Bab V
Perasaan Wafa campur
aduk. Ciuman di pipinya tadi
malam tidak bisa hilang dari ingatannya. Itu ciuman pertama dari
suaminya dan rasanya tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata. Dia menyentuh pipinya dan merasakan cinta
yang begitu dalam. Walaupun dia sendiri sebelumnya sudah pernah mencium Endra,
tetapi perasaan saat dicium sangatlah berbeda dengan mencium. Terlebih lagi, suasana tadi malam dan
lembutnya tatapan Endra membuat Wafa melayang.
Namun, masih
ada rasa takut dalam hati
Wafa. Ia takut jika hanya dia yang merasakan kebahagiaan
ini sedangkan Endra hanya
menganggapnya ciuman biasa. Bukankah
saat ini ciuman di pipi sudah menjadi gaya hidup orang perkotaan? Biasanya
disebut cipika cipiki. Sudah tidak ada lagi rasa malu bagi seorang laki-laki untuk
mencium perempuan yang bukan muhrimnya, begitu pula sebaliknya. Yah, gaya hidup
dunia barat memang telah banyak mempengaruhi kehidupan negara yang dikatakan
sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Banyak yang
tidak menganggapnya dosa karena dianggap tidak ada nafsu saat mereka
melakukannya. Ciuman di pipi hanya dianggap sebagai ungkapan salam.
Bagaimana jika ciuman tadi malam memang hanyalah ucapan
selamat malam? Dengan istri yang banyak, tentunya sudah ribuan kali Endra mencium
pipi perempuan. Dengan kenyataan bahwa Endra tidak mengetahui bahwa yang
diciumnya tadi malam adalah istrinya sendiri, sangat besar kemungkinan bahwa
Endra melakukannya sebagai kebiasaan yang dilakukannya pada perempuan-perempuan
lain.
Pikiran Wafa terus saja dipenuhi prasangka. Yang lebih buruk adalah prasangka jika ciuman itu sebuah ciuman perpisahan. Endra kan mengatakan kalau dia tidak bisa
menemuinya hari ini. Itu seperti sebuah tanda jika Endra tidak akan menemuinya
lagi selama-lamanya. Tadi malam kan Endra tiba-tiba langsung ingin pulang saat
ditanya tentang pekerjaan. Mungkinkah Endra tersadar bahwa dia telah melakukan
kesalahan dan membuang-buang waktunya yang berharga? Wafa menyalahkan dirinya
sendiri karena telah mengingatkan Endra tentang pekerjaan.
Memang Endra
mengatakan akan menghubunginya hari ini. Tapi Wafa tau pasti bahwa banyak
sekali pria menggunakan janji tersebut sebagai ucapan selamat tinggal. Oleh
karena itu, Wafa tidak bisa
berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia begitu gelisah menunggu
telepon dari Endra. Sudah jam lima sore dan belum ada panggilan atau bahkan SMS
dari Endra. Jika Endra tidak menelepon, berarti semua berakhir dengan cerita
sedih.
Ditempat lain
Endra begitu sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk. Harus diakui bahwa
kencannya dengan Wafa beberapa hari ini memang sedikit mengganggu jadwal
kerjanya sehingga banyak kerjaan yang terabaikan.
“Kamu nggak
kencan sama gadis spesial kamu?” Sigra langsung masuk ruangan Endra tanpa
mengetuk.
“Nggak.” Endra menjawab singkat sambil terus bekerja
dengan laptopnya.
“Tumben, biasanya
jam segini udah ga sabar mau kencan. Udah ilang nafsunya?” Sigra yang tidak
pernah berhenti dengan sindirannya duduk di depan meja Endra.
“Aku harus
meeting.” Endra masih saja
sibuk dengan laptopnya.
“Masih peduli
sama kerjaan?” Sigra memperhatikan dokumen-dokumen yang berantakan di meja.
“Kerjaan itu
nomor 1.”
“Berarti Wafa
nomor 2 dong? Kasian… Kalau
tau, dia pasti nangis sekarang.” Sigra memperlihatkan muka yang dibuat sedih.
“Ya ampun.” Endra
menjadi teringat dengan janjinya. Pasti Wafa sedang menunggu telponnya saat
ini. Dia segera mengambil handphonenya. Tapi sebelum menelpon, “Awas aku dah janji mau telfon Wafa.”
Endra mengusir Sigra.
Sigra menunjuk
dirinya sendiri.
“Iya .. keluar
sana.” Bukan hanya mulut, tangan Endra pun memperlihatkan pengusiran.
Sigra melangkah
keluar. Sungguh aneh.
Biasanya Endra justru senang menelpon wanita di depan Sigra. Endra senang
memamerkan kemesraannya dengan wanita. Tapi kali ini… dia ingin privacy.
Wafa yang sedari
tadi menunggu dengan khawatir begitu gembira melihat siapa yang menelponnya. Dia
sampai melompat ketika melihat nama Endra di layar handphonenya. Kegelisahannya
langsung hilang seketika.
“Halo.” Wafa
menjawab dengan setenang mungkin. Dia berusaha keras menahan emosinya yang meluap.
“Hai.”. Suara
Endra terdengar sangat menggetarkan hati. “Maaf ya baru sempat nelfon. Kerjaan
aku banyak banget.”
“Katanya mau
video call.” Wafa protes seperti anak kecil.
“Hah? Oooh..video
call ya? Lupa.. tadi soalnya buru-buru.”
“Buru-buru apa?”
“Buru-buru mau
denger suara kamu yang manis.” Rayuan Endra pun dimulai.
“Gombal mulu.” Dalam sungutannya, Wafa bahagia
dengan gombalan Endra.
“Ya udah.. aku
matiin dulu, nanti aku video call.”
“Ehh jangan.. “
Wafa segera mencegah Endra.
“Yang protes tadi
siapa ya?”
“Bukan protes,
cuma tanya.”
“Emang kamu nggak
pengen liat aku?” Goda Endra.
“Mmmm… denger
suara kamu udah cukup kok.” Wafa menjawab malu-malu. Dia takut jika Endra melihat
wajahnya saat ini, akan terlihat sekali kegugupannya. Bisa dipastikan
rencananya untuk menaklukkan Endra gagal karena Endra terlebih dahulu
menaklukkannya.
Aku yang pengen liat kamu. Endra berpikir sebentar. “Kamu kalau
tidur jam berapa?”
“Kok tiba-tiba
nanyain tidur? Emang mau ngapain?”
“Gimana ya
ngomongnya… ehmmm… aku kan ada meeting sampe malem. Ya kira-kira sampe jam
sepuluh lah. Kalau jam sebelas kamu belum tidur, aku mau kesana.”
Wafa lebih
terkejut lagi. Endra akan datang jam sebelas malam? Untuk apa? Wafa tidak bisa
menjawab, dia terdiam tanpa kata.
“Haloo…” Endra memanggil
Wafa yang tidak kunjung menjawab.
“Eh… e..mang..
mau.. ngapain?” Wafa terbata. Jantungnya berdetak kencang.
“Mau ngeliat muka
kamu.”
“Habis liat muka
aku ngapain?” Dengan jantung yang masih berdetak
kencang, kegugupan Wafa bertambah karena Endra tidak kunjung menjawab.
“Pulang.”
Endra akhirnya menjawab setelah berpikir sebentar.
“Gitu doang?”
Wafa berpikir apa dirinya yang kurang bergaul sehingga tidak percaya bahwa ada
seorang laki-laki yang datang berkunjung ke tempat seorang perempuan di tengah
malam hanya untuk melihat wajah perempuan itu.
Endra juga merasa aneh dengan keinginannya yang tidak kuasa
ditahannya. Namun, dia tidak ingin menunjukkan perasaannya. Endra memilih untuk
menggoda Wafa. “Emang kamu mau
lebih?”
“Ya .. ya nggak
lah… Endra apaan sih … mikirnya macem-macem.” Muka Wafa memerah. Untung tidak
ada orang didekatnya.
“Kalau ngeliat
kamu aja nggak cukup, harus macem-macem dong.” Endra begitu senang
menggoda Wafa yang mudah sekali menjadi salah tingkah saat digoda. Andai saja
dia bisa melihat muka Wafa, tentunya akan lebih seru lagi.
“Endra.. aaaahh.”
“Macem-macem kan
bisa banyak hal. Misalnya kamu masakin aku lagi, nonton TV, denger lagu,…
banyak kan?” Jelas sekali jika Endra memang jauh lebih berpengalaman dan
pintar.
“Tau ah…” Wafa
menyerah.
Endra tertawa lepas. “Jadi gimana?”
“Apanya yang
gimana?” Wafa benar-benar tidak bisa berpikir. Otaknya seketika menjadi kosong.
“Kamu masih
bangun nggak?”
Bodoh kalau
sampai Wafa berkata ‘tidak’, tetapi mulutnya tidak sanggup untuk berkata ‘iya’.
“Wafa….?”
“Iya.. iya.. aku
masih bangun.” Wafa memberanikan diri.
“Oke… sampe nanti
malem ya sayang…. Udah dulu ya … aku harus siap-siap meeting lagi.”
***
Jam sudah
menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan Wafa masih gelisah menunggu
datangnya sang pujaan hati. Jangan-jangan Endra mengubah pikirannya dan tidak
jadi datang. Jarak kantor Endra dengan apartemennya tidak terlalu jauh dan
malam seperti ini tentunya sudah tidak macet.
Tidak ada satupun
acara TV yang menarik perhatiannya. Koleksi filmnya sudah ditonton semua. Wafa
juga tidak ingin mendengar lagu. Yang ada dipikirannya hanya Endra, tetapi pria
itu tidak kunjung datang.
Sementara itu
Endra baru saja menyelesaikan meeting yang ternyata berjalan di luar
rencananya. Kliennya kali ini sangat sulit untuk ditaklukkan. Ia melihat
jamnya. Setengah dua belas, berarti dia sudah terlambat setengah jam. Kalau dia
berangkat sekarang, mungkin dia bisa sampai jam 12. Tetapi apa tidak terlalu
malam?
Endra tidak
peduli. Dia hanya ingin bertemu Wafa. Kalau ternyata Wafa sudah tidur ya sudah.
Dia menyalakan mobilnya dan segera meluncur ke apartement Wafa.
Wafa tertidur di
sofa saat bel berbunyi. Dia terbangun dan langsung berdiri dengan penuh
semangat karena dia yakin yang datang adalah Endra. Dirapikannya rambutnya dan
segera melangkah ke pintu. Dia menarik nafas dalam-dalam dan melihat dari
lubang pintu untuk memastikan bahwa itu adalah Endra. Yap… dialah sang pangeran
yang ditunggu.
Tanpa kata-kata
Endra langsung memeluk Wafa setelah pintu terbuka. Setelah telpon tadi, dia
begitu merasakan rindu walaupun baru satu hari mereka tidak bertemu. Wafapun
merasakan hal yang sama dan terlupa bahwa saat ini seharusnya dia menahan diri
karena Endra masih belum mengetahui bahwa ia adalah istrinya.
Setelah beberapa
lama, Endra melonggarkan pelukannya. “Maaf ya aku telat. Tadi meetingnya alot
banget. Kamu udah tidur ya?”
“Nggak papa kok.
Yang penting kan kamu dateng.” Wafa menatap Endra. Dilihatnya wajah Endra
begitu lelah. “ Kamu kelihatan cape banget.”
“Meetingnya
banyak banget dari tadi pagi.” Kata Endra sambil membelai rambut Wafa yang
begitu halus.
Wafa teringat bahwa Endra hanya ingin melihat wajahnya dan
pulang, tetapi sepertinya Endra terlalu lelah untuk menyetir saat ini. “Kamu bawa supir?”
“Enggaklah.
Emang kenapa?”
“Kalau kamu harus
nyetir sekarang nanti takutnya ada apa-apa di jalan.” Wajah Wafa terlihat
khawatir.
“Trus?”
“Masuk dulu yuk.
Istirahat bentar. ” Wafa memegang
tangan Endra mengajaknya masuk ke dalam apartemen.
“Kamu mau
macem-macem ya?” Endra tersenyum genit.
“Endraaaa….Ya
udah sana pulang aja.” Wafa kesal sekali dengan godaan Endra.
“Gitu aja
ngambek.” Endra menggenggam tangan Wafa. “Aku pulang aja ya.. udah malem
banget. Kalau masuk, nanti
aku nggak mau pulang” Endra kembali tersenyum genit.
Wafa salah
tingkah. “Ya..ya udah deh kalau maunya gitu.”
“Sayang….” Endra
menyentuh wajah Wafa dengan lembut sehingga membuat jantung Wafa
berdetak kencang lagi seperti semalam.
Endra mencium kening
Wafa dan pergi meninggalkan
Wafa yang masih kesulitan untuk menormalkan kembali detak jantungnya.
Saat melangkah pergi, Endra tidak menyangka bisa melakukan hal seperti ini. Mendatangi wanita tengah malam hanya untuk
melihat wajahnya dalam beberapa menit dan dia sudah puas dengan itu.
***
Keesokan harinya
Sigra mendatangi ruangan Endra untuk menyerahkan beberapa berkas. Dia melihat
sepupunya sedang melamun.
“Pasti lagi
ngelamunin gadis cantik desainer muda.” Sigra menebak sambil meletakkan berkas
di atas meja Endra.
Endra yang tidak
menyadari bahwa sepupunya ada di ruangannya terkejut dan menoleh. “Hehh?”
“Kalau orang
sedang jatuh cinta, dunia hanya milik berdua.” Sigra tersenyum sambil berusaha
menahan tawa.
“Siapa yang jatuh
cinta?” Endra mengambil berkas yang diletakkan Sigra dan memeriksanya.
“Aku jadi pengen
ketemu sama dia, siapa namanya? Wafa?”
“Boleh.” Endra
menganggukkan kepalanya.
“Semangat
banget.” Sigra memutar kepalanya dan memperhatikan ruangan Endra. “Kok nggak
ada fotonya?”
“Ngapain taro
foto disini.” Endra yang tersenyum langsung muram.
“Kalau jatuh
cinta kan pengennya liat terus.” Sigra tidak bisa menahan tawanya.
“Aku tidak jatuh
cinta.” Nada suara Endra meninggi.
“Oke-oke..” Sigra
mengangkat kedua tangannya. “Jadi kapan aku bisa ketemu dia?”
“Besok gimana?
Nonton di rumah aku?”
“Boleh. Jam
sepuluhan ya?”
“Jangan lupa ajak
Yuvi”
“Oke boss.” Sigra
meninggalkan ruangan Endra.
Malamnya Endra
mengunjungi butik Wafa dan melihat wanita pujaannya sibuk menata koleksi
terbarunya.
“Besok kamu ada
acara nggak?” Endra bertanya sambil memperhatikan Wafa yang sibuk memindahkan
gantungan baju.
“Ya … kalau malem
ini beres-beresnya selesai,
besok aku bebas.” Jawab Wafa tanpa menoleh.
“Kalau gitu harus
selesai malem ini.” Nada bicara Endra santai tetapi gaya bossy nya tidak
hilang.
“Perasaan yang
boss disini aku deh. Kamu kalau mau ngatur, perusahaan kamu aja.” Kali ini Wafa
menoleh dan menatap tajam mata Endra.
“Gitu aja marah.”
Endra merajuk untuk meredam
emosi Wafa.
“Emang ada apa
besok?” Wafa masih emosi. Sebenarnya dia tidak suka diganggu saat bekerja
sehingga perkataan Endra yang sebenarnya biasa saja menjadi luar biasa
menjengkelkan.
“Sepupu aku
pengen kenal sama kamu. Kalau kamu bisa, besok jam sepuluh kita nonton.”
“Sepupu kamu?”
Wafa menoleh. Dia mulai tertarik dengan pembicaraan ini.
“Iya.. namanya
Sigra. Dari kecil kita deket. Udah kayak kakak ade kandung.”
Wafa tertarik
mendengar hal tersebut. Dia belum pernah bertemu dengan Sigra, tapi dia tahu
dari Kesara kalau Sigra itu adalah sepupu yang sangat dekat dengan Endra karena
umur mereka tidak berbeda jauh dan mereka selalu satu sekolah sejak kecil. Ini
bisa menjadi jalan untuk mengenal Endra lebih jauh lagi. “Oke. Kamu jemput
aku?”
“Yap, tapi jam
sembilan udah siap ya. Kan janjian sama Sigra jam sepuluh.”
“Oke.”
Pagi harinya,
Endra menjemput Wafa yang tampil santai dengan kaos lengan pendek dan jins.
Sementara Endra mengenakan kemeja dan celana panjang.
“Kok rapi banget.
Bukannya kita mau nonton ya?” Wafa merasa salah kostum dan merasa tidak yakin
dengan tampilannya.
“Ohh tadi aku ada
meeting dulu sama rekanan.” Jawab Endra sambil berjalan menuju tempat parkir.
“Katanya Sabtu
libur, lagian pagi banget meetingnya?”
“Dia mau pergi ke
Padang, pesawat jam 9, jadi tadi aku ketemuan jam 7 di bandara.”
“Buset.. segitunya
ya bisnis.” Wafa hanya bisa menggelengkan kepala.
Endra tersenyum.
Dia memperhatikan Wafa dan dirinya sendiri. Gaya santai Wafa memang tidak cocok
dengan gayanya saat ini. Agar tidak terlalu formal, dia menggulung lengan
kemejanya.
Endra melihat
Wafa tersenyum melihatnya. “Kok senyum-senyum sih?” Endra melihat dengan
curiga.
“Enggak.” Wafa
berusaha berbohong.
“Kamu bukan orang
yang pintar berbohong.” Endra menghentikan langkahnya.
“Enggak..mm.. aku
cuma suka aja sama cowok yang pake kemeja terus lengannya digulung gitu.” Wafa
tersenyum manis sekali.
“Hah?” Endra
tidak percaya.
“Beneran. Aku
dari dulu suka banget kalau liat cowok gitu. Kerennnn gitu loh.”
“Harus kemeja
digulung gitu?” Endra masih tidak percaya.
“Iya kemejanya
lengan panjang, terus digulung.” Wafa
mengangguk sambil tersenyum.
“Kalau lengan
panjang nggak digulung nggak
suka?”
“Terlalu formal.
Kalau digulung tuh keliatannya rapi tapi santai.”
“Kalau lengan
pendek?”
“Kaya
bapak-bapak.”
Endra tertawa.
“Berarti besok kalau aku ketemu kamu pake kemeja lengan digulung aja ya?”
“Perfect.” Wafa
menggandeng lengan Endra dan melanjutkan berjalan ke tempat parkir.
Endra heran,
hanya sekedar menggulung lengan kemeja saja sudah bisa membuat Wafa tersenyum.
Mudah sekali membuat wanita ini bahagia.
Tidak seperti perkiraan Wafa, Endra ternyata membawa Wafa ke
rumahnya. Wafa pun menjadi bingung. “Kok ke rumah kamu? Mau ganti baju
dulu?”
“Ngapain ganti
baju, kan kamu sukanya begini?” Endra memarkirkan mobilnya. “Kita nontonnya disini.”
“Nonton DVD gitu
maksudnya?”
“Blu Ray dong
sayang… hari gini DVD.” Endra membuka pintu dan segera berlari untuk membukakan
pintu Wafa.
“Ya terserah
lah.. yang penting kan di rumah, bukan di bioskop.” Wafa keluar mobil dan
mengikuti Endra berjalan ke rumah.
“Enakan di rumah,
lebih bebas.”
Belum sampai
mereka masuk ke dalam rumah, terdengar suara mobil datang. Sigra datang bersama
Yuvi, istrinya.
“Ini dia pasangan
cinta sejati kita.” Endra menyambut sepupunya.
Sigra hanya
tersenyum sambil menatap Wafa.
“Wafa ini Sigra
dan istrinya Yuvi, guys ini Wafa.” Endra memperkenalkan.
“Hai. Wafa.” Wafa
mengulurkan tangan pada Sigra.
“Aku Sigra.”
Sigra menjabat tangan Wafa.
“Hai. Yuvi”.
Giliran Yuvi yang menjabat tangan
Wafa.
“Kayaknya pernah
ketemu deh.” Sigra merasa mengenal
wajah Wafa walaupun sedikit kurang yakin. “Mmm… Ah.. Dirumah Om Wira. Aku
pernah liat kamu di rumah Om Wira.”
Wafa terkejut
bercampur takut. Ia merasa
belum pernah melihat Sigra tetapi mengapa dia bilang pernah ketemu.
“Oohh Wafa itukan
desainernya Mama, makanya dia sering ke rumah. Berarti kamu kesana pada waktu
yang pas.” Endra memotong.
“Tapi kayaknya
aku belum pernah ketemu kamu.” Wafa yakin belum pernah bertemu Sigra
sebelumnya.
“Aku yang liat
kamu, waktu itu kamu lagi sama Om.” Sekarang Sigra ingat sekali dengan kejadian itu, tetapi dia
tidak ingin membuat masalah. “Aku buru-buru waktu itu jadi nggak sempet
kenalan.” Sigra berusaha berbicara
dengan santai agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Wafa menjadi
khawatir. Apa yang Sigra lihat waktu aku bersama Bapak? Namun, melihat gaya
Sigra yang santai, kekhawatiran Wafa sedikit berkurang.
Mereka pun kemudian masuk rumah.
“Mau santai-santai dulu ato langsung nonton aja?” Endra,
sang tuan rumah bertanya kepada tamu-tamunya.
“Langsung nonton aja deh, film yang kemaren itu loh.” Sigra
langsung menjawab dengan penuh semangat.
“Itulah Sigra, kalau urusan film nggak sabaran.” Kata Yuvi
sambil melihat ke arah Wafa.
Wafa hanya tersenyum. Dia berusaha untuk mengikuti alur saja
dan bertindak senormal mungkin dalam mendekatkan diri dengan orang-orang yang
disayangi oleh Endra.
Ternyata Endra
memiliki ruangan home theater khusus dengan layar super besar dan sofa-sofa
yang ditata apik. Tidak heran jika pengusaha muda sukses seperti dia bisa memiliki bioskop
pribadi di rumahnya dengan koleksi film yang luar biasa banyaknya. Pantas saja
Endra lebih suka menonton di rumah.
Hari itu semua
bergembira. Tidak hanya menonton film, mereka juga menghabiskan waktu untuk
melakukan berbagai macam hal sampai malam. Wafa merasa senang bisa
mengenal Sigra yang ternyata begitu baik, sangat bersahabat, dan juga lucu.
Setelah makan
malam, Sigra dan istrinya pamit pulang. Endra juga mengantar Wafa pulang. Dalam perjalanan, Sigra membahas Wafa
dengan istrinya.
“Aku masih nggak
ngerti kenapa Wafa mengejar Endra.” Kata Sigra sambil menyetir.
“Ya ampun..
keliatan banget lagi kalau Wafa itu jatuh cinta sama Endra.” Yuvi melihat ke
arah Sigra berusaha meyakinkan.
Sigra menggeleng.
“Pasti ada yang lain…pasti ada yang disembunyiin sama cewek itu.”
“Kasar banget sih
ngomongnya, dia punya nama kali. Namanya Wafa.”
“Kamu nggak tau
sih.” Sigra melihat sebentar kearah istrinya dan kembali memperhatikan jalan.
“Kalau gitu kasih
tau dong.” Yuvi menjadi penasaran. Tidak biasanya suaminya berpikir
buruk tentang seseorang yang baru dikenalnya. Walaupun Sigra merasa ada yang
tidak benar, dia akan mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu sebelum
membicarakan kecurigaannya pada orang lain, walaupun orang lain itu istrinya
sendiri.
“Waktu aku liat dia
sama Om Wira… mereka lagi
pelukan.” Sigra menatap Yuvi yang begitu terkejut.
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar