Jumat, 04 Juli 2014

Perselingkuhan Terakhir - BAB II




Bab II

Endra tidak bisa melupakan bayangan Wafa. Perempuan itu sangat cantik. Bajunya yang begitu ketat itu memperlihatkan bentuk tubuh yang luar biasa. Walaupun tidak sesuai dengan gaya kikuknya yang membuatnya terlihat seperti anak udik yang baru datang ke kota.

Sebenarnya, kalau masalah fisik, masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dan seksi. Namun, ada satu hal yang membuat Endra tidak bisa menghilangkan Wafa dari pikirannya. Mata Wafa. Kedua matanya membuat Endra hilang kendali. Mata itu sangat mirip dengan seseorang yang tidak pernah meninggalkan hatinya.

Semua masalahnya dengan Ofisa yang menjadi pembicaraan se-nusantara hilang dari pikirannya. Tergantikan oleh bayangan perempuan bernama Wafa. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Belum ada seorangpun yang mampu membayangi pikirannya seperti ini setelah….. Misha.

“Gila kamu.. belum juga masalah sama Ofisa selesai, kamu udah punya sasaran baru?” Sigra tidak percaya dengan sepupunya itu yang selalu mendatangi kantornya jika ada sasaran baru. Kedua saudara sepupu ini memang sangat dekat, terlebih lagi Sigra saat ini bergabung dengan perusahaan yang dipimpin Endra.

“Aku nggak tahu kenapa, tapi perempuan ini tuh … gimana ya?.” Endra memutar kursi yang didudukinya.

“Kamu kan cuma ketemu dia sebentar. Kamu nggak tahu apa-apa tentang dia selain namanya kan?”

“Justru itu. Aku mau tau lebih banyak tentang dia.”

“Sudahlah.. stop bermain-main dengan wanita. Nanti kamu kena karmanya.” Dari balik meja, Sigra berusaha untuk merubah rencana Endra.

“Aku nggak main-main. Aku serius dengan mereka. Aku nikahin mereka kan?” Endra menegakkan tubuhnya.

“Kamu nikahin mereka cuma buat penuhin nafsu kamu.”

“Kasar banget sih ngomongnya.”

“Bener kan. Setelah kamu hilang nafsu sama mereka, kamu buang mereka.”

“Merekanya aja nggak keberatan, kok jadi kamu yang nyolot.” Wajah Endra berubah menjadi cemberut. Disaat seperti ini, yang dia butuhkan adalah dukungan, bukannya sindiran.

“Seyakin itu kamu kalau mereka nggak keberatan?”

“Mereka sudah tahu sejak awal kalau aku tidak jatuh cinta sama mereka. Aku butuh mereka untuk memenuhi kebutuhan biologis aku dan mereka butuh uang aku.” Endra menyandarkan tubuhnya untuk lebih rileks.

“Weekkk.” Sigra merasa jijik mendengar perkataan Endra. Kalau saja bukan sepupu, mungkin Sigra sudah melempar Endra dengan buku tebal dihadapannya.

“Itu kenyataan. Hubungan kita adalah hubungan yang saling menguntungkan.”

“Tapi itu sama aja dengan mempermainkan hubungan pernikahan yang seharusnya sakral.”

“Tapi kan nggak dosa. Aku nikahin mereka bukan cuma buat tidurin mereka. Aku meningkatkan taraf hidup mereka”.

“Kamu itu udah punya istri yang sah.”

“Poligami itu nggak dilarang dan perceraian juga tidak dilarang.”

“Iya.. tapi semua itu ada aturannya.”

“Udahlah.. yang penting sekarang ada Wafa.” Endra tersenyum penuh arti.

“Emang dia keliatan butuh uang?”

“Enggak sih.” Keceriaan di wajah Endra tiba-tiba menghilang mendengar pertanyaan Sigra.

“Trus? Gimana bisa hubungan ini saling menguntungkan?” Sigra memajukan tubuhnya sedikit ke depan untuk melihat seperti apa reaksi Endra.

“Ehmm…” Endra menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kamu kan udah punya pengalaman sama Ofisa. Jangan jatuh pada lubang yang sama.”

“Tapi ini beda. Wafa itu beda Gra. Dia itu … special.”

Endra sudah terpikat dengan gadis itu pada pandangan pertama. Tidak ada yang bisa mengubah pikirannya. Kini saatnya beraksi. Ia pun pergi meninggalkan Sigra yang hanya bisa menggelengkan kepala.

***

Endra tahu bahwa cara tercepat untuk tahu lebih mendalam tentang Wafa dan untuk bertemu dengannya adalah melalui adiknya. Tetapi dia tahu dengan pasti bahwa adiknya akan bereaksi sama dengan Sigra. Bahkan adiknya akan lebih parah lagi. Kesara sangat membenci kelakuannya yang senang menikah kontrak dengan wanita-wanita. Kesara lebih marah karena tidak pernah dikenalkan dengan kakak ipar sahnya.

Yang Endra tahu tentang Wafa hanyalah bahwa Wafa adalah desainer. Tetapi dia mengenal banyak desainer dan tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sandra… ya.. Sandra pasti mau membantunya dia kan juga seorang desainer. Hubungannya memang pernah retak dengan Sandra setelah mereka putus dan Endra menikah. Tetapi, sekarang mereka telah menjadi teman baik. Endra pun segera pergi ke butik Sandra.

“Wafa?” Sandra menegaskan nama yang ditanyakan oleh Endra.

“Iya, kata Sara dia itu desainer.”

“”Sebentar…” Sandra mengeluarkan smartphonenya dan menggerakkan jarinya. Kemudian dia menunjukkan wajah seorang gadis yang berfoto bersamanya. “Ini bukan?”

“Iya bener.. ini orangnya. Kamu kenal?” Endra begitu bersemangat saat melihat foto Wafa.

“Dia temen kuliah ade aku.”

“Bagus… berarti nggak salah aku kesini.” Endra tersenyum dan semangatnya semakin membumbung tinggi.

“Dia emang desainer baru. Butiknya baru aja buka sekitar setengah tahun.”

“Kamu tahu alamatnya kan?” Endra mengangkat kedua alisnya.

“Kamu ada urusan apa sama Wafa?” Sandra merasa ada yang tidak beres pada mantan pacarnya itu.

Endra tersenyum simpul. “Dia single?”

“Kamu jangan macem-macem. Dia itu orangnya baik banget. Dia rajin ibadah. Jangan kamu kotorin dia.” Sandra langsung bereaksi keras. Dia tahu pasti apa yang ada di otak Endra sehingga khawatir jika Endra akan menyakiti teman baik adiknya itu.

“Dia single.” Endra tersenyum lebar.

“Dra tolonglah.” Sandra memohon.

“Dra alamatnya.” Endra menengadahkan tangannya.

Sandra tahu bahwa walaupun dia tidak memberikan alamat Wafa, Endra akan mendapatkannya dari tempat lain.

“Tolong jangan apa-apain dia. Wafa itu orang baik.” Sandra berusaha mengubah jalan pikiran Endra walaupun dia tahu bahwa usahanya akan sia-sia. Saat Endra mendapatkan target, dia akan sangat bersemangat dan tidak akan berhenti sebelum berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.  

Namun, Sandra melihat pancaran mata yang sedikit berbeda dari Endra. Selain itu, Wafa bukanlah seperti wanita-wanita matre yang selama ini menjadi sasaran Endra. Wafa tidak akan mudah dibujuk dengan uang. Sandra berharap mudah-mudahan kali ini berbeda. Yang paling mengkhawatirkan adalah jika Wafa tidak kuat menahan kharisma Endra.

***

Setelah mendapatkan alamat Wafa, Endra segera meninggalkan butik milik Sandra. Ia tidak peduli dengan permintaan Sandra untuk tidak mengganggu Wafa. Terserah apa kata orang. Endra memang telah memantapkan tujuannya, walaupun dia merasa bahwa kali ini mungkin agak sedikit sulit untuk mendapatkan Wafa.

Menurut cerita Sandra, Wafa bukan perempuan materialistis. Biasanya Endra akan menjauhi tipe wanita seperti Wafa yang hanya akan menghabiskan waktunya saat mengejar mereka. Endra lebih suka dengan wanita meterialistis yang bisa diatur dengan mudah. Tetapi, daya tarik perempuan ini begitu berbeda. Endra tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Ini menjadi tantangan tersendiri.

Endra sampai di depan butik Wafa. Sandra tidak mau memberikan alamat rumah Wafa sehingga Endra tidak punya pilihan selain mengunjungi butik Wafa.

“Selamat datang.” Penjaga butik menyambut kedatangan Endra dengan ramah.

Butiknya terlihat cantik, rapi, dan elegan. Tidak ada kesan mewah pada butik yang berukuran sedang ini. Interiornya sederhana dengan warna putih sebagai dasarnya. Lukisan wajah Wafa tergantung di dinding. Koleksi bajunya terlihat sederhana dan elegan dengan potongan yang lebih kasual untuk digunakan sehari-hari.

Endra melihat sekeliling dan tidak mendapati Wafa di ruangan itu. Kemudian dia mendekati salah satu rak untuk melihat koleksi rancangan Wafa lebih dekat sambil memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Di luar butik, Wafa sedang kesulitan dengan barang bawaannya. Beberapa contoh bahan dan buku gambar memenuhi tangannya. Belum lagi dia harus membawa tas sehingga kunci mobil hampir terjatuh dari tangannya. Beruntung ada karyawannya yang segera membukakan pintu butik sehingga dia bisa masuk dengan mudah. Tetapi keberuntungannya terhenti saat melihat lelaki yang berdiri di depan salah satu rak.

Kaget dengan apa yang dilihatnya, dia melepaskan semua barang yang dipegangnya sehingga berjatuhan ke lantai. Wafa menjadi sangat gugup dan kebingungan. Karyawannya mendekat untuk membantunya.

Mendengar suara yang gaduh membuat Endra menengok ke belakang. Senyum merekah di wajahnya. Dia mendekat dan berusaha membantu mengambil barang-barang yang terjatuh.

“Hai”. Endra berdiri tepat di depan Wafa yang memerah mukanya.

“Eh kamu kok disini. Disuruh tante Felize ambil bajunya?” Wafa yang terkejut berusaha berbicara setenang mungkin walaupun sangat sulit.

“Nggak. Aku kesini untuk ketemu kamu.” Endra tidak suka basa basi.

“Memang ada apa?”

“Sepertinya nggak mungkin bicara di sini. Kamu udah makan?”

“Udah” Oops, Wafa menyesali kata yang terucap. Seharusnya dia berbohong agar bisa makan berdua dengan Endra.

“Oke. Gimana kalau minum kopi?”

Kali ini Wafa tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Ia mengangguk.

Setelah membereskan barang-barang dan memberikan sedikit instruksi pada karyawannya, Wafa pergi dengan Endra.

Mereka duduk di sudut coffee shop agar bisa berbicara dengan lebih leluasa.

“Kamu mau minum apa?”

“Expresso.”

“Apa?”

“Ada yang aneh dengan expresso?”

“Nggak.. cuma nggak biasa aja denger perempuan minum expresso.” Endra tersenyum simpul. “Mbak… expressonya dua.”

Endra menatap mata Wafa dalam-dalam sebelum melancarkan serangannya sementara Wafa berusaha keras untuk tetap duduk tegak dan tenang.

“Aku nggak suka basa-basi.” Endra berhenti sejenak dan melanjutkan. “Aku suka sama kamu.” Kata-kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Endra.

Wafa merasa seperti bermimpi. Tetapi lelaki yang ada dihadapannya ini nyata. Termasuk kata-kata yang didengarnya.

Kopi mereka tiba dan semakin meyakinkan Wafa bahwa dia tidak bermimpi. 

“Mungkin kamu anggap aku gila, tapi aku benar-benar tertarik sama kamu.” Endra langsung melancarkan serangannya.

“Apa yang buat kamu tertarik?”

“Entahlah, bayang-bayang kamu selalu mengganggu aku.”

“Tapi kita cuma ketemu sebentar. Nggak mungkin kamu langsung tertarik sama aku.”

“Love in first sight?” Endra tidak percaya dia mengucapkan kata-kata itu. Seluruh nusantara juga tahu bahwa dia mengganggap cinta tidak pernah ada.

“Kamu mau aku percaya kalau kamu bisa jatuh cinta? Ayolah… aku tau banget track record kamu.”

Endra benar-benar menyesal telah bermain-main dengan model itu. Kalau saja dia tetap bermain aman, tentunya dia tidak akan pernah masuk infotaiment yang saat ini menelanjanginya.

“Ini masalah perasaan. Nggak ada yang logis tentang hati.” Endra tidak akan menyerah kali ini.

“Yang pake hati itu perempuan. Laki-laki pake otak”

“Laki-laki juga punya hati sayang… Untuk masalah hati, terkadang lelaki lebih lebay dari perempuan.”

“Terus mau kamu apa?”

“Kamu pacaran sama aku.” Endra memajukan sedikit tubuhnya dan meletakkan tangan di atas meja.

“Dengan skandal kamu itu, kamu yakin aku mau terima kamu?” Wafa yang merasa diserang menarik punggungnya hingga menyentuh kursi.

“Kenapa nggak?”

“Kenapa iya?”

“Ayolahh.. kamu juga tertarik sama aku. Mata kamu nggak bisa bohong.” Endra menembakkan kata-kata yang mematikan dan memberikan senyum yang tidak pernah gagal untuk memikat wanita sebelumnya.

Tembakan itu tepat mengenai jantung Wafa. Lelaki ini memang luar biasa gila. Sejak pertama kali bertemu sampai detik ini, dia tidak pernah berubah. Endra selalu menjadi lelaki yang percaya diri dan memiliki kemampuan membaca pikirannya. Wafa tidak pernah berhasil untuk mengalahkan Endra sekalipun dalam perdebatan. Kepalanya berputar untuk mencari kata-kata yang tepat.

“Aku nggak minta kamu untuk nikah sama aku. Kita jalan aja. Have fun.” Kali ini nada bicara Endra begitu santai dan tenang. Dia begitu yakin bahwa dia akan menang kali ini.

Kata-kata Endra membuat Wafa tertegun. Kali ini Endra tidak memintanya untuk menikah. Kali ini Endra hanya membutuhkannya untuk bersenang-senang. Tidak seperti pernikahannya yang masih tersisa empat tahun lagi, tidak ada batas waktu sampai kapan Endra ingin berpacaran dengannya. Bisa saja Endra bosan dalam waktu satu tahun, satu bulan, atau bahkan satu hari.  

“Aku nggak yakin ini akan berhasil.” Wafa menggeleng.

“Aku kasih kamu waktu tiga hari.”
Endra meminta untuk berpacaran, tentunya waktu yang diberikan untuk berpikir jauh lebih singkat dari saat dia meminta untuk menikah. Entah mengapa Wafa merasa hatinya sakit. Tapi, dia tidak boleh melewatkan kesempatan ini. Dia yang telah memulai. Lagipula rasa sakit hatinya setelah mengetahui perilaku suaminya belum hilang.

***

Sepulang dari coffee shop, Wafa tidak sabar untuk segera menelpon Kesara dan memberitahukan yang terjadi.

“Dia bilang suka kamu? Kok bisa sih?” Kesara tidak percaya dengan cerita Wafa.
“Aku juga nggak ngerti. Aku kan udah bilang kalo rencana kita gagal. Tapi tiba-tiba dia datang dan bilang suka aku.”

“Sepertinya Tuhan memberikan bantuannya.”

“Tuhan emang nggak pernah jauh dari kita.”

“Tapi Mas Endra cuma kasih kamu waktu tiga hari.” Kesara terdengar khawatir.

“Iya.. dan ini saatnya untuk atur strategi.” Wafa kembali bersemangat untuk menjalankan misinya.

“Terserah kamulah. Aku cuma bisa bilang hati-hati dan semoga sukses.” Sebagai adik ipar, hanya itu yang bisa dikatakan Kesara. Tidak mungkin dia tidak mendukung Wafa yang begitu disayanginya. Namun, dia khawatir jika justru Wafa yang akan terluka dalam.

“Makasih ya Ra. Kamu bener-bener adik yang baik.”

“Mo gimana lagi? Kakak ipar aku baik banget sih sama aku.”

Wafa senang sekali mendengar kata-kata adik iparnya. Dia merasa beruntung memiliki adik ipar seperti Kesara.

“Tenang aja, lagipula aku ini kan istri kakak kamu. Dia macem-macem juga nggak papa.”

“Ahh maunya emang diapa-apain.” Kesara tertawa lepas. Bebannya sedikit berkurang.

“Eh adik ipar…nggak boleh ngomong gitu.”

“Itu kenyataan. Nanti kalau kamu udah ngerasain, kamu bakal ketagihan.” Kesara memang adik ipar Wafa, tetapi dalam urusan suami istri, Kesara lebih berpengalaman. Lagipula usia Kesara sebenarnya lebih tua dari Wafa. Karena itu juga Wafa tidak mau Kesara memanggilnya “mbak”.

Mereka berdua tertawa lepas. Namun dalam hati Wafa tetap ada sedikit rasa was-was.

Bagaimana jika rencananya tidak berhasil?

Bagaimana jika Endra tiba-tiba tertarik pada wanita lain?

TIDAK. Kali ini dia tidak boleh gagal. Niatnya sudah bulat.

“Aku harus bisa buat Endra jatuh cinta dan menceraikan semua istri-istri simpanannya itu. Sebagai istri sahnya, aku berhak untuk dihormati. Ada untungnya dia tidak ingat siapa aku. Dengan begitu akan lebih mudah bagi aku untuk mendekatinya. Tunggulah suamiku, sebentar lagi kamu akan bertekuk lutut dihadapan Wafa.”

_______________________________________________________


Prolog                  << Bab Sebelumnya               Bab Selanjutnya >>



Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar