Koko
bergerak dengan cepat. Dalam hitungan hari dia telah menikah siri dengan
Tanjung. Sepertinya mereka menikah di luar kota. Saat dia kembali, dia
menceritakan bahwa urusannya telah selesai dan berterimakasih padaku. “Tolong
doakan ya Bu. Semoga Bapak bisa menjalani ini dengan baik”, katanya.
Tubuhku
lemas, hatiku hancur mengetahui dia telah benar-benar kembali pada Tanjung. Aku
memang telah memberikan ijin, tetapi sebenarnya ada bagian dari hatiku yang
menjadikan itu sebagai tes untuk mengetahui seberapa besar cintanya padaku. Ternyata…
aku tidak sepenting itu untuknya.
Aku berusaha
keras untuk tetap terlihat tegar. Kemudian, dia mulai membicarakan bagaimana
pengaturan waktu antara aku dan Tanjung. “Jadi bagaimana bu, Bapak berapa hari
disini dan disana?” tanya Koko. “Pokoknya nggak ada berapa hari berapa hari.
Seperti kata Ibu kemaren, Tigo harus ketemu bapaknya setiap hari. Kalau kita sih
akan selalu ketemu di sekolah, tapi bagaimana dengan Tigo? Salahnya, anaknya
lengket banget sama bapaknya kayak gitu”, jawabku ketus.
Koko
berpikir. Tak lama kemudian dia mendapatkan ide cemerlangnya. “Bagaimana kalau
begini Bu? Kalau paginya Bapak pergi dari sini, pulangnya Bapak ke sana. Begitu
pula sebaliknya, paginya berangkat dari sana, pulangnya ke sini?” Koko
menawarkan pemecahan masalah.
Apa yang
dikatakan Koko sangat masuk akal. Jika dia melakukannya seperti itu, maka Tigo
akan bisa bertemu dengan bapaknya setiap hari. Akupun setuju dengan idenya. “Terserah”,
kataku. Koko tersenyum puas mendengar persetujuanku.
Sebelum dia
terlalu bahagia, aku meminta satu hal padanya. “Pak, Ibu akan coba menjalani
ini satu sampai lima tahun. Jika dalam jangka waktu itu Ibu merasa tidak kuat,
Ibu mohon Bapak tidak menghalangi jika Ibu minta berpisah”, kataku. Senyum
hilang dari wajah Koko. Sepertinya dia tidak terima jika kebahagiaannya
terusik. Namun, akhirnya dia menjawab, “Ya kalau Ibu maunya begitu ya sudah.”
Perjalanan
kehidupan poligami kami pun di mulai. Dia langsung melakukan perjanjian kami.
Jika paginya dia berangkat kerja dari rumah kami, sorenya dia pulang ke rumah
Tanjung, begitu pula sebaliknya.
Secara kasat
mata, kehidupan kami terlihat adil dan begitu mudah, tetapi bukan berarti tanpa
masalah, terutama masalah untukku. Walaupun aku telah berusaha ikhlas
membiarkan Koko kembali lagi kepada Tanjung, hati dan perasaanku tidak bisa
dibohongi. Sakitnya begitu dalam. Tidak ada satu katapun yang bisa
menggambarkan rasa sakit yang meresap ke dalam dada ini.
Disaat dia
pergi ke rumah Tanjung, hatiku membara membayangkan mereka berdua memadu kasih.
Disaat dia ada dirumah, hatiku sakit membayangkan apa yang telah dilakukan Koko
dan Tanjung dihari sebelumnya. Tidak ada ketentraman yang kurasakan, baik dia
ada maupun tidak ada. Kecemburuan menguasai hati dan pikiranku. Menguras
seluruh pertahananku.
Selain itu,
masih ada masalah besar lain yang menghantui pikiranku. Kembalinya Koko ke
mantan istrinya belum di ketahui oleh keluargaku. Keluarga Koko memang tahu,
tetapi tidak ada satupun anggota keluargakku yang mengetahui masalahku. Bahkan
sejak aku mulai curiga dengan kelakukan Koko, aku tidak pernah bercerita pada
ibu maupun adik-adikku. Saat mengambil keputusan, hanya Allah yang aku jadikan
tempat bertanya. Kuambil sendiri keputusan itu tanpa ada campur tangan
keluargaku.
Saat itu ada
dua orang adikku yang ikut tinggal bersamaku dan Koko, yaitu Ali dan Juna.
Cepat atau lambat mereka pasti melihat adanya keanehan pada jadwal Koko pulang
ke rumah. Mereka tentunya akan bertanya apa yang terjadi. Lebih parah lagi jika
mereka memberitahukan hal itu pada adik-adikku yang lain dan bahkan pada ibuku.
Lalu, ada
juga adik perempuanku, Hera, yang sudah menikah. Dia biasanya mengunjungiku
bersama suaminya setiap hari minggu. Bagaimana jika dia datang disaat Koko
sedang berada di rumah Tanjung? Alasan apa yang harus aku berikan pada mereka?
Satu kali mungkin bisa dipercaya, tetapi bagaimana dengan yang kedua, ketiga,
dan seterusnya? Mereka pasti tidak akan percaya pada alasan yang aku berikan.
Apa yang
harus aku lakukan? Tidak mungkin aku bisa menyimpan rahasia ini terlalu lama.
Namun, apakah aku sanggup untuk menceritakan hal ini pada keluargaku? Mereka
pasti akan sakit hati jika mengetahui anak tertua dari keluarga mereka kembali gagal
memiliki keluarga yang bahagia.
Ibu.
Bagaimana dengan Ibuku? Beliau selalu datang setiap bulan saat akan mengambil
pensiun. Jika waktunya tepat dan ibu datang disaat Koko sedang dirumah,
tentunya tidak masalah. Jika waktunya tidak tepat bagaimana? Beliau pasti
hancur melihat aku dihianati dan harus berbagi suami dengan perempuan lain
sedangkan dahulu beliau pernah mengingatkanku akan hal ini. Ibu jelas-jelas
sudah melarangku waktu itu. Ya Allah… aku sudah salah. Aku tidak mengindahkan
peringatan ibuku saat itu. Aku hanya mengikuti keinginanku untuk menikahi Koko
tanpa pertimbangan panjang.
Aku jadi teringat
dengan kejadian disaat aku masih remaja. Saat itu ibuku curiga jika ayahku
telah serong dengan wanita lain. Ibuku sangat marah pada ayahku saat itu. Aku
yang merasa sebagai perempuan membela ibuku dan melaporkan hal itu pada nenek
sehingga ayahku disidang oleh ayah dan ibunya. Aku menjadi merasa bersalah pada
ayah. Aku yang tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya dengan mudahnya
menyalahkan ayah, padahal dia sebenarnya tidak menghianati ibuku. Kejadian itu
sebenarnya hanya salah paham saja.
Apakah aku
menerima karma karena perlakuanku pada ayah waktu itu? Dahulu aku menuduh ayah
berselingkuh. Karena ayah tidak bersalah, kini aku yang menerima karmanya. Aku diselingkuhi
dan bahkan dimadu. Tuhan… betapa banyak kesalahan yang telah aku lakukan.
Rasa
bersalah dan takut menggelayutiku. Setiap melihat adik-adikku, aku merasa jika
pandangan mereka berubah menjadi penuh kecurigaan terhadapku. Aku juga terpikir
tentang tetangga-tetanggaku. Apa yang akan mereka katakan jika tau bahwa aku
telah dimadu? Setiap Koko tidak pulang ke rumah, aku takut jika ada yang curiga
dan bertanya kemana Koko pergi, mengapa dia tidak pulang ke rumah. Hatiku tidak
pernah tenang, kepalaku selalu sakit.
Rasa sakit
hati, cemburu, kegelisahan, dan ketakutan mempengaruhi kondisi fisikku. Aku
jatuh sakit. Dokter mengatakan bahwa aku menderita maag akut. Sebenarnya
penyakitku cukup parah, tetapi karena mempertimbangkan masalah biaya, aku
memutuskan untuk dirawat di rumah saja.
Aku berharap
bahwa Koko akan merawatku seperti aku merawatnya saat sakit dahulu. Namun, Koko
ternyata lebih mementingkan keadilan pembagian waktu antara kedua istrinya.
Selama aku sakit, dia tetap saja pergi pagi dan baru pulang dikeesokan harinya.
Betapa sakitnya hati ini. Bukankah ini keadaan luar biasa? Hanya selama aku
sakit saja, mengapa dia tidak mau mengalah dan pulang setiap hari untuk
merawatku?
Disaat
terbaring dan merasakan sakit hati yang kian menghancurkan kalbu, aku
disadarkan oleh satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benakku. Kalau aku
sakit, siapa yang akan mengurus anak dan saudara-saudaraku yang masih sekolah?
Jika aku tidak bekerja, siapa yang akan menambah mencari nafkah? Kemarin saja saat
Koko masih milikku seutuhnya, nafkah dia sudah dibagi dua dan itu tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan kami. Apalagi sekarang saat dia sudah memiliki
kekuasaan untuk membagi hasil, tentunya kami semakin membutuhkan biaya
tambahan.
Dengan
kesadaran baru, aku memohon pada Tuhan untuk memberikan keikhlasan hati dan
kesehatan supaya aku bisa mencari nafkah demi anak, adik-adik dan ibuku.
Akhirnya muncul kekuatan dalam diriku. Aku berpikir bahwa aku harus sehat, aku
harus kuat, dan aku harus cuek untuk tidak memikirkan masalah poligami lagi.
Aku hanya boleh memikirkan masa depan anak dan keluargaku.
Semangat
membuat kesehatanku berangsur membaik dan aku mulai kembali bekerja. Aku
benar-benar cuek dengan hubungan Koko dan Tanjung. Aku hanya berusaha menjadi istri,
ibu, kakak, dan anak yang baik.
Namun aku
tidak juga mendapatkan ketenangan. Ketakutan yang dulu menghantuiku mulai
menjadi kenyataan.
Pada malam minggu, adik perempuanku Hera berkunjung bersama
suaminya. Malang tidak dapat ditolak, Koko tidak ada dirumah waktu itu. “Lho, Mas
Kokonya kemana?”, tanya Hera. “Oh itu lagi ada urusan sekolahan, biasa dia
mah”, jawabku. “Oh gitu”, jawab Hera.
Disaat aku
yakin bahwa masalah sudah selesai untuk saat itu, tiba-tiba adikku Ali menyahut,
“Iya, Mas tuh nggak tau kenapa, sekarang sering ada kerjaan, malam-malam keluar
rumah.” Jantungku berdegup kencang mendengar kata-kata Ali. Kenapa dia harus
ikut-ikutan? Aku kesal bukan main. “Ya sudahlah.. jangan dipikirkan. Orang kan
punya urusan, masa harus diceritakan semuanya”, kataku mencoba membela Koko.
Entah mereka
mempercayaiku atau mereka hanya tidak ingin berdebat denganku, mereka akhirnya
mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Malam itu aku selamat. Setidaknya aku
masih bisa bernafas. Dan minggu berlalu tanpa ada masalah yang berarti. Yang
kulakukan hanya berusaha mengkhlaskan keadaan.
Masalah
muncul lagi pada minggu ketiga. Saat Hera dan suaminya berkunjung, lagi-lagi
Koko tidak ada dirumah. “Ini kenapa sih, udah dua kali kesini nggak pernah
ketemu mas. Kita kangen lo. Kemana sih mas itu sok sibuk banget?, kata suami Hera.
Seperti sebelumnya, aku terpaksa mencari alasan. “Ya biasa urusannya banyak, yang
kliningan, yang itulah,” kataku. Memang benar
bahwa Koko tergabung dengan sebuah kelompok gamelan yang kegiatannya biasa
disebut kliningan sehingga mereka dengan cepat mempercayai alasanku. Aku
kembali berhasil membohongi mereka.
Namun,
apakah ini benar-benar keberhasilan? Apakah sebuah kebohongan bisa dikatakan
sebagai sebuah keberhasilan? Rasa bersalah ini semakin lama semakin dalam. Ternyata
poligami tidak hanya menyiksa hatiku sebagai perempuan, ternyata aku juga
tersiksa karena harus berbohong pada keluarga. “Ya Allah…. maafkanlah aku yang selalu
berbohong. Tolonglah aku untuk mendapatkan jalan yang terbaik.”
Ketakutan
mulai datang lagi di awal bulan. Seperti biasa, ibu akan datang ke Bandung
untuk mengambil pensiun. Bagaimana jika Ibu datang di hari yang tidak tepat?
Hatiku tidak tenang menunggu datangnya ibu. Untungnya, ketakutanku tidak
menjadi kenyataan. Ibuku datang saat koko ada dirumah. Bulan depannya juga
berjalan baik dengan segala kebohonganku dan aku juga diselamatkan karena Koko
ada dirumah saat ibu datang.
Hanya ada
masalah dengan adik-adik yang tinggal bersamaku. Mereka mulai mempelihatkan
kecurigaan terhadap kepulangan Koko yang berselang seling setiap malamnya. “Udahlah
mas lagi ada urusan di luar rumah”, hanya itu yang bisa kukatakan untuk menghentikan
kecurigaan mereka. Entah mereka percaya, takut, atau bagaimana, mereka tidak
melanjutkan pertanyaan-pertanyaan mereka sehingga aku sedikit tenang.
Kejadian
yang mengagetkanku terjadi pada bulan ketiga kami berpoligami. Tanpa ada
pemberitahuan sebelumnya, Koko membawa anak-anaknya ke rumah. Aku kesal dengan
kelakuan Koko yang semaunya sendiri. Seharusnya dia bertanya dulu padaku
sebelum membawa anak-anak. Bukannya apa-apa, aku takut jika hal itu membuat
orang-orang disekitar kami curiga. Aku pun menjadi bingung dan takut memikirkan
reaksi adik-adik dan tetangga-tetangga. Mereka tentunya akan bertanya siapa
anak-anak itu dan mengapa Koko membawanya ke rumah kami.
Dan ternyata
benar, mereka melontarkan pertanyaan itu padaku. Aku yang tidak ingin mereka
curiga segera mencari alasan yang masuk akal. “Ini saudara-saudara Tigo dari
istri Mas yang dulu. Sengaja dijemput sama Mas supaya kenal sama adiknya. Kebetulan
juga mau ketemu sama tantenya”, kataku. Untungnya Wita, adik Koko memang
tinggal bersama kami sehingga aku tidak berbohong pada mereka dan untungnya
lagi, baik adik maupun tetanggaku tidak berusaha mengorek lebih dalam lagi.
Aku yang
masih begitu kesal memperingatkan Koko dan adiknya Wita untuk tidak
menceritakan apapun, karena keluargaku belum ada yang tahu tentang ini. Aku
ingin mereka ikut saja dengan rencanaku dan tidak melakukan sesuatu yang bisa
membuat keluargaku sakit hati.
Beberapa
hari setelahnya, Ibu datang seperti biasa untuk mengambil pensiun dan aku
kembali selamat karena Koko ada di rumah. Tapi diluar dugaan, ibu tidak hanya
menginap sehari, tetapi ibu ingin menginap dua hari. “Ah Mamah nggak akan
pulang dulu sekarang, Mamah mau nginep semalem lagi soalnya Mamah mau beli
sesuatu buat Ratna”, katanya. Ratna adalah adikku yang paling kecil, saat itu
dia masih SD. “Oh gitu Mah, ya nggak apa-apa”, kataku yang tidak memiliki
pilihan lain.
Terang saja
aku jadi kelabakan karena ibuku tidak mau pulang. Malam nanti ibu pasti akan
tahu jika Koko tidak pulang dan pasti melontarkan begitu banyak pertanyaan yang
aku tidak yakin bisa menjawabnya. Seharian aku memikirkan kemungkinan
pertanyaan dan jawaban yang harus aku siapkan.
Benar saja,
malamnya saat Koko tidak pulang, ibu langsung bertanya, “Loh kok Koko nggak
pulang, kok kerja sampe nggak pulang ke rumah, memang ada kerjaan apa?”
Untungnya aku sudah menyiapkan jawaban yang masuk akal. “Oh itu Mah, Mas Koko
kan kliningannya ada yang nanggap. Kalau wayang kan sampe pagi Mah”, jawabku.
Ibuku terlihat percaya dan tidak bertanya lagi. Hatikupun menjadi tenang.
Pagi
harinya, ibuku kembali membuatku terkejut. “Ah Mamah mah mau dianterin Eneng,
mau beli macem-macem. Nggak jadi ah pulangnya, besok aja”, katanya dengan santai.
Apalagi ini? Kenapa ibu tidak mau pulang lagi, apa ibu curiga tentang sesuatu? Apa
adik-adik melaporkan sesuatu pada ibu? Berjuta pikiran buruk memenuhi otakku. Ketakutanku
semakin menjadi. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun juga. Lagipula, aku harus
bekerja. Aku pamit dan meninggalkan ibuku dengan hati yang tidak karuan.
Saat aku dan
Koko datang pulang kerja, ibuku langsung memperlihatkan kecurigaannya. “Masa
gamelan ngiringin wayang pulang sore? Kenapa nggak pagi-pagi pulang ke sini? Kok
langsung ke kantor?” tanya ibuku. Koko tidak menjawab, dia terlihat bingung dan
takut. Akhirnya aku yang menjawab, “Kan kagok Mah kalau bolak balik, di sekolah
udah ada ganti kok, jadi langsung aja.”
Aku kembali
berbohong dan hati ini semakin diliputi rasa bersalah. Ibuku tidak layak untuk
dibohongi, tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menceritakan yang
sebenarnya. Terjadilah perang batin antara keharusan berkata jujur dengan rasa
takut yang membuatku tidak tenang. Bahkan melihat ibuku saja sudah membuat aku
takut sehingga aku berusaha menghindari ibu. Tapi bagaimana mungkin aku terus
menghindari ibu sedangkan kami satu rumah? Bagaimana ini?
Setelah
memikirkan keadaan keluargaku baik-baik dan mempertimbangkan efek baik dan
buruk dari semua kemungkinan yang bisa terjadi, maka aku memutuskan untuk
memberitahukan semuanya pada ibu. Aku benar-benar sudah tidak mampu untuk
berbohong lagi. Dosaku sudah terlalu banyak. Lagipula, cepat atau lambat
kebohongan ini pasti terbuka. Daripada ibu tahu dari orang lain, lebih baik aku
yang berterus-terang padanya.
Setelah
makan malam, aku meminta adik-adikku untuk pergi sebentar karena aku ingin
berbicara serius dengan ibu. Aku, Koko, dan ibu duduk bersama di meja makan.
Terlihat wajah ibu yang penuh pertanyaan. Dengan berat hati, aku memulai
pembicaraan kami. Kutatap mata ibuku dan memberanikan diri untuk berkata, “Mah.
Eneng minta maaf. Dulu Eneng nggak nurut sama Mamah. Waktu Eneng mau nikah sama
Mas Koko, Eneng ngeyel, Eneng maksa.”
Ibu terlihat
tidak mengerti maksudku, tapi tidak mengucapkan apapun. Diamnya ibu justru
membuat aku semakin tidak tenang. Jantung ini sepertinya mau lepas dari
tubuhku. Tapi semua sudah dimulai dan aku harus melanjutkan. “Yang Mamah
bicarakan dulu ternyata sekarang kejadian Mah”, kataku dengan gemetar. Air mata
mulai membasahi mataku. Dengan segenap tenaga dan keberanianku, kuucapkan
kebenaran itu. “Eneng terpaksa harus mengijinkan Mas Koko kembali ke mantan
istrinya.”
Ibu terlihat
begitu terkejut, tapi belum ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku
menceritakan kejadian lengkapnya pada Ibu, termasuk sakitnya Koko dan semua
kegaduhan yang terjadi. “Eneng sudah istikharah Mah. Mungkin ini memang nasib
Eneng. Jadi diterima aja, Eneng sekarang mengijinkan Mas Koko kembali daripada
dia berdosa”, kataku membela diri.
Ibu masih
saja diam seribu bahasa. Pandangannya kosong. Aku tahu ibu pasti marah, karena
itulah aku kembali menjelaskan keadaan kami untuk mengurangi kemarahan ibu. “Tapi
Eneng sebenarnya kemarin juga sudah ke pengadilan. Eneng minta cerai saja. Tapi
mas Koko tidak mau dan pengadilan juga tidak mengijinkan. Terus kita berpikir lagi.
Jadi sementara ini Eneng biarkan dulu. Kalau Eneng nggak kuat, Eneng mau minta
cerai.”
Wajah ibuku
memucat pasi. Tubuhnya tidak bergerak. Tanpa suara, air mata mengalir deras di
pipinya. Betapa takut aku melihatnya. Aku takut jika ibu stroke lagi. Apa yang
harus kulakukan? Aku harus bisa menenangkannya sebelum sesuatu yang buruk
terjadi.
“Mah.. Mah..
Eneng ikhlas kok Mah. Ini nasib Eneng. Eneng nggak apa-apa. Eneng kuat. Mamah
udah, jangan apa-apa. Mamah doakan saja supaya Eneng jadi istri yang soleh,
yang ikhlas, supaya Eneng masuk surga. Mamah pengenkan kalau Eneng masuk
surga?” aku berbicara cepat sambil memegang tangan ibuku untuk membuatnya
tenang.
Ibuku beranjak
dari duduknya dan memelukku dengan erat. “Mamah tuh nggak pernah marahin Eneng.
Mamah tuh nggak pernah nyakitin hati Eneng. Mamah tuh sayang banget sama Eneng.
Jadi Mamah sakit hati kalau Eneng diperlakukan seperti ini sama suami.” Suara
ibu bergetar kuat, terdengar benar jika beliau berusaha keras untuk menahan
emosi yang bergejolak dalam dadanya.
Ibu
melepaskan pelukannya dan menatap Koko yang sedari tadi hanya duduk mematung,
tidak berani berkata apapun. “Koko kamu ingat nggak? Kamu dulu berjanji waktu
mau kawin tidak mau kembali lagi. Kamu ingat nggak?” tanya ibu pada Koko. “Ingat
Mah”, kata Koko. Mukanya begitu pucat karena takut. “Tapi kenapa kamu sekarang
begini?” ibu kembali bertanya dengan marah.
Suasana
hening karena Koko terlihat ketakutan dan tidak tahu mau menjawab apa. Setelah
beberapa saat, terdengarlah suara Koko. “Saya bingung harus memilih Mah. Saya
harus bagaimana? Sama Neng Jingga saya sudah begitu sayang. Kesana saya juga
cinta pada anak-anak. Satu-satunya solusi hanya ini. Saya hanya bisa
menjalaninya. Saya minta doanya supaya saya bisa menjadi laki-laki yang
bertanggung jawab pada kedua keluarga dan mudah-mudahan kami bisa menjalaninya.
Saya mohon doanya dari Mamah” kata Koko sambil menunduk.
Suara Koko
yang begitu lemah dan terdengar tulus membuat ibu menjadi luluh mendengarnya. “Ya
sudah. Kalau memang kalian maunya begitu”, kata ibu. Namun, ibuku ternyata
masih belum ikhlas. “Mamah cuma malu sama Gusti Allah. Kamu dosa Koko! Kamu
ingkar janji sama Gusti Allah. Bukan sama Eneng, bukan sama Mamah saja, tapi
sama Gusti Allah! Dan kamu juga sudah menyakiti ini.” Ibu menunjuk padaku.
“Ini! Kamu sudah menyakiti ini nih. Kamu dosa!” ibuku berteriak. Raut wajahnya
berubah menjadi penuh kemarahan.
Aku dan Koko
terkejut mendengar kemarahan ibu. Wajah Koko semakin pucat. Dengan tergagap ia
berkata, “Ya.. saya… saya minta maaf sama Mamah… Mohon Mamah memaafkan saya.
Mohon Mamah tetap menganggap saya sebagai mantu Mamah.”
Koko
benar-benar terlihat tidak berdaya. Dia tahu bahwa ini memang kesalahannya,
tetapi semua sudah terjadi. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya meminta belas
kasihan dari ibu yang telah melahirkan istrinya. “Tolong Mah. Saya sudah tidak
ada lagi tempat minta tolong selain Mamah dan Neng Jingga. Eneng sudah
mengijinkan dan sekarang saya minta Mamah memberikan ijin juga.”
Kemarahan ibu
semakin membara. “Mamah mah tidak akan mengijinkan sampai kapanpun”, kata ibu
dengan tegas. “Terserah kalau kamu mau melaksanakan itu. Asal kalau Mamah
berubah sikap sama kamu, kamu jangan sakit hati. Karena Mamah tidak mau punya
menantu yang istrinya dua.” Setelah itu, Ibu segera beranjak dan masuk ke
kamar. Keesokan harinya, ibu pergi ke rumah Hera.
_____________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar