Senin, 04 Mei 2015

Mengapa Aku Memilih Poligami - Bab IV



Bagaikan kilat menyambar otakku, kata-kata yang keluar dari mulut Koko membuat kepalaku serasa mau pecah. Apa yang terjadi? Koko adalah harapan baru untukku. Dia yang telah membangkitkan kembali keberanianku untuk menikah lagi. Dia yang telah menegakkan harga diriku sebagai seorang wanita dengan hadirnya anak kami. Dia yang telah memberikan kasih sayang, tidak hanya kepadaku tetapi pada seluruh anggota keluargaku. Mengapa kini dia juga yang menghancurkan semuanya?

Amarahku pecah tak tertahan. Aku berdiri dan berkata pada Koko, “Emangnya aku ayam? Tidak punya perasaan mau dibegitukan? Bapak kok punya pikiran begitu? Pikiran dari mana? Aturan dari mana? Bapak punya perasaan nggak sih kalau Ibu ini juga punya perasaan? Bapak punya pikiran nggak kalau Ibu ini punya otak?”

Koko tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya terdiam mematung. Wajahnya pucat dan begitu memelas. Namun amarahku tidak bisa dibendung hanya dengan wajah memelas, aku tidak selemah itu. Setelah semua yang aku alami, aku tidak mau lagi ditindas oleh suamiku.

“Nggak! Nggak bisa!” Aku melangkah ke arah meja dan mengambil selembar kertas kosong. Kusodorkan kertas itu kepada Koko sembari berkata, “Sekarang tanda tangan ini, nanti Ibu tinggal ngetik. Ibu mau cerai aja. Silahkan Bapak mau balik lagi sama Bu Tanjung. Mangga. Dengan senang hati, mangga!”

“Jangan begitu Bu, Bapak maunya bukan begitu”, kata Koko. Terlihat sekali ketakutan di wajahnya. Aku menunggu sampai dia mengatakan sesuatu yang bisa membuatku lebih tenang, tapi hanya itu kata-kata yang diucapkannya. Aku semakin marah saja. “Ya sudah terserah Bapak”, kataku. Aku sudah tidak peduli lagi dan keluar meninggalkan kamar.

Beberapa hari kemudian Koko jatuh sakit yang cukup parah sampai aku harus membawanya ke rumah sakit. Menurut dokter masalah yang sebenarnya bukan pada fisiknya tetapi pada psikologisnya. Koko dirawat selama 4 hari dan dokter hanya memberikannya obat demam biasa. Dokter mengatakan bahwa aku harus menemukan penyebab stress berat yang dialami Koko dan menyelesaikan masalah itu agar Koko tidak sakit lagi.  

Aku tahu apa penyebab stress yang dialami Koko dan apa jalan keluar dari stress tersebut, tapi aku juga sangat sadar bahwa aku tidak mungkin membiarkan dia melakukan hal itu. Tidak mungkin aku rela untuk dimadu. Aku masih memiliki kekuatan untuk hidup dan menghidupi anakku dengan kemampuanku sendiri. Lebih baik aku bercerai daripada dimadu.

Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Koko kembali berbicara padaku. “Bapak mau balikan sama ibunya Kuncoro. Kasihan dia diusir oleh kakaknya karena tidak mau dijodohkan. Makanya sekarang dia tinggal lagi di jalan P. Anak-anak juga pada sakit. Kuncoro masuk rumah sakit dan Ati dirawat di rumah”, katanya dengan hati-hati.

Aku kembali marah mendengar permintaannya. Mengapa dia begitu egois dan tidak memikirkan perasaanku? “Kalau masalah anak-anak sakit, kan ada Wita. Suruh saja Wita membantu Mbak Tanjung ngurusin anak-anak”, kataku dengan kesal.

Keesokan harinya kami membahas anak-anak Koko yang sedang sakit. Karena Tanjung harus menunggui Kuncoro yang dirawat di rumah sakit, akhirnya kami memutuskan untuk mengutus Wita ke rumah Tanjung untuk mengurus Ati yang sakit. Wita adalah adik Koko yang tinggal bersama kami. Aku juga menjenguk Ati dan berusaha untuk membantu sebisaku, sedangkan Koko harus bolak-balik ke rumah sakit untuk ikut mengurus Kuncoro. Beberapa hari kemudian Kuncoro keluar dari rumah sakit dan keadaan Ati juga membaik.

Aku merasa lega karena anak-anak Koko telah sehat kembali, tetapi keputusanku untuk membiarkan Koko mengurus anak-anaknya ternyata menjadi bumerang.  Malam itu Koko berbicara padaku. “Bagaimana ya bu jika Bapak kembali lagi pada De Tanjung. Bapak kan juga harus bertanggung jawab sama anak-anak”, katanya.

Seperti yang ditakutkan ibuku, kewajiban Koko untuk ikut mengurus anaknya menjadi jalan bagi dia dan mantan istrinya untuk semakin dekat. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi aku bisa memastikan bahwa rasa cinta antara mereka benar-benar merekah kembali. Aku menyesal sudah mengijinkan dia untuk mengurus anak-anaknya, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Jika aku menghalangi dia untuk bertemu dan mengurus anaknya, sama saja aku membuat dia berdosa yang berarti aku juga ikut berdosa.

Aku kesal pada Koko, tetapi aku lebih kesal pada diriku sendiri yang tidak bisa menjaga suamiku sendiri. Aku merasa kali ini aku tidak boleh lembek. Ini adalah hidupku dan aku harus memperjuangkannya. Akhirnya dengan tegas kukatakan padanya, “Ibu kan sudah bilang dulu. Ibu kasih Bapak dua pilihan. Anak-anak diurus sama Ibu atau kita pisah. Tidak ada pilihan lain.”

Selama beberapa hari setelah itu, Koko terlihat begitu stress. Dia berusaha untuk mendekatiku, tetapi tidak aku hiraukan. Akhirnya, dia kembali berbicara padaku. Dia menceritakan bahwa dia sudah kembali dekat dengan mantan istrinya itu, bahkan sangat dekat. “Bu Bapak tau Bapak sudah melakukan kesalahan. Tapi Bapak sudah terlanjur. Tolong Ibu mengerti dan membantu Bapak agar Bapak bisa bertanggungjawab sama semua”, katanya.

Wajahnya yang begitu memelas saat mengatakan itu membuat dadaku terasa sesak. Mengapa Koko tega melakukan ini padaku? Apa salahku sampai dihianati seperti ini? Mana janjinya dahulu untuk tidak kembali lagi pada mantan istrinya? Apa gunanya kami membuat surat perjanjian itu jika akhirnya dia melanggarnya? Tidak! Aku tidak mau mengalah. Aku tidak boleh menyerah.

Di tengah kegalauanku, Koko berkata lagi, “Bu bapak sudah mengajukan ke pengadilan. Bapak mau poligami saja. Ibu yang ridho aja. Besok kita ke pengadilan ya bu?” Aku tidak percaya jika Koko bisa sejauh ini. Tapi justru aku merasa tertantang. “Ayo. Siapa takut?” kataku. Jika memang dia maunya begitu, aku akan meladeninya dengan seluruh kemampuanku.

Keesokan harinya kami berangkat ke pengadilan agama. Tanjung juga hadir ditemani oleh Wita. Setelah Koko mengatakan maksudnya, hakim bertanya padaku, “Bagaimana Ibu Jingga apa sudah ikhlas, setuju jika suaminya kembali lagi pada mantan istrinya?” Aku tersenyum dan menjawab dengan tegas, “Setuju pak. Alhamdulillah setuju sekali. Tapi dengan satu catatan. Saya di cerai dulu dan saya terima surat talak.”

Hakim pengadilan agama terlihat terkejut mendengar kata-kataku. Kemudian beliau bertanya pada Koko, “Bagaimana Pak Koko, syaratnya mau diterima atau tidak?” Koko yang terlihat bingung karena rencananya tidak berhasil berkata, “Wah saya harus pikirkan lagi kalau seperti itu Pak. Saya tidak bisa. Bukan seperti ini mau saya. Mau saya dua-duanya saya yang bertanggung jawab.”

Karena tidak ada titik temu antara kami berdua, akhirnya hakim memutuskan bahwa permintaan Koko tidak bisa dikabulkan. Hakim itu berkata, “Ya sudah kalau begitu. Dibicarakan dahulu dan datang lagi kesini setelah ada keputusan karena sekarang tidak akan jatuh surat ijin.” Kami pun akhirnya pulang dengan keadaan yang masih sama. Tidak ada satupun dari kami yang mau mengalah.

Beberapa hari kemudian Koko jatuh sakit dan di opname lagi di rumah sakit. Seperti sakitnya yang dulu, dokter mengatakan bahwa penyebab utama sakitnya Koko adalah stress berat. Koko hanya bisa benar-benar sembuh jika stressnya hilang. Aku disarankan untuk bisa membantu Koko mengatasi stressnya sementara dokter hanya bisa memberikan perawatan untuk mengatasi demamnya.

Saat sedang merawat Koko di rumah sakit, masalah lain datang. Hari itu, datanglah adik Koko yang bernama Jono. Dia berkata, “Mbak Jingga, gini lho. Mbak Tanjung itu kan kemaren harus masuk rumah sakit, sekarang sudah bisa keluar. Tapi tidak ada dananya untuk membayar biaya rumah sakit. Bagaimana ya? Keluarganya kan sudah tidak mau tau lagi tentang keadaan Mbak Tanjung.”

Apa lagi ini? Apa aku juga yang harus mengurusi mantan istrinya itu? Kenapa harus aku? Aku ini istri yang dihianati. Seharusnya aku yang dibela, bukan aku yang ditekan terus menerus seperti ini.

Aku benar-benar benci dengan keadaan ini. Aku kesal, aku marah, aku murka. Tapi … aku tidak bisa diam saja melihat ada orang yang sedang kesulitan seperti itu. Hati nuraniku berkata untuk melakukan sesuatu. Bagaimanapun juga Koko adalah suamiku. Dengan keadaan Koko yang seperti ini, aku yang harus bergerak dan mengatasi masalah ini.

Aku membuka dompet dan melihat uangku tinggal sedikit. Tabunganku juga tidak akan cukup untuk biaya rumah sakit karena sudah terpakai untuk biaya berobat Koko yang sebelumnya. Terpikir olehku untuk meminjam dari sekolah, tetapi karena aku dan Koko sudah ada pinjaman, sekolah tidak bisa memberikan lagi.

Akhirnya aku memutuskan untuk menjual perhiasanku. Aku berikan sebagian uang penjualan itu kepada Jono untuk mengeluarkan Tanjung dari rumah sakit, sebagian aku gunakan untuk biaya pengobatan Koko, dan sisanya aku simpan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak lainnya.  

Walaupun sudah keluar dari rumah sakit, Koko masih stress berat dan yang ada dipikirannya hanya masalah poligami. Aku tidak tahan dengan keadaan ini. Aku merasa terpojokkan sebagai pihak yang bersalah karena tidak membantu suamiku keluar dari beban beratnya. Tapi kembali lagi, aku ini kan wanita yang dihianati. Apa aku harus mengalah dan terima harga diriku diinjak-injak? Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau diriku disakiti seperti ini sedangkan aku tidak melakukan kesalahan. Mereka yang seharusnya mengalah padaku, bukan aku yang harus mengasihani mereka.

Namun, pertahananku sedikit demi sedikit mulai goyah. Hari ke hari kulihat suamiku semakin terpuruk. Di otakknya selalu saja ada Tanjung, tapi dia juga tidak mau berpisah denganku. Jika aku memaksakan untuk bercerai, pasti dia akan semakin sakit atau bahkan dia bisa jadi gila.  

Aku pun memikirkan semua yang telah terjadi padaku. Apa yang salah sampai ini terjadi? Mungkin aku juga melakukan kesalahan sampai hal seperti ini terjadi padaku. Lalu apa yang harus kulakukan? Keputusan apa yang harus aku ambil agar keadaan bisa membaik?

Dalam kegamanganku, aku tahu bahwa aku tidak sendiri. Boleh saja orang lain tidak peduli dengan hatiku, tapi Allah selalu ada untukku. Allah tidak pernah berhenti memberikan kasih dan sayangnya padaku. Allah pasti akan memberikan pertolongannya padaku. Aku pun sholat tahajud dan istikharah untuk meminta petunjuk dari Allah.

Malam itu setelah sholat, muncul rasa kasihan dalam hati. Kasihan juga jika Tanjung harus mengurus anak-anaknya seorang diri. Dengan anak-anak sebanyak itu, tentunya akan sulit untuk Tanjung mengurus mereka semuanya dengan baik, terutama karena kakak-kakaknya sudah tidak mempedulikannya lagi. Walaupun Koko mengirimkan uang, anak-anak itu tetap membutuhkan kasih sayang yang penuh dari ayahnya. Bagaimana masa depan anak-anak itu jika aku bersikukuh tidak mengijinkan Koko kembali pada ibu mereka?  

Aku juga memikirkan perasaan Koko dan Tanjung. Sejak awal aku sudah tahu bahwa Koko dan Tanjung berpisah bukan karena keinginan mereka, tetapi paksaan dari keluarga besar Tanjung. Tentunya rasa cinta mereka berdua masih ada. Bahkan rasa cinta itu sangat kuat, terbukti dengan adanya kejadian ini. Bagaimana mungkin aku sanggup untuk menghilangkan rasa itu? Masalah hati bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol dengan mudah. Kalaupun aku memaksa, bisa jadi rasa itu semakin tidak terkontrol dan justru semakin merusak.

Aku kembali berpikir dan berpikir. Koko dan Tanjung memiliki anak-anak yang masih harus mereka urus. Setelah bercerai, anak-anak menjadi alasan bagi mereka untuk bertemu kembali. Dengan masih adanya rasa cinta, pertemuan mereka tentunya tidak hanya mengurusi masalah anak. Itulah alasan mengapa keadaan ini terjadi. Koko dan Tanjung mendapatkan kembali rasa yang tersimpan dan tidak sanggup membendungnya. Hal ini pasti akan tetap berlanjut di masa datang, karena anak-anak akan selalu menjadi alasan. Walaupun aku berusaha keras menghentikannya sekarang, cepat atau lambat hal ini akan kembali berulang.

Aku juga terpikir dengan dosa yang mungkin mereka lakukan. Mereka kan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim. Jika mereka terus menerus bertemu …. Memikirkannya saja aku tidak sanggup.

Tuhan… apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membiarkan mereka seperti ini terus menerus? Jika mereka melakukan dosa, bukannya aku juga ikut berdosa karena membiarkan hal itu terjadi? Sedangkan aku tahu bahwa ada jalan untuk menghindari dosa. Yaitu… POLIGAMI.

Allah dengan terang menyatakan kehalalan poligami. Walaupun terkesan tidak adil dan begitu menyakitkan, tidak ada larangan untuk berpoligami. Itu adalah hak khusus yang diberikan hanya untuk laki-laki. Lalu bagaimana mungkin aku menentang hukum Allah? Bukankah Allah menyayangi semua makhluk ciptaannya baik laki-laki maupun perempuan? Saat Allah sudah menetapkan hukum seperti itu, pasti ada alasan logisnya. Hanya manusia saja yang terus terbawa nasfu dan perasaan sehingga terus menerus mempertanyakan dan mempertentangkan hukum Allah.

Lalu bagaimana ini? Aku ini manusia dan seorang perempuan yang memiliki hati lebih rapuh daripada laki-laki. Sakit sekali rasanya dihianati. Tentu akan lebih sakit lagi jika aku dimadu. Kalaupun aku memilih poligami karena hukum Allah, bagaimana aku bisa bertahan dengan rasa sakit itu?

Dunia sepertinya tidak adil padaku. Dua kali aku menikah dan dua kali aku disakiti oleh suamiku sendiri. Bukankah perempuan baik akan mendapatkan laki-laki yang baik pula? Apakah aku ini perempuan yang tidak baik? Apakah ibadahku kurang sehingga Allah tidak sayang padaku?

Pertanyaanku itu sepertinya langsung mendapat teguran dari Allah. Sesaat kemudian aku disadarkan pada kenyataan lain dalam hidupku. Aku teringat bagaimana kehidupan pernikahanku dengan Toni. Bagaimana dia telah begitu mengekang hidupku, menyakiti keluargaku, dan menghinaku dengan talak cerai yang dilakukan tanpa belas kasih. Aku teringat betapa sakitnya hati ini saat dikatakan sebagai perempuan pembawa sial karena tidak bisa memberikan anak pada Toni. Saat itu aku berdoa pada Allah untuk memberikan pertolongan dalam menghadapi masa-masa sulit itu. Aku berdoa pada Allah untuk menolongku membuktikan pada mereka bahwa mereka salah.

Sebenarnya Allah sudah menjawab doa-doaku itu. Aku sudah diberi kekuatan dan jalan keluar dari berbagai masalah sampai akhirnya aku bisa hidup dan menyekolahkan adik-adikku dengan kekuatanku sendiri tanpa Toni. Aku telah dikeluarkan dari jurang gelap yang begitu menyesakkan sampai akhirnya aku bisa melihat cahaya dan menghirup sejuknya udara kembali. Bukankah itu  luar biasa? Aku yang terbiasa dimanja oleh ayah, kini bisa menjadi tulang punggung keluarga. Aku yang dahulu hanya bisa berkata iya dan iya, kini telah berani menyatakan pemikiranku.

Lalu… aku teringat Tigo. Anakku itu adalah karunia terbesar yang diberikan Allah padaku. Aku telah diberi kesempatan untuk menjadi wanita sempurna dengan merasakan indahnya mengandung, melahirkan, dan melihat perkembangan anakku. Harga diriku telah ditegakkan oleh Allah. Semua ejekkan sudah dihilangkan dengan adanya pembuktian bahwa aku tidak mandul. Allah telah menjawab doaku. Ya, Allah telah menjawab doaku. Yang terpenting, Allah menjawab itu melalui Koko. Tanpa Koko, tentunya tidak akan ada Tigo.

Astagfirullah…. Aku merasa bersalah telah mempertanyakan kebijakan Allah. Aku merasa malu karena telah begitu egois. Aku merasa bahwa aku ini orang yang paling tertindas padahal aku telah mendapatkan karunia luar biasa selama ini. Begitu bodohnya aku mempertanyakan kasih sayang Allah padahal kasih sayangnya terus mengalir padaku.

Astagfirullahaladzim…. Ya Allah maafkan hambamu. Maafkan hambamu yang hanya memikirkan diri sendiri dan hanya melihat sesuatu dari satu sisi saja. Maaf ya Allah…. Maaf…

Tangisku jatuh tak tertahan. Hati ini begitu sakit karena malu dan rasa berdosa pada Tuhan semesta alam yang tidak pernah tidur dan selalu memutuskan yang terbaik untuk hamba-hambanya.

Jika Allah sudah mengabulkan doa-doaku, mengapa aku tidak terima dengan cobaan seperti ini? Bukankah cobaan juga merupakan bagian kasih sayang dari Allah? Allah memberi cobaan untuk menaikkan derajat kita agar lebih kuat dan lebih bijaksana dalam menjalani hidup. Jika Allah memberikan cobaan lagi, tentunya Allah akan memberikan jalan keluarnya lagi, bukan? Allah akan selalu ada dan memberikan jalan keluar asalkan aku mau mengikuti petunjuknya.

Jadi… aku seharusnya bisa menyelamatkan suamiku karena ini adalah jalan keluar yang paling logis saat ini. Dengan bantuan Allah, aku pasti akan mampu menghadapi sakit yang akan datang. Akhirnya… aku mengambil keputusan terbesar dan terberat dalam hidupku.

Saat malam dihari berikutnya, kami berdua di kamar dan aku mulai berbicara pada Koko. “Pak, gimana bapak tuh? Maunya seperti apa? Kalau seperti ini Bapak tuh berdosa terus.” Koko melihatku dengan lemas. Dengan perlahan dia berkata, “Bapak tuh merasa bersalah bu. Bapak tuh mati aja apa ya?”

Jawaban Koko membuatku merasa kesal. Apa? Dia mau mati? Enak saja dia mau mati dan meninggalkan masalah. “Ya silahkan. Bapak mau mati mangga, tapi masuk neraka, mending bapak tobat”, kataku dengan ketus. Koko melihatku dengan terkejut, tetapi kemudian dia tertegun lagi.  “Tapi bapak tuh jadi nambah beban De Tanjung. Bapak maunya nikah lagi sama De Tanjung”, katanya.

Tanjung lagi, Tanjung lagi. Sepertinya aku memang tidak bisa menghilangkan nama itu dari otak Koko. Ya, memang sudah tidak ada jalan lain. Aku menarik nafas dan mengumpulkan kekuatanku. Dengan sekuat tenaga, kutatap mata Koko dengan tajam. “Oke, ibu ijinkan. Tetapi dengan syarat! Ibu tidak mau Bapak menikah resmi dan Ibu tidak mau ke pengadilan agama. Bapak nikah siri aja, asal halal saja”, kataku dengan tegas.

Koko sangat terkejut mendengar kata-kataku. “Kenapa begitu?”, tanya Koko. Aku tidak mau berdebat panjang dengannya dan menjawab, “Ya pokoknya Ibu maunya begitu aja. Kalau Bapak tidak mau, ya cerai. Kemaren cuma ada alternatif satu saja, sekarang ada alternatif lain.” Lalu, sebelum Koko menimpali, aku menambahkan. “Dan saya juga minta anak Ibu, Tigo, harus bisa bertemu dengan bapaknya setiap hari. Terserah Bapak mengaturnya seperti apa.”

Walaupun Koko terlihat berpikir keras, mulai terlihat kalau dia merasa lega. “Ya sudah kalau begitu, mau Bapak coba”, katanya. Aku yang masih merasa kesal menimpalinya dengan ketus, “Bukan dicoba, tapi dipikirkan dan tanggung jawab. Kalau tidak tanggung jawab, masuk neraka.”

Koko tersenyum. Semua beban sepertinya terlepas dari kepalanya. “Terima kasih ya Bu. Ibu memang wanita sholehah”, katanya padaku dengan berseri-seri. Malam itu dia begitu baik kepadaku. Tidakkah dia menyadari bahwa istrinya ini telah hancur sehancur-hancurnya? 



_____________________________________________________________

Pengantar        BAB I         << Bab Sebelumnya       Bab Selanjutnya >> 

1 komentar:

  1. sekali lagi saya minta maaf kalau postingannya lambat sekali... insyaallah bab berikutnya akan lebih cepat postingannya karena alhamdulillah novelnya sudah selesai

    BalasHapus