BAB XIII
Wafa keluar dari
mobilnya menuju Butik Sandra. Dia ada janji dengan Viza untuk membicarakan
masalah kerja sama mereka pada fashion show yang akan diadakan bulan depan. Memikirkan pekerjaan membuatnya moodnya lebih
baik. Namun saat Wafa membuka pintu butik, ia mendapatkan pemandangan yang
merubah moodnya kembali. Di dalam butik itu terdapat tiga perempuan.
Yang pertama adalah Ofisa, sang
model yang pernah menjalin hubungan dengan Endra, yang kedua adalah salah satu mantan istri Endra yang pernah
dilihatnya di rumah Endra, dan satu orang perempuan lain yang tidak dikenalnya.
Wafa hendak
membalikkan tubuhnya untuk pergi tetapi Viza datang dan langsung menyapanya.
“Hai.” Wafa
membalas sapaan Viza yang langsung menariknya masuk ke dalam butik.
Saat memasuki ruangan, Viza langsung memperkenalkan Wafa
pada ketiga perempuan yang sedang bercakap-cakap. “Kenalin ini Wafa, salah satu
desainer buat fashion show bulan depan.”
Kemudian Viza memperkenalkan ketiga perempuan tersebut satu
per satu pada Wafa. “Ini Ofisa, kamu
pasti udah tahu siapa dia kan? Namanya mirip sama aku tapi rejekinya
beda.” Viza mengenalkan Wafa pada
Ofisa sambil tersenyum lebar.
“Ofisa.” Ofisa
menjulurkan tangannya dengan senyum yang mengembang.
“Wafa.” Wafa
menyambut tangan Ofisa dan berusaha untuk terlihat santai walaupun sebenarnya
dia begitu gugup.
“Kalau yang ini Bianca.
Dia itu langganan kak Sandra dan yang itu Keiva, dia lagi belajar desain
sama Kak Sandra.” Viza
memperkenalkan dua wanita lainnya.
Wafa pun
berkenalan dengan mereka satu persatu. Dia berusaha untuk mengembangkan senyum
sekuat tenaga agar tidak ada yang curiga.
“Kamu tau nggak?
Mereka ini punya kesamaan lho.” Viza tertawa kecil.
Wafa hanya menatap
Viza dengan pandangan tidak mengerti.
“Percaya atau
nggak, mereka ini sama-sama mantan dari laki-laki yang sama.”
“Semuanya?” Wafa
terkejut.
“Iya semua.” Viza menegaskan.
Jika semua adalah
mantan dari satu laki-laki,
berarti Keiva juga mantan Endra. Begitu banyaknya perempuan-perempuan
yang pernah berhubungan dengan Endra.
“Dan percaya atau
nggak, kak Sandra juga mantan laki-laki itu. Jadi disini kayak perkumpulan
mantan gitu deh.” Viza kembali tertawa kecil.
“Tapi kamu nggak kan?” Walaupun otaknya berkata tidak
mungkin, Wafa tetap saja kuatir. Jika Viza juga mantan Endra, betapa bejatnya
laki-laki itu.
“Ya nggak lah.” Viza langsung menjawab dengan cepat.
Wafa hanya bisa menarik nafas lega mendengar jawaban Viza.
“Mereka
ini bukan mantan pacar lo. Mereka mantan istri. Cuma kak Sandra yang masih lebih beruntung, karena dia satu-satunya mantan pacar
yang berhasil menolak lamaran
Endra.” Viza menjelaskan.
“Apaan nama aku
dibawa-bawa?” Sandra memasuki ruangan dengan beberapa buku di tangannya. Dia
terlihat terkejut melihat ada Wafa di ruangan tersebut.
“Ini lho kak, aku
cuma cerita sama Wafa kalau butik ini sekarang menjadi tempat perkumpulan
mantan-mantan Endra.” Viza berkata dengan penuh senyum sambil membantu kakaknya
menurunkan buku-buku ke meja.
Sandra menarik
nafas panjang. Adiknya belum tahu jika Wafa juga merupakan salah satu wanita
Endra.
“Kamu mau gabung
sama kita?” Bianca bertanya santai pada Wafa yang sangat terkejut mendengar
pertanyaan tersebut.
“Dia nggak boleh
gabung sama kalian.” Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang membuat jantung
Wafa berdegup dengan sangat kencang.
Sudah beberapa
hari Endra berusaha untuk menemui Wafa yang tidak pernah membalas telfon maupun
smsnya. Dia datangi apartemen Wafa, tetapi Wafa tidak ada disana. Dia bahkan
sudah mendatangi kampung Wafa, tetapi
orang tuanya mengatakan jika Wafa sudah kembali ke kota. Endra meminta bantuan
pada Om Aswin tetapi Omnya berkata jika Wafa hanya akan menemuinya di
pengadilan. Kesara dan orang tuanya juga tidak mau membantu. Akhirnya dia
memutuskan untuk meminta bantuan Sandra. Namun tidak terduga, ternyata dia
tidak perlu memohon karena yang dicarinya sudah ada dihadapannya saat ini.
“Yah.. yang
diomongin dateng. Panjang Umur.” Viza yang pertama kali berkomentar.
“Ngapain kamu ke
sini?” Kali ini giliran Ofisa yang berbicara.
“Kangen ya sama
kita?” Keiva tersenyum penuh arti.
“Ya pastilah…
pasti nyesel deh udah ninggalin kita.” Bianca menambahkan sementara Sandra dan
Wafa hanya berdiri terpatung.
Endra tidak
mengindahkan omongan perempuan-perempuan tersebut. Dia melangkah ke arah Wafa dan berhenti tepat dihadapan
Wafa. “Kita harus bicara.”
“Kalian saling kenal?” Ofisa bertanya.
“Jangan-jangan kamu juga salah satu maenannya Endra?” Keiva
memang senang melontarkan kata-kata sinis.
“Masa sih?” Viza yang telah mengenal Wafa cukup lama, tidak
bisa percaya jika sahabatnya itu telah menjadi salah satu korban Endra.
Wafa dan Endra
tidak menjawab satu pun pertanyaan. Mereka berdua hanya berpandangan dengan
tajam dan suasana di ruangan tersebut berubah menjadi tegang.
“Udah nggak ada
yang perlu dibicarain lagi.” Wafa melangkah untuk meninggalkan ruangan,
tetapi Endra dengan segera mencegahnya.
“Banyak yang harus kita bicarakan.” Endra memegang erat
tangan Wafa untuk mencegahnya pergi.
“Bukannya kamu bilang kita udah selesai. Jadi buat apa lagi
bicara?” Kali ini Wafa memaksa untuk
melepaskan tangannya dan melangkah pergi meninggalkan Endra.
“Aku nggak akan
ceraiin kamu.”
Langkah Wafa
terhenti saat mendengar kalimat Endra. Itu berarti Endra
sudah tau siapa dirinya. Apa yang akan terjadi? Apakah Endra akan marah karena
dia telah membohongi Endra selama ini? Apakah Endra akan mempersulit proses
perceraian ini?
Wafa terpatung,
tidak berani membalikkan badannya. Jantungnya semakin berdetak kencang saat
terdengar langkah Endra mendekat.
“Aku nggak akan
ceraiin kamu.” Endra mengulang kata-katanya dan membalikkan tubuh Wafa untuk
melihatnya.
Semua yang berada
di ruangan tersebut terkejut mendengar kata-kata Endra.
“Cerai, emang
Wafa juga istri Endra?” Viza tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Bukannya mas
Endra nggak pernah nikah lagi setelah cerai sama aku?” Bianca juga sama
terkejutnya.
“Kenapa nggak mungkin? Semua perempuan bisa dinikahi sama
Endra.” Keiva kembali berkata sinis. “Yang jadi pertanyaan, kenapa Endra nggak
mau cerain Wafa? Itu yang aneh.”
“Iya yah. Biasanya Mas Endra gampang banget cerain istri.”
Bianca mengangguk tanda setuju dengan Keiva.
“Wow. Kamu pasti sesuatu deh.” Ofisa menunjuk Wafa yang
masih terdiam.
“Kalian nggak usah ikut campur.” Endra berkata keras sambil menatap
tajam mantan-mantannya.
“Kamu nggak berhak berbicara keras pada mereka seperti itu.”
Wafa akhirnya berbicara karena merasa tidak senang Endra berlaku buruk pada
perempuan.
“Maaf, aku cuma nggak mau mereka recokin kita.” Kemarahan
langsung hilang dari wajah Endra sehingga membuat wanita-wanita disekitarnya
heran melihat Endra yang biasanya begitu berkuasa dan maunya menang sendiri
dengan mudahnya meminta maaf.
“Aku udah serahin semua ke Om Aswin, kamu bisa bicara sama
dia.” Wafa berbicara dengan ketus.
“Om Aswin itu pengacara, dia cuma ngurusin masalah hukum.
Masalah kita lain.” Endra kembali berbicara dengan lembut.
“Kok bawa-bawa pengacara sih?” Bianca yang lugu kebingungan
mendengar percakapan Endra dan Wafa.
“Emang kalian nikah secara hukum?” Kieva bertanya penuh
kecurigaan.
“Udah deh, kita selesain semua di pengadilan.” Wafa
berbicara tegas tanpa mempedulikan komentar-komentar yang bermunculan.
“Pengadilan? Kalian beneran nikah resmi?” Kali ini Ofisa
yang tidak percaya.
Mendengar komentar Ofisa, Sandra menyadari siapa Wafa sebenarnya. “Jadi kamu Misha?”
Wafa menoleh ke arah Sandra dengan terkejut. “A.. aku.”
“Kenapa
kamu nggak pernah bilang sama aku?”
Sandra bertanya pada Wafa dengan
hati yang dipenuhi rasa kesal karena merasa telah dibohongi.
“Maaf..” Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulut Wafa.
“Aku kan udah cerita semua sama kamu. Tapi kamu malah
sembunyiin hal sebesar ini?” Sandra menggelengkan kepalanya.
Wafa merasa tidak enak pada Sandra. Dia merasa bersalah.
“Maaf Kak, aku nggak berani cerita.”
Endra menoleh ke arah Sandra. “Apa maksudnya kamu udah
cerita semua?” Tatapan tajam Endra pada Sandra membuat yang lainnya takut dan
tidak ada yang berani bersuara.
Saat tidak mendapatkan jawaban dari Sandra, Endra kembali
melihat ke arah Wafa. “Apa karena kamu tau kalau Sandra adalah perempuan
pertama yang aku lamar, kamu jadi marah sama aku?” Wafa tidak juga menjawab.
“Kamu cemburu karena aku masih deket sama Sandra?”
“Ini nggak ada hubungannya sama Kak Sandra.” Wafa menjawab
sambil melangkahkan kaki, tapi Endra dengan segera menangkap tangan Wafa untuk
mencegahnya pergi.
“Aku lamar Sandra karena dia pacar aku waktu itu. Setelah
putus, kami masih deket karena kita udah temenan dari kecil. Sandra itu sahabat
aku, nggak lebih.” Endra berusaha meyakinkan Wafa sambil memegang erat tangan
Wafa.
“Aku udah bilang kalau ini nggak ada hubungannya sama Kak
Sandra.” Wafa berteriak sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman
Endra.
“Kita bicara di
tempat lain.” Endra menarik tangan Wafa dan membawanya keluar dari butik,
meninggalkan lima orang perempuan yang masih kebingungan dengan apa yang
sebenarnya terjadi.
Endra membuka
pintu mobil dan memaksa Wafa untuk masuk ke dalam. Endra masuk ke dalam mobil
dan segera membawa mobilnya pergi. Sepanjang perjalanan, kedua insan tersebut
tidak berkata sepatah kata pun. Pandangan Wafa hanya mengarah ke depan, dia
tidak berani melihat ke arah Endra, sedangkan Endra sekali-kali melirik ke arah
Wafa.
Endra membawa
Wafa ke rumahnya. Dia memiliki kekuasaan penuh di rumah sehingga bisa bicara
berdua dengan Wafa tanpa ada gangguan. Saat satpam membukakan pintu gerbang,
Endra memberikan pesan bahwa dia tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa termasuk
keluarganya, bahkan ayahnya sekalipun.
Setelah mobil berhenti dan Endra keluar dari
mobil, Wafa hanya terdiam, dia tidak berani keluar. Saat Endra membukakan pintu
mobil untuknya, Wafa masih terdiam sampai akhirnya Endra mengulurkan tangannya.
Wafa ingin sekali meraih tangan Endra, namun dia takut jika dia akan kehilangan
kendali saat bersentuhan dengan Endra. Wafa pun segera keluar dari mobil dan
mengikuti Endra masuk ke dalam rumah. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan
dan bayangan tentang apa yang akan dilakukan Endra pada dirinya.
Endra berjalan
dan berhenti di ruang keluarga. Dia menoleh ke arah Wafa sembari bertanya,
“Kamu mau minum?”
Pikiran Wafa yang
sedari tadi melayang jauh membuatnya tidak mendengar pertanyaan Endra. “Apa?”
“Kamu mau minum
apa?” Suara Endra kembali
terdengar begitu lembut sehingga membuat Wafa semakin gugup.
“Ngg..nggak
usah.”
“Aku ambilin air
putih aja ya.” Endra melangkah ke arah dapur meninggalkan Wafa yang
terheran-heran melihat perilaku Endra.
Endra yang begitu
tenang dan lembut sangat jauh dari bayangan Wafa. Saat menyadari bahwa Endra
membawanya ke rumah, Wafa membayangkan emosi Endra akan meledak seperti saat
Endra mengetahui bahwa ia sudah bersuami. Namun semuanya bertolak belakang saat
ini.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Endra? Pertanyaan tersebut memenuhi pikiran
Wafa. Apa Endra berusaha untuk membuatnya luluh sehingga tidak jadi meminta
cerai? Tapi untuk apa dia melakukan itu? Bukankah pernikahan mereka sudah tidak
penting sekarang? Posisi Endra di perusahaan sudah dipastikan aman walaupun
mereka bercerai. Apa Bapak Wira yang memaksanya untuk melakukan ini? Bapak kan
tidak ingin mereka bercerai. Mungkin Bapak hanya berpura-pura setuju di
hadapan Wafa, tetapi berbicara sebaliknya pada Endra.
Endra datang
dengan segelas air dingin di tangannya. Diberikannya gelas itu pada Wafa. “ Kok
berdiri aja?”
Wafa yang
terkejut segera duduk, menerima gelas yang diberikan Endra, dan meminum air sambil berharap bahwa air
dingin tersebut bisa mendinginkan pikirannya. Namun, kegelisahannya tidak
berkurang sama sekali.
“Katanya nggak
haus.” Endra tersenyum kecil melihat Wafa yang dengan cepat meminum air dingin
yang diberikannya.
Wafa salah
tingkah sambil memperhatikan gelas yang telah kosong. Dia berusaha keras untuk
terlihat kuat dan tegas di depan Endra, tetapi tidak berhasil. Dia berusaha
memegang kendali tetapi justru Endra yang mencuri start untuk menguasai
permainan.
“Kamu mau bicara
apa?” Wafa berusaha untuk mengumpulkan kembali keberaniannya.
Endra duduk
disamping Wafa dan memandangnya dengan lembut. “Aku mau minta maaf.”
Wafa sulit
percaya dengan apa yang didengarnya.
“Buat apa?”
“Aku udah jadi
suami yang nggak bertanggung jawab.”
“Kamu nggak salah
kok, perjanjiannya kan emang gitu.” Wafa berusaha membuat nada suaranya
terdengar sinis walaupun kurang berhasil.
“Perjanjian
seperti itu tidak boleh ada. Pernikahan itu suatu yang sakral. Bukan hanya sekedar
janji antara dua manusia, tetapi ada
bentuk tanggung jawab pada Tuhan yang harus dijalankan dengan benar.”
Wafa seperti berada dalam mimpi. Pertahanan Wafa runtuh seketika mendengar
kata-kata Endra. Mungkinkah Endra menjadi sadar dan ingin menjadi suaminya
sepenuhnya? Mungkinkah impiannya menjadi kenyataan?
Endra memegang kedua
tangan Wafa. “Aku tau ini sudah terlambat, tapi aku mau kita memulai semuanya
dari awal lagi.”
Air mata mulai membasahi mata Wafa yang melihat ketulusan Endra, namun ia teringat
kejadian di ruangan ini beberapa waktu lalu ketika Endra dengan mudahnya menceraikan kedua istrinya
sekaligus dan mengakui bahwa ia tidak ingin punya anak. Kemarahannya kembali
muncul dan segera dilepaskannya tangan Endra.
“Kamu nggak perlu
sok baik. Kamu harusnya udah
tahu kalau posisi kamu di perusahaan aman walau kita bercerai.” Kemarahan
membuat Wafa mampu berbicara dengan nada tinggi.
“Ini nggak ada hubungannya sama perusahaan.” Endra yang sempat yakin bahwa ia akan mampu meluluhkan hati Wafa menjadi kecewa melihat reaksi Wafa.
“Kalau bukan
perusahaan, pasti Bapak yang udah paksa kamu supaya nggak cerai dari aku kan?”
“Ini juga nggak
ada hubungannya sama Bapak, ini tentang kita.” Endra berusaha untuk meyakinkan
Wafa.
“Dari dulu nggak
pernah ada kita, sekarang juga nggak ada.”
“Ada.” Endra
berusaha untuk memegang tangan Wafa kembali, tetapi tidak berhasil karena Wafa
segera melepaskan tangan Endra.
“Udahlah aku cuma
mau hidup tenang dan kamu bisa kembali pada kehidupan kamu dengan
perempuan-perempuan itu.” Wafa berdiri untuk meninggalkan Endra.
“Mereka itu cuma
pelarian. Dari dulu cuma ada kamu di hati aku.” Endra segera menarik tangan
Wafa untuk mencegahnya pergi dan memaksanya duduk kembali.
“Kamu bilang apa
tadi?” Wafa merasa jika ada masalah pada pendengarannya.
Endra menatap
lekat mata Wafa. “Aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu di
taman.”
“Kamu udah gila
lagi ya?” Wafa menjauhkan pandangannya. Walaupun dia melihat kejujuran di mata Endra, dia tidak
berani berharap.
Endra memegang
wajah Wafa agar Wafa melihatnya. “Aku nggak tau kenapa, tapi sejak pertama kali
liat mata kamu, jantung aku berdebar keras. Karena itu aku minta kamu jadi
istri aku.”
“Kamu udah
amnesia ya? Kamu minta aku jadi
istri kamu karena ultimatum Bapak.” Wafa tersenyum kecut.
“Iya, tapi itu
aku jadiin alasan supaya aku bisa deket sama kamu. Win win solution lah.”
“Udah deh, ga usah bikin cerita yang nggak masuk akal.”
“Emang masuk akal kalau aku tiba-tiba minta perempuan yang
baru aku kenal untuk menikahi aku?”
“Kamu dalam kondisi terdesak waktu
itu.”
“Tapi aku nggak akan buat keputusan segila itu kalau bukan
hati aku yang mendorong aku untuk melakukannya.”
“Kalau memang dorongan hati, buat apa bikin perjanjian
pra nikah yang bisa melindungi kamu?”
Pertanyaan Wafa
kali ini agak sulit untuk dijawab karena Endra yakin akan sulit bagi Wafa untuk
mengerti keadaannya. Tapi Endra berusaha untuk menjawabnya dengan sangat berhati-hati. “Seperti yang kamu bilang dulu
kalau aku sudah gila tiba-tiba melamar kamu padahal kita baru saja bertemu waktu itu. Akal
sehat aku juga setuju dengan itu. Makanya
aku berusaha untuk nggak dikuasai hati aku dan tetap bermain aman.”
“Jadi aku
ini permainan?”
“Bukan gitu..” Endra menyesal telah salah memilih kata-kata.
“Maksud aku mengamankan diri. Aku sudah dibiasakan untuk tidak pernah ceroboh
pada kondisi apapun. Makanya aku buat perjanjian pra-nikah walaupun sebenarnya
hati aku begitu yakin jika aku sudah jatuh cinta sama kamu.”
“Bagaimana mungkin kamu bisa jatuh cinta sama aku. Kita baru
aja ketemu.”
“Kamu boleh aja
nggak percaya, tapi cinta pada pandangan pertama itu benar-bener ada.”
“Oke.
Mungkin benar kalau kamu jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi kamu kasih aku surat perjanjian pra nikah yang
nggak nunjukin sedikitpun rasa cinta.”
“Perasaan itu
baru pertama kali aku rasain, bolehkan kalau aku sedikit takut? Makanya aku
bikin surat perjanjian pra nikah hanya untuk keamanan sementara aku berusaha
untuk ngedeketin kamu dan yakinin perasaan aku itu.”
“Kalau kamu emang
pengen deket sama aku, kenapa kamu nggak pernah deketin aku?”
“Maksudnya?”
“Kamu selalu
tampil sok kaya dan sok kuasa. Nggak keliatan kalau kamu itu suka sama aku.”
“Aku bingung.
Aku nggak pernah suka sama perempuan
seperti aku suka sama kamu, jadi aku nggak ngerti harus berlaku apa.”
“Ha..ha.. terus
kenapa harus ada pasal poligami?”
Kali ini Endra
terhenyak mendengar pertanyaan Wafa. Dengan gugup, dijawabnya pertanyaan itu.
“Itu kan pasal tambahan.”
“Iya, tapi kenapa
harus ditambahin pasal nggak beres macem itu?” Kemarahan Wafa kembali
meningkat.
“E.. soalnya …
aku… aku kesel sama kamu.” Endra menjawab dengan
terbata-bata.
“Kesel sama aku?
Katanya kamu suka sama aku?” Wafa menggelengkan kepalanya, tidak mengerti pada
pengakuan Endra yang bertolak belakang dengan apa yang dikatakannya sebelumnya.
“Waktu itu
aku baru tau kalau kamu udah punya pacar.”
“Hah?”
“Aku kesel karena
hati kamu udah dimiliki orang lain.”
Cemburu? Endra melakukan itu karena cemburu? Sepertinya hal
itu mustahil. Bagaimana mungkin Wafa bisa percaya hal seaneh itu. “Tapi aku kan udah putus sama dia, kenapa kamu nggak berusaha untuk
buat aku jatuh cinta sama kamu?”
“Aku liat kamu
cinta banget sama pacar kamu itu dan kamu sama sekali nggak tertarik sama aku.
Aku yakin aku nggak akan berhasil bikin kamu jatuh cinta sama aku.”
“Seyakin itu
kamu?”
“Yakinlah, kamu
aja nggak pernah mau aku sentuh.”
“Kapan kamu
berusaha sentuh aku, habis akad aja kamu langsung pergi.”
“Sebelum kita
nikah kan aku udah berusaha untuk deketin kamu, tapi kamu salaman aja
takut-takut. Duduk juga nggak mau deket sama aku.”
“Kita kan bukan
muhrim.”
“Hah?”
“Waktu itu
kita kan belum nikah, jadi belum boleh sentuhan.”
“Maksud kamu,
kamu gitu bukan karena benci sama aku?” Endra yang biasanya terlihat gagah penuh kharisma berubah menjadi
lelaki culun yang terlihat bodoh setelah mendengar jawaban Wafa yang begitu
jauh dari apa yang dibayangkannya sebelumnya.
“Ya nggak
lah, sama laki-laki lain aku juga gitu.
Emang kamu pernah liat aku sentuhan sama laki-laki lain yang bukan muhrim?”
“Ehhh “ Endra
mencoba untuk mengingat. “Enggak sih.”
“Dari kecil aku
diajarin supaya nggak macem-macem sama laki-laki yang bukan muhrim.”
“Sama pacar kamu
itu juga nggak pernah?”
“Boro-boro,
makanya dia maen sama perempuan laen.”
“Hah? Emang dia
selingkuh?” Endra semakin terlihat bodoh.
“Dia marah banget
waktu aku bilang mau nikah sama kamu. Dia bilang aku selingkuh. Tapi ternyata
dia udah selingkuh duluan. Baru satu minggu aku nikah sama kamu, dia nikah juga
karena udah hamilin anak orang.” Kemarahan Wafa kembali meningkat, bukan
karena Endra, tetapi karena mantan pacarnya.
“Berarti kamu
nggak pernah diapa-apain sama pacar kamu?”
“Ya nggak lah,
emang aku cewek apaan?” Wafa menjawab dengan marah.
Endra tidak
percaya. Bagaimana mungkin dia tidak mengetahui hal tersebut? Mengapa dia bisa terkungkung dalam kecemburuan buta yang justru menjerumuskannya ke kehidupan yang
kacau balau seperti ini?
“Tapi kok kemaren
kamu mau aku peluk, bahkan
mau aku cium?” Pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Endra tanpa berpikir.
“Kamu kan suami
aku.” Wafa mulai kehilangan kesabaran.
“Iya yah.” Endra
merasa semakin bodoh saja.
“Udah lah,
ngapain juga ngomongin hal nggak penting.”
Ketegangan hilang dari wajah Endra yang kemudian berkata
dengan lembut, “Iya. Sekarang yang
penting aku cinta sama kamu dan aku nggak mau kehilangan kamu.” Senyum
di wajah Endra memperlihatkan kepolosan yang tidak pernah terlihat sebelumnya.
“Bapak yang paksa
kamu kan?” Seberapa pun
Endra berusaha menyakinkan, otak Wafa tetap saja menolak untuk mempercayai
kata-kata yang keluar dari mulut Endra.
Ketidakpercayaan Wafa membuat Endra tidak percaya kalau ia
kembali ke titik nol lagi dan harus mencari cara lain untuk meyakinkan Wafa. “Ini nggak ada hubungannya sama Bapak.”
“Bapak paksa kamu
supaya nggak cerai sama aku.”
“Nggak. Ini tulus
dari dalem hati aku.” Endra benar-benar lemas mendengar perkataan Wafa
yang masih saja tidak bisa mempercayai dirinya.
“Bapak tawarin
kamu posisi lebih tinggi?”
“Ini nggak ada
hubungannya sama perusahaan. Aku bahkan udah lepasin jabatan aku.”
“Apa?”
“Aku udah keluar
dari perusahaan.”
“Nggak mungkin.”
Wafa menggelengkan kepala.
“Aku sadar kalau
aku salah. Sekarang yang aku mau cuma hidup bahagia sama kamu.”
“Ini bukan
saatnya ngegombal.”
“Aku nggak bohong
sama kamu, posisi aku diperusahaan udah nggak penting lagi. Kamu boleh cek ke
kantor dan kamu akan dapati Izaan duduk menggantikan aku.”
Wafa sangat sulit
mempercayai kata-kata Endra, tapi Endra bukan orang yang dengan mudahnya
berbohong untuk hal seperti itu. Wafa ingin sekali percaya jika Endra
benar-benar mencintainya, tapi dia begitu takut jika semua itu hanya impian
semu.
“Kalau kamu nggak
kerja, kamu mau kasih aku makan apa? Aku nggak mau hidup sama laki-laki kere.”
“Kamu itu nggak
pantes jadi cewek matre.”
“Inget, aku
nikahin kamu karena uang”. Dengan pandangan mata yang sangat tajam, Wafa
mengingatkan Endra tentang alasannya menikah.
“Tapi kamu minta
cerai karena kamu patah hati kan?” Tanpa menunggu jawaban dari Wafa, Endra
melanjutkan, “Patah hati hanya terjadi pada orang yang jatuh cinta.”
“Aku patah hati
karena suami aku adalah lelaki bejat yang hanya mengumbar nafsu.” Walaupun apa
yang dikatakan Endra benar, Wafa tidak ingin dengan mudahnya masuk dalam
permainan Endra.
Pertahanan Endra
sedikit goyah, dia memang bersalah dalam hal ini. “Aku lagi patah hati sama
kamu waktu itu. Jadi aku nggak bisa berpikir lurus.”
“Dan kamu rela
operasi biar nggak ada perempuan yang bisa nuntut kamu?”
Endra terkejut
mendengar kata-kata Wafa. “Dari mana
kamu tau masalah itu? Bianca kasih tau kamu?”
“Aku denger itu
dari mulut kamu sendiri.”
“Apa?”
“Aku ada disini
waktu itu.”
Kepala Endra
mendadak sakit. Pantas saja Wafa begitu marah malam itu. Jadi dia mendengar
pembicaraannya dengan istri-istri sirinya waktu itu. Yang lebih parah lagi,
bukannya mendapatkan permintaan maaf dari suaminya, Wafa justru mendapat amukan
yang luar biasa. Endra sadar bahwa sudah sepantasnya ia mendapatkan gugatan
cerai dari istrinya, tapi ia tidak ingin itu terjadi.
Endra menarik
nafas dalam-dalam. Dipegangnya tangan Wafa dengan begitu erat agar Wafa tidak
bisa melepaskannya lagi. Ditatapnya mata Wafa dalam-dalam. “Aku tahu kalau aku
memang bersalah. Aku udah ngelakuin kesalahan paling fatal. Tapi itu aku lakuin
karena aku begitu mencintai kamu.”
Karena tidak ada
reaksi dari Wafa, Endra melanjutkan pembicaraannya. “Aku nggak ingin kamu
terpaksa mencintai aku, karena itu aku nggak mau ganggu kamu dan hati kamu.
Tapi aku nggak bisa lupain kamu, jadi aku berusaha untuk mengalihkan pikiran
aku dengan berhubungan dengan perempuan lain. Walaupun semuanya nggak ada yang
bisa memberikan kebahagiaan.”
Bagi Wafa,
kata-kata Endra terdengar sebagai sebuah ironi. Endra berusaha keras untuk
menjaga kesuciannya, tetapi Endra justru mengambil banyak kesucian dari
perempuan lain.
“Kamu pikir kamu
berhak ambil kesucian banyak perempuan lain dengan uang?”
Endra tertegun.
Apa yang harus dia katakan untuk membela diri?
“Jangan kamu
bilang kalau mereka semua udah nggak suci waktu kamu nikahin mereka.” Wafa
menekan Endra.
“Beberapa dari
mereka emang masih gadis, tapi mereka sudah setuju dengan perjanjian
kami sejak awal.” Hanya itu yang
bisa Endra katakan.
“Terus apa
bedanya mereka sama aku?”
“Ya beda banget
lah.”
“Dimana letak
perbedaannya?”
“Perjanjian aku
sama kamu cuma menikah secara sah sedangkan mereka sejak awal sudah mengerti
bahwa aku hanya menginginkan
hubungan suami istri.”
Wafa benar-benar
ingin menangis mendengar kata-kata Endra. Matanya memerah dan mulai terlihat
basah. Dengan terbata, ia berkata, “Hubungan suami istri itu bagian dari sebuah
pernikahan yang sah.”
Endra tidak tahan
melihat Wafa menangis. Tapi ia harus menyelesaikan ini sekarang. Dia berusaha
mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak sentuh kamu, karena aku mau kamu tetap
suci sebagai perempuan. Bagi aku, kamu terlalu baik dan murni. Walaupun aku
suami kamu, aku ngerasa nggak berhak ambil kesucian kamu tanpa adanya cinta
dari kamu.” Dengan suara yang sangat lembut, apa yang dikatakan Endra terdengar
seperti hujan musim semi.
“Tapi…” Entah apa lagi yang harus dikatakan Wafa. Otaknya
seperti membeku.
“Memang kalau aku
tidak pergi setelah akad, kamu mau tidur sama aku di malam pertama kita?”
Pertanyaan Endra
bagai guntur menggelegar di kepala Wafa. Waktu itu dia memang sedikit merasa
senang bisa menikah dengan pria ganteng dan kaya, tapi untuk berhubungan fisik
dengan Endra, dia merasa saat
itu dia masih belum mampu. Bagaimanapun hatinya masih terpaut pada Umed saat
itu. Sebenarnya, Wafa sedikit lega ketika Endra pergi setelah akad, karena
memikirkan malam pertama dengan Endra saja sudah membuatnya takut.
“Tapi kenapa kamu
nggak berusaha untuk ngejar aku dan buat aku jatuh cinta sama kamu?
Kalau kamu benar bahwa selama tujuh tahun ini kamu selalu cinta aku, seharusnya
kamu coba untuk buat aku jatuh cinta sama kamu.”
Endra tersenyum kecut. “Kata Sigra itu ego seorang Endra. Aku nggak pernah mau merasa kalah. Saat
mengetahui bahwa hati kamu sudah terpaut pada laki-laki lain membuat aku merasa
menjadi pecundang. Mengejar kamu beresiko besar bahwa aku akan menjadi
pecundang untuk kedua kalinya dan aku orang yang tidak suka ambil resiko.
Apalagi untuk hal sebesar ini.”
Wafa berusaha
keras untuk mencerna dengan baik kata-kata yang keluar dari mulut Endra. Wafa
ingin sekali percaya jika Endra mencintainya, tetapi apa yang telah dilakukan
Endra sangat sulit untuk dimaafkan.
“Untuk masalah
vasektomi…” Endra sedikit ragu untuk berbicara.
Tubuh Wafa
menjadi tegang seketika ketika mendengar masalah itu diangkat oleh Endra. Ia
benar-benar ingin tahu apa yang ada di kepala Endra sampai berani melakukan
itu.
“Aku cuma ingin
punya anak sama kamu.”
Entah sudah
berapa kali Endra berhasil membuat Wafa sangat terkejut dengan
pengakuan-pengakuannya. Tapi kali ini, pengakuannya membuat Wafa bagai
tersambar petir di siang bolong. Wafa tidak tahu apakah ia harus bahagia atau sedih
mendengar hal tersebut. Ia merasa begitu tersanjung karena menjadi satu-satunya
wanita yang dicintai Endra, tapi bagaimana dengan perasaan perempuan-perempuan
lain yang telah menyerahkan segenap diri mereka pada Endra.
“Tapi kamu
menghina istri-istri kamu dengan cara seperti itu.”
“Aku tahu, aku
bersalah. Makanya aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal.”
“Ini nggak adil.”
“Aku tahu, tapi
hubungan aku dengan mereka sudah berakhir dengan baik-baik. Udah nggak ada
masalah lagi antara aku sama mereka. Sekarang cuma antara kamu dan aku.
Aku ingin kita mulai semuanya dari awal, di lembaran baru yang masih putih.”
Pandangan Endra dan semua penjelasannya meluluhkan hati
Wafa. Tapi Wafa juga tidak berani ambil resiko untuk sakit hati yang kedua
kalinya. “Kamu juga udah nggak punya
masalah sama aku. Kamu udah dimaafin.”
“Aku masih
punya masalah sama kamu karena kamu
belum cabut gugatan cerai kamu dan aku sekarang meminta dengan sangat supaya
kamu cabut gugatan kamu saat ini juga.”
“Nggak bisa.”
“Kenapa nggak?”
“Untuk cabut
gugatan aku harus telfon Om Aswin, tapi kamu pegang tangan aku terus.”
Endra segera melepaskan tangan Wafa. “Oke sekarang udah lepas, kamu bakal langsung cabut gugatan cerai kamu kan?”
“Kenapa harus?”.
“Karena aku cinta
kamu dan kamu cinta aku, kita harus bersama.”
Wafa menyadari bahwa yang dikatakan Endra memang benar. Dia
memang mencintai Endra dan hatinya mengatakan bahwa ia harus menerima Endra. Tapi
ketakutan masih belum bisa hilang dari pikirannya. Ia pun mencoba untuk
menghindar dengan mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak dia yakini. “Aku nggak mungkin hidup sama laki-laki
yang nggak punya penghasilan.”
“Berapa kali sih
harus aku bilang kalau kamu nggak pantes jadi cewek matre?”
“Aku juga nggak
bisa hidup sama suami yang nggak bisa buat anak karena aku pengen banget punya
anak kandung aku sendiri.” Wafa masih mencoba mengelak.
Endra tersenyum. “Tenang aja, operasinya nggak permanen kok. Aku tinggal ke dokter buat
normalin semuanya.”
Terkejut lagi, tapi kali ini hati Wafa berbunga-bunga. Berjuta
harapan muncul saat Wafa mengetahui bahwa suaminya masih bisa menjadi lelaki
normal. Tapi masih ada masalah penting yang harus dibereskan.
“Aku nggak mau
dimadu lagi.”
“Sekarang cuma
kamu dan selamanya cuma kamu.”
“Sekali berbuat
akan mudah berulang.”
“Sungguh, mulai
sekarang dan selanjutnya aku nggak akan ngelirik perempuan lain. Karena
sekarang aku udah nggak bisa jauh dari kamu.”
“Kalau kamu
sekali aja maen mata sama perempuan lain, semua selesai.”
“Oke, tapi
berarti sekarang belum selesai kan?”
“Kamu masih mau
berdebat sama aku?”
“Nggak. Aku cuma
mau peluk istri aku.” Endra mengedipkan matanya dengan genit, sementara
Wafa salah tingkah.
Endra memeluk
erat tubuh Wafa yang sudah tidak bisa melawan hatinya lagi. Keduanya
merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Sesuatu yang seharusnya bisa mereka
nikmati sejak dahulu jika mereka mau mencoba untuk membuka diri satu sama lain.
“Kenapa nggak
dari dulu sih kamu pura-pura jadi Wafa?” Endra menggoda Wafa.
“Nama aku emang
Wafa.”
Tiba-tiba Endra
teringat pada sesuatu. Segera dilepaskan pelukannya dan ia pun berlari pergi meninggalkan
Wafa yang tertegun dalam kebingungan karena merasa ditinggalkan untuk kedua
kalinya.
Endra menghilang
cukup lama sehingga membuat Wafa gelisah dan khawatir. Wafa bernafas lega
ketika akhirnya melihat Endra kembali.
Namun Wafa menjadi khawatir saat melihat Endra yang datang dengan dokumen di tangannya. Apa yang akan
dilakukan Endra kali ini? Perjanjian apa lagi yang harus disetujuinya?
Endra
memperlihatkan surat yang berada di tangannya. Itu adalah surat perjanjian pra
nikah mereka. Di depan mata Wafa, Endra merobek-robek surat perjanjian tersebut
sehingga senyum pun merekah
di wajah Wafa.
Endra kembali
memeluk Wafa. Sepertinya ia tidak akan puas memeluk wanita yang begitu dicintainya
ini.
Kali ini giliran
Wafa yang menggodanya. “Aku nggak bohong waktu bilang aku nggak mau punya suami
pengangguran. Walaupun ini jaman emansipasi, aku nggak mau nafkahin kamu.”
Endra melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih melingkar
di pinggang Wafa. “Aku nggak bohong
waktu bilang kamu nggak pantes jadi cewek matre.”
“Ini jaman modern
bung, kita nggak bisa hidup hanya dengan cinta.”
Endra menatap
Wafa sambil tersenyum. “Tenang aja, aku dan Sigra udah bikin rencana
buat bikin perusahaan baru. Aku
bakal jadi CEO.”
Kali ini giliran
Wafa yang memeluk Endra dengan erat.
“Ternyata kamu
emang cewek matre ya?”
Wafa menarik kepalanya untuk melihat Endra. “Kenapa? Nyesel?”
“Hmm.. sedikit.”
Wafa melepaskan
pelukannya dan menatap Endra dengan cemberut.
“Nyesel, kenapa
nggak dari dulu aja aku bikin perusahaan biar bisa jadi CEO trus kamu jadi mau
deh sama aku.” Endra pun tertawa terbahak-bahak.
“Dasar tukang gombal. Pantes aja banyak cewek yang
klepek-klepek.” Dengan wajah yang dibuat terlihat kesal, Wafa mencoba melawan
Endra.
“Udah deh, nggak usah ngebahas itu lagi.” Dalam suasana
seperti ini, Endra tidak ingin diingatkan pada masa lalunya.
“Emang kenyataan kan? Kamu itu tukang maen cewek, tukang
selingkuh.”
Endra merasa sulit untuk bisa keluar dari pembicaraan ini.
Karena sudah terlanjur basah, ya sudah.
Endra memutuskan untuk sekalian saja dia ladeni Wafa. “Mungkin bawaan orok kali
ya? Sifat bawaan kan susah banget diilanginnya.” Endra menunjukkan wajah polos
walaupun dia berusaha keras untuk menahan tawa melihat wajah Wafa yang sangat
shock mendengar perkataannya.
Walaupun sempat shock saat mendengar perkataan Endra, Wafa
tahu pasti bahwa Endra hanya ingin mengerjainya. Dia berusaha tenang dan
mencari kata-kata terbaik untuk membalikkan keadaan.
“Oke deh. Kalau emang sulit banget buat kamu untuk nggak
selingkuh, aku kasih kamu satu kali aja kesempatan untuk selingkuh.” Suara Wafa
terdengar sangat meyakinkan.
Endra menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan
memperlihatkan rasa lega. “Alhamdulillah. Kamu emang istri yang pengertian.” Disentuhnya
ujung hidung Wafa sambil tersenyum genit.
“Tapi cuma satu kali aja ya? Nggak boleh lebih.” Kali ini
wajah Wafa terlihat begitu serius. Ditahannya kuat-kuat perasaan emosi yang
berkecamuk di dadanya. Walaupun dia tahu Endra hanya bercanda, tetap saja kata
selingkuh membuat emosinya meningkat tajam. Dalam hatinya dia berharap bahwa
yang ada di otak Endra sama dengan yang ada di kepalanya.
“Tenang saja istriku Misha yang cantik, aku tidak akan meminta
lebih karena aku memang hanya ingin selingkuh dengan satu orang.” Endra berkata
sambil mengerlingkan matanya. Dia senang sekali menggoda Wafa yang mulai
terlihat emosi.
Melihat Wafa yang kesulitan untuk menemukan kata-kata untuk
melawannya, Endra menahan tawa yang begitu menggelitik hatinya. “Hanya satu
nama…..” Endra berkata sambil menatap lekat mata Wafa yang menahan nafas,
menunggu nama itu disebut.
“Wafa. Aku hanya mau selingkuh dengan Wafa.”
Wafa menarik nafas lega karena yang dipikirkannya benar. “Dan
ini akan menjadi perselingkuhan terakhir.”
Endra menggangguk dan menyatakan persetujuannya, “Perselingkuhan
terakhir.”
***TAMAT***
_____________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar