Kamis, 09 Oktober 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB XIII



BAB XIII

Wafa keluar dari mobilnya menuju Butik Sandra. Dia ada janji dengan Viza untuk membicarakan masalah kerja sama mereka pada fashion show yang akan diadakan bulan depan.  Memikirkan pekerjaan membuatnya moodnya lebih baik. Namun saat Wafa membuka pintu butik, ia mendapatkan pemandangan yang merubah moodnya kembali. Di dalam butik itu terdapat tiga perempuan. Yang pertama adalah Ofisa, sang model yang pernah menjalin hubungan dengan Endra, yang kedua adalah salah satu mantan istri Endra yang pernah dilihatnya di rumah Endra, dan satu orang perempuan lain yang tidak dikenalnya.

Wafa hendak membalikkan tubuhnya untuk pergi tetapi Viza datang dan langsung menyapanya.

“Hai.” Wafa membalas sapaan Viza yang langsung menariknya masuk ke dalam butik.

Saat memasuki ruangan, Viza langsung memperkenalkan Wafa pada ketiga perempuan yang sedang bercakap-cakap. “Kenalin ini Wafa, salah satu desainer buat fashion show bulan depan.”

Kemudian Viza memperkenalkan ketiga perempuan tersebut satu per satu pada Wafa. “Ini Ofisa, kamu pasti udah tahu siapa dia kan? Namanya mirip sama aku tapi rejekinya beda.” Viza mengenalkan Wafa pada Ofisa sambil tersenyum lebar.  

“Ofisa.” Ofisa menjulurkan tangannya dengan senyum yang mengembang.

“Wafa.” Wafa menyambut tangan Ofisa dan berusaha untuk terlihat santai walaupun sebenarnya dia begitu gugup.

“Kalau yang ini Bianca. Dia itu langganan kak Sandra dan yang itu Keiva, dia lagi belajar desain sama Kak Sandra.” Viza memperkenalkan dua wanita lainnya.

Wafa pun berkenalan dengan mereka satu persatu. Dia berusaha untuk mengembangkan senyum sekuat tenaga agar tidak ada yang curiga.

“Kamu tau nggak? Mereka ini punya kesamaan lho.” Viza tertawa kecil.

Wafa hanya menatap Viza dengan pandangan tidak mengerti.

“Percaya atau nggak, mereka ini sama-sama mantan dari laki-laki yang sama.”

“Semuanya?” Wafa terkejut.

 “Iya semua.” Viza menegaskan.

Jika semua adalah mantan dari satu laki-laki, berarti Keiva juga mantan Endra. Begitu banyaknya perempuan-perempuan yang pernah berhubungan dengan Endra.

“Dan percaya atau nggak, kak Sandra juga mantan laki-laki itu. Jadi disini kayak perkumpulan mantan gitu deh.” Viza kembali tertawa kecil.

“Tapi kamu nggak kan?” Walaupun otaknya berkata tidak mungkin, Wafa tetap saja kuatir. Jika Viza juga mantan Endra, betapa bejatnya laki-laki itu.

“Ya nggak lah.” Viza langsung menjawab dengan cepat.

Wafa hanya bisa menarik nafas lega mendengar jawaban Viza.

Mereka ini bukan mantan pacar lo. Mereka mantan istri. Cuma kak Sandra yang masih lebih beruntung, karena dia satu-satunya mantan pacar yang berhasil menolak lamaran Endra.” Viza menjelaskan.

“Apaan nama aku dibawa-bawa?” Sandra memasuki ruangan dengan beberapa buku di tangannya. Dia terlihat terkejut melihat ada Wafa di ruangan tersebut.

“Ini lho kak, aku cuma cerita sama Wafa kalau butik ini sekarang menjadi tempat perkumpulan mantan-mantan Endra.” Viza berkata dengan penuh senyum sambil membantu kakaknya menurunkan buku-buku ke meja.

Sandra menarik nafas panjang. Adiknya belum tahu jika Wafa juga merupakan salah satu wanita Endra.

“Kamu mau gabung sama kita?” Bianca bertanya santai pada Wafa yang sangat terkejut mendengar pertanyaan tersebut.

“Dia nggak boleh gabung sama kalian.” Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang membuat jantung Wafa berdegup dengan sangat kencang.

Sudah beberapa hari Endra berusaha untuk menemui Wafa yang tidak pernah membalas telfon maupun smsnya. Dia datangi apartemen Wafa, tetapi Wafa tidak ada disana. Dia bahkan sudah mendatangi kampung Wafa, tetapi orang tuanya mengatakan jika Wafa sudah kembali ke kota. Endra meminta bantuan pada Om Aswin tetapi Omnya berkata jika Wafa hanya akan menemuinya di pengadilan. Kesara dan orang tuanya juga tidak mau membantu. Akhirnya dia memutuskan untuk meminta bantuan Sandra. Namun tidak terduga, ternyata dia tidak perlu memohon karena yang dicarinya sudah ada dihadapannya saat ini.

“Yah.. yang diomongin dateng. Panjang Umur.” Viza yang pertama kali berkomentar.

“Ngapain kamu ke sini?” Kali ini giliran Ofisa yang berbicara.

“Kangen ya sama kita?” Keiva tersenyum penuh arti.

“Ya pastilah… pasti nyesel deh udah ninggalin kita.” Bianca menambahkan sementara Sandra dan Wafa hanya berdiri terpatung.

Endra tidak mengindahkan omongan perempuan-perempuan tersebut. Dia melangkah ke arah Wafa dan berhenti tepat dihadapan Wafa. “Kita harus bicara.”

“Kalian saling kenal?” Ofisa bertanya.

“Jangan-jangan kamu juga salah satu maenannya Endra?” Keiva memang senang melontarkan kata-kata sinis.

“Masa sih?” Viza yang telah mengenal Wafa cukup lama, tidak bisa percaya jika sahabatnya itu telah menjadi salah satu korban Endra.

Wafa dan Endra tidak menjawab satu pun pertanyaan. Mereka berdua hanya berpandangan dengan tajam dan suasana di ruangan tersebut berubah menjadi tegang.

“Udah nggak ada yang perlu dibicarain lagi.” Wafa melangkah untuk meninggalkan ruangan, tetapi Endra dengan segera mencegahnya.

“Banyak yang harus kita bicarakan.” Endra memegang erat tangan Wafa untuk mencegahnya pergi.

“Bukannya kamu bilang kita udah selesai. Jadi buat apa lagi bicara?” Kali ini Wafa memaksa untuk melepaskan tangannya dan melangkah pergi meninggalkan Endra.

“Aku nggak akan ceraiin kamu.”

Langkah Wafa terhenti saat mendengar kalimat Endra. Itu berarti Endra sudah tau siapa dirinya. Apa yang akan terjadi? Apakah Endra akan marah karena dia telah membohongi Endra selama ini? Apakah Endra akan mempersulit proses perceraian ini?

Wafa terpatung, tidak berani membalikkan badannya. Jantungnya semakin berdetak kencang saat terdengar langkah Endra mendekat.

“Aku nggak akan ceraiin kamu.” Endra mengulang kata-katanya dan membalikkan tubuh Wafa untuk melihatnya.

Semua yang berada di ruangan tersebut terkejut mendengar kata-kata Endra.

“Cerai, emang Wafa juga istri Endra?” Viza tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Bukannya mas Endra nggak pernah nikah lagi setelah cerai sama aku?” Bianca juga sama terkejutnya.

“Kenapa nggak mungkin? Semua perempuan bisa dinikahi sama Endra.” Keiva kembali berkata sinis. “Yang jadi pertanyaan, kenapa Endra nggak mau cerain Wafa? Itu yang aneh.”

“Iya yah. Biasanya Mas Endra gampang banget cerain istri.” Bianca mengangguk tanda setuju dengan Keiva.

“Wow. Kamu pasti sesuatu deh.” Ofisa menunjuk Wafa yang masih terdiam.

“Kalian nggak usah ikut campur.” Endra berkata keras sambil menatap tajam mantan-mantannya.

“Kamu nggak berhak berbicara keras pada mereka seperti itu.” Wafa akhirnya berbicara karena merasa tidak senang Endra berlaku buruk pada perempuan.

“Maaf, aku cuma nggak mau mereka recokin kita.” Kemarahan langsung hilang dari wajah Endra sehingga membuat wanita-wanita disekitarnya heran melihat Endra yang biasanya begitu berkuasa dan maunya menang sendiri dengan mudahnya meminta maaf.

“Aku udah serahin semua ke Om Aswin, kamu bisa bicara sama dia.” Wafa berbicara dengan ketus.

“Om Aswin itu pengacara, dia cuma ngurusin masalah hukum. Masalah kita lain.” Endra kembali berbicara dengan lembut.

“Kok bawa-bawa pengacara sih?” Bianca yang lugu kebingungan mendengar percakapan Endra dan Wafa.

“Emang kalian nikah secara hukum?” Kieva bertanya penuh kecurigaan.

“Udah deh, kita selesain semua di pengadilan.” Wafa berbicara tegas tanpa mempedulikan komentar-komentar yang bermunculan.

“Pengadilan? Kalian beneran nikah resmi?” Kali ini Ofisa yang tidak percaya.

Mendengar komentar Ofisa, Sandra menyadari siapa Wafa sebenarnya. “Jadi kamu Misha?”

Wafa menoleh ke arah Sandra dengan terkejut. “A.. aku.”

Kenapa kamu nggak pernah bilang sama aku?” Sandra bertanya pada Wafa  dengan hati yang dipenuhi rasa kesal karena merasa telah dibohongi.

“Maaf..” Hanya satu kata yang bisa keluar dari mulut Wafa.

“Aku kan udah cerita semua sama kamu. Tapi kamu malah sembunyiin hal sebesar ini?” Sandra menggelengkan kepalanya.

Wafa merasa tidak enak pada Sandra. Dia merasa bersalah. “Maaf Kak, aku nggak berani cerita.”

Endra menoleh ke arah Sandra. “Apa maksudnya kamu udah cerita semua?” Tatapan tajam Endra pada Sandra membuat yang lainnya takut dan tidak ada yang berani bersuara.

Saat tidak mendapatkan jawaban dari Sandra, Endra kembali melihat ke arah Wafa. “Apa karena kamu tau kalau Sandra adalah perempuan pertama yang aku lamar, kamu jadi marah sama aku?” Wafa tidak juga menjawab. “Kamu cemburu karena aku masih deket sama Sandra?”

“Ini nggak ada hubungannya sama Kak Sandra.” Wafa menjawab sambil melangkahkan kaki, tapi Endra dengan segera menangkap tangan Wafa untuk mencegahnya pergi.

“Aku lamar Sandra karena dia pacar aku waktu itu. Setelah putus, kami masih deket karena kita udah temenan dari kecil. Sandra itu sahabat aku, nggak lebih.” Endra berusaha meyakinkan Wafa sambil memegang erat tangan Wafa.

“Aku udah bilang kalau ini nggak ada hubungannya sama Kak Sandra.” Wafa berteriak sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Endra.

“Kita bicara di tempat lain.” Endra menarik tangan Wafa dan membawanya keluar dari butik, meninggalkan lima orang perempuan yang masih kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Endra membuka pintu mobil dan memaksa Wafa untuk masuk ke dalam. Endra masuk ke dalam mobil dan segera membawa mobilnya pergi. Sepanjang perjalanan, kedua insan tersebut tidak berkata sepatah kata pun. Pandangan Wafa hanya mengarah ke depan, dia tidak berani melihat ke arah Endra, sedangkan Endra sekali-kali melirik ke arah Wafa.  

Endra membawa Wafa ke rumahnya. Dia memiliki kekuasaan penuh di rumah sehingga bisa bicara berdua dengan Wafa tanpa ada gangguan. Saat satpam membukakan pintu gerbang, Endra memberikan pesan bahwa dia tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa termasuk keluarganya, bahkan ayahnya sekalipun.

Setelah mobil berhenti dan Endra keluar dari mobil, Wafa hanya terdiam, dia tidak berani keluar. Saat Endra membukakan pintu mobil untuknya, Wafa masih terdiam sampai akhirnya Endra mengulurkan tangannya. Wafa ingin sekali meraih tangan Endra, namun dia takut jika dia akan kehilangan kendali saat bersentuhan dengan Endra. Wafa pun segera keluar dari mobil dan mengikuti Endra masuk ke dalam rumah. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan dan bayangan tentang apa yang akan dilakukan Endra pada dirinya.

Endra berjalan dan berhenti di ruang keluarga. Dia menoleh ke arah Wafa sembari bertanya, “Kamu mau minum?”

Pikiran Wafa yang sedari tadi melayang jauh membuatnya tidak mendengar pertanyaan Endra. “Apa?”

“Kamu mau minum apa?” Suara Endra kembali terdengar begitu lembut sehingga membuat Wafa semakin gugup.

“Ngg..nggak usah.”

“Aku ambilin air putih aja ya.” Endra melangkah ke arah dapur meninggalkan Wafa yang terheran-heran melihat perilaku Endra.

Endra yang begitu tenang dan lembut sangat jauh dari bayangan Wafa. Saat menyadari bahwa Endra membawanya ke rumah, Wafa membayangkan emosi Endra akan meledak seperti saat Endra mengetahui bahwa ia sudah bersuami. Namun semuanya bertolak belakang saat ini.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Endra? Pertanyaan tersebut memenuhi pikiran Wafa. Apa Endra berusaha untuk membuatnya luluh sehingga tidak jadi meminta cerai? Tapi untuk apa dia melakukan itu? Bukankah pernikahan mereka sudah tidak penting sekarang? Posisi Endra di perusahaan sudah dipastikan aman walaupun mereka bercerai. Apa Bapak Wira yang memaksanya untuk melakukan ini? Bapak kan tidak ingin mereka bercerai. Mungkin Bapak hanya berpura-pura setuju di hadapan Wafa, tetapi berbicara sebaliknya pada Endra.

Endra datang dengan segelas air dingin di tangannya. Diberikannya gelas itu pada Wafa. “ Kok berdiri aja?”

Wafa yang terkejut segera duduk, menerima gelas yang diberikan Endra, dan meminum air sambil berharap bahwa air dingin tersebut bisa mendinginkan pikirannya. Namun, kegelisahannya tidak berkurang sama sekali.

“Katanya nggak haus.” Endra tersenyum kecil melihat Wafa yang dengan cepat meminum air dingin yang diberikannya.

Wafa salah tingkah sambil memperhatikan gelas yang telah kosong. Dia berusaha keras untuk terlihat kuat dan tegas di depan Endra, tetapi tidak berhasil. Dia berusaha memegang kendali tetapi justru Endra yang mencuri start untuk menguasai permainan.

“Kamu mau bicara apa?” Wafa berusaha untuk mengumpulkan kembali keberaniannya.

Endra duduk disamping Wafa dan memandangnya dengan lembut. “Aku mau minta maaf.”

Wafa sulit percaya dengan apa yang didengarnya. “Buat apa?”

“Aku udah jadi suami yang nggak bertanggung jawab.”

“Kamu nggak salah kok, perjanjiannya kan emang gitu.” Wafa berusaha membuat nada suaranya terdengar sinis walaupun kurang berhasil.

“Perjanjian seperti itu tidak boleh ada. Pernikahan itu suatu yang sakral. Bukan hanya sekedar janji antara dua manusia, tetapi ada bentuk tanggung jawab pada Tuhan yang harus dijalankan dengan benar.”

Wafa seperti berada dalam mimpi. Pertahanan Wafa runtuh seketika mendengar kata-kata Endra. Mungkinkah Endra menjadi sadar dan ingin menjadi suaminya sepenuhnya? Mungkinkah impiannya menjadi kenyataan?

Endra memegang kedua tangan Wafa. “Aku tau ini sudah terlambat, tapi aku mau kita memulai semuanya dari awal lagi.”

Air mata mulai membasahi mata Wafa yang melihat ketulusan Endra, namun ia teringat kejadian di ruangan ini beberapa waktu lalu ketika Endra dengan mudahnya menceraikan kedua istrinya sekaligus dan mengakui bahwa ia tidak ingin punya anak. Kemarahannya kembali muncul dan segera dilepaskannya tangan Endra.

“Kamu nggak perlu sok baik. Kamu harusnya udah tahu kalau posisi kamu di perusahaan aman walau kita bercerai.” Kemarahan membuat Wafa mampu berbicara dengan nada tinggi.

“Ini nggak ada hubungannya sama perusahaan.” Endra yang sempat yakin bahwa ia akan mampu meluluhkan hati Wafa menjadi kecewa melihat reaksi Wafa.

“Kalau bukan perusahaan, pasti Bapak yang udah paksa kamu supaya nggak cerai dari aku kan?”

“Ini juga nggak ada hubungannya sama Bapak, ini tentang kita.” Endra berusaha untuk meyakinkan Wafa.

“Dari dulu nggak pernah ada kita, sekarang juga nggak ada.”

“Ada.” Endra berusaha untuk memegang tangan Wafa kembali, tetapi tidak berhasil karena Wafa segera melepaskan tangan Endra.

“Udahlah aku cuma mau hidup tenang dan kamu bisa kembali pada kehidupan kamu dengan perempuan-perempuan itu.” Wafa berdiri untuk meninggalkan Endra.

“Mereka itu cuma pelarian. Dari dulu cuma ada kamu di hati aku.” Endra segera menarik tangan Wafa untuk mencegahnya pergi dan memaksanya duduk kembali.

“Kamu bilang apa tadi?” Wafa merasa jika ada masalah pada pendengarannya.

Endra menatap lekat mata Wafa. “Aku jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu di taman.”

“Kamu udah gila lagi ya?” Wafa menjauhkan pandangannya. Walaupun dia melihat kejujuran di mata Endra, dia tidak berani berharap.

Endra memegang wajah Wafa agar Wafa melihatnya. “Aku nggak tau kenapa, tapi sejak pertama kali liat mata kamu, jantung aku berdebar keras. Karena itu aku minta kamu jadi istri aku.”

“Kamu udah amnesia ya? Kamu minta aku jadi istri kamu karena ultimatum Bapak.” Wafa tersenyum kecut.

“Iya, tapi itu aku jadiin alasan supaya aku bisa deket sama kamu. Win win solution lah.”

“Udah deh, ga usah bikin cerita yang nggak masuk akal.”

“Emang masuk akal kalau aku tiba-tiba minta perempuan yang baru aku kenal untuk menikahi aku?”

Kamu dalam kondisi terdesak waktu itu.”

“Tapi aku nggak akan buat keputusan segila itu kalau bukan hati aku yang mendorong aku untuk melakukannya.”

“Kalau memang dorongan hati, buat apa bikin perjanjian pra nikah yang bisa melindungi kamu?

Pertanyaan Wafa kali ini agak sulit untuk dijawab karena Endra yakin akan sulit bagi Wafa untuk mengerti keadaannya. Tapi Endra berusaha untuk menjawabnya dengan  sangat berhati-hati. Seperti yang kamu bilang dulu kalau aku sudah gila tiba-tiba melamar kamu padahal kita baru saja bertemu waktu itu. Akal sehat aku juga setuju dengan itu. Makanya aku berusaha untuk nggak dikuasai hati aku dan tetap bermain aman.”

Jadi aku ini permainan?

“Bukan gitu..” Endra menyesal telah salah memilih kata-kata. “Maksud aku mengamankan diri. Aku sudah dibiasakan untuk tidak pernah ceroboh pada kondisi apapun. Makanya aku buat perjanjian pra-nikah walaupun sebenarnya hati aku begitu yakin jika aku sudah jatuh cinta sama kamu.”

“Bagaimana mungkin kamu bisa jatuh cinta sama aku. Kita baru aja ketemu.”

“Kamu boleh aja nggak percaya, tapi cinta pada pandangan pertama itu benar-bener ada.”

Oke. Mungkin benar kalau kamu jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi kamu kasih aku surat perjanjian pra nikah yang nggak nunjukin sedikitpun rasa cinta.”

“Perasaan itu baru pertama kali aku rasain, bolehkan kalau aku sedikit takut? Makanya aku bikin surat perjanjian pra nikah hanya untuk keamanan sementara aku berusaha untuk ngedeketin kamu dan yakinin perasaan aku itu.”

“Kalau kamu emang pengen deket sama aku, kenapa kamu nggak pernah deketin aku?”

“Maksudnya?”

“Kamu selalu tampil sok kaya dan sok kuasa. Nggak keliatan kalau kamu itu suka sama aku.”

“Aku bingung. Aku nggak pernah suka sama perempuan seperti aku suka sama kamu, jadi aku nggak ngerti harus berlaku apa.”

“Ha..ha.. terus kenapa harus ada pasal poligami?

Kali ini Endra terhenyak mendengar pertanyaan Wafa. Dengan gugup, dijawabnya pertanyaan itu. “Itu kan pasal tambahan.”

“Iya, tapi kenapa harus ditambahin pasal nggak beres macem itu?” Kemarahan Wafa kembali meningkat.

“E.. soalnya aku… aku kesel sama kamu.” Endra menjawab dengan terbata-bata.

“Kesel sama aku? Katanya kamu suka sama aku?” Wafa menggelengkan kepalanya, tidak mengerti pada pengakuan Endra yang bertolak belakang dengan apa yang dikatakannya sebelumnya.

Waktu itu aku baru tau kalau kamu udah punya pacar.”

“Hah?”

“Aku kesel karena hati kamu udah dimiliki orang lain.

Cemburu? Endra melakukan itu karena cemburu? Sepertinya hal itu mustahil. Bagaimana mungkin Wafa bisa percaya hal seaneh itu. “Tapi aku kan udah putus sama dia, kenapa kamu nggak berusaha untuk buat aku jatuh cinta sama kamu?”

“Aku liat kamu cinta banget sama pacar kamu itu dan kamu sama sekali nggak tertarik sama aku. Aku yakin aku nggak akan berhasil bikin kamu jatuh cinta sama aku.”

“Seyakin itu kamu?”

“Yakinlah, kamu aja nggak pernah mau aku sentuh.”

“Kapan kamu berusaha sentuh aku, habis akad aja kamu langsung pergi.”

“Sebelum kita nikah kan aku udah berusaha untuk deketin kamu, tapi kamu salaman aja takut-takut. Duduk juga nggak mau deket sama aku.”

“Kita kan bukan muhrim.”

“Hah?”

Waktu itu kita kan belum nikah, jadi belum boleh sentuhan.”

“Maksud kamu, kamu gitu bukan karena benci sama aku? Endra yang biasanya terlihat gagah penuh kharisma berubah menjadi lelaki culun yang terlihat bodoh setelah mendengar jawaban Wafa yang begitu jauh dari apa yang dibayangkannya sebelumnya.

“Ya nggak lah,  sama laki-laki lain aku juga gitu. Emang kamu pernah liat aku sentuhan sama laki-laki lain yang bukan muhrim?”

“Ehhh “ Endra mencoba untuk mengingat. “Enggak sih.”

“Dari kecil aku diajarin supaya nggak macem-macem sama laki-laki yang bukan muhrim.”

“Sama pacar kamu itu juga nggak pernah?”

“Boro-boro, makanya dia maen sama perempuan laen.”

“Hah? Emang dia selingkuh?” Endra semakin terlihat bodoh.

“Dia marah banget waktu aku bilang mau nikah sama kamu. Dia bilang aku selingkuh. Tapi ternyata dia udah selingkuh duluan. Baru satu minggu aku nikah sama kamu, dia nikah juga karena udah hamilin anak orang.” Kemarahan Wafa kembali meningkat, bukan karena Endra, tetapi karena mantan pacarnya.

“Berarti kamu nggak pernah diapa-apain sama pacar kamu?”

“Ya nggak lah, emang aku cewek apaan?” Wafa menjawab dengan marah.

Endra tidak percaya. Bagaimana mungkin dia tidak mengetahui hal tersebut? Mengapa dia bisa terkungkung dalam kecemburuan buta yang justru menjerumuskannya ke kehidupan yang kacau balau seperti ini?

“Tapi kok kemaren kamu mau aku peluk, bahkan mau aku cium?” Pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Endra tanpa berpikir.

“Kamu kan suami aku.” Wafa mulai kehilangan kesabaran.

“Iya yah.” Endra merasa semakin bodoh saja.

“Udah lah, ngapain juga ngomongin hal nggak penting.”

Ketegangan hilang dari wajah Endra yang kemudian berkata dengan lembut, “Iya. Sekarang yang penting aku cinta sama kamu dan aku nggak mau kehilangan kamu.” Senyum di wajah Endra memperlihatkan kepolosan yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

“Bapak yang paksa kamu kan?” Seberapa pun Endra berusaha menyakinkan, otak Wafa tetap saja menolak untuk mempercayai kata-kata yang keluar dari mulut Endra.

Ketidakpercayaan Wafa membuat Endra tidak percaya kalau ia kembali ke titik nol lagi dan harus mencari cara lain untuk meyakinkan Wafa. Ini nggak ada hubungannya sama Bapak.

“Bapak paksa kamu supaya nggak cerai sama aku.”

“Nggak. Ini tulus dari dalem hati aku.” Endra benar-benar lemas mendengar perkataan Wafa yang masih saja tidak bisa mempercayai dirinya.

“Bapak tawarin kamu posisi lebih tinggi?”

“Ini nggak ada hubungannya sama perusahaan. Aku bahkan udah lepasin jabatan aku.”

“Apa?”

“Aku udah keluar dari perusahaan.”

“Nggak mungkin.” Wafa menggelengkan kepala.

“Aku sadar kalau aku salah. Sekarang yang aku mau cuma hidup bahagia sama kamu.”

“Ini bukan saatnya ngegombal.”

“Aku nggak bohong sama kamu, posisi aku diperusahaan udah nggak penting lagi. Kamu boleh cek ke kantor dan kamu akan dapati Izaan duduk menggantikan aku.”

Wafa sangat sulit mempercayai kata-kata Endra, tapi Endra bukan orang yang dengan mudahnya berbohong untuk hal seperti itu. Wafa ingin sekali percaya jika Endra benar-benar mencintainya, tapi dia begitu takut jika semua itu hanya impian semu.

“Kalau kamu nggak kerja, kamu mau kasih aku makan apa? Aku nggak mau hidup sama laki-laki kere.”

“Kamu itu nggak pantes jadi cewek matre.”

“Inget, aku nikahin kamu karena uang”. Dengan pandangan mata yang sangat tajam, Wafa mengingatkan Endra tentang alasannya menikah.

“Tapi kamu minta cerai karena kamu patah hati kan?” Tanpa menunggu jawaban dari Wafa, Endra melanjutkan, “Patah hati hanya terjadi pada orang yang jatuh cinta.”

“Aku patah hati karena suami aku adalah lelaki bejat yang hanya mengumbar nafsu.” Walaupun apa yang dikatakan Endra benar, Wafa tidak ingin dengan mudahnya masuk dalam permainan Endra.

Pertahanan Endra sedikit goyah, dia memang bersalah dalam hal ini. “Aku lagi patah hati sama kamu waktu itu. Jadi aku nggak bisa berpikir lurus.”

“Dan kamu rela operasi biar nggak ada perempuan yang bisa nuntut kamu?

Endra terkejut mendengar kata-kata Wafa. “Dari mana kamu tau masalah itu? Bianca kasih tau kamu?”

“Aku denger itu dari mulut kamu sendiri.”

“Apa?”

“Aku ada disini waktu itu.”

Kepala Endra mendadak sakit. Pantas saja Wafa begitu marah malam itu. Jadi dia mendengar pembicaraannya dengan istri-istri sirinya waktu itu. Yang lebih parah lagi, bukannya mendapatkan permintaan maaf dari suaminya, Wafa justru mendapat amukan yang luar biasa. Endra sadar bahwa sudah sepantasnya ia mendapatkan gugatan cerai dari istrinya, tapi ia tidak ingin itu terjadi.

Endra menarik nafas dalam-dalam. Dipegangnya tangan Wafa dengan begitu erat agar Wafa tidak bisa melepaskannya lagi. Ditatapnya mata Wafa dalam-dalam. “Aku tahu kalau aku memang bersalah. Aku udah ngelakuin kesalahan paling fatal. Tapi itu aku lakuin karena aku begitu mencintai kamu.”

Karena tidak ada reaksi dari Wafa, Endra melanjutkan pembicaraannya. “Aku nggak ingin kamu terpaksa mencintai aku, karena itu aku nggak mau ganggu kamu dan hati kamu. Tapi aku nggak bisa lupain kamu, jadi aku berusaha untuk mengalihkan pikiran aku dengan berhubungan dengan perempuan lain. Walaupun semuanya nggak ada yang bisa memberikan kebahagiaan.”

Bagi Wafa, kata-kata Endra terdengar sebagai sebuah ironi. Endra berusaha keras untuk menjaga kesuciannya, tetapi Endra justru mengambil banyak kesucian dari perempuan lain.

“Kamu pikir kamu berhak ambil kesucian banyak perempuan lain dengan uang?”

Endra tertegun. Apa yang harus dia katakan untuk membela diri?

“Jangan kamu bilang kalau mereka semua udah nggak suci waktu kamu nikahin mereka.” Wafa menekan Endra.

“Beberapa dari mereka emang masih gadis, tapi mereka sudah setuju dengan perjanjian kami sejak awal.” Hanya itu yang bisa Endra katakan.

“Terus apa bedanya mereka sama aku?”

“Ya beda banget lah.”

“Dimana letak perbedaannya?”

“Perjanjian aku sama kamu cuma menikah secara sah sedangkan mereka sejak awal sudah mengerti bahwa aku hanya menginginkan hubungan suami istri.”

Wafa benar-benar ingin menangis mendengar kata-kata Endra. Matanya memerah dan mulai terlihat basah. Dengan terbata, ia berkata, “Hubungan suami istri itu bagian dari sebuah pernikahan yang sah.”

Endra tidak tahan melihat Wafa menangis. Tapi ia harus menyelesaikan ini sekarang. Dia berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak sentuh kamu, karena aku mau kamu tetap suci sebagai perempuan. Bagi aku, kamu terlalu baik dan murni. Walaupun aku suami kamu, aku ngerasa nggak berhak ambil kesucian kamu tanpa adanya cinta dari kamu.” Dengan suara yang sangat lembut, apa yang dikatakan Endra terdengar seperti hujan musim semi.

“Tapi…” Entah apa lagi yang harus dikatakan Wafa. Otaknya seperti membeku.

“Memang kalau aku tidak pergi setelah akad, kamu mau tidur sama aku di malam pertama kita?”

Pertanyaan Endra bagai guntur menggelegar di kepala Wafa. Waktu itu dia memang sedikit merasa senang bisa menikah dengan pria ganteng dan kaya, tapi untuk berhubungan fisik dengan Endra, dia merasa saat itu dia masih belum mampu. Bagaimanapun hatinya masih terpaut pada Umed saat itu. Sebenarnya, Wafa sedikit lega ketika Endra pergi setelah akad, karena memikirkan malam pertama dengan Endra saja sudah membuatnya takut.

“Tapi kenapa kamu nggak berusaha untuk ngejar aku dan buat aku jatuh cinta sama kamu? Kalau kamu benar bahwa selama tujuh tahun ini kamu selalu cinta aku, seharusnya kamu coba untuk buat aku jatuh cinta sama kamu.

Endra tersenyum kecut. “Kata Sigra itu ego seorang Endra. Aku nggak pernah mau merasa kalah. Saat mengetahui bahwa hati kamu sudah terpaut pada laki-laki lain membuat aku merasa menjadi pecundang. Mengejar kamu beresiko besar bahwa aku akan menjadi pecundang untuk kedua kalinya dan aku orang yang tidak suka ambil resiko. Apalagi untuk hal sebesar ini.”

Wafa berusaha keras untuk mencerna dengan baik kata-kata yang keluar dari mulut Endra. Wafa ingin sekali percaya jika Endra mencintainya, tetapi apa yang telah dilakukan Endra sangat sulit untuk dimaafkan.

“Untuk masalah vasektomi…” Endra sedikit ragu untuk berbicara.

Tubuh Wafa menjadi tegang seketika ketika mendengar masalah itu diangkat oleh Endra. Ia benar-benar ingin tahu apa yang ada di kepala Endra sampai berani melakukan itu.

“Aku cuma ingin punya anak sama kamu.”

Entah sudah berapa kali Endra berhasil membuat Wafa sangat terkejut dengan pengakuan-pengakuannya. Tapi kali ini, pengakuannya membuat Wafa bagai tersambar petir di siang bolong. Wafa tidak tahu apakah ia harus bahagia atau sedih mendengar hal tersebut. Ia merasa begitu tersanjung karena menjadi satu-satunya wanita yang dicintai Endra, tapi bagaimana dengan perasaan perempuan-perempuan lain yang telah menyerahkan segenap diri mereka pada Endra.

“Tapi kamu menghina istri-istri kamu dengan cara seperti itu.”

“Aku tahu, aku bersalah. Makanya aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal.

“Ini nggak adil.”

“Aku tahu, tapi hubungan aku dengan mereka sudah berakhir dengan baik-baik. Udah nggak ada masalah lagi antara aku sama mereka. Sekarang cuma antara kamu dan aku. Aku ingin kita mulai semuanya dari awal, di lembaran baru yang masih putih.

Pandangan Endra dan semua penjelasannya meluluhkan hati Wafa. Tapi Wafa juga tidak berani ambil resiko untuk sakit hati yang kedua kalinya. “Kamu juga udah nggak punya masalah sama aku. Kamu udah dimaafin.”

Aku masih punya masalah sama kamu karena kamu belum cabut gugatan cerai kamu dan aku sekarang meminta dengan sangat supaya kamu cabut gugatan kamu saat ini juga.”

“Nggak bisa.”

“Kenapa nggak?”

“Untuk cabut gugatan aku harus telfon Om Aswin, tapi kamu pegang tangan aku terus.”

Endra segera melepaskan tangan Wafa. “Oke sekarang udah lepas, kamu bakal langsung cabut gugatan cerai kamu kan?”

“Kenapa harus?”.

“Karena aku cinta kamu dan kamu cinta aku, kita harus bersama.”

Wafa menyadari bahwa yang dikatakan Endra memang benar. Dia memang mencintai Endra dan hatinya mengatakan bahwa ia harus menerima Endra. Tapi ketakutan masih belum bisa hilang dari pikirannya. Ia pun mencoba untuk menghindar dengan mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak dia yakini. “Aku nggak mungkin hidup sama laki-laki yang nggak punya penghasilan.”

“Berapa kali sih harus aku bilang kalau kamu nggak pantes jadi cewek matre?”

“Aku juga nggak bisa hidup sama suami yang nggak bisa buat anak karena aku pengen banget punya anak kandung aku sendiri.” Wafa masih mencoba mengelak.

Endra tersenyum. “Tenang aja, operasinya nggak permanen kok. Aku tinggal ke dokter buat normalin semuanya.”

Terkejut lagi, tapi kali ini hati Wafa berbunga-bunga. Berjuta harapan muncul saat Wafa mengetahui bahwa suaminya masih bisa menjadi lelaki normal. Tapi masih ada masalah penting yang harus dibereskan.

“Aku nggak mau dimadu lagi.”

“Sekarang cuma kamu dan selamanya cuma kamu.”

“Sekali berbuat akan mudah berulang.”

“Sungguh, mulai sekarang dan selanjutnya aku nggak akan ngelirik perempuan lain. Karena sekarang aku udah nggak bisa jauh dari kamu.”

“Kalau kamu sekali aja maen mata sama perempuan lain, semua selesai.”

“Oke, tapi berarti sekarang belum selesai kan?”

“Kamu masih mau berdebat sama aku?”

“Nggak. Aku cuma mau peluk istri aku.” Endra mengedipkan matanya dengan genit, sementara Wafa salah tingkah.

Endra memeluk erat tubuh Wafa yang sudah tidak bisa melawan hatinya lagi. Keduanya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Sesuatu yang seharusnya bisa mereka nikmati sejak dahulu jika mereka mau mencoba untuk membuka diri satu sama lain.

“Kenapa nggak dari dulu sih kamu pura-pura jadi Wafa?” Endra menggoda Wafa.

“Nama aku emang Wafa.”

Tiba-tiba Endra teringat pada sesuatu. Segera dilepaskan pelukannya dan ia pun berlari pergi meninggalkan Wafa yang tertegun dalam kebingungan karena merasa ditinggalkan untuk kedua kalinya.

Endra menghilang cukup lama sehingga membuat Wafa gelisah dan khawatir. Wafa bernafas lega ketika akhirnya melihat Endra kembali.  Namun Wafa menjadi khawatir saat melihat Endra yang datang dengan dokumen di tangannya. Apa yang akan dilakukan Endra kali ini? Perjanjian apa lagi yang harus disetujuinya?

Endra memperlihatkan surat yang berada di tangannya. Itu adalah surat perjanjian pra nikah mereka. Di depan mata Wafa, Endra merobek-robek surat perjanjian tersebut sehingga senyum pun merekah di wajah Wafa.

Endra kembali memeluk Wafa. Sepertinya ia tidak akan puas memeluk wanita yang begitu dicintainya ini.

Kali ini giliran Wafa yang menggodanya. “Aku nggak bohong waktu bilang aku nggak mau punya suami pengangguran. Walaupun ini jaman emansipasi, aku nggak mau nafkahin kamu.”

Endra melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih melingkar di pinggang Wafa. “Aku nggak bohong waktu bilang kamu nggak pantes jadi cewek matre.”

“Ini jaman modern bung, kita nggak bisa hidup hanya dengan cinta.”

Endra menatap Wafa sambil tersenyum. “Tenang aja, aku dan Sigra udah bikin rencana buat bikin perusahaan baru. Aku bakal jadi CEO.”

Kali ini giliran Wafa yang memeluk Endra dengan erat.

“Ternyata kamu emang cewek matre ya?

Wafa menarik kepalanya untuk melihat Endra. “Kenapa? Nyesel?”

“Hmm.. sedikit.”

Wafa melepaskan pelukannya dan menatap Endra dengan cemberut.

“Nyesel, kenapa nggak dari dulu aja aku bikin perusahaan biar bisa jadi CEO trus kamu jadi mau deh sama aku.” Endra pun tertawa terbahak-bahak.

“Dasar tukang gombal. Pantes aja banyak cewek yang klepek-klepek.” Dengan wajah yang dibuat terlihat kesal, Wafa mencoba melawan Endra.

“Udah deh, nggak usah ngebahas itu lagi.” Dalam suasana seperti ini, Endra tidak ingin diingatkan pada masa lalunya.

“Emang kenyataan kan? Kamu itu tukang maen cewek, tukang selingkuh.”

Endra merasa sulit untuk bisa keluar dari pembicaraan ini. Karena sudah  terlanjur basah, ya sudah. Endra memutuskan untuk sekalian saja dia ladeni Wafa. “Mungkin bawaan orok kali ya? Sifat bawaan kan susah banget diilanginnya.” Endra menunjukkan wajah polos walaupun dia berusaha keras untuk menahan tawa melihat wajah Wafa yang sangat shock mendengar perkataannya.

Walaupun sempat shock saat mendengar perkataan Endra, Wafa tahu pasti bahwa Endra hanya ingin mengerjainya. Dia berusaha tenang dan mencari kata-kata terbaik untuk membalikkan keadaan.

“Oke deh. Kalau emang sulit banget buat kamu untuk nggak selingkuh, aku kasih kamu satu kali aja kesempatan untuk selingkuh.” Suara Wafa terdengar sangat meyakinkan.

Endra menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan memperlihatkan rasa lega. “Alhamdulillah. Kamu emang istri yang pengertian.” Disentuhnya ujung hidung Wafa sambil tersenyum genit.

“Tapi cuma satu kali aja ya? Nggak boleh lebih.” Kali ini wajah Wafa terlihat begitu serius. Ditahannya kuat-kuat perasaan emosi yang berkecamuk di dadanya. Walaupun dia tahu Endra hanya bercanda, tetap saja kata selingkuh membuat emosinya meningkat tajam. Dalam hatinya dia berharap bahwa yang ada di otak Endra sama dengan yang ada di kepalanya.

“Tenang saja istriku Misha yang cantik, aku tidak akan meminta lebih karena aku memang hanya ingin selingkuh dengan satu orang.” Endra berkata sambil mengerlingkan matanya. Dia senang sekali menggoda Wafa yang mulai terlihat emosi.

Melihat Wafa yang kesulitan untuk menemukan kata-kata untuk melawannya, Endra menahan tawa yang begitu menggelitik hatinya. “Hanya satu nama…..” Endra berkata sambil menatap lekat mata Wafa yang menahan nafas, menunggu nama itu disebut.

“Wafa. Aku hanya mau selingkuh dengan Wafa.”

Wafa menarik nafas lega karena yang dipikirkannya benar. “Dan ini akan menjadi perselingkuhan terakhir.”

Endra menggangguk dan menyatakan persetujuannya, “Perselingkuhan terakhir.”

***TAMAT***
_____________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar