BAB VI
Endra dan Wafa
semakin dekat saja. Hampir setiap hari mereka bertemu jika Endra atau Wafa
tidak keluar kota. Kalaupun mereka tidak bisa bertemu, mereka menghabiskan
banyak waktu di telfon, video chat, atau video call. Endra merasakan
kebahagiaan yang amat sangat dan Wafa pun merasakan hal yang sama. Wafa begitu yakin jika semua rencananya
akan berjalan lancar.
Di lain pihak, ada sepupu yang merasakan hal berbeda.
Walaupun Sigra merasa senang melihat Endra bahagia, masih ada ganjalan di
hatinya.
“Kamu yakin Wafa
itu cewek baik-baik?” Sigra akhirnya memberanikan diri menyampaikan kekhawatiannya
pada Endra setelah lebih dari
enam bulan sepupunya itu
tidak bisa lepas dari Wafa.
“Kamu kayaknya
nggak suka banget aku sama Wafa.” Endra menjawab sekadarnya dan meneruskan
memeriksa laporan keuangan perusahaan.
Sigra tahu bahwa tidak mudah meyakinkan Endra, tapi dia akan
merasa bersalah jika tidak melakukan apapun. “Bukan nggak suka, cuma semua ini tuh aneh banget.”
“Aneh dimananya?”
Endra berhenti memeriksa berkas yang ada di tangannya. Matanya menatap
sepupunya yang terlihat tidak nyaman.
“Gimana ya
ngomongnya… Ehm…kata Sandra, Wafa
itu cewek alim.” Sigra
berkata pelan dan berusaha tidak terdengar menghakimi.
“Kapan kamu ketemu
Sandra?” Mendengar Sigra menyebutkan nama Sandra, Endra menjadi curiga.
Sepertinya ada yang tidak beres jika Sigra bertemu Sandra untuk membicarakan
hubungannya dengan Wafa.
“Dulu… udahlah
itu nggak penting, yang penting sekarang itu kamu sama Wafa.” Sigra berusaha
mengembalikan topik pembicaraan.
“Oke.. trus?”
“Kalau memang dia
cewek alim, kenapa dia mau berhubungan sama kamu?” Sigra mengangkat kedua
tangannya.
Endra tidak
menjawab. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Sigra.
Endra tahu benar bahwa sepupunya itu tidak pernah menjelek-jelekkan orang tanpa
bukti yang jelas. Jika Sigra berusaha untuk menjelekkan Wafa, mungkin Sigra
mengetahui sesuatu tentang Wafa yang tidak diketahuinya.
Sigra melanjutkan
analisisnya. “Kalau memang dia cewek alim, dia harusnya tau kalau mengganggu
suami orang itu dosa.” Sigra berhenti untuk melihat reaksi Endra. Saat Endra
tidak bereaksi, Sigra melanjutkan. “Beberapa kali aku ketemu kamu sama dia, aku liat dia nggak
keberatan kamu peluk, bahkan kamu cium.” Sigra menarik nafas. “Cewek alim nggak
akan begitu.”
“Jadi maksud kamu
dia cewek nakal yang pura-pura jadi alim?” Nada bicara Endra meningkat. “Yang
dimaksud alim sama Sandra itu rajin sholat.” Endra menatap tajam mata Sigra.
“Jaman sekarang banyak cewek rajin sholat yang senang banget ciuman.
Lagian aku cuma cium pipi dia, nggak pernah lebih dari itu.”
Sigra sedikit
kebingungan dengan apa yang akan dikatakannya. Terlihat jelas jika Endra
begitu membela Wafa, tapi dia juga takut jika Endra menyesal nantinya. “Pokoknya ada yang terasa ganjil sama
Wafa itu.”
“Kamu nggak suka
aku seneng?” Wajah Endra mulai memerah.
“Bukan gitu,
justru aku takut kalau ternyata ini semua berakhir dengan cara yang nggak baik.
Jangan salah sangka.” Sigra berusaha keras menenangkan sepupunya.
“Kamu yang bikin
aku salah sangka.” Endra masih terdengar begitu emosi.
“Aku cuma
khawatir sama kamu.” Sigra berusaha memperbaiki posisi duduknya yang terasa
tidak nyaman, walaupun ketidaknyamanan itu sebenarnya disebabkan oleh hatinya.
“Aku udah gede,
nggak perlu kamu kuatirin.” Endra kembali lagi pada berkasnya. Dia
merasa tidak perlu lagi memperhatikan sepupunya.
“Kamu udah tau
latar belakangnya?” Sigra bukan orang yang mudah menyerah. Dia tetap
berusaha membuat Endra berpikir.
“Maksudnya?”
“Siapa
keluarganya. Orang-orang sekitar dia seperti apa?”
“Aku pacaran sama
dia, bukan mau nikahin dia.”
“Justru itu.”
Akhirnya Sigra mendapatkan kata yang tepat untuk menarik perhatian Endra.
Kali ini Endra
benar-benar penasaran dengan sepupunya. Namun dia tidak mengucapkan sepatah
katapun, dia hanya menatap Sigra dengan pancaran keingintahuan yang besar.
“Kamu biasanya
nggak pernah pacaran lebih dari satu
bulan. Kalau kamu suka, kamu nikahin dan kalau kamu nggak suka, kamu putusin.”
Yang dibicarakan
Sigra adalah kenyataan dan hal itu membuat Endra menyadari bahwa ia
telah mengalami sesuatu yang berbeda. Dia pun mulai berpikir.
“Hubungan kamu
kali ini benar-benar spesial dan aku nggak mau kamu melakukan kesalahan.” Sigra
melanjutkan untuk menjelaskan
kekhawatirannya.
“Aku…” Endra
menjadi bingung harus berkata apa.
Hubungan dia dengan Wafa benar-benar spesial seperti yang dikatakan Sigra. Tapi
dimana letak kesalahannya?
“Kalau Wafa
benar-benar cinta sama kamu, dia nggak akan mau sekedar pacaran sama kamu.”
Sigra berhenti sebentar
sebelum melanjutkan. “Dia nggak seperti
istri-istri kamu yang lain, dia punya uang dan kedudukan…. Yang pasti dia nggak
akan mau jadi istri simpanan.”
Kata-kata Sigra
membuat Endra resah. Sedikit rasa takut mulai muncul di hatinya. Namun dia
terlalu bahagia untuk berpikir negatif. “Kita liat aja nanti.”
“Maaf, aku cuma mau kamu buat hati-hati. Inget pengalaman
kamu sama Ofisa. Saat perempuan sudah punya uang sendiri, dia pasti
menginginkan hal lain dari laki-lakinya.” Sigra berdiri dan meninggalkan Endra
yang gelisah.
Sementara
itu, Wafa juga mengalami hari yang
tidak cukup baik. Hari itu Wafa pergi ke rumah Kesara untuk mengantarkan gaun
malam yang dipesan Kesara. Pembantu Kesara yang membukakan pintu dan
mempersilahkan Wafa masuk. Pembantunya mengatakan bahwa Kesara sedang menerima
tamu dan akan memberitahukan kedatangan Wafa pada Kesara.
Karena Wafa sudah
biasa berkunjung ke rumah Kesara, Wafa pun masuk ke ruang tengah. Disana dia
melihat Kesara sedang berbicara dengan dua orang perempuan. Keduanya terlihat
masih sangat muda dan dari raut wajahnya, terlihat dua perempuan itu sedang
kesal.
“Pokoknya aku mau
cerai sama kakak kamu.” Seorang perempuan berteriak marah hingga terdengar oleh
Wafa.
“Aku juga.”
Seorang perempuan lagi juga berteriak.
“Itu hak kalian,
tapi kalian harusnya bicara langsung sama Mas Endra, bukan sama aku.” Kali ini
terdengar suara Kesara. Jantung Wafapun berdetak lebih kencang saat mendengar
nama Endra disebut. Berarti kedua
perempuan tersebut adalah istri-istri siri Endra.
“Mas Endranya nggak
mau nemuin kita… Ada aja alasannya.” Istri Endra yang terlihat masih sangat
muda berbicara dengan nada tinggi.
Kesara melihat
pembantunya yang berdiri mematung di dekat pintu. “Ada apa mbak?”
“Eh itu… ada Mbak
Wafa.. nganterin baju.” Pembantunya berbicara sedikit terbata karena takut
mengganggu.
Kesara terkejut karena bisa ada masalah baru jika Wafa tahu
bahwa disini ada dua orang istri Endra. “Oh.. suruh tunggu aja, tolong bikinin minum ya.” Kesara memberi perintah
pada pembantunya yang hanya menggangguk dan segera pergi.
“Ya udahlah… kita
pergi aja sekarang. Kamu bilangin yang tadi kita minta sama Mas kamu itu.”
Istri Endra yang terlihat lebih tua mengambil tasnya dan pergi meninggalkan
Kesara diikuti oleh istri Endra yang muda.
Kesara menarik
nafas dan pergi menemui Wafa.
“Tadi itu
istri-istri Endra?” Wafa langsung bertanya begitu melihat Kesara.
“Kamu denger?”
Kesara langsung merasa tidak enak hati.
“Mereka teriak
begitu, masa aku nggak denger.”
Kesara mendekat
dan duduk di dekat Wafa. “Iya. Seperti yang kamu denger, mereka minta cerai.”
“Emang kenapa?”
“Sejak Mas Endra
sama kamu, Mas Endra nggak pernah nemuin mereka lagi. Mereka protes, Mas Endra nggak
peduliin mereka lagi. Gitu
deh.” Kesara merasa tidak nyaman dan tidak suka dengan keadaan seperti ini.
Wafa senang
mendengar cerita Kesara karena hal itu menunjukkan bahwa rencananya hampir berhasil. Tetapi dia juga
merasa tidak enak pada istri-istri Endra. Mereka tidak berhak mendapatkan
perlakuan seperti ini dari Endra.
Wafa tidak mau
membahas ini lebih lanjut dengan
Kesara yang juga terlihat tidak nyaman, akhirnya dia membicarakan gaun yang
dipesan oleh Kesara dan segera pulang dengan alasan banyak kerjaan.
***
Saat malam sudah begitu gelap, Endra kembali berpikir tentang
Wafa. Sebenarnya tadi pagi Wafa sudah mengatakan jika Endra tidak
perlu datang karena Wafa tau Endra begitu sibuk dan Wafa pun sibuk. Namun, perkataan Sigra tadi pagi begitu mengganggu pikirannya.
Dia harus bertemu Wafa walaupun sudah terlalu malam untuk berkunjung.
Jam menunjukkan
pukul satu malam. Endra menekan bel dan menunggu Wafa membukakan pintu. Endra
berharap Wafa belum tidur.
Wafa terkejut
mendengar suara bel. Dia belum tidur karena pekerjaannya cukup banyak dan pikirannya juga terganggu oleh
bayangan istri-istri Endra. Wafa melangkah ke pintu dan melihat dari lubang.
Ada Endra di luar.
Wafa membuka
pintu dan menyambut Endra dengan perasaan yang sedikit tidak enak. “Hei.. kok
malem-malem kesini?” Walaupun Endra sering datang malam, tapi ini
terlalu malam. Selain itu, raut muka Endra terlihat muram.
“Aku mau ketemu
kamu.” Endra menatap Wafa dalam-dalam. Walaupun terlihat sekali
kelelahan pada wajah Wafa, perempuan ini benar-benar cantik dan selalu bisa membuat hati Endra begitu bahagia
setiap kali melihatnya. Kegalauan melanda hati Endra, dia tidak yakin dengan apa yang akan dia
lakukan.
Wafa yang masih terkejut dengan kedatangan Endra berdiri
mematung tanpa kata. Ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul.
“Aku pulang ya.”
Tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Endra yang begitu ragu untuk
melanjutkan rencananya semula.
Wafa heran melihat kelakuan Endra. Memang, Endra memang pernah melakukan ini sebelumnya. Dia
datang tengah malam hanya untuk bertemu sebentar dan kemudian pulang. Tapi
waktu itu Endra memang telah berjanji untuk datang. Kali ini, dia tiba-tiba
datang tanpa pemberitahuan dan terlihat kebingungan di matanya. Hati Wafa merasa tidak enak dan
jantungnya mulai berdetak lebih kencang.
“Masuk dulu
yuk.” Wafa mengajak Endra
masuk karena ingin tahu ada apa sebenarnya.
Suasana hati
Endra sedikit berubah saat Wafa mengajaknya masuk. Tiba-tiba dia ingin menggoda Wafa. Mood Endra memang selalu naik turun
semenjak bertemu dengan Wafa. “Kayaknya ada yang mau macem-macem nih.”
“Endra apaan sih.
Kamu masuk dulu, istirahat bentar, baru nanti pulang.” Wajah Wafa berubah
menjadi cemberut, tetapi tetap terlihat kekhawatirannya. “Kamu keliatan capek
banget, kalo nyupir bahaya.”
Wafa menarik
tangan Endra yang mengikutinya masuk. Wafa meminta Endra untuk duduk di sofa. “Aku bikinin kopi ya biar kamu nggak ngantuk di jalan.”
Endra hanya
mengangguk. Dia memang sangat lelah sekali hari ini. Tetapi dia tetap harus
bertemu Wafa seberapapun lelahnya ia agar kegelisahan dalam hatinya bisa
hilang. Terbukti bahwa hanya dengan melihat wajah cantik Wafa, Endra
mulai merasa lebih nyaman. Dengan kegelisahan yang berangsur menghilang, Endra
mulai merasa kantuk dan akhirnya tertidur.
Wafa selesai
membuat kopi dan membawanya ke ruang tengah. Langkahnya terhenti saat
dilihatnya Endra telah tertidur di sofa. Wafa mendekat dan meletakkan cangkir kopinya di meja. Diperhatikannya
wajah Endra. Sebenarnya, Wafa
ingin sekali menyentuh wajah
Endra, tetapi dia tidak mau membangunkan Endra yang terlihat begitu lelah.
Wafa memutuskan
untuk melanjutkan pekerjaannya. Sesaat kemudian dia merasa begitu lelah dan ingin
beristirahat, tapi ada Endra
di rumahnya. Dilihatnya Endra tidur dengan lelap. Tidak mungkin dia membangunkan Endra dan
menyuruhnya pulang. Akhirnya Wafa memutuskan untuk membiarkan Endra tidur. Lagipula Endra kan suaminya,
tidak ada salahnya jika dia tidur disini, di rumah istrinya sendiri. Wafa
mengunci pintu apartemen, kemudian mengambil selimut. Diselimutinya Endra dengan sangat hati-hati.
Setelah memandangi Endra sebentar, Wafa pun masuk kamar dan tidur.
Saat subuh, Endra
dibangunkan oleh suara perempuan mengaji. Dirumahnya tidak ada perempuan, semua
pembantunya laki-laki dan mereka tidak suka mengaji. Dia pun teringat bahwa tadi dia baru saja menemui
Wafa. Endra langsung bangun
dan duduk. Dilihatnya sekeliling ruangan, secangkir kopi di meja, dan selimut
yang terjatuh. Dilihatnya jam dan dia tidak mempercayai matanya. Dia tertidur
sampai pagi di rumah Wafa. Berarti perempuan yang sedang mengaji itu… Wafa?
Suara Wafa
terdengar indah sekali, hati Endra pun
tergetar mendengarnya. Endra berdiri
dan melangkahkan kaki ke tempat suara mengaji itu. Kamarnya tertutup. Seketika
Endra menjadi resah kembali. Semuanya menjadi aneh baginya. Sandra benar bahwa
Wafa adalah perempuan alim, tapi Sigra juga benar. Jika Wafa memang alim,
mengapa Wafa mau berhubungan dengan dirinya?
Endra tidak
bisa berhenti berpikir. Ia kemudian melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia mau berwudhu. Mendengar Wafa
mengaji dan kegalauan yang melandanya membuat ia ingin menyembah Tuhannya untuk
mendapatkan ketenangan. Endra
berwudhu dengan perlahan, prasangka dan pertanyaan masih memenuhi otaknya. Selesai berwudhu, Endra keluar dari kamar mandi dengan langkah
pelan.
Wafa yang baru saja selesai mengaji keluar kamar untuk
melihat keadaan Endra. Saat melihat wajah Endra yang basah saat keluar dari
kamar mandi, Wafa bertanya, “Mau
sholat ya?”
“Eh .. iya.” Endra
menjadi gugup saat melihat Wafa.
“Di kamar sana
aja kayak biasa.” Wafa
menunjuk sebuah kamar yang biasa digunakan Endra untuk beribadah saat
berkunjung ke apartemen Wafa.
“Bentar ya aku ambilin sajadah soalnya kemaren habis dicuci.” Wafa kembali bersama sajadah dan
memberikannya kepada Endra yang menerimanya dan segera memasuki kamar yang
ditunjuk.
Selesai sholat,
Endra keluar kamar. Dilihatnya Wafa sedang sibuk di dapur. Endra pun mendekat.
“Maaf ya aku ketiduran.” Endra malu sekali. Baru kali ini ia tertidur dirumah
perempuan.
“Nggak papa kok.”
Wafa menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Tadi malem kamu tidurnya pules banget,
aku nggak tega banguninnya.”
Endra tersenyum tipis.
“Kamu mau sarapan apa? Aku buat krim sup sama
French toast. Mau?” Wafa menawarkan.
“Udah numpang tidur,
dapet sarapan gratis lagi.” Endra melihat jamnya. “Emang nggak kepagian sarapan
jam segini?”
“Kamu kan harus
pulang buat ganti baju sebelum ke kantor. Ya aku masak aja sekarang biar kamu
sarapan dulu.” Wafa terus sibuk dengan masakannya.
Endra menatap
perempuan dihadapannya. Ia ingin sekali memeluk Wafa, tetapi setelah mendengar
Wafa mengaji, dia merasa tidak nyaman dengan semua ini. Kali ini dia merasa
begitu berdosa. Walaupun mereka tidak pernah tidur bersama, dia merasa telah menodai wanita yang suci dengan apa yang dilakukannya selama ini pada Wafa. Tapi apa
benar dia itu suci? Jika benar Wafa masih suci, mengapa dia mau dipeluk dan
dicium?
“Kok malah
berdiri bengong gitu sih? Kamu mau minum apa?” Wafa menarik salah satu kursi di
meja makan. “Duduk sini.” Kemudian Wafa kembali memasak.
“Iya.” Cuma itu
yang bisa diucapkan Endra. Dia masih merasa sangat tidak enak, resah,
dan gelisah.
“Cobain deh..”
Wafa menyodorkan sendok berisi krim sup yang dibuatnya.
Endra mengambil
sendok dan merasakan supnya.
“Kurang apa?”
Wafa memperhatikan wajah Endra untuk melihat reaksinya.
“Nggak kurang
apa-apa. Enak.” Endra tersenyum.
Wafa mematikan
kompornya dan mulai menyajikan makanan. “Kamu kalo pagi minum susu nggak?”
“Kadang-kadang
aja. Aku biasanya minum kopi.” Endra menjelaskan.
“Kalau pagi
jangan langsung minum kopi sebelum makan. Nggak bagus buat lambung.” Wafa
meletakkan gelas minum berisi air putih dan duduk dihadapan Endra.
Endra tersenyum,
dalam hatinya dia yakin bahwa jika Wafa menikah, ia akan menjadi istri yang
baik. Namun, hatinya menjadi sesak saat memikirkan tentang Wafa sebagai istri.
Endra merasa begitu bersalah telah menjerumuskan Wafa ke dalam hidupnya yang
tidak karuan. Wafa berhak mendapat perlakuan yang lebih baik. Wafa tidak layak
menjadi wanita simpanan.
“Kok bengong lagi
sih? Mikirin apa?” Wafa menatap dalam-dalam lelaki yang terlihat begitu gelisah
sejak tadi malam. “Mikirin istri
kamu yang lagi nungguin kamu ya?” Wafa kembali teringat istri-istri Endra yang
dilihatnya di rumah Kesara. Hatinya mendadak terasa sakit.
Endra tersentak.
“Enggak.. enggak kok.” Endra menggelengkan kepalanya. Dia begitu terkejut.
Mengapa Wafa tiba-tiba membicarakan istrinya?. “Aku masih ngantuk aja.” Endra
berkilah dan mengalihkan perhatiannya pada sarapan yang ada di depannya. Galau,
bingung, gelisah, takut, dan berbagai perasaan aneh dirasakannya.
Endra dan Wafa
sarapan tanpa banyak bicara. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Selesai sarapan, Endra langsung pulang. Setelah sekian lama merasakan
kebahagiaan, baru kali ini mereka merasa tidak yakin dengan hubungan yang mereka
jalani.
___________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
___________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar