Kamis, 14 Mei 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab V



Koko bergerak dengan cepat. Dalam hitungan hari dia telah menikah siri dengan Tanjung. Sepertinya mereka menikah di luar kota. Saat dia kembali, dia menceritakan bahwa urusannya telah selesai dan berterimakasih padaku. “Tolong doakan ya Bu. Semoga Bapak bisa menjalani ini dengan baik”, katanya.

Tubuhku lemas, hatiku hancur mengetahui dia telah benar-benar kembali pada Tanjung. Aku memang telah memberikan ijin, tetapi sebenarnya ada bagian dari hatiku yang menjadikan itu sebagai tes untuk mengetahui seberapa besar cintanya padaku. Ternyata… aku tidak sepenting itu untuknya.

Aku berusaha keras untuk tetap terlihat tegar. Kemudian, dia mulai membicarakan bagaimana pengaturan waktu antara aku dan Tanjung. “Jadi bagaimana bu, Bapak berapa hari disini dan disana?” tanya Koko. “Pokoknya nggak ada berapa hari berapa hari. Seperti kata Ibu kemaren, Tigo harus ketemu bapaknya setiap hari. Kalau kita sih akan selalu ketemu di sekolah, tapi bagaimana dengan Tigo? Salahnya, anaknya lengket banget sama bapaknya kayak gitu”, jawabku ketus.

Koko berpikir. Tak lama kemudian dia mendapatkan ide cemerlangnya. “Bagaimana kalau begini Bu? Kalau paginya Bapak pergi dari sini, pulangnya Bapak ke sana. Begitu pula sebaliknya, paginya berangkat dari sana, pulangnya ke sini?” Koko menawarkan pemecahan masalah.

Apa yang dikatakan Koko sangat masuk akal. Jika dia melakukannya seperti itu, maka Tigo akan bisa bertemu dengan bapaknya setiap hari. Akupun setuju dengan idenya. “Terserah”, kataku. Koko tersenyum puas mendengar persetujuanku.

Sebelum dia terlalu bahagia, aku meminta satu hal padanya. “Pak, Ibu akan coba menjalani ini satu sampai lima tahun. Jika dalam jangka waktu itu Ibu merasa tidak kuat, Ibu mohon Bapak tidak menghalangi jika Ibu minta berpisah”, kataku. Senyum hilang dari wajah Koko. Sepertinya dia tidak terima jika kebahagiaannya terusik. Namun, akhirnya dia menjawab, “Ya kalau Ibu maunya begitu ya sudah.”

Perjalanan kehidupan poligami kami pun di mulai. Dia langsung melakukan perjanjian kami. Jika paginya dia berangkat kerja dari rumah kami, sorenya dia pulang ke rumah Tanjung, begitu pula sebaliknya.

Secara kasat mata, kehidupan kami terlihat adil dan begitu mudah, tetapi bukan berarti tanpa masalah, terutama masalah untukku. Walaupun aku telah berusaha ikhlas membiarkan Koko kembali lagi kepada Tanjung, hati dan perasaanku tidak bisa dibohongi. Sakitnya begitu dalam. Tidak ada satu katapun yang bisa menggambarkan rasa sakit yang meresap ke dalam dada ini.

Disaat dia pergi ke rumah Tanjung, hatiku membara membayangkan mereka berdua memadu kasih. Disaat dia ada dirumah, hatiku sakit membayangkan apa yang telah dilakukan Koko dan Tanjung dihari sebelumnya. Tidak ada ketentraman yang kurasakan, baik dia ada maupun tidak ada. Kecemburuan menguasai hati dan pikiranku. Menguras seluruh pertahananku.

Selain itu, masih ada masalah besar lain yang menghantui pikiranku. Kembalinya Koko ke mantan istrinya belum di ketahui oleh keluargaku. Keluarga Koko memang tahu, tetapi tidak ada satupun anggota keluargakku yang mengetahui masalahku. Bahkan sejak aku mulai curiga dengan kelakukan Koko, aku tidak pernah bercerita pada ibu maupun adik-adikku. Saat mengambil keputusan, hanya Allah yang aku jadikan tempat bertanya. Kuambil sendiri keputusan itu tanpa ada campur tangan keluargaku.

Saat itu ada dua orang adikku yang ikut tinggal bersamaku dan Koko, yaitu Ali dan Juna. Cepat atau lambat mereka pasti melihat adanya keanehan pada jadwal Koko pulang ke rumah. Mereka tentunya akan bertanya apa yang terjadi. Lebih parah lagi jika mereka memberitahukan hal itu pada adik-adikku yang lain dan bahkan pada ibuku.

Lalu, ada juga adik perempuanku, Hera, yang sudah menikah. Dia biasanya mengunjungiku bersama suaminya setiap hari minggu. Bagaimana jika dia datang disaat Koko sedang berada di rumah Tanjung? Alasan apa yang harus aku berikan pada mereka? Satu kali mungkin bisa dipercaya, tetapi bagaimana dengan yang kedua, ketiga, dan seterusnya? Mereka pasti tidak akan percaya pada alasan yang aku berikan.

Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku bisa menyimpan rahasia ini terlalu lama. Namun, apakah aku sanggup untuk menceritakan hal ini pada keluargaku? Mereka pasti akan sakit hati jika mengetahui anak tertua dari keluarga mereka kembali gagal memiliki keluarga yang bahagia.  

Ibu. Bagaimana dengan Ibuku? Beliau selalu datang setiap bulan saat akan mengambil pensiun. Jika waktunya tepat dan ibu datang disaat Koko sedang dirumah, tentunya tidak masalah. Jika waktunya tidak tepat bagaimana? Beliau pasti hancur melihat aku dihianati dan harus berbagi suami dengan perempuan lain sedangkan dahulu beliau pernah mengingatkanku akan hal ini. Ibu jelas-jelas sudah melarangku waktu itu. Ya Allah… aku sudah salah. Aku tidak mengindahkan peringatan ibuku saat itu. Aku hanya mengikuti keinginanku untuk menikahi Koko tanpa pertimbangan panjang.

Aku jadi teringat dengan kejadian disaat aku masih remaja. Saat itu ibuku curiga jika ayahku telah serong dengan wanita lain. Ibuku sangat marah pada ayahku saat itu. Aku yang merasa sebagai perempuan membela ibuku dan melaporkan hal itu pada nenek sehingga ayahku disidang oleh ayah dan ibunya. Aku menjadi merasa bersalah pada ayah. Aku yang tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya dengan mudahnya menyalahkan ayah, padahal dia sebenarnya tidak menghianati ibuku. Kejadian itu sebenarnya hanya salah paham saja.

Apakah aku menerima karma karena perlakuanku pada ayah waktu itu? Dahulu aku menuduh ayah berselingkuh. Karena ayah tidak bersalah, kini aku yang menerima karmanya. Aku diselingkuhi dan bahkan dimadu. Tuhan… betapa banyak kesalahan yang telah aku lakukan.

Rasa bersalah dan takut menggelayutiku. Setiap melihat adik-adikku, aku merasa jika pandangan mereka berubah menjadi penuh kecurigaan terhadapku. Aku juga terpikir tentang tetangga-tetanggaku. Apa yang akan mereka katakan jika tau bahwa aku telah dimadu? Setiap Koko tidak pulang ke rumah, aku takut jika ada yang curiga dan bertanya kemana Koko pergi, mengapa dia tidak pulang ke rumah. Hatiku tidak pernah tenang, kepalaku selalu sakit.

Rasa sakit hati, cemburu, kegelisahan, dan ketakutan mempengaruhi kondisi fisikku. Aku jatuh sakit. Dokter mengatakan bahwa aku menderita maag akut. Sebenarnya penyakitku cukup parah, tetapi karena mempertimbangkan masalah biaya, aku memutuskan untuk dirawat di rumah saja.

Aku berharap bahwa Koko akan merawatku seperti aku merawatnya saat sakit dahulu. Namun, Koko ternyata lebih mementingkan keadilan pembagian waktu antara kedua istrinya. Selama aku sakit, dia tetap saja pergi pagi dan baru pulang dikeesokan harinya. Betapa sakitnya hati ini. Bukankah ini keadaan luar biasa? Hanya selama aku sakit saja, mengapa dia tidak mau mengalah dan pulang setiap hari untuk merawatku?

Disaat terbaring dan merasakan sakit hati yang kian menghancurkan kalbu, aku disadarkan oleh satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benakku. Kalau aku sakit, siapa yang akan mengurus anak dan saudara-saudaraku yang masih sekolah? Jika aku tidak bekerja, siapa yang akan menambah mencari nafkah? Kemarin saja saat Koko masih milikku seutuhnya, nafkah dia sudah dibagi dua dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Apalagi sekarang saat dia sudah memiliki kekuasaan untuk membagi hasil, tentunya kami semakin membutuhkan biaya tambahan.

Dengan kesadaran baru, aku memohon pada Tuhan untuk memberikan keikhlasan hati dan kesehatan supaya aku bisa mencari nafkah demi anak, adik-adik dan ibuku. Akhirnya muncul kekuatan dalam diriku. Aku berpikir bahwa aku harus sehat, aku harus kuat, dan aku harus cuek untuk tidak memikirkan masalah poligami lagi. Aku hanya boleh memikirkan masa depan anak dan keluargaku.

Semangat membuat kesehatanku berangsur membaik dan aku mulai kembali bekerja. Aku benar-benar cuek dengan hubungan Koko dan Tanjung. Aku hanya berusaha menjadi istri, ibu, kakak, dan anak yang baik.
Namun aku tidak juga mendapatkan ketenangan. Ketakutan yang dulu menghantuiku mulai menjadi kenyataan. 

Pada malam minggu, adik perempuanku Hera berkunjung bersama suaminya. Malang tidak dapat ditolak, Koko tidak ada dirumah waktu itu. “Lho, Mas Kokonya kemana?”, tanya Hera. “Oh itu lagi ada urusan sekolahan, biasa dia mah”, jawabku. “Oh gitu”, jawab Hera.

Disaat aku yakin bahwa masalah sudah selesai untuk saat itu, tiba-tiba adikku Ali menyahut, “Iya, Mas tuh nggak tau kenapa, sekarang sering ada kerjaan, malam-malam keluar rumah.” Jantungku berdegup kencang mendengar kata-kata Ali. Kenapa dia harus ikut-ikutan? Aku kesal bukan main. “Ya sudahlah.. jangan dipikirkan. Orang kan punya urusan, masa harus diceritakan semuanya”, kataku mencoba membela Koko.

Entah mereka mempercayaiku atau mereka hanya tidak ingin berdebat denganku, mereka akhirnya mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Malam itu aku selamat. Setidaknya aku masih bisa bernafas. Dan minggu berlalu tanpa ada masalah yang berarti. Yang kulakukan hanya berusaha mengkhlaskan keadaan.

Masalah muncul lagi pada minggu ketiga. Saat Hera dan suaminya berkunjung, lagi-lagi Koko tidak ada dirumah. “Ini kenapa sih, udah dua kali kesini nggak pernah ketemu mas. Kita kangen lo. Kemana sih mas itu sok sibuk banget?, kata suami Hera. Seperti sebelumnya, aku terpaksa mencari alasan. “Ya biasa urusannya banyak, yang kliningan, yang itulah,” kataku.  Memang benar bahwa Koko tergabung dengan sebuah kelompok gamelan yang kegiatannya biasa disebut kliningan sehingga mereka dengan cepat mempercayai alasanku. Aku kembali berhasil membohongi mereka.

Namun, apakah ini benar-benar keberhasilan? Apakah sebuah kebohongan bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan? Rasa bersalah ini semakin lama semakin dalam. Ternyata poligami tidak hanya menyiksa hatiku sebagai perempuan, ternyata aku juga tersiksa karena harus berbohong pada keluarga. “Ya Allah…. maafkanlah aku yang selalu berbohong. Tolonglah aku untuk mendapatkan jalan yang terbaik.”

Ketakutan mulai datang lagi di awal bulan. Seperti biasa, ibu akan datang ke Bandung untuk mengambil pensiun. Bagaimana jika Ibu datang di hari yang tidak tepat? Hatiku tidak tenang menunggu datangnya ibu. Untungnya, ketakutanku tidak menjadi kenyataan. Ibuku datang saat koko ada dirumah. Bulan depannya juga berjalan baik dengan segala kebohonganku dan aku juga diselamatkan karena Koko ada dirumah saat ibu datang.

Hanya ada masalah dengan adik-adik yang tinggal bersamaku. Mereka mulai mempelihatkan kecurigaan terhadap kepulangan Koko yang berselang seling setiap malamnya. “Udahlah mas lagi ada urusan di luar rumah”, hanya itu yang bisa kukatakan untuk menghentikan kecurigaan mereka. Entah mereka percaya, takut, atau bagaimana, mereka tidak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan mereka sehingga aku sedikit tenang.  

Kejadian yang mengagetkanku terjadi pada bulan ketiga kami berpoligami. Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, Koko membawa anak-anaknya ke rumah. Aku kesal dengan kelakuan Koko yang semaunya sendiri. Seharusnya dia bertanya dulu padaku sebelum membawa anak-anak. Bukannya apa-apa, aku takut jika hal itu membuat orang-orang disekitar kami curiga. Aku pun menjadi bingung dan takut memikirkan reaksi adik-adik dan tetangga-tetangga. Mereka tentunya akan bertanya siapa anak-anak itu dan mengapa Koko membawanya ke rumah kami.

Dan ternyata benar, mereka melontarkan pertanyaan itu padaku. Aku yang tidak ingin mereka curiga segera mencari alasan yang masuk akal. “Ini saudara-saudara Tigo dari istri Mas yang dulu. Sengaja dijemput sama Mas supaya kenal sama adiknya. Kebetulan juga mau ketemu sama tantenya”, kataku. Untungnya Wita, adik Koko memang tinggal bersama kami sehingga aku tidak berbohong pada mereka dan untungnya lagi, baik adik maupun tetanggaku tidak berusaha mengorek lebih dalam lagi.

Aku yang masih begitu kesal memperingatkan Koko dan adiknya Wita untuk tidak menceritakan apapun, karena keluargaku belum ada yang tahu tentang ini. Aku ingin mereka ikut saja dengan rencanaku dan tidak melakukan sesuatu yang bisa membuat keluargaku sakit hati.

Beberapa hari setelahnya, Ibu datang seperti biasa untuk mengambil pensiun dan aku kembali selamat karena Koko ada di rumah. Tapi diluar dugaan, ibu tidak hanya menginap sehari, tetapi ibu ingin menginap dua hari. “Ah Mamah nggak akan pulang dulu sekarang, Mamah mau nginep semalem lagi soalnya Mamah mau beli sesuatu buat Ratna”, katanya. Ratna adalah adikku yang paling kecil, saat itu dia masih SD. “Oh gitu Mah, ya nggak apa-apa”, kataku yang tidak memiliki pilihan lain.

Terang saja aku jadi kelabakan karena ibuku tidak mau pulang. Malam nanti ibu pasti akan tahu jika Koko tidak pulang dan pasti melontarkan begitu banyak pertanyaan yang aku tidak yakin bisa menjawabnya. Seharian aku memikirkan kemungkinan pertanyaan dan jawaban yang harus aku siapkan.

Benar saja, malamnya saat Koko tidak pulang, ibu langsung bertanya, “Loh kok Koko nggak pulang, kok kerja sampe nggak pulang ke rumah, memang ada kerjaan apa?” Untungnya aku sudah menyiapkan jawaban yang masuk akal. “Oh itu Mah, Mas Koko kan kliningannya ada yang nanggap. Kalau wayang kan sampe pagi Mah”, jawabku. Ibuku terlihat percaya dan tidak bertanya lagi. Hatikupun menjadi tenang.

Pagi harinya, ibuku kembali membuatku terkejut. “Ah Mamah mah mau dianterin Eneng, mau beli macem-macem. Nggak jadi ah pulangnya, besok aja”, katanya dengan santai. Apalagi ini? Kenapa ibu tidak mau pulang lagi, apa ibu curiga tentang sesuatu? Apa adik-adik melaporkan sesuatu pada ibu? Berjuta pikiran buruk memenuhi otakku. Ketakutanku semakin menjadi. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun juga. Lagipula, aku harus bekerja. Aku pamit dan meninggalkan ibuku dengan hati yang tidak karuan.

Saat aku dan Koko datang pulang kerja, ibuku langsung memperlihatkan kecurigaannya. “Masa gamelan ngiringin wayang pulang sore? Kenapa nggak pagi-pagi pulang ke sini? Kok langsung ke kantor?” tanya ibuku. Koko tidak menjawab, dia terlihat bingung dan takut. Akhirnya aku yang menjawab, “Kan kagok Mah kalau bolak balik, di sekolah udah ada ganti kok, jadi langsung aja.”

Aku kembali berbohong dan hati ini semakin diliputi rasa bersalah. Ibuku tidak layak untuk dibohongi, tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menceritakan yang sebenarnya. Terjadilah perang batin antara keharusan berkata jujur dengan rasa takut yang membuatku tidak tenang. Bahkan melihat ibuku saja sudah membuat aku takut sehingga aku berusaha menghindari ibu. Tapi bagaimana mungkin aku terus menghindari ibu sedangkan kami satu rumah? Bagaimana ini?

Setelah memikirkan keadaan keluargaku baik-baik dan mempertimbangkan efek baik dan buruk dari semua kemungkinan yang bisa terjadi, maka aku memutuskan untuk memberitahukan semuanya pada ibu. Aku benar-benar sudah tidak mampu untuk berbohong lagi. Dosaku sudah terlalu banyak. Lagipula, cepat atau lambat kebohongan ini pasti terbuka. Daripada ibu tahu dari orang lain, lebih baik aku yang berterus-terang padanya.

Setelah makan malam, aku meminta adik-adikku untuk pergi sebentar karena aku ingin berbicara serius dengan ibu. Aku, Koko, dan ibu duduk bersama di meja makan. Terlihat wajah ibu yang penuh pertanyaan. Dengan berat hati, aku memulai pembicaraan kami. Kutatap mata ibuku dan memberanikan diri untuk berkata, “Mah. Eneng minta maaf. Dulu Eneng nggak nurut sama Mamah. Waktu Eneng mau nikah sama Mas Koko, Eneng ngeyel, Eneng maksa.”

Ibu terlihat tidak mengerti maksudku, tapi tidak mengucapkan apapun. Diamnya ibu justru membuat aku semakin tidak tenang. Jantung ini sepertinya mau lepas dari tubuhku. Tapi semua sudah dimulai dan aku harus melanjutkan. “Yang Mamah bicarakan dulu ternyata sekarang kejadian Mah”, kataku dengan gemetar. Air mata mulai membasahi mataku. Dengan segenap tenaga dan keberanianku, kuucapkan kebenaran itu. “Eneng terpaksa harus mengijinkan Mas Koko kembali ke mantan istrinya.”

Ibu terlihat begitu terkejut, tapi belum ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku menceritakan kejadian lengkapnya pada Ibu, termasuk sakitnya Koko dan semua kegaduhan yang terjadi. “Eneng sudah istikharah Mah. Mungkin ini memang nasib Eneng. Jadi diterima aja, Eneng sekarang mengijinkan Mas Koko kembali daripada dia berdosa”, kataku membela diri.

Ibu masih saja diam seribu bahasa. Pandangannya kosong. Aku tahu ibu pasti marah, karena itulah aku kembali menjelaskan keadaan kami untuk mengurangi kemarahan ibu. “Tapi Eneng sebenarnya kemarin juga sudah ke pengadilan. Eneng minta cerai saja. Tapi mas Koko tidak mau dan pengadilan juga tidak mengijinkan. Terus kita berpikir lagi. Jadi sementara ini Eneng biarkan dulu. Kalau Eneng nggak kuat, Eneng mau minta cerai.”

Wajah ibuku memucat pasi. Tubuhnya tidak bergerak. Tanpa suara, air mata mengalir deras di pipinya. Betapa takut aku melihatnya. Aku takut jika ibu stroke lagi. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bisa menenangkannya sebelum sesuatu yang buruk terjadi.

“Mah.. Mah.. Eneng ikhlas kok Mah. Ini nasib Eneng. Eneng nggak apa-apa. Eneng kuat. Mamah udah, jangan apa-apa. Mamah doakan saja supaya Eneng jadi istri yang soleh, yang ikhlas, supaya Eneng masuk surga. Mamah pengenkan kalau Eneng masuk surga?” aku berbicara cepat sambil memegang tangan ibuku untuk membuatnya tenang.

Ibuku beranjak dari duduknya dan memelukku dengan erat. “Mamah tuh nggak pernah marahin Eneng. Mamah tuh nggak pernah nyakitin hati Eneng. Mamah tuh sayang banget sama Eneng. Jadi Mamah sakit hati kalau Eneng diperlakukan seperti ini sama suami.” Suara ibu bergetar kuat, terdengar benar jika beliau berusaha keras untuk menahan emosi yang bergejolak dalam dadanya.

Ibu melepaskan pelukannya dan menatap Koko yang sedari tadi hanya duduk mematung, tidak berani berkata apapun. “Koko kamu ingat nggak? Kamu dulu berjanji waktu mau kawin tidak mau kembali lagi. Kamu ingat nggak?” tanya ibu pada Koko. “Ingat Mah”, kata Koko. Mukanya begitu pucat karena takut. “Tapi kenapa kamu sekarang begini?” ibu kembali bertanya dengan marah.

Suasana hening karena Koko terlihat ketakutan dan tidak tahu mau menjawab apa. Setelah beberapa saat, terdengarlah suara Koko. “Saya bingung harus memilih Mah. Saya harus bagaimana? Sama Neng Jingga saya sudah begitu sayang. Kesana saya juga cinta pada anak-anak. Satu-satunya solusi hanya ini. Saya hanya bisa menjalaninya. Saya minta doanya supaya saya bisa menjadi laki-laki yang bertanggung jawab pada kedua keluarga dan mudah-mudahan kami bisa menjalaninya. Saya mohon doanya dari Mamah” kata Koko sambil menunduk.

Suara Koko yang begitu lemah dan terdengar tulus membuat ibu menjadi luluh mendengarnya. “Ya sudah. Kalau memang kalian maunya begitu”, kata ibu. Namun, ibuku ternyata masih belum ikhlas. “Mamah cuma malu sama Gusti Allah. Kamu dosa Koko! Kamu ingkar janji sama Gusti Allah. Bukan sama Eneng, bukan sama Mamah saja, tapi sama Gusti Allah! Dan kamu juga sudah menyakiti ini.” Ibu menunjuk padaku. “Ini! Kamu sudah menyakiti ini nih. Kamu dosa!” ibuku berteriak. Raut wajahnya berubah menjadi penuh kemarahan.

Aku dan Koko terkejut mendengar kemarahan ibu. Wajah Koko semakin pucat. Dengan tergagap ia berkata, “Ya.. saya… saya minta maaf sama Mamah… Mohon Mamah memaafkan saya. Mohon Mamah tetap menganggap saya sebagai mantu Mamah.”

Koko benar-benar terlihat tidak berdaya. Dia tahu bahwa ini memang kesalahannya, tetapi semua sudah terjadi. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya meminta belas kasihan dari ibu yang telah melahirkan istrinya. “Tolong Mah. Saya sudah tidak ada lagi tempat minta tolong selain Mamah dan Neng Jingga. Eneng sudah mengijinkan dan sekarang saya minta Mamah memberikan ijin juga.”

Kemarahan ibu semakin membara. “Mamah mah tidak akan mengijinkan sampai kapanpun”, kata ibu dengan tegas. “Terserah kalau kamu mau melaksanakan itu. Asal kalau Mamah berubah sikap sama kamu, kamu jangan sakit hati. Karena Mamah tidak mau punya menantu yang istrinya dua.” Setelah itu, Ibu segera beranjak dan masuk ke kamar. Keesokan harinya, ibu pergi ke rumah Hera.  



_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >> 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar