Kamis, 26 Juni 2014

Perselingkuhan Terakhir - Bab I



Bab I

Wafa menghentikan mobilnya di ujung jalan dan memperhatikan rumah besar yang berada beberapa meter di depannya. Amarahnya begitu hebat setelah melihat berita di infotaiment tentang suaminya yang telah selingkuh dengan seorang model. Infotainment itu juga mengupas tingkah laku Kagendra Mahawirya, seorang pengusaha muda yang senang bergonta ganti istri siri.

Wafa teringat enam tahun yang lalu saat dia sudah tidak memiliki pilihan lagi selain menikah dengan Endra. Saat itu keluarganya benar-benar di ujung tanduk. Hutang 50 juta untuk membiayai pernikahan kakaknya yang menginginkan pesta pernikahan besar menggunung menjadi dua kali lipat karena rentenir yang meminjamkan uang memberikan bunga yang tidak masuk akal.

Wafa teringat betapa bingungnya dia sampai-sampai dia mengucapkan doa yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Sebenarnya saat itu dia merasa bahwa penawaran Endra tidak masuk akal. Tapi saat dia bercerita pada ibunya, justru sang ibu mendorongnya untuk menerima penawaran tersebut.

“Dia mau nikahi kamu secara sah. Berarti tidak dosa kan? Justru kamu beruntung dapet suami kaya seperti itu.” Begitulah yang dikatakan ibunya.

Waktu itu Wafa sedikit takut jika Endra hanya mengerjainya. Tetapi saat Endra datang bersama pengacaranya dengan emas batangan yang dia janjikan, Wafa merasa sedikit bahagia karena akhirnya dia bisa membantu keluarganya mengatasi masalah keuangan mereka. 

Yang menjadi masalah adalah surat perjanjian pra-nikah yang membuatnya merasa menjadi wanita murahan. Dia tidak tahu harus bahagia atau menangis. Tapi setidaknya dia tidak melacur. Bahkan Endra tidak pernah menyentuhnya sampai sekarang. 

Kenyataan bahwa Endra tidak pernah menyentuhnyalah yang membuat Wafa begitu kesal dan tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi pada dirinya. Awalnya dia mengira bahwa Endra adalah gay. Tetapi hal itu terpatahkan saat dia mendengar berita tentang pernikahan-pernikahan siri suaminya. 

Mengapa Endra mau berhubungan dengan banyak wanita, tetapi istri sahnya justru dia tinggalkan begitu saja sebelum malam pertama? 

Seburuk itukah dia di hadapan suaminya?

Serendah itukah dirinya?

Pertanyaan itu selalu memenuhi pikiran Wafa.

Endra memang selalu menafkahinya. Uang yang dikirimkannya tidak pernah sedikit. Bahkan dia membelikan rumah dan mobil. Tetapi semua itu diberikan melalui pengacaranya karena Endra tidak pernah menemuinya lagi semenjak akad nikah.

Sebenarnya dia tidak terlalu merasa ada masalah jika suaminya tidak mau menemuinya karena hidup Wafa berubah 180 derajat setelah menikahi seorang pengusaha muda yang kaya raya. Akhirnya Wafa menyelesaikan kuliahnya dan mendirikan butiknya sendiri. Dia kini hidup di lingkungan high-class dengan kehormatan sebagai desainer muda baru yang cukup diperhitungkan. Dia pun memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang dia inginkan. 

Tetapi sebagai seorang wanita, dia tidak terima dengan perlakuan suaminya yang senang bergonta-ganti wanita. Walaupun dia tahu bahwa hal itu adalah konsekuensi yang harus dia terima setelah menandatangani surat perjanjian pra-nikah yang menyatakan bahwa dia harus mengijinkan suaminya untuk poligami.

Wafa terbangun dari lamunan saat handphonenya berbunyi.

“Halo.. iya aku udah di ujung jalan nih. Kamu dimana?”

Sebuah mobil kecil bermerek Eropa berhenti di depan mobil Wafa. Dari dalamnya keluar seorang wanita muda yang begitu cantik. Wanita itu berjalan ke arah jendela depan mobil Wafa.

“Kamu udah siap Fa? Kamu yakin mau ngelakuin ini? Kalau Mas Endra ngenalin kamu gimana?” Kesara memberikan pertanyaan bertubi-tubi pada Wafa.

“Aku yakin Ra. Kalau Mas Endra kenalin aku ya udah. Game Over”

“Ya udah. Kamu ikutin aku ya.” Kesara kembali ke mobilnya dan memajukan mobil ke rumah Endra. Wafa mengikuti dari belakang dan memarkir mobilnya tepat dibelakang mobil Kesara.

Wafa keluar dan menutup pintu mobilnya. Dia berjalan kearah Kesara yang telah menunggunya.

“Wow”

Kesara takjub melihat penampilan Wafa. Dress mini hitam super ketat dengan aksen rantai perak memperlihatkan bentuk tubuh Wafa yang luar biasa seksi. Stiletto hitam melengkapi gaya seksi yang ingin ditampilkan oleh Wafa walaupun terlihat jelas bahwa Wafa tidak nyaman dengan pakaiannya. Riasan yang digunakan Wafa juga tidak kalah menakjubkan dengan bibir merah merekah dan smokey eyes yang dilengkapi bulu mata palsu tebal.

“Aku kelihatan aneh ga sih? Lebay nggak sih bajunya?” Wafa tidak pernah memakai baju seketat itu sebelumnya.

“Kalau kamu nggak pede kenapa maksa?” Kesara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kakak iparnya yang terlihat kikuk.

“Kalau nggak gini, nanti kakak kamu nggak tertarik sama aku.”

Kesara berusaha menahan tawa walaupun sulit. “Yo masuk.”

Keduanya memasuki rumah besar yang begitu mewah tetapi terasa begitu kosong tanpa tanda-tanda kehidupan.

“Kamu tunggu disini dulu ya. Nanti aku bawa Mas ke sini biar ketemu kamu. Siap-siap ya” Kesara meninggalkan Wafa di ruang tamu.

Disudut lain rumah itu, Endra sedang duduk sambil memencet remote TV tanpa henti. Dia tidak percaya betapa banyaknya siaran infotainment di TV. Dia lebih tidak percaya lagi bahwa dia menjadi bahan pembicaraan di semua infotainment.

Entah mengapa ia menjadi teringat kejadian enam tahun lalu.

“Ini maksudnya apa Pak?“ Endra masuk ke ruangan ayahnya tanpa mengetuk dan melempar surat yang dipegangnya ke atas meja dengan marah.

Wirasena Karkasa, seorang pengusaha sukses yang memiliki sebuah grup usaha besar dengan 4 anak perusahaan di berbagai bidang berbeda mengambil surat yang baru saja dilempar Endra. Diperhatikannya sebentar surat itu.

“Surat itu ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Indonesia. Bapak rasa kamu tidak akan kesulitan untuk membacanya.” Pak Wira menjawab dengan sangat santai.

“Bapak tau pasti bukan itu yang Endra maksud.”

“Lalu masalahnya apa?” Pak Wira menghela nafas sebentar kemudian melanjutkan. “Izaan itu sudah belajar bersama Bapak sejak dia kecil. Dia sangat pintar, bertanggung jawab, dan yang pasti sangat setia pada Bapak.”

“Tapi Endra yang anak kandung Bapak, bukan dia.”

“Sebuah perusahaan harus dipimpin oleh seseorang yang kompeten dan itu tidak dinilai dari hubungan keluarga.”

“Tapi Endra yang punya hak mewarisi harta Bapak, bukan dia.”

“Menjadi pimpinan di perusahaan itu tidak ada hubungannya dengan warisan. Izaan hanya Bapak beri kekuasaan untuk mengelola perusahaan bukan untuk mewarisinya.”

“Memang Endra kurang apa sih pak? Endra juga punya kemampuan sama seperti Izaan. Bahkan Endra bekerja lebih keras dari dia.” Endra benar-benar tidak tahan melihat reaksi ayahnya yang begitu santai menjawab semua pertanyaannya. Terlihat sekali bahwa ayahnya tidak mempedulikannya padahal hatinya begitu hancur karena usaha kerasnya untuk mendapatkan posisi presiden direktur menjadi sia-sia.

“Endra.” Suara Pak Wira sedikit melembut. “Memimpin perusahaan tidak hanya diperlukan kemampuan otak tetapi juga mental yang baik.”

“Maksudnya Endra cacat mental? Tega banget sih Bapak bilang anaknya cacat mental. Endra benar-benar kesal karena dia mengharapkan jawaban yang lebih masuk akal dari itu.

“Kamu itu belum dewasa, masih senang bermain-main, dan belum bertanggung jawab.”

“Darimana Bapak bisa bilang seperti itu?”

“Umur kamu sudah hampir 30 tapi kamu masih senang gonta-ganti pacar. Coba lihat Izaan, dia sudah punya keluarga yang harmonis dengan dua anak yang pintar dan sholeh.”

“Kita ngomongin perusahaan Pak, bukan kehidupan pribadi.”

"Jika dalam urusan pribadi saja kamu tidak bisa berkomitmen, bagaimana kamu akan berkomitmen dengan perusahaan?”

“Bisnis dan hubungan pribadi itu dua dunia yang berbeda.”

“Perusahaan itu seperti keluarga. Harus ada cinta di dalamnya agar perusahaan itu bisa terus berdiri dengan kokoh.”

“Nggak masuk akal.”

“Sudahlah Bapak capek berdebat dengan kamu.” Dengan nada bicara yang sedikit meninggi, Pak Wira berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah rak buku.

“Ini nggak adil Pak. Endra belum nikah karena Endra mau lebih fokus sama perusahaan.” Untuk yang satu ini Endra memang tidak berbohong. Dia telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk perusahaan. Dia sangat mencintai perusahaan lebih dari yang lain. 

 “Itu cuma alasan kamu saja.” Pak Wira mengambil salah satu buku dari rak dan membukanya tanpa mempedulikan anaknya.

“Kalau tahu kayak gini, aku nggak perlu putusin Gina gara-gara dia maksa untuk nikah dan aku ingin fokus ke perusahaan. Aku udah ngabisin semua waktu aku untuk membesarkan perusahaan yang akhirnya dikasih ke orang lain cuma karena dia sudah menikah.”

“Keberhasilan Izaan menikah dan berkeluarga memperlihatkan kedewasaan dan tanggung jawabnya.” Pak Wira masih saja memperhatikan buku dihadapannya dan menjawab Endra tanpa menoleh.

“Kalau cuma nikah doang apa sulitnya?” Endra sudah tidak bisa berpikir jernih. Dia hanya mengucapkan kata-kata yang muncul diotaknya tanpa memikirkannya kembali.

Ayahnya hanya tersenyum mendengar kata-kata anaknya yang masih belum berpengalaman.

“Lagian sekarang hubungan Endra sama Sandra serius, bukan maen-maen” Endra berusaha meyakinkan ayahnya.

Pak Wira menutup bukunya dan berbalik untuk menatap Endra. “Ohh jadi gitu ya. Oke. Coba buktikan pada Bapak kalau kamu juga bisa berkomitmen dan menikah. Bapak kasih kamu 30 hari untuk menikah. Jika kamu bisa penuhi itu, Bapak akan berikan posisi Presiden Direktur sama kamu.”

Kalau saja waktu itu Bapak tidak memaksanya untuk menikah cepat-cepat, mungkin saat ini dia sudah menikah dengan Sandra dan hidup bahagia. Dia teringat saat dia melamar Sandra.

 “Aku nggak mungkin nikah sama kamu sekarang Dra. Kamu tahu sendiri, aku sekarang sibuk banget sama butik aku. Nggak mungkin aku ngorbanin butik untuk jadi ibu rumah tangga.” Itu yang dikatakan Sandra saat mendengar permintaan Endra untuk menikah. Kata-kata yang menjadi awal kehancuran hidupnya.

Endra pun kembali teringat saat menyedihkan itu.

“Aku nggak suruh kamu buat ngorbanin butik, ini cuma pernikahan yang mengubah status kamu jadi istri aku. Yang lainnya tidak berubah.” Endra berusaha untuk meyakinkan pacarnya agar mau menikahinya.

“Kamu nggak harus ngurusin aku, kamu cukup jadi istri sah aku, on the paper, titik.” Endra menambahkan.

“Iya tapi kamu cuma punya waktu sebulan dan itu nggak cukup untuk nyiapin pernikahan.” Sandra berusaha menyanggah.

“Nggak cukup gimana? Kita ke KUA besok juga bisa.”

“Aku itu maunya pesta pernikahan besar dan mewah. Temen aku yang WO itu bilang kalau persiapannya minimum 6 bulan.”

“Kamu boleh bikin pesta semau kamu, yang penting kita nikah dulu pesta belakangan.”

“Pokoknya nggak!”

“Kalau kamu nggak mau, kita putus!”

“Terserah.”

Endra benar-benar merasa sakit hati saat itu. Dia tidak mau kehilangan Sandra tetapi dia lebih tidak mau lagi kehilangan posisi Presiden Direktur yang begitu diincarnya sejak dia bergabung di perusahaan ayahnya. Sampai akhirnya dia harus menikah dengan perempuan dari antah berantah yang dia telah lupa bagaimana rupanya, walaupun mata indahnya masih sering mengganggu tidurnya.

“Woi.. remote itu bukan maenan.”

Endra terbangun dari lamunannya. Di menoleh dan melihat adiknya yang selalu terlihat cantik walaupun telah memiliki dua anak.

“Ngapain kamu kesini?”

“Idih adenya dateng baik-baik dikasarin gitu sih? Gak seneng? Ya udah aku pulang.” Kesara memperlihatkan muka cemberut.

“Gitu aja ngambek.” Endra berdiri dan memeluk adiknya. “Adikku sayang.”

“Apaan sih.” Kesara melepaskan pelukan kakaknya.

“Jangan bilang kamu kesini untuk nasehatin aku… lagi.” Endra kembali duduk.

“Emang Mas perlu dinasehatin. Liat tuh, semua infotainment gosipin Mas. Malu tahu Mas.”

“Itu urusan aku.”

“Ya.. aku sebagai adik kandung Mas Endra aku kan juga malu, belum lagi Bapak sama Mama.” Kesara mendekat dan duduk disebelah Endra.

“Udah-udah-udah… kamu tuh bikin aku tambah pusing aja.” Endra berusaha menjauhkan diri dari adiknya.

“Ya abis Mas gitu sih. Udah jelas-jelas punya istri sah, malah milih nikah siri sama perempuan ga beres.”

“Semua perempuan yang aku kawinin itu cantik dan manis.” Endra tersenyum dipaksakan.

“Tetep aja ga beres. Mana ada perempuan baik yang mau jadi perempuan simpanan gitu.”

“Aku nikahin mereka dengan benar secara agama.”

“Iya tapi semua itu nggak sah tanpa ijin istri pertama Mas.”

“Dia ijinin aku kok.”

“Darimana dapet ijin, ketemu aja nggak pernah.”

“Sebelum kita menikah, dia udah tanda tangan surat perjanjian pra-nikah yang di dalamnya ada pasal dia memperbolehkan aku buat poligami.”

“Mas bikin perjanjian pra-nikah macam itu? Beneran? Tega banget sih”. Mata Kesara terbelalak. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kenyataan ini baru saja dia ketahui karena baik kakaknya maupun kakak iparnya tidak pernah membicarakan masalah ini.

“Udahlah.. sebenernya kamu mau apa kesini?” Endra mulai tidak sabar pada adiknya.

Kesara mengatur emosinya. Dia teringat tujuan utamanya datang ke sini. “Aku mau pinjem film yang kemaren Mas beli.”
 
“Yang mana?”

“Yang itu.. yang pembunuhan berantai itu loh. Aku mau nonton.”

“Ohh ada di rak sana tuh. Ambil aja sendiri.” 

“Eh sebenernya aku kesini juga karena disuruh Mama. Kata Mama, dia mau minta bunga yang di depan rumah itu.” Kesara berusaha menjalankan misinya sambil mencari DVD film yang dia inginkan.

“Yang mana?”

“Yang warna ungu itu loh. Yang bunganya kecil-kecil.” Kesara menjawab tanpa menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada koleksi DVD milik Endra.

“Ambil sendiri aja lah, aku mana tau bunga.”

“Ya temenin dong. Nanti dikira pencuri lagi.” Kali ini Kesara menoleh ke arah Endra dengan raut wajah merayu.

“Iya.. udah dapet belom filmnya?” Endra pun berdiri.

“Udah nih.. yuk..” Kesara tersenyum berhasil. Sekarang tinggal memperkenalkan kakaknya dengan istrinya sendiri. Aneh tapi nyata.

Kesara dan Endra berjalan menuju depan rumah. Saat mencapai ruang tamu, Endra berhenti saat melihat Wafa.

“Eh iya.. kenalin ini temen aku Wafa.” Kesara langsung beraksi.

“Dia itu desainer yang mau bikinin baju baru buat Mama. Tadi kita ketemu di Mall. Karena dia mau ke rumah Mama, aku ajak bareng. Trus karena Mama titip bunga, aku mampir dulu deh. Aku suruh dia masuk. Nggak papa kan?” Kesara melanjutkan.

“Nggak papa kok. Masa dia harus nunggu di luar.” Endra tersenyum manis.

“Wafa … ini kakak aku. Kamu pasti udah liat di TV. Sekarang dia terkenal banget loh.” Kesara menyindir kakaknya.

“Kesara Nismara Putri” Nada tegas Endra menunjukkan jika dia tidak senang dengan perkataan adiknya.

“Oke boss. My mouth is shut.” Kesara tahu benar bahwa saat kakaknya sudah memanggilnya dengan nama lengkap, dia harus tutup mulut.

“Wafa ya….. Endra.” Endra mengulurkan tangannya. Saat pandangan mereka bertemu, jantung Endra tiba-tiba berdetak dengan kencang. Dia pernah melihat mata seperti itu sebelumnya. Endra merasa sedikit bingung tetapi segera dia menenangkan diri.

“Iya, Wafa.” Jantung Wafa juga berdetak kencang. Bertatapan mata dan bersentuhan dengan Endra membuat dia merasa lemas seketika. Namun, dia berusaha untuk menguatkan diri. Dia tidak boleh kalah sebelum bertanding.

“Nama kamu unik juga.”

“Wafa itu artinya kesetiaan. Gitu kata ustadz.”

“Ustadz?”

“Iya nama aku yang ngasih ustadz di desa aku”

Misha itu nama bunga. Artinya cantik, gitu deh kata ustadz.” Endra terkejut dengan ingatan yang tiba-tiba muncul di benaknya. Misha begitu bangga dengan namanya. Walaupun berasal dari kampung, namanya memang bagus karena diberi oleh ustadz yang sudah berkali-kali naik haji.

“Kok bengong sih, ada yang salah?” Wafa sedikit takut jika Endra mengenalinya.

‘Ohh enggak kok nggak apa-apa.” Endra menjadi sedikit gugup.

“Ternyata kamu lebih ganteng aslinya yah.” Wafa berusaha memulai aksinya dengan menggoda Endra.

“Apa?” Endra tersenyum lebar mendengar kata-kata Wafa.

Senyuman Endra membuat Wafa salah tingkah. “Eh maaf, bukan maksud… aduh..” Wafa tiba-tiba menjadi kehilangan konsentrasi. Semua perkataan yang telah dipersiapkannya tiba-tiba hilang dari ingatannya. Bodoh.

“Nggak papa. Banyak kok yang ngomong gitu.” Endra tersenyum bangga.

Senyuman Endra membuat jantung Wafa berdetak semakin kencang dan kakinya terasa lemas. Lelaki ini memang bukan orang biasa. Dia lebih dari sekedar tampan. Kharismanya begitu kuat sehingga banyak wanita yang tergila-gila padanya. Itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Wafa mau menikahinya.

Memiliki suami yang luar biasa tampan dan berkharisma membuatnya sulit untuk berkata tidak. Sebenarnya dia berharap bisa membanggakan suaminya di depan teman-temannya. Tapi semua harapannya sirna. Bukan hanya tidak bisa membanggakan diri, pernikahannya saja begitu tertutup di KUA dan Endra langsung pergi begitu saja setelah menerima surat nikah. Setelah itu, baru sekarang dia bertemu suaminya lagi.

“Kok jadi kamu yang bengong sekarang?” Endra tersenyum dalam hati. Dia merasa yakin bahwa perempuan yang ada di hadapannya ini sedang begitu mengaguminya. Dia telah terbiasa dengan kekaguman para wanita terhadap dirinya.

Wafa menjadi begitu gugup dan mulutnya hanya bisa terbuka tanpa bersuara. Melihat kegugupan Wafa, Endra merasa kasihan dan berusaha mengalihkan perhatian.

“Kesara udah ambil bunganya belum ya?” Endra melangkah ke taman depan untuk melihat adiknya. Wafa mengikutinya.

“Udah ketemu Ra?” Endra sedikit meningkatkan volume suaranya agar terdengar oleh Kesara.

“Eh.. Oh.. udah nih. Aku ambil ya? Cuma satu pot kok, masih ada yang lainnya.”

“Ambil semua juga nggak papa, emang aku peduli apa.”

“Kalau nggak peduli, ngapain punya taman?”

“Udahlah.. cepet sana. Mama kan ga suka nunggu.”

“Heh?” Kesara menoleh ke arah kakaknya.

“Bukan ngusir ... cuma ngingetin aja.” Endra melembutkan suaranya agar adiknya tidak ngambek.

“Iya.. ini juga udah mau pergi kok, tinggal masukin mobil aja.” Kesara membawa potnya ke mobil.

“Eh kalau gitu …. aku pamit ya. E.. Maaf …udah ganggu.” Wafa pamit kepada Endra dengan gugup. Kegugupannya bertambah dengan ketidaknyamanan baju ketat yang dipakainya.

“Oh nggak mengganggu kok. Santai aja.” Endra tersenyum melihat Wafa yang berjalan aneh. Kalau nggak pede, jangan pake baju ketat.

Di mobil, Kesara segera menelpon Wafa.

“Gimana tadi.”

“Gagal total.”

“Kok bisa sih?”

“Mas kamu itu memang terlalu kuat kharismanya.”

“Ha..ha..ha..Kayaknya ada yang jatuh cinta nih.”

“Apaan sih. Dia yang harusnya jatuh cinta sama aku.”

“Iya..iyaa…”

“Eh tapi dia tadi nggak ngenalin aku kan?” Wafa mengajukan pertanyaan yang sebenarnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri.

“Gimana sih? Yang ngobrol sama dia kan kamu?”

“Kayaknya sih dia nggak ngenalin aku.”

“Yang yakin dong.”

“Iya.. dia nggak ngenalin aku.”

“Baguslah kalau gitu. Berarti masih ada harapan.” Kesara hanya ingin membesarkan hati kakak iparnya, walaupun sedikit ragu.

“Kita buat rencana lain deh buat ketemu dia.” Kesara menambahkan.



Prolog         << Bab Selanjutnya


 

Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar