Kamis, 14 Agustus 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB V



Bab V

Perasaan Wafa campur aduk. Ciuman di pipinya tadi malam tidak bisa hilang dari ingatannya. Itu ciuman pertama dari suaminya dan rasanya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Dia menyentuh pipinya dan merasakan cinta yang begitu dalam. Walaupun dia sendiri sebelumnya sudah pernah mencium Endra, tetapi perasaan saat dicium sangatlah berbeda dengan mencium.  Terlebih lagi, suasana tadi malam dan lembutnya tatapan Endra membuat Wafa melayang.

Namun, masih ada rasa takut dalam hati Wafa. Ia takut jika hanya dia yang merasakan kebahagiaan ini sedangkan Endra hanya menganggapnya ciuman biasa. Bukankah saat ini ciuman di pipi sudah menjadi gaya hidup orang perkotaan? Biasanya disebut cipika cipiki. Sudah tidak ada lagi rasa malu bagi seorang laki-laki untuk mencium perempuan yang bukan muhrimnya, begitu pula sebaliknya. Yah, gaya hidup dunia barat memang telah banyak mempengaruhi kehidupan negara yang dikatakan sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Banyak yang tidak menganggapnya dosa karena dianggap tidak ada nafsu saat mereka melakukannya. Ciuman di pipi hanya dianggap sebagai ungkapan salam.

Bagaimana jika ciuman tadi malam memang hanyalah ucapan selamat malam? Dengan istri yang banyak, tentunya sudah ribuan kali Endra mencium pipi perempuan. Dengan kenyataan bahwa Endra tidak mengetahui bahwa yang diciumnya tadi malam adalah istrinya sendiri, sangat besar kemungkinan bahwa Endra melakukannya sebagai kebiasaan yang dilakukannya pada perempuan-perempuan lain.

Pikiran Wafa terus saja dipenuhi prasangka. Yang lebih buruk adalah prasangka jika ciuman itu sebuah ciuman perpisahan. Endra kan mengatakan kalau dia tidak bisa menemuinya hari ini. Itu seperti sebuah tanda jika Endra tidak akan menemuinya lagi selama-lamanya. Tadi malam kan Endra tiba-tiba langsung ingin pulang saat ditanya tentang pekerjaan. Mungkinkah Endra tersadar bahwa dia telah melakukan kesalahan dan membuang-buang waktunya yang berharga? Wafa menyalahkan dirinya sendiri karena telah mengingatkan Endra tentang pekerjaan.

Memang Endra mengatakan akan menghubunginya hari ini. Tapi Wafa tau pasti bahwa banyak sekali pria menggunakan janji tersebut sebagai ucapan selamat tinggal. Oleh karena itu, Wafa tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia begitu gelisah menunggu telepon dari Endra. Sudah jam lima sore dan belum ada panggilan atau bahkan SMS dari Endra. Jika Endra tidak menelepon, berarti semua berakhir dengan cerita sedih.

Ditempat lain Endra begitu sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk. Harus diakui bahwa kencannya dengan Wafa beberapa hari ini memang sedikit mengganggu jadwal kerjanya sehingga banyak kerjaan yang terabaikan.

“Kamu nggak kencan sama gadis spesial kamu?” Sigra langsung masuk ruangan Endra tanpa mengetuk.

“Nggak.” Endra menjawab singkat sambil terus bekerja dengan laptopnya.

“Tumben, biasanya jam segini udah ga sabar mau kencan. Udah ilang nafsunya?” Sigra yang tidak pernah berhenti dengan sindirannya duduk di depan meja Endra.

“Aku harus meeting.” Endra masih saja sibuk dengan laptopnya.

“Masih peduli sama kerjaan?” Sigra memperhatikan dokumen-dokumen yang berantakan di meja.

“Kerjaan itu nomor 1.”

“Berarti Wafa nomor 2 dong? Kasian… Kalau tau, dia pasti nangis sekarang.” Sigra memperlihatkan muka yang dibuat sedih.

“Ya ampun.” Endra menjadi teringat dengan janjinya. Pasti Wafa sedang menunggu telponnya saat ini. Dia segera mengambil handphonenya. Tapi sebelum menelpon, “Awas aku dah janji mau telfon Wafa.” Endra mengusir Sigra.

Sigra menunjuk dirinya sendiri.

“Iya .. keluar sana.” Bukan hanya mulut, tangan Endra pun memperlihatkan pengusiran.

Sigra melangkah keluar. Sungguh aneh. Biasanya Endra justru senang menelpon wanita di depan Sigra. Endra senang memamerkan kemesraannya dengan wanita. Tapi kali ini… dia ingin privacy.

Wafa yang sedari tadi menunggu dengan khawatir begitu gembira melihat siapa yang menelponnya. Dia sampai melompat ketika melihat nama Endra di layar handphonenya. Kegelisahannya langsung hilang seketika.

“Halo.” Wafa menjawab dengan setenang mungkin. Dia berusaha keras menahan emosinya yang meluap.

“Hai.”. Suara Endra terdengar sangat menggetarkan hati. “Maaf ya baru sempat nelfon. Kerjaan aku banyak banget.”

“Katanya mau video call.” Wafa protes seperti anak kecil.

“Hah? Oooh..video call ya? Lupa.. tadi soalnya buru-buru.”

“Buru-buru apa?”

“Buru-buru mau denger suara kamu yang manis.” Rayuan Endra pun dimulai.

“Gombal mulu. Dalam sungutannya, Wafa bahagia dengan gombalan Endra.

“Ya udah.. aku matiin dulu, nanti aku video call.”

“Ehh jangan.. “ Wafa segera mencegah Endra.

“Yang protes tadi siapa ya?”

“Bukan protes, cuma tanya.”

“Emang kamu nggak pengen liat aku?” Goda Endra.

“Mmmm… denger suara kamu udah cukup kok.” Wafa menjawab malu-malu. Dia takut jika Endra melihat wajahnya saat ini, akan terlihat sekali kegugupannya. Bisa dipastikan rencananya untuk menaklukkan Endra gagal karena Endra terlebih dahulu menaklukkannya.

Aku yang pengen liat kamu. Endra berpikir sebentar. “Kamu kalau tidur jam berapa?”

“Kok tiba-tiba nanyain tidur? Emang mau ngapain?”

“Gimana ya ngomongnya… ehmmm… aku kan ada meeting sampe malem. Ya kira-kira sampe jam sepuluh lah. Kalau jam sebelas kamu belum tidur, aku mau kesana.”

Wafa lebih terkejut lagi. Endra akan datang jam sebelas malam? Untuk apa? Wafa tidak bisa menjawab, dia terdiam tanpa kata.

“Haloo…” Endra memanggil Wafa yang tidak kunjung menjawab.

“Eh… e..mang.. mau.. ngapain?” Wafa terbata. Jantungnya berdetak kencang.

“Mau ngeliat muka kamu.”

“Habis liat muka aku ngapain?” Dengan jantung yang masih berdetak kencang, kegugupan Wafa bertambah karena Endra tidak kunjung menjawab.

“Pulang.” Endra akhirnya menjawab setelah berpikir sebentar.

“Gitu doang?” Wafa berpikir apa dirinya yang kurang bergaul sehingga tidak percaya bahwa ada seorang laki-laki yang datang berkunjung ke tempat seorang perempuan di tengah malam hanya untuk melihat wajah perempuan itu.

Endra juga merasa aneh dengan keinginannya yang tidak kuasa ditahannya. Namun, dia tidak ingin menunjukkan perasaannya. Endra memilih untuk menggoda Wafa. “Emang kamu mau lebih?”

“Ya .. ya nggak lah… Endra apaan sih … mikirnya macem-macem.” Muka Wafa memerah. Untung tidak ada orang didekatnya.

“Kalau ngeliat kamu aja nggak cukup, harus macem-macem dong.” Endra begitu senang menggoda Wafa yang mudah sekali menjadi salah tingkah saat digoda. Andai saja dia bisa melihat muka Wafa, tentunya akan lebih seru lagi.

“Endra.. aaaahh.”

“Macem-macem kan bisa banyak hal. Misalnya kamu masakin aku lagi, nonton TV, denger lagu,… banyak kan?” Jelas sekali jika Endra memang jauh lebih berpengalaman dan pintar.

“Tau ah…” Wafa menyerah.

Endra tertawa lepas. “Jadi gimana?”

“Apanya yang gimana?” Wafa benar-benar tidak bisa berpikir. Otaknya seketika menjadi kosong.

“Kamu masih bangun nggak?”

Bodoh kalau sampai Wafa berkata ‘tidak’, tetapi mulutnya tidak sanggup untuk berkata ‘iya’.

“Wafa….?”

“Iya.. iya.. aku masih bangun.” Wafa memberanikan diri.

“Oke… sampe nanti malem ya sayang…. Udah dulu ya … aku harus siap-siap meeting lagi.”

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan Wafa masih gelisah menunggu datangnya sang pujaan hati. Jangan-jangan Endra mengubah pikirannya dan tidak jadi datang. Jarak kantor Endra dengan apartemennya tidak terlalu jauh dan malam seperti ini tentunya sudah tidak macet.

Tidak ada satupun acara TV yang menarik perhatiannya. Koleksi filmnya sudah ditonton semua. Wafa juga tidak ingin mendengar lagu. Yang ada dipikirannya hanya Endra, tetapi pria itu tidak kunjung datang.

Sementara itu Endra baru saja menyelesaikan meeting yang ternyata berjalan di luar rencananya. Kliennya kali ini sangat sulit untuk ditaklukkan. Ia melihat jamnya. Setengah dua belas, berarti dia sudah terlambat setengah jam. Kalau dia berangkat sekarang, mungkin dia bisa sampai jam 12. Tetapi apa tidak terlalu malam?

Endra tidak peduli. Dia hanya ingin bertemu Wafa. Kalau ternyata Wafa sudah tidur ya sudah. Dia menyalakan mobilnya dan segera meluncur ke apartement Wafa.

Wafa tertidur di sofa saat bel berbunyi. Dia terbangun dan langsung berdiri dengan penuh semangat karena dia yakin yang datang adalah Endra. Dirapikannya rambutnya dan segera melangkah ke pintu. Dia menarik nafas dalam-dalam dan melihat dari lubang pintu untuk memastikan bahwa itu adalah Endra. Yap… dialah sang pangeran yang ditunggu.

Tanpa kata-kata Endra langsung memeluk Wafa setelah pintu terbuka. Setelah telpon tadi, dia begitu merasakan rindu walaupun baru satu hari mereka tidak bertemu. Wafapun merasakan hal yang sama dan terlupa bahwa saat ini seharusnya dia menahan diri karena Endra masih belum mengetahui bahwa ia adalah istrinya.

Setelah beberapa lama, Endra melonggarkan pelukannya. “Maaf ya aku telat. Tadi meetingnya alot banget. Kamu udah tidur ya?”

“Nggak papa kok. Yang penting kan kamu dateng.” Wafa menatap Endra. Dilihatnya wajah Endra begitu lelah. “ Kamu kelihatan cape banget.”

“Meetingnya banyak banget dari tadi pagi.” Kata Endra sambil membelai rambut Wafa yang begitu halus.

Wafa teringat bahwa Endra hanya ingin melihat wajahnya dan pulang, tetapi sepertinya Endra terlalu lelah untuk menyetir saat ini. “Kamu bawa supir?”

“Enggaklah. Emang kenapa?”

“Kalau kamu harus nyetir sekarang nanti takutnya ada apa-apa di jalan.” Wajah Wafa terlihat khawatir.

“Trus?”

“Masuk dulu yuk. Istirahat bentar. ” Wafa memegang tangan Endra mengajaknya masuk ke dalam apartemen.

“Kamu mau macem-macem ya?” Endra tersenyum genit.

“Endraaaa….Ya udah sana pulang aja.” Wafa kesal sekali dengan godaan Endra.

“Gitu aja ngambek.” Endra menggenggam tangan Wafa. “Aku pulang aja ya.. udah malem banget. Kalau masuk, nanti aku nggak mau pulang” Endra kembali tersenyum genit.

Wafa salah tingkah. “Ya..ya udah deh kalau maunya gitu.”

“Sayang….” Endra menyentuh wajah Wafa dengan lembut sehingga membuat jantung Wafa berdetak kencang lagi seperti semalam.

Endra mencium kening Wafa dan pergi meninggalkan Wafa yang masih kesulitan untuk menormalkan kembali detak jantungnya.

Saat melangkah pergi, Endra tidak menyangka bisa melakukan hal seperti ini. Mendatangi wanita tengah malam hanya untuk melihat wajahnya dalam beberapa menit dan dia sudah puas dengan itu.

***

Keesokan harinya Sigra mendatangi ruangan Endra untuk menyerahkan beberapa berkas. Dia melihat sepupunya sedang melamun.

“Pasti lagi ngelamunin gadis cantik desainer muda.” Sigra menebak sambil meletakkan berkas di atas meja Endra.

Endra yang tidak menyadari bahwa sepupunya ada di ruangannya terkejut dan menoleh. “Hehh?”

“Kalau orang sedang jatuh cinta, dunia hanya milik berdua.” Sigra tersenyum sambil berusaha menahan tawa.

“Siapa yang jatuh cinta?” Endra mengambil berkas yang diletakkan Sigra dan memeriksanya.

“Aku jadi pengen ketemu sama dia, siapa namanya? Wafa?”

“Boleh.” Endra menganggukkan kepalanya.

“Semangat banget.” Sigra memutar kepalanya dan memperhatikan ruangan Endra. “Kok nggak ada fotonya?”

“Ngapain taro foto disini.” Endra yang tersenyum langsung muram.

“Kalau jatuh cinta kan pengennya liat terus.” Sigra tidak bisa menahan tawanya.

“Aku tidak jatuh cinta.” Nada suara Endra meninggi.

“Oke-oke..” Sigra mengangkat kedua tangannya. “Jadi kapan aku bisa ketemu dia?”

“Besok gimana? Nonton di rumah aku?”

“Boleh. Jam sepuluhan ya?”

“Jangan lupa ajak Yuvi”

“Oke boss.” Sigra meninggalkan ruangan Endra.

Malamnya Endra mengunjungi butik Wafa dan melihat wanita pujaannya sibuk menata koleksi terbarunya.

“Besok kamu ada acara nggak?” Endra bertanya sambil memperhatikan Wafa yang sibuk memindahkan gantungan baju.

“Ya … kalau malem ini beres-beresnya selesai, besok aku bebas.” Jawab Wafa tanpa menoleh.

“Kalau gitu harus selesai malem ini.” Nada bicara Endra santai tetapi gaya bossy nya tidak hilang.

“Perasaan yang boss disini aku deh. Kamu kalau mau ngatur, perusahaan kamu aja.” Kali ini Wafa menoleh dan menatap tajam mata Endra.

“Gitu aja marah.” Endra merajuk untuk meredam emosi Wafa.

“Emang ada apa besok?” Wafa masih emosi. Sebenarnya dia tidak suka diganggu saat bekerja sehingga perkataan Endra yang sebenarnya biasa saja menjadi luar biasa menjengkelkan.

“Sepupu aku pengen kenal sama kamu. Kalau kamu bisa, besok jam sepuluh kita nonton.”

“Sepupu kamu?” Wafa menoleh. Dia mulai tertarik dengan pembicaraan ini.

“Iya.. namanya Sigra. Dari kecil kita deket. Udah kayak kakak ade kandung.”

Wafa tertarik mendengar hal tersebut. Dia belum pernah bertemu dengan Sigra, tapi dia tahu dari Kesara kalau Sigra itu adalah sepupu yang sangat dekat dengan Endra karena umur mereka tidak berbeda jauh dan mereka selalu satu sekolah sejak kecil. Ini bisa menjadi jalan untuk mengenal Endra lebih jauh lagi. “Oke. Kamu jemput aku?”

“Yap, tapi jam sembilan udah siap ya. Kan janjian sama Sigra jam sepuluh.”

“Oke.”

Pagi harinya, Endra menjemput Wafa yang tampil santai dengan kaos lengan pendek dan jins. Sementara Endra mengenakan kemeja dan celana panjang.

“Kok rapi banget. Bukannya kita mau nonton ya?” Wafa merasa salah kostum dan merasa tidak yakin dengan tampilannya.

“Ohh tadi aku ada meeting dulu sama rekanan.” Jawab Endra sambil berjalan menuju tempat parkir.

“Katanya Sabtu libur, lagian pagi banget meetingnya?”

“Dia mau pergi ke Padang, pesawat jam 9, jadi tadi aku ketemuan jam 7 di bandara.”

“Buset.. segitunya ya bisnis.” Wafa hanya bisa menggelengkan kepala.

Endra tersenyum. Dia memperhatikan Wafa dan dirinya sendiri. Gaya santai Wafa memang tidak cocok dengan gayanya saat ini. Agar tidak terlalu formal, dia menggulung lengan kemejanya.

Endra melihat Wafa tersenyum melihatnya. “Kok senyum-senyum sih?” Endra melihat dengan curiga.

“Enggak.” Wafa berusaha berbohong.

“Kamu bukan orang yang pintar berbohong.” Endra menghentikan langkahnya.

“Enggak..mm.. aku cuma suka aja sama cowok yang pake kemeja terus lengannya digulung gitu.” Wafa tersenyum manis sekali.

“Hah?” Endra tidak percaya.

“Beneran. Aku dari dulu suka banget kalau liat cowok gitu. Kerennnn gitu loh.”

“Harus kemeja digulung gitu?” Endra masih tidak percaya.

“Iya kemejanya lengan panjang, terus digulung.”  Wafa mengangguk sambil tersenyum.

“Kalau lengan panjang nggak digulung nggak suka?”

“Terlalu formal. Kalau digulung tuh keliatannya rapi tapi santai.”

“Kalau lengan pendek?”

“Kaya bapak-bapak.”

Endra tertawa. “Berarti besok kalau aku ketemu kamu pake kemeja lengan digulung aja ya?

“Perfect.” Wafa menggandeng lengan Endra dan melanjutkan berjalan ke tempat parkir.

Endra heran, hanya sekedar menggulung lengan kemeja saja sudah bisa membuat Wafa tersenyum. Mudah sekali membuat wanita ini bahagia.

Tidak seperti perkiraan Wafa, Endra ternyata membawa Wafa ke rumahnya. Wafa pun menjadi  bingung. “Kok ke rumah kamu? Mau ganti baju dulu?”

“Ngapain ganti baju, kan kamu sukanya begini?” Endra memarkirkan mobilnya. “Kita nontonnya disini.”

“Nonton DVD gitu maksudnya?”

“Blu Ray dong sayang… hari gini DVD.” Endra membuka pintu dan segera berlari untuk membukakan pintu Wafa.

“Ya terserah lah.. yang penting kan di rumah, bukan di bioskop.” Wafa keluar mobil dan mengikuti Endra berjalan ke rumah.

“Enakan di rumah, lebih bebas.”

Belum sampai mereka masuk ke dalam rumah, terdengar suara mobil datang. Sigra datang bersama Yuvi, istrinya.

“Ini dia pasangan cinta sejati kita.” Endra menyambut sepupunya.

Sigra hanya tersenyum sambil menatap Wafa.

“Wafa ini Sigra dan istrinya Yuvi, guys ini Wafa.” Endra memperkenalkan.

“Hai. Wafa.” Wafa mengulurkan tangan pada Sigra.

“Aku Sigra.” Sigra menjabat tangan Wafa.

“Hai. Yuvi”. Giliran Yuvi yang menjabat tangan Wafa.

“Kayaknya pernah ketemu deh.” Sigra merasa mengenal wajah Wafa walaupun sedikit kurang yakin. “Mmm… Ah.. Dirumah Om Wira. Aku pernah liat kamu di rumah Om Wira.”

Wafa terkejut bercampur takut. Ia merasa belum pernah melihat Sigra tetapi mengapa dia bilang pernah ketemu.

“Oohh Wafa itukan desainernya Mama, makanya dia sering ke rumah. Berarti kamu kesana pada waktu yang pas.” Endra memotong.

“Tapi kayaknya aku belum pernah ketemu kamu.” Wafa yakin belum pernah bertemu Sigra sebelumnya.

“Aku yang liat kamu, waktu itu kamu lagi sama Om.” Sekarang Sigra ingat sekali dengan kejadian itu, tetapi dia tidak ingin membuat masalah. “Aku buru-buru waktu itu jadi nggak sempet kenalan.” Sigra berusaha berbicara dengan santai agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Wafa menjadi khawatir. Apa yang Sigra lihat waktu aku bersama Bapak? Namun, melihat gaya Sigra yang santai, kekhawatiran Wafa sedikit berkurang.

Mereka pun kemudian masuk rumah.

“Mau santai-santai dulu ato langsung nonton aja?” Endra, sang tuan rumah bertanya kepada tamu-tamunya.

“Langsung nonton aja deh, film yang kemaren itu loh.” Sigra langsung menjawab dengan penuh semangat.

“Itulah Sigra, kalau urusan film nggak sabaran.” Kata Yuvi sambil melihat ke arah Wafa.

Wafa hanya tersenyum. Dia berusaha untuk mengikuti alur saja dan bertindak senormal mungkin dalam mendekatkan diri dengan orang-orang yang disayangi oleh Endra.

Ternyata Endra memiliki ruangan home theater khusus dengan layar super besar dan sofa-sofa yang ditata apik. Tidak heran jika pengusaha muda sukses seperti dia bisa memiliki bioskop pribadi di rumahnya dengan koleksi film yang luar biasa banyaknya. Pantas saja Endra lebih suka menonton di rumah.

Hari itu semua bergembira. Tidak hanya menonton film, mereka juga menghabiskan waktu untuk melakukan berbagai macam hal sampai malam. Wafa merasa senang bisa mengenal Sigra yang ternyata begitu baik, sangat bersahabat, dan juga lucu.

Setelah makan malam, Sigra dan istrinya pamit pulang. Endra juga mengantar Wafa pulang. Dalam perjalanan, Sigra membahas Wafa dengan istrinya.

“Aku masih nggak ngerti kenapa Wafa mengejar Endra.” Kata Sigra sambil menyetir.

“Ya ampun.. keliatan banget lagi kalau Wafa itu jatuh cinta sama Endra.” Yuvi melihat ke arah Sigra berusaha meyakinkan.

Sigra menggeleng. “Pasti ada yang lain…pasti ada yang disembunyiin sama cewek itu.”

“Kasar banget sih ngomongnya, dia punya nama kali. Namanya Wafa.”

“Kamu nggak tau sih.” Sigra melihat sebentar kearah istrinya dan kembali memperhatikan jalan.

“Kalau gitu kasih tau dong.” Yuvi menjadi penasaran. Tidak biasanya suaminya berpikir buruk tentang seseorang yang baru dikenalnya. Walaupun Sigra merasa ada yang tidak benar, dia akan mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum membicarakan kecurigaannya pada orang lain, walaupun orang lain itu istrinya sendiri.

“Waktu aku liat dia sama Om Wira mereka lagi pelukan.” Sigra menatap Yuvi yang begitu terkejut.

_________________________________________________
Prolog            <<  Bab Sebelumnya          Bab Selanjutnya  >>
 


 Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar