dari satu dua orang, akhirnya banyak tetangga yang datang. “Ga papa tempatnya darurat, yang penting motongnya enak”, kata salah satu pelangganku saat aku meminta maaf karena salonku masih begitu sederhana.

Ternyata, membaiknya kondisi ekonomi keluarga kami tidak cukup membuatku tenang. Ada saja masalah baru yang muncul dalam keluarga kami. Tiada angin, tiada hujan, aku mendapatkan berita yang sangat menyakitkan hati. Belum setahun aku tinggal di Jogja, ada isu jika aku sebenarnya kumpul kebo dengan Koko.

Siapa yang tidak marah mendengar fitnah seperti itu? Aku ini bukan perempuan murahan. Aku menikah resmi dengan Koko. Buku nikah kami masih tersimpan rapi. Tapi, siapa yang bisa aku salahkan? Aku bahkan tidak tahu bagaimana berita bohong itu bisa tersebar.

Saat Koko sudah pulang dari kerjanya, aku menumpahkan kemarahanku padanya. Memang bukan dia yang menyebarkan fitnah itu, tapi kalau bukan karena dia berpoligami, hal ini pasti tidak akan terjadi. Bagaimanapun juga, dia harus bertanggung jawab. Aku tidak mau namaku menjadi jelek. Terlebih lagi, ini bukan hanya masalah pribadi, ini juga menyangkut nama baik keluarga. Bagaimana jika keluargaku yang di Jawa Barat mendengar masalah ini?

“Siapa yang menyebarkan berita seperti itu? Keluarga Ibu tidak mungkin menyebarkan berita bohong seperti itu. Siapa yang bisa menyebarkan fitnah seperti itu? “, tanyaku pada Koko dengan berapi-api. “Ya Bapak nggak tau. Masa ada yang nyebar berita seperti itu?” katanya. Koko tidak percaya dengan ceritaku.

Kesal sekali aku mendengar Koko tidak mempercayaiku. “Ibu nggak bohong Pak, Ibu tau sendiri. Ibu-ibu itu membicarakan kalau kita tidak menikah”, aku menegaskan.  “Pokoknya Bapak harus bertanggung jawab. Bapak harus membersihkan nama Ibu. Kalau tidak, lebih baik Ibu udahan saja”, tegasku. Aku sudah tidak mau lagi dipermainkan oleh Koko. Kalau dia tidak bisa menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami, lebih aku menyerah saja.

Amarahku sudah di ubun-ubun. Tapi aku tidak mau salah mengambil langkah. Kali ini aku harus mempertimbangkan semua hal yang ada, baik dan buruknya, sebelum aku memutuskan. Aku harus mempertimbangkan usahaku yang mulai berjalan lancar. Terutama aku memikirkan bagaimana dengan nasib anak dan adik-adikku jika kami kembali lagi ke Jawa Barat. Kebetulan waktu itu adikku Eno diminta oleh Bunga untuk membantunya di Kalimantan sehingga beban pemikiranku berkurang.

Setelah memikirkan masak-masak keadaan kami selama beberapa hari, aku mendapatkan kekuatan hati. Aku memutuskan untuk pulang ke Jawa Barat. Tidak ada lagi yang harus kupertahankan di Jogja. Lagipula masalah sepertinya tidak akan berhenti sebelum aku memutuskan tali hubunganku dengan Koko. Berdiri di atas kaki sendiri lebih masuk akal buatku daripada bertahan diatas ribuan masalah yang tiada henti menyerang keluarga kami.

Namun aku tidak berani meminta cerai pada Koko. Entahlah… kata itu sepertinya tidak bisa aku ucapkan. Di depan Koko aku berkata, “Sebelum masalah selesai, Ibu tidak akan pulang. Bahkan Ibu lebih baik selesai saja dengan Bapak. Ibu angkat tangan.” Aku tahu bahwa tanpa mengucapkan kata ‘cerai’, Koko pasti tahu arti perkataanku itu.

Aku pergi dengan membawa Tigo, sedangkan adik dan keponakanku aku minta untuk menunggu dulu di Jogja sampai aku mendapat tempat dan kerja yang layak bagi kami. Seperti kepulanganku yang dulu, aku memutuskan untuk datang ke rumah ibu. Aku berharap tawaran mengajar yang dulu masih berlaku atau setidaknya ada lowongan lain di sekolah itu.

Saat sampai di rumah ibu, beliau terkejut melihat kedatanganku. “Ada apa lagi ini?” Itulah reaksi pertama dari ibu. Aku merasa sangat malu dan bersalah pada ibu. Dengan berat hati aku berkata, “Eneng sudah bulat hati. Eneng udah nggak kuat Mah.” 


_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >> 



1 komentar: