Bab II
Endra tidak bisa
melupakan bayangan Wafa. Perempuan itu sangat cantik. Bajunya yang begitu ketat
itu memperlihatkan bentuk tubuh yang luar biasa. Walaupun tidak sesuai dengan
gaya kikuknya yang membuatnya terlihat seperti anak udik yang baru datang ke kota.
Sebenarnya, kalau
masalah fisik, masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dan seksi. Namun, ada
satu hal yang membuat Endra tidak bisa menghilangkan Wafa dari pikirannya. Mata
Wafa. Kedua matanya membuat Endra hilang kendali. Mata itu sangat mirip dengan
seseorang yang tidak pernah meninggalkan hatinya.
Semua masalahnya
dengan Ofisa yang menjadi pembicaraan se-nusantara hilang dari pikirannya.
Tergantikan oleh bayangan perempuan bernama Wafa. Entah apa yang terjadi pada
dirinya. Belum ada seorangpun yang mampu membayangi pikirannya seperti ini
setelah….. Misha.
“Gila kamu..
belum juga masalah sama Ofisa selesai, kamu udah punya sasaran baru?” Sigra
tidak percaya dengan sepupunya itu yang selalu mendatangi kantornya jika ada
sasaran baru. Kedua saudara sepupu ini memang sangat dekat, terlebih lagi Sigra
saat ini bergabung dengan perusahaan yang dipimpin Endra.
“Aku nggak tahu
kenapa, tapi perempuan ini tuh … gimana ya?.” Endra memutar kursi yang
didudukinya.
“Kamu kan cuma
ketemu dia sebentar. Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia selain namanya kan?”
“Justru itu. Aku
mau tau lebih banyak tentang dia.”
“Sudahlah.. stop
bermain-main dengan wanita. Nanti kamu kena karmanya.” Dari balik meja, Sigra berusaha untuk
merubah rencana Endra.
“Aku nggak
main-main. Aku serius dengan mereka. Aku nikahin mereka kan?” Endra menegakkan
tubuhnya.
“Kamu nikahin
mereka cuma buat penuhin nafsu kamu.”
“Kasar banget sih
ngomongnya.”
“Bener kan.
Setelah kamu hilang nafsu sama mereka, kamu buang mereka.”
“Merekanya aja
nggak keberatan, kok jadi
kamu yang nyolot.” Wajah Endra berubah menjadi cemberut. Disaat seperti
ini, yang dia butuhkan adalah dukungan, bukannya sindiran.
“Seyakin itu kamu
kalau mereka nggak keberatan?”
“Mereka sudah
tahu sejak awal kalau aku tidak jatuh cinta sama mereka. Aku butuh mereka untuk
memenuhi kebutuhan biologis aku dan mereka butuh uang aku.” Endra menyandarkan
tubuhnya untuk lebih rileks.
“Weekkk.” Sigra
merasa jijik mendengar perkataan Endra. Kalau saja bukan sepupu, mungkin Sigra
sudah melempar Endra dengan buku tebal dihadapannya.
“Itu kenyataan.
Hubungan kita adalah hubungan yang saling menguntungkan.”
“Tapi itu sama
aja dengan mempermainkan hubungan pernikahan yang seharusnya sakral.”
“Tapi kan nggak
dosa. Aku nikahin mereka bukan cuma buat tidurin mereka. Aku meningkatkan taraf
hidup mereka”.
“Kamu itu udah
punya istri yang sah.”
“Poligami itu
nggak dilarang dan perceraian juga tidak dilarang.”
“Iya.. tapi semua
itu ada aturannya.”
“Udahlah.. yang
penting sekarang ada Wafa.” Endra tersenyum penuh arti.
“Emang dia
keliatan butuh uang?”
“Enggak sih.”
Keceriaan di wajah Endra tiba-tiba menghilang mendengar pertanyaan Sigra.
“Trus? Gimana
bisa hubungan ini saling menguntungkan?” Sigra memajukan tubuhnya sedikit ke
depan untuk melihat seperti apa reaksi Endra.
“Ehmm…” Endra
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu kan udah
punya pengalaman sama Ofisa. Jangan jatuh pada lubang yang sama.”
“Tapi ini beda.
Wafa itu beda Gra. Dia itu … special.”
Endra sudah
terpikat dengan gadis itu pada pandangan pertama. Tidak ada yang bisa mengubah
pikirannya. Kini saatnya beraksi. Ia pun pergi meninggalkan Sigra yang hanya
bisa menggelengkan kepala.
***
Endra tahu bahwa
cara tercepat untuk tahu lebih mendalam tentang Wafa dan untuk bertemu
dengannya adalah melalui adiknya. Tetapi dia tahu dengan pasti bahwa adiknya
akan bereaksi sama dengan Sigra. Bahkan adiknya akan lebih parah lagi. Kesara
sangat membenci kelakuannya yang senang menikah kontrak dengan wanita-wanita.
Kesara lebih marah karena tidak pernah dikenalkan dengan kakak ipar sahnya.
Yang Endra tahu
tentang Wafa hanyalah bahwa Wafa adalah desainer. Tetapi dia mengenal banyak
desainer dan tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sandra… ya.. Sandra
pasti mau membantunya dia kan juga seorang desainer. Hubungannya memang pernah
retak dengan Sandra setelah mereka putus dan Endra menikah. Tetapi, sekarang
mereka telah menjadi teman baik. Endra pun segera pergi ke butik Sandra.
“Wafa?” Sandra
menegaskan nama yang ditanyakan oleh Endra.
“Iya, kata Sara
dia itu desainer.”
“”Sebentar…”
Sandra mengeluarkan smartphonenya dan menggerakkan jarinya. Kemudian dia
menunjukkan wajah seorang gadis yang berfoto bersamanya. “Ini bukan?”
“Iya bener.. ini
orangnya. Kamu kenal?” Endra begitu bersemangat saat melihat foto Wafa.
“Dia temen kuliah
ade aku.”
“Bagus… berarti
nggak salah aku kesini.” Endra tersenyum dan semangatnya semakin
membumbung tinggi.
“Dia emang
desainer baru. Butiknya baru aja buka sekitar setengah tahun.”
“Kamu tahu
alamatnya kan?” Endra mengangkat kedua alisnya.
“Kamu ada urusan
apa sama Wafa?” Sandra merasa ada yang tidak beres pada mantan pacarnya itu.
Endra tersenyum
simpul. “Dia single?”
“Kamu jangan
macem-macem. Dia itu orangnya baik banget. Dia rajin ibadah. Jangan kamu
kotorin dia.” Sandra langsung bereaksi keras. Dia tahu pasti apa yang
ada di otak Endra sehingga khawatir jika Endra akan menyakiti teman baik
adiknya itu.
“Dia single.”
Endra tersenyum lebar.
“Dra tolonglah.” Sandra memohon.
“Dra alamatnya.”
Endra menengadahkan tangannya.
Sandra tahu bahwa
walaupun dia tidak memberikan alamat Wafa, Endra akan mendapatkannya dari
tempat lain.
“Tolong jangan
apa-apain dia. Wafa itu orang baik.” Sandra berusaha mengubah jalan pikiran
Endra walaupun dia tahu bahwa usahanya akan sia-sia. Saat Endra mendapatkan
target, dia akan sangat bersemangat dan tidak akan berhenti sebelum
berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.
Namun, Sandra melihat pancaran mata yang sedikit berbeda
dari Endra. Selain itu, Wafa
bukanlah seperti wanita-wanita matre yang selama ini menjadi sasaran Endra.
Wafa tidak akan mudah dibujuk dengan uang. Sandra berharap mudah-mudahan kali
ini berbeda. Yang paling mengkhawatirkan adalah jika Wafa tidak kuat menahan kharisma
Endra.
***
Setelah mendapatkan alamat Wafa, Endra segera meninggalkan
butik milik Sandra. Ia tidak peduli dengan permintaan Sandra untuk tidak
mengganggu Wafa. Terserah apa kata orang. Endra memang telah memantapkan tujuannya, walaupun dia merasa bahwa kali ini
mungkin agak sedikit sulit untuk mendapatkan Wafa.
Menurut cerita
Sandra, Wafa bukan perempuan materialistis. Biasanya Endra akan menjauhi tipe
wanita seperti Wafa yang hanya akan menghabiskan waktunya saat mengejar mereka.
Endra lebih suka dengan wanita meterialistis yang bisa diatur dengan mudah.
Tetapi, daya tarik perempuan ini begitu berbeda. Endra tidak pernah merasakan
hal ini sebelumnya. Ini menjadi tantangan tersendiri.
Endra sampai di
depan butik Wafa. Sandra tidak mau memberikan alamat rumah Wafa sehingga Endra
tidak punya pilihan selain mengunjungi butik Wafa.
“Selamat datang.”
Penjaga butik menyambut kedatangan Endra dengan ramah.
Butiknya terlihat
cantik, rapi, dan elegan. Tidak ada kesan mewah pada butik yang berukuran
sedang ini. Interiornya sederhana dengan warna putih sebagai dasarnya. Lukisan
wajah Wafa tergantung di dinding. Koleksi bajunya terlihat sederhana dan elegan
dengan potongan yang lebih kasual untuk digunakan sehari-hari.
Endra melihat
sekeliling dan tidak mendapati Wafa di ruangan itu. Kemudian dia mendekati
salah satu rak untuk melihat koleksi rancangan Wafa lebih dekat sambil
memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Di luar butik,
Wafa sedang kesulitan dengan barang bawaannya. Beberapa contoh bahan dan buku
gambar memenuhi tangannya. Belum lagi dia harus membawa tas sehingga kunci
mobil hampir terjatuh dari tangannya. Beruntung ada karyawannya yang segera
membukakan pintu butik sehingga dia bisa masuk dengan mudah. Tetapi
keberuntungannya terhenti saat melihat lelaki yang berdiri di depan salah satu rak.
Kaget dengan apa
yang dilihatnya, dia melepaskan semua barang yang dipegangnya sehingga berjatuhan
ke lantai. Wafa menjadi sangat gugup dan kebingungan. Karyawannya mendekat
untuk membantunya.
Mendengar suara yang gaduh membuat Endra menengok ke
belakang. Senyum merekah di wajahnya. Dia mendekat dan berusaha membantu
mengambil barang-barang yang terjatuh.
“Hai”. Endra
berdiri tepat di depan Wafa yang memerah mukanya.
“Eh kamu kok
disini. Disuruh tante Felize ambil bajunya?” Wafa yang terkejut berusaha
berbicara setenang mungkin walaupun sangat sulit.
“Nggak. Aku
kesini untuk ketemu kamu.” Endra tidak suka basa basi.
“Memang ada apa?”
“Sepertinya nggak
mungkin bicara di sini. Kamu udah makan?”
“Udah” Oops, Wafa
menyesali kata yang terucap. Seharusnya dia berbohong agar bisa makan berdua
dengan Endra.
“Oke. Gimana
kalau minum kopi?”
Kali ini Wafa tidak
boleh menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengangguk.
Setelah
membereskan barang-barang dan memberikan sedikit instruksi pada karyawannya,
Wafa pergi dengan Endra.
Mereka duduk di
sudut coffee shop agar bisa berbicara dengan lebih leluasa.
“Kamu mau minum
apa?”
“Expresso.”
“Apa?”
“Ada yang aneh
dengan expresso?”
“Nggak.. cuma
nggak biasa aja denger perempuan minum expresso.” Endra tersenyum simpul. “Mbak…
expressonya dua.”
Endra menatap
mata Wafa dalam-dalam sebelum melancarkan serangannya sementara Wafa berusaha
keras untuk tetap duduk tegak dan tenang.
“Aku nggak suka
basa-basi.” Endra berhenti sejenak dan melanjutkan. “Aku suka sama kamu.”
Kata-kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Endra.
Wafa merasa
seperti bermimpi. Tetapi lelaki yang ada dihadapannya ini nyata. Termasuk
kata-kata yang didengarnya.
Kopi mereka tiba
dan semakin meyakinkan Wafa bahwa dia tidak bermimpi.
“Mungkin kamu
anggap aku gila, tapi aku benar-benar tertarik sama kamu.” Endra langsung
melancarkan serangannya.
“Apa yang buat kamu
tertarik?”
“Entahlah,
bayang-bayang kamu selalu mengganggu aku.”
“Tapi kita cuma
ketemu sebentar. Nggak mungkin kamu langsung tertarik sama aku.”
“Love in first
sight?” Endra tidak percaya dia mengucapkan kata-kata itu. Seluruh nusantara
juga tahu bahwa dia mengganggap cinta tidak pernah ada.
“Kamu mau aku
percaya kalau kamu bisa jatuh cinta? Ayolah… aku tau banget track record kamu.”
Endra benar-benar
menyesal telah bermain-main dengan model itu. Kalau saja dia tetap bermain
aman, tentunya dia tidak akan pernah masuk infotaiment yang saat ini
menelanjanginya.
“Ini masalah
perasaan. Nggak ada yang logis tentang hati.” Endra tidak akan menyerah kali
ini.
“Yang pake hati
itu perempuan. Laki-laki pake otak”
“Laki-laki juga
punya hati sayang… Untuk masalah hati, terkadang lelaki lebih lebay dari
perempuan.”
“Terus mau kamu
apa?”
“Kamu pacaran
sama aku.” Endra memajukan sedikit tubuhnya dan meletakkan tangan di atas meja.
“Dengan skandal
kamu itu, kamu yakin aku mau terima kamu?” Wafa yang merasa diserang menarik
punggungnya hingga menyentuh kursi.
“Kenapa nggak?”
“Kenapa iya?”
“Ayolahh.. kamu
juga tertarik sama aku. Mata kamu nggak bisa bohong.” Endra menembakkan
kata-kata yang mematikan dan memberikan senyum yang tidak pernah gagal untuk
memikat wanita sebelumnya.
Tembakan itu
tepat mengenai jantung Wafa. Lelaki ini memang luar biasa gila. Sejak
pertama kali bertemu sampai detik ini, dia tidak pernah berubah. Endra selalu
menjadi lelaki yang percaya diri dan memiliki kemampuan membaca pikirannya. Wafa
tidak pernah berhasil untuk mengalahkan Endra sekalipun dalam perdebatan. Kepalanya berputar untuk mencari
kata-kata yang tepat.
“Aku nggak minta
kamu untuk nikah sama aku. Kita jalan aja. Have fun.” Kali ini nada bicara Endra begitu santai dan tenang.
Dia begitu yakin bahwa dia akan menang kali ini.
Kata-kata Endra membuat Wafa tertegun. Kali ini Endra tidak
memintanya untuk menikah. Kali ini Endra hanya membutuhkannya untuk
bersenang-senang. Tidak seperti pernikahannya yang masih tersisa empat tahun
lagi, tidak ada batas waktu sampai kapan Endra ingin berpacaran dengannya. Bisa
saja Endra bosan dalam waktu satu tahun, satu bulan, atau bahkan satu hari.
“Aku nggak yakin
ini akan berhasil.” Wafa menggeleng.
“Aku kasih kamu
waktu tiga hari.”
Endra meminta untuk berpacaran, tentunya waktu yang
diberikan untuk berpikir jauh lebih singkat dari saat dia meminta untuk
menikah. Entah mengapa Wafa merasa hatinya sakit. Tapi, dia tidak boleh
melewatkan kesempatan ini. Dia yang telah memulai. Lagipula rasa sakit hatinya
setelah mengetahui perilaku suaminya belum hilang.
***
Sepulang dari
coffee shop, Wafa tidak sabar untuk segera menelpon Kesara dan memberitahukan
yang terjadi.
“Dia bilang suka
kamu? Kok bisa sih?” Kesara tidak percaya dengan cerita Wafa.
“Aku juga nggak
ngerti. Aku kan udah bilang kalo rencana kita gagal. Tapi tiba-tiba dia datang
dan bilang suka aku.”
“Sepertinya Tuhan
memberikan bantuannya.”
“Tuhan emang
nggak pernah jauh dari kita.”
“Tapi Mas Endra
cuma kasih kamu waktu tiga hari.” Kesara terdengar khawatir.
“Iya.. dan ini
saatnya untuk atur strategi.” Wafa kembali bersemangat untuk menjalankan
misinya.
“Terserah
kamulah. Aku cuma bisa bilang hati-hati dan semoga sukses.” Sebagai adik
ipar, hanya itu yang bisa dikatakan Kesara. Tidak mungkin dia tidak mendukung
Wafa yang begitu disayanginya. Namun, dia khawatir jika justru Wafa yang akan
terluka dalam.
“Makasih ya Ra.
Kamu bener-bener adik yang baik.”
“Mo gimana lagi?
Kakak ipar aku baik banget sih sama aku.”
Wafa senang
sekali mendengar kata-kata adik iparnya. Dia merasa beruntung memiliki adik
ipar seperti Kesara.
“Tenang aja,
lagipula aku ini kan istri kakak kamu. Dia macem-macem juga nggak papa.”
“Ahh maunya emang
diapa-apain.” Kesara tertawa lepas. Bebannya sedikit berkurang.
“Eh adik
ipar…nggak boleh ngomong gitu.”
“Itu kenyataan.
Nanti kalau kamu udah ngerasain, kamu bakal ketagihan.” Kesara memang adik ipar Wafa, tetapi dalam
urusan suami istri, Kesara lebih berpengalaman. Lagipula usia Kesara sebenarnya
lebih tua dari Wafa. Karena itu juga Wafa tidak mau Kesara memanggilnya “mbak”.
Mereka berdua
tertawa lepas. Namun dalam hati Wafa tetap ada sedikit rasa was-was.
Bagaimana jika
rencananya tidak berhasil?
Bagaimana jika
Endra tiba-tiba tertarik pada wanita lain?
TIDAK. Kali ini
dia tidak boleh gagal. Niatnya sudah bulat.
“Aku harus bisa buat Endra jatuh cinta dan
menceraikan semua istri-istri simpanannya itu. Sebagai istri sahnya, aku berhak
untuk dihormati. Ada untungnya dia tidak ingat siapa aku. Dengan begitu akan
lebih mudah bagi aku untuk mendekatinya. Tunggulah suamiku, sebentar lagi kamu
akan bertekuk lutut dihadapan Wafa.”
_______________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_______________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar