Jumat, 22 Agustus 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB VI



BAB VI

Endra dan Wafa semakin dekat saja. Hampir setiap hari mereka bertemu jika Endra atau Wafa tidak keluar kota. Kalaupun mereka tidak bisa bertemu, mereka menghabiskan banyak waktu di telfon, video chat, atau video call. Endra merasakan kebahagiaan yang amat sangat dan Wafa pun merasakan hal yang sama. Wafa begitu yakin jika semua rencananya akan berjalan lancar.

Di lain pihak, ada sepupu yang merasakan hal berbeda. Walaupun Sigra merasa senang melihat Endra bahagia, masih ada ganjalan di hatinya.

“Kamu yakin Wafa itu cewek baik-baik?” Sigra akhirnya memberanikan diri menyampaikan kekhawatiannya pada Endra setelah lebih dari enam bulan sepupunya itu tidak bisa lepas dari Wafa.

“Kamu kayaknya nggak suka banget aku sama Wafa.” Endra menjawab sekadarnya dan meneruskan memeriksa laporan keuangan perusahaan.

Sigra tahu bahwa tidak mudah meyakinkan Endra, tapi dia akan merasa bersalah jika tidak melakukan apapun. “Bukan nggak suka, cuma semua ini tuh aneh banget.”

“Aneh dimananya?” Endra berhenti memeriksa berkas yang ada di tangannya. Matanya menatap sepupunya yang terlihat tidak nyaman.

“Gimana ya ngomongnya… Ehm…kata Sandra, Wafa itu cewek alim.” Sigra berkata pelan dan berusaha tidak terdengar menghakimi.

“Kapan kamu ketemu Sandra?” Mendengar Sigra menyebutkan nama Sandra, Endra menjadi curiga. Sepertinya ada yang tidak beres jika Sigra bertemu Sandra untuk membicarakan hubungannya dengan Wafa.

“Dulu… udahlah itu nggak penting, yang penting sekarang itu kamu sama Wafa.” Sigra berusaha mengembalikan topik pembicaraan.

“Oke.. trus?”

“Kalau memang dia cewek alim, kenapa dia mau berhubungan sama kamu?” Sigra mengangkat kedua tangannya.

Endra tidak menjawab. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Sigra. Endra tahu benar bahwa sepupunya itu tidak pernah menjelek-jelekkan orang tanpa bukti yang jelas. Jika Sigra berusaha untuk menjelekkan Wafa, mungkin Sigra mengetahui sesuatu tentang Wafa yang tidak diketahuinya.

Sigra melanjutkan analisisnya. “Kalau memang dia cewek alim, dia harusnya tau kalau mengganggu suami orang itu dosa.” Sigra berhenti untuk melihat reaksi Endra. Saat Endra tidak bereaksi, Sigra melanjutkan. “Beberapa kali aku ketemu kamu sama dia, aku liat dia nggak keberatan kamu peluk, bahkan kamu cium.” Sigra menarik nafas. “Cewek alim nggak akan begitu.”

“Jadi maksud kamu dia cewek nakal yang pura-pura jadi alim?” Nada bicara Endra meningkat. “Yang dimaksud alim sama Sandra itu rajin sholat.” Endra menatap tajam mata Sigra. “Jaman sekarang banyak cewek rajin sholat yang senang banget ciuman. Lagian aku cuma cium pipi dia, nggak pernah lebih dari itu.

Sigra sedikit kebingungan dengan apa yang akan dikatakannya. Terlihat jelas jika Endra begitu membela Wafa, tapi dia juga takut jika Endra menyesal nantinya. “Pokoknya ada yang terasa ganjil sama Wafa itu.”

“Kamu nggak suka aku seneng?” Wajah Endra mulai memerah.

“Bukan gitu, justru aku takut kalau ternyata ini semua berakhir dengan cara yang nggak baik. Jangan salah sangka.” Sigra berusaha keras menenangkan sepupunya.

“Kamu yang bikin aku salah sangka.” Endra masih terdengar begitu emosi.

“Aku cuma khawatir sama kamu.” Sigra berusaha memperbaiki posisi duduknya yang terasa tidak nyaman, walaupun ketidaknyamanan itu sebenarnya disebabkan oleh hatinya.

“Aku udah gede, nggak perlu kamu kuatirin.” Endra kembali lagi pada berkasnya. Dia merasa tidak perlu lagi memperhatikan sepupunya.

“Kamu udah tau latar belakangnya?” Sigra bukan orang yang mudah menyerah. Dia tetap berusaha membuat Endra berpikir.

“Maksudnya?”

“Siapa keluarganya. Orang-orang sekitar dia seperti apa?”

“Aku pacaran sama dia, bukan mau nikahin dia.”

“Justru itu.” Akhirnya Sigra mendapatkan kata yang tepat untuk menarik perhatian Endra.

Kali ini Endra benar-benar penasaran dengan sepupunya. Namun dia tidak mengucapkan sepatah katapun, dia hanya menatap Sigra dengan pancaran keingintahuan yang besar.

“Kamu biasanya nggak pernah pacaran lebih dari satu bulan. Kalau kamu suka, kamu nikahin dan kalau kamu nggak suka, kamu putusin.”

Yang dibicarakan Sigra adalah kenyataan dan hal itu membuat Endra menyadari bahwa ia telah mengalami sesuatu yang berbeda. Dia pun mulai berpikir.

“Hubungan kamu kali ini benar-benar spesial dan aku nggak mau kamu melakukan kesalahan.” Sigra melanjutkan untuk menjelaskan kekhawatirannya.

“Aku…” Endra menjadi bingung harus berkata apa. Hubungan dia dengan Wafa benar-benar spesial seperti yang dikatakan Sigra. Tapi dimana letak kesalahannya?

“Kalau Wafa benar-benar cinta sama kamu, dia nggak akan mau sekedar pacaran sama kamu.” Sigra berhenti sebentar sebelum melanjutkan. “Dia  nggak seperti istri-istri kamu yang lain, dia punya uang dan kedudukan…. Yang pasti dia nggak akan mau jadi istri simpanan.”

Kata-kata Sigra membuat Endra resah. Sedikit rasa takut mulai muncul di hatinya. Namun dia terlalu bahagia untuk berpikir negatif. “Kita liat aja nanti.”

“Maaf, aku cuma mau kamu buat hati-hati. Inget pengalaman kamu sama Ofisa. Saat perempuan sudah punya uang sendiri, dia pasti menginginkan hal lain dari laki-lakinya.” Sigra berdiri dan meninggalkan Endra yang gelisah.

Sementara itu, Wafa juga mengalami hari yang tidak cukup baik. Hari itu Wafa pergi ke rumah Kesara untuk mengantarkan gaun malam yang dipesan Kesara. Pembantu Kesara yang membukakan pintu dan mempersilahkan Wafa masuk. Pembantunya mengatakan bahwa Kesara sedang menerima tamu dan akan memberitahukan kedatangan Wafa pada Kesara.

Karena Wafa sudah biasa berkunjung ke rumah Kesara, Wafa pun masuk ke ruang tengah. Disana dia melihat Kesara sedang berbicara dengan dua orang perempuan. Keduanya terlihat masih sangat muda dan dari raut wajahnya, terlihat dua perempuan itu sedang kesal.

“Pokoknya aku mau cerai sama kakak kamu.” Seorang perempuan berteriak marah hingga terdengar oleh Wafa.

“Aku juga.” Seorang perempuan lagi juga berteriak.

“Itu hak kalian, tapi kalian harusnya bicara langsung sama Mas Endra, bukan sama aku.” Kali ini terdengar suara Kesara. Jantung Wafapun berdetak lebih kencang saat mendengar nama Endra disebut. Berarti kedua perempuan tersebut adalah istri-istri siri Endra.

“Mas Endranya nggak mau nemuin kita… Ada aja alasannya.” Istri Endra yang terlihat masih sangat muda berbicara dengan nada tinggi.

Kesara melihat pembantunya yang berdiri mematung di dekat pintu. “Ada apa mbak?”

“Eh itu… ada Mbak Wafa.. nganterin baju.” Pembantunya berbicara sedikit terbata karena takut mengganggu.

Kesara terkejut karena bisa ada masalah baru jika Wafa tahu bahwa disini ada dua orang istri Endra. “Oh.. suruh tunggu aja, tolong bikinin minum ya.” Kesara memberi perintah pada pembantunya yang hanya menggangguk dan segera pergi.

“Ya udahlah… kita pergi aja sekarang. Kamu bilangin yang tadi kita minta sama Mas kamu itu.” Istri Endra yang terlihat lebih tua mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Kesara diikuti oleh istri Endra yang muda.

Kesara menarik nafas dan pergi menemui Wafa.

“Tadi itu istri-istri Endra?” Wafa langsung bertanya begitu melihat Kesara.

“Kamu denger?” Kesara langsung merasa tidak enak hati.

“Mereka teriak begitu, masa aku nggak denger.”

Kesara mendekat dan duduk di dekat Wafa. “Iya. Seperti yang kamu denger, mereka minta cerai.”

“Emang kenapa?”

“Sejak Mas Endra sama kamu, Mas Endra nggak pernah nemuin mereka lagi. Mereka protes, Mas Endra nggak peduliin mereka lagi. Gitu deh.” Kesara merasa tidak nyaman dan tidak suka dengan keadaan seperti ini.

Wafa senang mendengar cerita Kesara karena hal itu menunjukkan bahwa rencananya hampir berhasil. Tetapi dia juga merasa tidak enak pada istri-istri Endra. Mereka tidak berhak mendapatkan perlakuan seperti ini dari Endra.

Wafa tidak mau membahas ini lebih lanjut dengan Kesara yang juga terlihat tidak nyaman, akhirnya dia membicarakan gaun yang dipesan oleh Kesara dan segera pulang dengan alasan banyak kerjaan.

***

Saat malam sudah begitu gelap, Endra kembali berpikir tentang Wafa. Sebenarnya tadi pagi Wafa sudah mengatakan jika Endra tidak perlu datang karena Wafa tau Endra begitu sibuk dan Wafa pun sibuk. Namun, perkataan Sigra tadi pagi begitu mengganggu pikirannya. Dia harus bertemu Wafa walaupun sudah terlalu malam untuk berkunjung.

Jam menunjukkan pukul satu malam. Endra menekan bel dan menunggu Wafa membukakan pintu. Endra berharap Wafa belum tidur.

Wafa terkejut mendengar suara bel. Dia belum tidur karena pekerjaannya cukup banyak dan pikirannya juga terganggu oleh bayangan istri-istri Endra. Wafa melangkah ke pintu dan melihat dari lubang. Ada Endra di luar.

Wafa membuka pintu dan menyambut Endra dengan perasaan yang sedikit tidak enak. “Hei.. kok malem-malem kesini?” Walaupun Endra sering datang malam, tapi ini terlalu malam. Selain itu, raut muka Endra terlihat muram.  

“Aku mau ketemu kamu.” Endra menatap Wafa dalam-dalam. Walaupun terlihat sekali kelelahan pada wajah Wafa, perempuan ini benar-benar cantik dan selalu bisa membuat hati Endra begitu bahagia setiap kali melihatnya. Kegalauan melanda hati Endra, dia tidak yakin dengan apa yang akan dia lakukan.

Wafa yang masih terkejut dengan kedatangan Endra berdiri mematung tanpa kata. Ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul.

“Aku pulang ya.” Tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Endra yang begitu ragu untuk melanjutkan rencananya semula.

Wafa heran melihat kelakuan Endra. Memang, Endra memang pernah melakukan ini sebelumnya. Dia datang tengah malam hanya untuk bertemu sebentar dan kemudian pulang. Tapi waktu itu Endra memang telah berjanji untuk datang. Kali ini, dia tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan dan terlihat kebingungan di matanya. Hati Wafa merasa tidak enak dan jantungnya mulai berdetak lebih kencang.

“Masuk dulu yuk.” Wafa mengajak Endra masuk karena ingin tahu ada apa sebenarnya.

Suasana hati Endra sedikit berubah saat Wafa mengajaknya masuk. Tiba-tiba dia ingin menggoda Wafa. Mood Endra memang selalu naik turun semenjak bertemu dengan Wafa. “Kayaknya ada yang mau macem-macem nih.”
“Endra apaan sih. Kamu masuk dulu, istirahat bentar, baru nanti pulang.” Wajah Wafa berubah menjadi cemberut, tetapi tetap terlihat kekhawatirannya. “Kamu keliatan capek banget, kalo nyupir bahaya.”

Wafa menarik tangan Endra yang mengikutinya masuk.  Wafa meminta Endra untuk duduk di sofa. “Aku bikinin kopi ya biar kamu nggak ngantuk di jalan.”

Endra hanya mengangguk. Dia memang sangat lelah sekali hari ini. Tetapi dia tetap harus bertemu Wafa seberapapun lelahnya ia agar kegelisahan dalam hatinya bisa hilang. Terbukti bahwa hanya dengan melihat wajah cantik Wafa, Endra mulai merasa lebih nyaman. Dengan kegelisahan yang berangsur menghilang, Endra mulai merasa kantuk dan akhirnya tertidur.

Wafa selesai membuat kopi dan membawanya ke ruang tengah. Langkahnya terhenti saat dilihatnya Endra telah tertidur di sofa. Wafa mendekat dan meletakkan cangkir kopinya di meja. Diperhatikannya wajah Endra. Sebenarnya, Wafa ingin sekali menyentuh wajah Endra, tetapi dia tidak mau membangunkan Endra yang terlihat begitu lelah.

Wafa memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sesaat kemudian dia merasa begitu lelah dan ingin beristirahat, tapi ada Endra di rumahnya. Dilihatnya Endra tidur dengan lelap. Tidak mungkin dia membangunkan Endra dan menyuruhnya pulang. Akhirnya Wafa memutuskan untuk membiarkan Endra tidur. Lagipula Endra kan suaminya, tidak ada salahnya jika dia tidur disini, di rumah istrinya sendiri. Wafa mengunci pintu apartemen, kemudian mengambil selimut. Diselimutinya Endra dengan sangat hati-hati. Setelah memandangi Endra sebentar, Wafa pun masuk kamar dan tidur.

Saat subuh, Endra dibangunkan oleh suara perempuan mengaji. Dirumahnya tidak ada perempuan, semua pembantunya laki-laki dan mereka tidak suka mengaji. Dia pun teringat bahwa tadi dia baru saja menemui Wafa. Endra langsung bangun dan duduk. Dilihatnya sekeliling ruangan, secangkir kopi di meja, dan selimut yang terjatuh. Dilihatnya jam dan dia tidak mempercayai matanya. Dia tertidur sampai pagi di rumah Wafa. Berarti perempuan yang sedang mengaji itu Wafa?

Suara Wafa terdengar indah sekali, hati Endra pun tergetar mendengarnya. Endra berdiri dan melangkahkan kaki ke tempat suara mengaji itu. Kamarnya tertutup. Seketika Endra menjadi resah kembali. Semuanya menjadi aneh baginya. Sandra benar bahwa Wafa adalah perempuan alim, tapi Sigra juga benar. Jika Wafa memang alim, mengapa Wafa mau berhubungan dengan dirinya?

Endra tidak bisa berhenti berpikir. Ia kemudian melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia mau berwudhu. Mendengar Wafa mengaji dan kegalauan yang melandanya membuat ia ingin menyembah Tuhannya untuk mendapatkan ketenangan. Endra berwudhu dengan perlahan, prasangka dan pertanyaan masih memenuhi otaknya. Selesai berwudhu, Endra keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan.

Wafa yang baru saja selesai mengaji keluar kamar untuk melihat keadaan Endra. Saat melihat wajah Endra yang basah saat keluar dari kamar mandi, Wafa bertanya, “Mau sholat ya?”

“Eh .. iya.” Endra menjadi gugup saat melihat Wafa.

“Di kamar sana aja kayak biasa.” Wafa menunjuk sebuah kamar yang biasa digunakan Endra untuk beribadah saat berkunjung ke apartemen Wafa. “Bentar ya aku ambilin sajadah soalnya kemaren habis dicuci.” Wafa kembali bersama sajadah dan memberikannya kepada Endra yang menerimanya dan segera memasuki kamar yang ditunjuk.

Selesai sholat, Endra keluar kamar. Dilihatnya Wafa sedang sibuk di dapur. Endra pun mendekat. “Maaf ya aku ketiduran.” Endra malu sekali. Baru kali ini ia tertidur dirumah perempuan.

“Nggak papa kok.” Wafa menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Tadi malem kamu tidurnya pules banget, aku nggak tega banguninnya.”

Endra tersenyum tipis.

 “Kamu mau sarapan apa? Aku buat krim sup sama French toast. Mau?” Wafa menawarkan.

“Udah numpang tidur, dapet sarapan gratis lagi.” Endra melihat jamnya. “Emang nggak kepagian sarapan jam segini?”

“Kamu kan harus pulang buat ganti baju sebelum ke kantor. Ya aku masak aja sekarang biar kamu sarapan dulu.” Wafa terus sibuk dengan masakannya.

Endra menatap perempuan dihadapannya. Ia ingin sekali memeluk Wafa, tetapi setelah mendengar Wafa mengaji, dia merasa tidak nyaman dengan semua ini. Kali ini dia merasa begitu berdosa. Walaupun mereka tidak pernah tidur bersama, dia merasa telah menodai wanita yang suci dengan apa yang dilakukannya selama ini pada Wafa. Tapi apa benar dia itu suci? Jika benar Wafa masih suci, mengapa dia mau dipeluk dan dicium?

“Kok malah berdiri bengong gitu sih? Kamu mau minum apa?” Wafa menarik salah satu kursi di meja makan. “Duduk sini.” Kemudian Wafa kembali memasak.

“Iya.” Cuma itu yang bisa diucapkan Endra. Dia masih merasa sangat tidak enak, resah, dan gelisah.

“Cobain deh..” Wafa menyodorkan sendok berisi krim sup yang dibuatnya.

Endra mengambil sendok dan merasakan supnya.

“Kurang apa?” Wafa memperhatikan wajah Endra untuk melihat reaksinya.

“Nggak kurang apa-apa. Enak.” Endra tersenyum.

Wafa mematikan kompornya dan mulai menyajikan makanan. “Kamu kalo pagi minum susu nggak?”

“Kadang-kadang aja. Aku biasanya minum kopi.” Endra menjelaskan.

“Kalau pagi jangan langsung minum kopi sebelum makan. Nggak bagus buat lambung.” Wafa meletakkan gelas minum berisi air putih dan duduk dihadapan Endra.

Endra tersenyum, dalam hatinya dia yakin bahwa jika Wafa menikah, ia akan menjadi istri yang baik. Namun, hatinya menjadi sesak saat memikirkan tentang Wafa sebagai istri. Endra merasa begitu bersalah telah menjerumuskan Wafa ke dalam hidupnya yang tidak karuan. Wafa berhak mendapat perlakuan yang lebih baik. Wafa tidak layak menjadi wanita simpanan.

“Kok bengong lagi sih? Mikirin apa?” Wafa menatap dalam-dalam lelaki yang terlihat begitu gelisah sejak tadi malam. “Mikirin istri kamu yang lagi nungguin kamu ya?” Wafa kembali teringat istri-istri Endra yang dilihatnya di rumah Kesara. Hatinya mendadak terasa sakit.

Endra tersentak. “Enggak.. enggak kok.” Endra menggelengkan kepalanya. Dia begitu terkejut. Mengapa Wafa tiba-tiba membicarakan istrinya?. “Aku masih ngantuk aja.” Endra berkilah dan mengalihkan perhatiannya pada sarapan yang ada di depannya. Galau, bingung, gelisah, takut, dan berbagai perasaan aneh dirasakannya.

Endra dan Wafa sarapan tanpa banyak bicara. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Selesai sarapan, Endra langsung pulang. Setelah sekian lama merasakan kebahagiaan, baru kali ini mereka merasa tidak yakin dengan hubungan yang mereka jalani.

___________________________________________________
 Prolog                << Bab Sebelumnya        Bab Selanjutnya >>                


 Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar