Bagaikan
kilat menyambar otakku, kata-kata yang keluar dari mulut Koko membuat kepalaku
serasa mau pecah. Apa yang terjadi? Koko adalah harapan baru untukku. Dia yang
telah membangkitkan kembali keberanianku untuk menikah lagi. Dia yang telah
menegakkan harga diriku sebagai seorang wanita dengan hadirnya anak kami. Dia yang
telah memberikan kasih sayang, tidak hanya kepadaku tetapi pada seluruh anggota
keluargaku. Mengapa kini dia juga yang menghancurkan semuanya?
Amarahku
pecah tak tertahan. Aku berdiri dan berkata pada Koko, “Emangnya aku ayam?
Tidak punya perasaan mau dibegitukan? Bapak kok punya pikiran begitu? Pikiran
dari mana? Aturan dari mana? Bapak punya perasaan nggak sih kalau Ibu ini juga punya
perasaan? Bapak punya pikiran nggak kalau Ibu ini punya otak?”
Koko tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya terdiam mematung. Wajahnya pucat dan
begitu memelas. Namun amarahku tidak bisa dibendung hanya dengan wajah memelas,
aku tidak selemah itu. Setelah semua yang aku alami, aku tidak mau lagi ditindas
oleh suamiku.
“Nggak!
Nggak bisa!” Aku melangkah ke arah meja dan mengambil selembar kertas kosong.
Kusodorkan kertas itu kepada Koko sembari berkata, “Sekarang tanda tangan ini,
nanti Ibu tinggal ngetik. Ibu mau cerai aja. Silahkan Bapak mau balik lagi sama
Bu Tanjung. Mangga. Dengan senang hati, mangga!”
“Jangan
begitu Bu, Bapak maunya bukan begitu”, kata Koko. Terlihat sekali ketakutan di
wajahnya. Aku menunggu sampai dia mengatakan sesuatu yang bisa membuatku lebih
tenang, tapi hanya itu kata-kata yang diucapkannya. Aku semakin marah saja. “Ya
sudah terserah Bapak”, kataku. Aku sudah tidak peduli lagi dan keluar
meninggalkan kamar.
Beberapa
hari kemudian Koko jatuh sakit yang cukup parah sampai aku harus membawanya ke
rumah sakit. Menurut dokter masalah yang sebenarnya bukan pada fisiknya tetapi
pada psikologisnya. Koko dirawat selama 4 hari dan dokter hanya memberikannya
obat demam biasa. Dokter mengatakan bahwa aku harus menemukan penyebab stress
berat yang dialami Koko dan menyelesaikan masalah itu agar Koko tidak sakit
lagi.
Aku tahu apa
penyebab stress yang dialami Koko dan apa jalan keluar dari stress tersebut,
tapi aku juga sangat sadar bahwa aku tidak mungkin membiarkan dia melakukan hal
itu. Tidak mungkin aku rela untuk dimadu. Aku masih memiliki kekuatan untuk
hidup dan menghidupi anakku dengan kemampuanku sendiri. Lebih baik aku bercerai
daripada dimadu.
Beberapa
hari setelah keluar dari rumah sakit, Koko kembali berbicara padaku. “Bapak mau
balikan sama ibunya Kuncoro. Kasihan dia diusir oleh kakaknya karena tidak mau dijodohkan.
Makanya sekarang dia tinggal lagi di jalan P. Anak-anak juga pada sakit.
Kuncoro masuk rumah sakit dan Ati dirawat di rumah”, katanya dengan hati-hati.
Aku kembali
marah mendengar permintaannya. Mengapa dia begitu egois dan tidak memikirkan perasaanku?
“Kalau masalah anak-anak sakit, kan ada Wita. Suruh saja Wita membantu Mbak
Tanjung ngurusin anak-anak”, kataku dengan kesal.
Keesokan
harinya kami membahas anak-anak Koko yang sedang sakit. Karena Tanjung harus
menunggui Kuncoro yang dirawat di rumah sakit, akhirnya kami memutuskan untuk
mengutus Wita ke rumah Tanjung untuk mengurus Ati yang sakit. Wita adalah adik
Koko yang tinggal bersama kami. Aku juga menjenguk Ati dan berusaha untuk
membantu sebisaku, sedangkan Koko harus bolak-balik ke rumah sakit untuk ikut
mengurus Kuncoro. Beberapa hari kemudian Kuncoro keluar dari rumah sakit dan
keadaan Ati juga membaik.
Aku merasa
lega karena anak-anak Koko telah sehat kembali, tetapi keputusanku untuk
membiarkan Koko mengurus anak-anaknya ternyata menjadi bumerang. Malam itu Koko berbicara padaku. “Bagaimana
ya bu jika Bapak kembali lagi pada De Tanjung. Bapak kan juga harus bertanggung
jawab sama anak-anak”, katanya.
Seperti yang ditakutkan ibuku, kewajiban Koko untuk ikut mengurus anaknya menjadi jalan bagi dia dan mantan istrinya untuk semakin dekat. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi, tapi aku bisa memastikan bahwa rasa cinta antara mereka benar-benar merekah kembali. Aku menyesal sudah mengijinkan dia untuk mengurus anak-anaknya, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Jika aku menghalangi dia untuk bertemu dan mengurus anaknya, sama saja aku membuat dia berdosa yang berarti aku juga ikut berdosa.
Aku kesal
pada Koko, tetapi aku lebih kesal pada diriku sendiri yang tidak bisa menjaga
suamiku sendiri. Aku merasa kali ini aku tidak boleh lembek. Ini adalah hidupku
dan aku harus memperjuangkannya. Akhirnya dengan tegas kukatakan padanya, “Ibu
kan sudah bilang dulu. Ibu kasih Bapak dua pilihan. Anak-anak diurus sama Ibu
atau kita pisah. Tidak ada pilihan lain.”
Selama
beberapa hari setelah itu, Koko terlihat begitu stress. Dia berusaha untuk
mendekatiku, tetapi tidak aku hiraukan. Akhirnya, dia kembali berbicara padaku.
Dia menceritakan bahwa dia sudah kembali dekat dengan mantan istrinya itu,
bahkan sangat dekat. “Bu Bapak tau Bapak sudah melakukan kesalahan. Tapi Bapak
sudah terlanjur. Tolong Ibu mengerti dan membantu Bapak agar Bapak bisa
bertanggungjawab sama semua”, katanya.
Wajahnya
yang begitu memelas saat mengatakan itu membuat dadaku terasa sesak. Mengapa
Koko tega melakukan ini padaku? Apa salahku sampai dihianati seperti ini? Mana
janjinya dahulu untuk tidak kembali lagi pada mantan istrinya? Apa gunanya kami
membuat surat perjanjian itu jika akhirnya dia melanggarnya? Tidak! Aku tidak
mau mengalah. Aku tidak boleh menyerah.
Di tengah
kegalauanku, Koko berkata lagi, “Bu bapak sudah mengajukan ke pengadilan. Bapak
mau poligami saja. Ibu yang ridho aja. Besok kita ke pengadilan ya bu?” Aku
tidak percaya jika Koko bisa sejauh ini. Tapi justru aku merasa tertantang. “Ayo.
Siapa takut?” kataku. Jika memang dia maunya begitu, aku akan meladeninya
dengan seluruh kemampuanku.
Keesokan
harinya kami berangkat ke pengadilan agama. Tanjung juga hadir ditemani oleh
Wita. Setelah Koko mengatakan maksudnya, hakim bertanya padaku, “Bagaimana Ibu
Jingga apa sudah ikhlas, setuju jika suaminya kembali lagi pada mantan
istrinya?” Aku tersenyum dan menjawab dengan tegas, “Setuju pak. Alhamdulillah
setuju sekali. Tapi dengan satu catatan. Saya di cerai dulu dan saya terima
surat talak.”
Hakim
pengadilan agama terlihat terkejut mendengar kata-kataku. Kemudian beliau
bertanya pada Koko, “Bagaimana Pak Koko, syaratnya mau diterima atau tidak?”
Koko yang terlihat bingung karena rencananya tidak berhasil berkata, “Wah saya
harus pikirkan lagi kalau seperti itu Pak. Saya tidak bisa. Bukan seperti ini
mau saya. Mau saya dua-duanya saya yang bertanggung jawab.”
Karena tidak
ada titik temu antara kami berdua, akhirnya hakim memutuskan bahwa permintaan
Koko tidak bisa dikabulkan. Hakim itu berkata, “Ya sudah kalau begitu.
Dibicarakan dahulu dan datang lagi kesini setelah ada keputusan karena sekarang
tidak akan jatuh surat ijin.” Kami pun akhirnya pulang dengan keadaan yang
masih sama. Tidak ada satupun dari kami yang mau mengalah.
Beberapa
hari kemudian Koko jatuh sakit dan di opname lagi di rumah sakit. Seperti
sakitnya yang dulu, dokter mengatakan bahwa penyebab utama sakitnya Koko adalah
stress berat. Koko hanya bisa benar-benar sembuh jika stressnya hilang. Aku
disarankan untuk bisa membantu Koko mengatasi stressnya sementara dokter hanya
bisa memberikan perawatan untuk mengatasi demamnya.
Saat sedang
merawat Koko di rumah sakit, masalah lain datang. Hari itu, datanglah adik Koko
yang bernama Jono. Dia berkata, “Mbak Jingga, gini lho. Mbak Tanjung itu kan kemaren
harus masuk rumah sakit, sekarang sudah bisa keluar. Tapi tidak ada dananya
untuk membayar biaya rumah sakit. Bagaimana ya? Keluarganya kan sudah tidak mau
tau lagi tentang keadaan Mbak Tanjung.”
Apa lagi
ini? Apa aku juga yang harus mengurusi mantan istrinya itu? Kenapa harus aku?
Aku ini istri yang dihianati. Seharusnya aku yang dibela, bukan aku yang
ditekan terus menerus seperti ini.
Aku
benar-benar benci dengan keadaan ini. Aku kesal, aku marah, aku murka. Tapi …
aku tidak bisa diam saja melihat ada orang yang sedang kesulitan seperti itu.
Hati nuraniku berkata untuk melakukan sesuatu. Bagaimanapun juga Koko adalah
suamiku. Dengan keadaan Koko yang seperti ini, aku yang harus bergerak dan
mengatasi masalah ini.
Aku membuka
dompet dan melihat uangku tinggal sedikit. Tabunganku juga tidak akan cukup
untuk biaya rumah sakit karena sudah terpakai untuk biaya berobat Koko yang
sebelumnya. Terpikir olehku untuk meminjam dari sekolah, tetapi karena aku dan
Koko sudah ada pinjaman, sekolah tidak bisa memberikan lagi.
Akhirnya aku
memutuskan untuk menjual perhiasanku. Aku berikan sebagian uang penjualan itu
kepada Jono untuk mengeluarkan Tanjung dari rumah sakit, sebagian aku gunakan
untuk biaya pengobatan Koko, dan sisanya aku simpan untuk berjaga-jaga jika ada
kebutuhan mendesak lainnya.
Walaupun
sudah keluar dari rumah sakit, Koko masih stress berat dan yang ada
dipikirannya hanya masalah poligami. Aku tidak tahan dengan keadaan ini. Aku
merasa terpojokkan sebagai pihak yang bersalah karena tidak membantu suamiku
keluar dari beban beratnya. Tapi kembali lagi, aku ini kan wanita yang
dihianati. Apa aku harus mengalah dan terima harga diriku diinjak-injak? Tidak!
Aku tidak mau! Aku tidak mau diriku disakiti seperti ini sedangkan aku tidak
melakukan kesalahan. Mereka yang seharusnya mengalah padaku, bukan aku yang
harus mengasihani mereka.
Namun,
pertahananku sedikit demi sedikit mulai goyah. Hari ke hari kulihat suamiku
semakin terpuruk. Di otakknya selalu saja ada Tanjung, tapi dia juga tidak mau
berpisah denganku. Jika aku memaksakan untuk bercerai, pasti dia akan semakin
sakit atau bahkan dia bisa jadi gila.
Aku pun
memikirkan semua yang telah terjadi padaku. Apa yang salah sampai ini terjadi? Mungkin
aku juga melakukan kesalahan sampai hal seperti ini terjadi padaku. Lalu apa
yang harus kulakukan? Keputusan apa yang harus aku ambil agar keadaan bisa
membaik?
Dalam
kegamanganku, aku tahu bahwa aku tidak sendiri. Boleh saja orang lain tidak
peduli dengan hatiku, tapi Allah selalu ada untukku. Allah tidak pernah
berhenti memberikan kasih dan sayangnya padaku. Allah pasti akan memberikan
pertolongannya padaku. Aku pun sholat tahajud dan istikharah untuk meminta
petunjuk dari Allah.
Malam itu
setelah sholat, muncul rasa kasihan dalam hati. Kasihan juga jika Tanjung harus
mengurus anak-anaknya seorang diri. Dengan anak-anak sebanyak itu, tentunya
akan sulit untuk Tanjung mengurus mereka semuanya dengan baik, terutama karena
kakak-kakaknya sudah tidak mempedulikannya lagi. Walaupun Koko mengirimkan
uang, anak-anak itu tetap membutuhkan kasih sayang yang penuh dari ayahnya. Bagaimana
masa depan anak-anak itu jika aku bersikukuh tidak mengijinkan Koko kembali
pada ibu mereka?
Aku juga
memikirkan perasaan Koko dan Tanjung. Sejak awal aku sudah tahu bahwa Koko dan
Tanjung berpisah bukan karena keinginan mereka, tetapi paksaan dari keluarga
besar Tanjung. Tentunya rasa cinta mereka berdua masih ada. Bahkan rasa cinta
itu sangat kuat, terbukti dengan adanya kejadian ini. Bagaimana mungkin aku
sanggup untuk menghilangkan rasa itu? Masalah hati bukanlah sesuatu yang bisa
kita kontrol dengan mudah. Kalaupun aku memaksa, bisa jadi rasa itu semakin
tidak terkontrol dan justru semakin merusak.
Aku kembali
berpikir dan berpikir. Koko dan Tanjung memiliki anak-anak yang masih harus
mereka urus. Setelah bercerai, anak-anak menjadi alasan bagi mereka untuk
bertemu kembali. Dengan masih adanya rasa cinta, pertemuan mereka tentunya
tidak hanya mengurusi masalah anak. Itulah alasan mengapa keadaan ini terjadi.
Koko dan Tanjung mendapatkan kembali rasa yang tersimpan dan tidak sanggup
membendungnya. Hal ini pasti akan tetap berlanjut di masa datang, karena
anak-anak akan selalu menjadi alasan. Walaupun aku berusaha keras
menghentikannya sekarang, cepat atau lambat hal ini akan kembali berulang.
Aku juga
terpikir dengan dosa yang mungkin mereka lakukan. Mereka kan laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim. Jika mereka terus menerus bertemu …. Memikirkannya
saja aku tidak sanggup.
Tuhan… apa
yang harus aku lakukan? Apa aku harus membiarkan mereka seperti ini terus
menerus? Jika mereka melakukan dosa, bukannya aku juga ikut berdosa karena
membiarkan hal itu terjadi? Sedangkan aku tahu bahwa ada jalan untuk
menghindari dosa. Yaitu… POLIGAMI.
Allah dengan
terang menyatakan kehalalan poligami. Walaupun terkesan tidak adil dan begitu
menyakitkan, tidak ada larangan untuk berpoligami. Itu adalah hak khusus yang
diberikan hanya untuk laki-laki. Lalu bagaimana mungkin aku menentang hukum
Allah? Bukankah Allah menyayangi semua makhluk ciptaannya baik laki-laki maupun
perempuan? Saat Allah sudah menetapkan hukum seperti itu, pasti ada alasan
logisnya. Hanya manusia saja yang terus terbawa nasfu dan perasaan sehingga
terus menerus mempertanyakan dan mempertentangkan hukum Allah.
Lalu
bagaimana ini? Aku ini manusia dan seorang perempuan yang memiliki hati lebih
rapuh daripada laki-laki. Sakit sekali rasanya dihianati. Tentu akan lebih
sakit lagi jika aku dimadu. Kalaupun aku memilih poligami karena hukum Allah, bagaimana
aku bisa bertahan dengan rasa sakit itu?
Dunia
sepertinya tidak adil padaku. Dua kali aku menikah dan dua kali aku disakiti
oleh suamiku sendiri. Bukankah perempuan baik akan mendapatkan laki-laki yang
baik pula? Apakah aku ini perempuan yang tidak baik? Apakah ibadahku kurang
sehingga Allah tidak sayang padaku?
Pertanyaanku
itu sepertinya langsung mendapat teguran dari Allah. Sesaat kemudian aku
disadarkan pada kenyataan lain dalam hidupku. Aku teringat bagaimana kehidupan
pernikahanku dengan Toni. Bagaimana dia telah begitu mengekang hidupku,
menyakiti keluargaku, dan menghinaku dengan talak cerai yang dilakukan tanpa
belas kasih. Aku teringat betapa sakitnya hati ini saat dikatakan sebagai
perempuan pembawa sial karena tidak bisa memberikan anak pada Toni. Saat itu
aku berdoa pada Allah untuk memberikan pertolongan dalam menghadapi masa-masa
sulit itu. Aku berdoa pada Allah untuk menolongku membuktikan pada mereka bahwa
mereka salah.
Sebenarnya Allah
sudah menjawab doa-doaku itu. Aku sudah diberi kekuatan dan jalan keluar dari
berbagai masalah sampai akhirnya aku bisa hidup dan menyekolahkan adik-adikku
dengan kekuatanku sendiri tanpa Toni. Aku telah dikeluarkan dari jurang gelap
yang begitu menyesakkan sampai akhirnya aku bisa melihat cahaya dan menghirup
sejuknya udara kembali. Bukankah itu
luar biasa? Aku yang terbiasa dimanja oleh ayah, kini bisa menjadi
tulang punggung keluarga. Aku yang dahulu hanya bisa berkata iya dan iya, kini
telah berani menyatakan pemikiranku.
Lalu… aku
teringat Tigo. Anakku itu adalah karunia terbesar yang diberikan Allah padaku.
Aku telah diberi kesempatan untuk menjadi wanita sempurna dengan merasakan
indahnya mengandung, melahirkan, dan melihat perkembangan anakku. Harga diriku
telah ditegakkan oleh Allah. Semua ejekkan sudah dihilangkan dengan adanya
pembuktian bahwa aku tidak mandul. Allah telah menjawab doaku. Ya, Allah telah
menjawab doaku. Yang terpenting, Allah menjawab itu melalui Koko. Tanpa Koko,
tentunya tidak akan ada Tigo.
Astagfirullah….
Aku merasa bersalah telah mempertanyakan kebijakan Allah. Aku merasa malu
karena telah begitu egois. Aku merasa bahwa aku ini orang yang paling tertindas
padahal aku telah mendapatkan karunia luar biasa selama ini. Begitu bodohnya
aku mempertanyakan kasih sayang Allah padahal kasih sayangnya terus mengalir
padaku.
Astagfirullahaladzim….
Ya Allah maafkan hambamu. Maafkan hambamu yang hanya memikirkan diri sendiri
dan hanya melihat sesuatu dari satu sisi saja. Maaf ya Allah…. Maaf…
Tangisku
jatuh tak tertahan. Hati ini begitu sakit karena malu dan rasa berdosa pada
Tuhan semesta alam yang tidak pernah tidur dan selalu memutuskan yang terbaik
untuk hamba-hambanya.
Jika Allah
sudah mengabulkan doa-doaku, mengapa aku tidak terima dengan cobaan seperti
ini? Bukankah cobaan juga merupakan bagian kasih sayang dari Allah? Allah
memberi cobaan untuk menaikkan derajat kita agar lebih kuat dan lebih bijaksana
dalam menjalani hidup. Jika Allah memberikan cobaan lagi, tentunya Allah akan
memberikan jalan keluarnya lagi, bukan? Allah akan selalu ada dan memberikan
jalan keluar asalkan aku mau mengikuti petunjuknya.
Jadi… aku
seharusnya bisa menyelamatkan suamiku karena ini adalah jalan keluar yang
paling logis saat ini. Dengan bantuan Allah, aku pasti akan mampu menghadapi
sakit yang akan datang. Akhirnya… aku mengambil keputusan terbesar dan terberat
dalam hidupku.
Saat malam
dihari berikutnya, kami berdua di kamar dan aku mulai berbicara pada Koko.
“Pak, gimana bapak tuh? Maunya seperti apa? Kalau seperti ini Bapak tuh berdosa
terus.” Koko melihatku dengan lemas. Dengan perlahan dia berkata, “Bapak tuh
merasa bersalah bu. Bapak tuh mati aja apa ya?”
Jawaban Koko
membuatku merasa kesal. Apa? Dia mau mati? Enak saja dia mau mati dan
meninggalkan masalah. “Ya silahkan. Bapak mau mati mangga, tapi masuk neraka,
mending bapak tobat”, kataku dengan ketus. Koko melihatku dengan terkejut,
tetapi kemudian dia tertegun lagi. “Tapi
bapak tuh jadi nambah beban De Tanjung. Bapak maunya nikah lagi sama De Tanjung”,
katanya.
Tanjung
lagi, Tanjung lagi. Sepertinya aku memang tidak bisa menghilangkan nama itu
dari otak Koko. Ya, memang sudah tidak ada jalan lain. Aku menarik nafas dan
mengumpulkan kekuatanku. Dengan sekuat tenaga, kutatap mata Koko dengan tajam. “Oke,
ibu ijinkan. Tetapi dengan syarat! Ibu tidak mau Bapak menikah resmi dan Ibu
tidak mau ke pengadilan agama. Bapak nikah siri aja, asal halal saja”, kataku
dengan tegas.
Koko sangat
terkejut mendengar kata-kataku. “Kenapa begitu?”, tanya Koko. Aku tidak mau
berdebat panjang dengannya dan menjawab, “Ya pokoknya Ibu maunya begitu aja.
Kalau Bapak tidak mau, ya cerai. Kemaren cuma ada alternatif satu saja,
sekarang ada alternatif lain.” Lalu, sebelum Koko menimpali, aku menambahkan. “Dan
saya juga minta anak Ibu, Tigo, harus bisa bertemu dengan bapaknya setiap hari.
Terserah Bapak mengaturnya seperti apa.”
Walaupun
Koko terlihat berpikir keras, mulai terlihat kalau dia merasa lega. “Ya sudah
kalau begitu, mau Bapak coba”, katanya. Aku yang masih merasa kesal
menimpalinya dengan ketus, “Bukan dicoba, tapi dipikirkan dan tanggung jawab.
Kalau tidak tanggung jawab, masuk neraka.”
Koko
tersenyum. Semua beban sepertinya terlepas dari kepalanya. “Terima kasih ya Bu.
Ibu memang wanita sholehah”, katanya padaku dengan berseri-seri. Malam itu dia
begitu baik kepadaku. Tidakkah dia menyadari bahwa istrinya ini telah hancur
sehancur-hancurnya?
_____________________________________________________________
sekali lagi saya minta maaf kalau postingannya lambat sekali... insyaallah bab berikutnya akan lebih cepat postingannya karena alhamdulillah novelnya sudah selesai
BalasHapus