Bab III
“Ica kan? Apa
kabar? Kamu cantik banget sekarang.”
“Ike ya? Ya ampun…
udah lama banget nggak ketemu.” Wafa memeluk sahabat lamanya itu. Sudah lebih
dari tiga tahun dia tidak berjumpa dengan Ike setelah sahabatnya itu menikah.
“Iya kok
kebetulan banget sih bisa belanja bareng di sini.” Ike terlihat sedikit lebih
gemuk. Disebelahnya ada seorang anak perempuan yang melihat keatas dengan
pandangan yang ingin tahu.
“Ini anak kamu?”
Wafa jongkok didepan anak itu. “Halo namanya siapa?” Anak itu tidak menjawab.
“Namanya Vini
tante.” Ike memperkenalkan anaknya
“Ini tante Ica
temen mama, salim sama tante.” Ike meminta anaknya dengan lembut.
Terlihat sekali sisi keibuannya.
Vini melakukan
perintah mamanya dengan malu-malu.
Untung sekali hari ini Wafa tidak sibuk sehingga ia memiliki
banyak waktu luang untuk melepas rindu dengan sahabatnya. Mereka melanjutkan belanja sambil bercerita
tentang kehidupan masing-masing.
“Jadi sekarang
kamu pake nama Wafa?”
“Iya… namanya
unik dan artinya kesetiaan. Bagus buat bisnis.” Wafa tersenyum bangga. Semenjak berhasil membangun
butiknya sendiri, kepercayaan diri Wafa terus meningkat. Sekarang dia bukan
lagi gadis kampung yang sering menjadi bahan ledekan teman-teman di pabrik
tempat dia bekerja.
“Bisnis woman
emang beda ya. Nama aja harus ganti.”
“Aku nggak ganti
nama. Itu kan emang nama aku. Cuma sekarang aku pake yang di belakang bukan yang
depan.”
“Jadi aku harus
panggil kamu Wafa juga?”
“Nggaklah.. kamu
tetep bisa panggil aku Ica. Asal jangan Misha”
Raut wajah Ike langsung memperlihatkan tanda tanya. “Kenapa?”
“Gitu deh.”
Wafa berusaha untuk menghindar. Ia bukannya mau menutupi kenyataan hidupnya
dari sahabatnya itu, tapi dengan adanya Vini, Wafa merasa tidak nyaman untuk
bercerita karena Vini masih terlalu kecil untuk mendengarkan cerita seperti
itu.
Setelah berbelanja,
Vini mengajak mamanya ke taman bermain. Ike membiarkan anaknya bermain dan
meneruskan obrolan dengan Wafa. Dengan begini, Wafa lebih leluasa untuk
bercerita.
“Kamu masih nikah
sama orang itu?” Waktu Wafa menikah, Ike tidak
percaya jika sahabatnya itu mau melakukan hal yang baginya kurang masuk akal.
Saat ini, Ike lebih tidak percaya lagi karena sahabatnya ternyata masih terikat pernikahan itu.
“Iya.”
Wafa mengangguk dengan lemah.
“Kenapa nggak
cerai aja? Kamu sekarang kan udah bisa berdiri sendiri?”
Wafa menggelengkan kepalanya. “Dia nggak bisa. Bapaknya nggak bolehin dia cerai
sampai sepuluh tahun pernikahan.”
“Aneh banget
sih?” Ike
benar-benar merasa kasihan pada sahabatnya yang terjerumus dalam pernikahan super aneh seperti
ini.
“Ya gitu deh.”
“Tapi kamu kan
punya hak untuk hidup bahagia dan menikah dengan lelaki normal.”
“Aku bahagia
kok.” Wafa berusaha tersenyum.
“Bahagia itu
nggak bisa dinilai sama uang.”
“Makanya aku
berusaha mengejar kebahagiaan aku.” Kali ini senyuman Wafa penuh arti.
Wafa menceritakan
rencananya pada Ike yang terus saja menggeleng-gelengkan kepalanya. Ike terheran-heran dengan mendengar rencana gila sahabatnya.
“Kamu gila ya.. trus tiga harinya
kapan?”
“Hari ini, nanti
malem aku mau diner sama dia.” Wafa bersemangat.
“Ya Allah.” Ike kembali menggelengkan kepalanya.
“Seru ya hidup aku?” Wafa tertawa lepas.
“Aku jadi pengen tahu kayak apa sih dia?”
“Emang kamu nggak
pernah nonton TV?”
“Apa hubungannya?
Emang dia artis? Bukannya dia pengusaha ya?”
“Kagendra
Mahawirya.” Wafa berkata pelan tapi tegas.
“Selingkuhannya
model itu? Itu dia?” Ike terbelalak dan semakin tidak percaya dengan apa
yang didengarnya.
Wafa hanya
menganggukkan kepala.
“Kamu nikah sama
laki-laki macem itu?”
“Begitulah.”
“Ya ampun Ca..
kamu tuh kasian banget sih.” Ike memegang tangan Wafa untuk memberikan dukungan
moral.
“Makanya aku
harus melakukan sesuatu.”
“Kamu yang sabar
ya… “ Ike hanya bisa berempati dengan sahabat baiknya.
***
Pertemuan dengan
Ike menambah semangat Wafa. Malam ini dia memilih dress hitam selutut dan
memilih perhiasan kecil tapi cantik. Makeupnya pun sederhana. Dia tidak ingin
terlihat berlebihan dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Pengalaman dengan
baju ketat sudah memberinya pelajaran bahwa menjadi orang lain hanya akan
membuatnya hilang kendali.
Saat Endra menjemputnya, Wafa tidak bisa menahan
kekagumannya. Tubuh yang gagah dengan balutan jas hitam membuat Endra terlihat
begitu lelaki. Semua yang ada ditubuh Endra tidak ada yang murah sehingga orang
yang melihatnya pasti tahu bahwa laki-laki ini bukan orang sembarangan. Namun,
yang paling mahal dari sosok Endra adalah pesona diri yang luar biasa sebagai
laki-laki yang memiliki kuasa.
Pesona yang ditebarkan Endra memang luar biasa sampai-sampai
mobil mewah yang memiliki jok empuk dilapisi kulit asli tidak bisa membuat Wafa
merasa nyaman. Namun, Wafa adalah perempuan dengan harga diri sehingga dia
tetap berusaha keras untuk duduk tenang disepanjang perjalanan.
Wafa dan Endra sampai
di sebuah restoran mewah. Saat memasuki restoran itu, Wafa merasa terbuai. Suasananya benar-benar romantis. Dekorasinya
bergaya Eropa kuno. Seorang pemain
piano memainkan lagu klasik dan ada cahaya lilin di setiap meja. Yang makan di
tempat itu adalah orang-orang kelas atas yang berpenampilan sangat
menarik dan sangat menjaga sopan
santun di meja. Tidak ada seorangpun yang berbicara keras.
“Kamu cantik
malam ini.” Kedua mata Endra menatap lembut wajah Wafa.
“Sekarang udah nggak jamannya
ngegombal.”
“Tapi jauh di
dalam lubuk hati, perempuan selalu bahagia saat digombali.” Endra pun
melemparkan senyum yang mematikan.
“Susah ya kalau
bicara sama playboy kelas paus.”
“Aku lebih suka
hiu. Lebih lincah dan serangannya mematikan.”
Wafa hanya bisa menarik nafas.
Mereka duduk di
meja yang telah dipesan Endra. Wafa mengambil menu yang ada di meja. Mereka
memesan makanan dan minuman yang semuanya merupakan menu Eropa.
“Wine?” Endra
menawarkan.
“Aku nggak minum
alkohol.”
“Bagus.. aku juga
nggak minum.”
Wafa menampakkan
raut yang tidak percaya.
“Alkohol tuh
haram.” Endra menjawab pertanyaan yang tak terucap dari Wafa.
“Hari gini kamu
bicara haram?”
“Iya.. dosa tau
kalau minum alkohol.”
Emang yang kamu
lakuin ini nggak haram?” Bukan hanya nada bicaranya, namun raut muka Wafa juga
terlihat sinis.
Endra tau pasti
apa yang dibicarakan Wafa. “Dimana haramnya?”, dia bertanya.
“Selingkuh itu
haram.”
Endra tersenyum
dan berusaha mempertahankan diri. “Pertama. Aku nggak selingkuh.”
Wafa tersenyum
kecut mendengar kata-kata Endra.
“Selingkuh itu
kalau kita curang sama pasangan kita. Aku nggak curang. Semua istri aku tau
kalau aku suka mencari wanita baru. Mereka tidak keberatan dengan itu.” Endra
berkata dengan santainya.
Emosi Wafa
melonjak. Dia tidak percaya bisa mendengar kata-kata seperti itu. Tapi dia
harus bisa meredam emosi kalau tidak mau rencananya gagal. Dia harus lebih
pintar dari Endra. Setelah menarik nafas dalam, Wafa berusaha untuk
melanjutkan permainan. “Kedua?”
“Kedua apanya?”
Endra melihat Wafa dengan pandangan tidak mengerti.
“Tadi kamu bilang
pertama, berarti ada yang kedua.” Wafa menguatkan diri karena tidak
mungkin jika permainan ini harus terhenti di sini dengan kekalahannya.
“Kedua…. “ Endra menjadi salah tingkah. Ia lupa apa yang kedua.
Wafa diam menunggu jawaban Endra.
“Aku nggak pernah
tidurin perempuan sebelum nikahin mereka.” Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari
mulut Endra tanpa bisa dicegah.
Wafa benar-benar
ingin muntah. Kali ini dia tidak bisa menahan emosinya lagi.
“Kamu emang bejat
ya…” Wafa berdiri, mengambil tasnya, dan segera melangkah pergi.
“Bodoh!” Endra
memarahi dirinya sendiri. Dia tidak tahu mengapa dia bisa sebodoh itu dan
berbicara tanpa berfikir. Wafa benar-benar membuatnya hilang kontrol.
Endra segera
mengejar Wafa.
“Fa.. tunggu.”
Dengan badannya yang atletis, tidak sulit baginya untuk mengejar Wafa. Endra
memegang tangan Wafa untuk menghentikannya. “Maaf aku nggak bermaksud… Aku
kelepasan ngomong tadi…”
Wafa tidak bisa
menghentikan air mata yang keluar dari matanya dan hanya bisa menangis tanpa
kata-kata.
“Aku nggak tau
kenapa, tapi kamu bener-bener bikin aku gila sampai nggak bisa mikir.” Endra
berusaha untuk membuat Wafa menatapnya. “Sejak pertama kali ketemu kamu, aku
langsung tertarik sama kamu. Makanya aku berusaha untuk dapetin kamu walaupun
kamu bukan tipe aku.”
Pengakuan Endra membuat Wafa terkejut yang dengan reflek langsung
menatap Endra. “Maksudnya?” Kali ini
Wafa membuka mulutnya sambil gemetar.
“Kamu itu
perempuan yang kuat dan mapan. Aku nggak bisa tawarin uang sama kamu.”
“Hehh? Emang aku
matre?”
“Justru karena kamu bukan matre, makanya aku nggak tahu
harus gimana sama kamu.”
“Aku semakin nggak ngerti deh.”
Endra berpikir sebentar. Dia harus mempersiapkan kata-kata
yang benar agar Wafa tidak salah paham. “Kamu tau kan kalau aku punya istri
lebih dari satu?”
Wafa mengangguk.
“Waktu aku bertemu mereka pertama kali, mereka itu dalam
keadaan yang membutuhkan uang banyak. Jadi, aku dengan mudah menawarkan uang
aku untuk mendapatkan mereka. Tapi kamu beda sama mereka, aku jadi nggak ngerti apa
yang harus aku tawarkan supaya kamu mau sama aku.”
Dada Wafa terasa sesak. Apa yang terjadi padanya dahulu sama
seperti apa yang terjadi pada istri-istri Endra yang lain. Ia juga menikahi
Endra karena uang. Jika saja Endra tahu siapa dirinya, pasti Endra sangat marah
saat ini.
“Sudahlah.. kita
nggak usah ngebahas hal yang nggak penting. Pokoknya aku suka sama kamu dan kamu juga suka kan sama
aku? Kamu nggak bisa sembunyiin itu. Pandangan mata kamu…., gerak tubuh kamu…”
Wafa salah tingkah. Endra benar-benar bisa membaca hatinya.
Apa yang harus dilakukannya saat ini? Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh
Wafa jika dia akan terperangkap dalam permainan hati yang sulit seperti ini.
“Kita jalan aja dulu. Kita liat apa yang akan terjadi nanti.”
Endra berusaha untuk meyakinkan Wafa untuk menjalin hubungan dengannya.
“Enggak tau ah.” Wafa benar-benar ragu untuk melanjutkan
rencananya. Sepertinya Kesara benar bahwa bukannya Endra yang jatuh cinta padanya,
tetapi justru dia yang lebih dahulu bertekuk lutut dihadapan Endra.
“Udahlah, nggak usah ngelak lagi. Ikutin aja perasaan kamu.
Kamu senengkan ketemu aku?”
“Tapi aku nggak
sebejat kamu.” Wafa kembali berjalan menjauh. Ia berusaha menghindar
dari kenyataan.
“Tapi kamu dateng
kesini tanpa paksaan padahal kamu udah tau aku gimana.” Endra berteriak.
“Aku...” Langkah
Wafa terhenti.
“Kamu tau bener
apa yang aku mau dan kamu tau bener keadaan aku seperti apa.”
Kali ini Endra
memang benar. Sejak awal Wafa sudah tahu apa yang akan dihadapinya. Wafa tau pasti apa diinginkan Endra dan
hampir semua orang di negara ini juga tahu seperti apa Endra. Cukup satu skandal dengan selebritis dan
terbongkarlah semuanya. Tapi bagaimana mungkin dia melanjutkan permainan
ini jika belum apa-apa Endra sudah berhasil menguasai keadaan?
“Udah dong jangan
nangis gitu.” Endra menyesal telah membuat perempuan yang disukainya menangis. Endra
berusaha menghapus air mata Wafa dan kemudian memeluknya.
Pelukan Endra
terasa hangat. Ini pertama kalinya Wafa dipeluk oleh suaminya. Entah mengapa
Wafa merasa begitu tenang dan terlindungi. Kemarahan dan kegundahannya langsung hilang.
Di lain pihak,
Endra merasakan sesuatu yang berbeda. Dia merasa harus melindungi Wafa.
Perempuan ini terlihat kuat tetapi rapuh. Perempuan ini pintar tapi lugu.
Keduanya
melepaskan pelukan dan menjadi salah tingkah. Selama beberapa saat,
tidak ada satu kata pun yang terucap dan tidak ada satupun gerakan dari
keduanya.
“Kita makan di
tempat lain aja yukk.. yang santai gitu?” Endra memecahkan keheningan.
Wafa tidak
menjawab pertanyaan Endra. Otaknya masih kosong.. tidak bisa berpikir.
“Gimana kalau
pecel ayam pinggir jalan?” Endra ingin tahu apakah Wafa adalah perempuan
seperti yang dia pikirkan.
Hanya anggukan yang bisa dilakukan Wafa untuk menjawab
pertanyaan Endra. Sebenarnya dia ingin sekali berlari sejauh-jauhnya, tetapi
ada sesuatu di dalam hatinya yang mencegahnya untuk melakukan itu.
***
Mereka memasuki
warung pecel ayam lesehan. Wafa sedikit kikuk. Dulu tempat seperti ini adalah
tempat kesukaannya. Tapi, setelah dia memasuki dunia high-class, dia tidak
pernah menginjakkan kaki lagi di warung pinggir jalan. Dia memang bekerja keras
untuk bisa masuk ke dunia kelas atas sehingga berusaha melupakan masa lalunya.
Dia berpikir apakah aturannya masih sama seperti waktu dulu atau sekarang dia
harus memakai sopan-santun saat makan di tempat seperti ini. Terlebih lagi dia
bersama dengan Endra. Jangan sampai Endra tahu siapa dia sebenarnya.
Endra
memperhatikan tingkah Wafa yang kikuk. Sepertinya Wafa memang perempuan dari
kelas atas yang tidak pernah makan di tempat seperti ini. Kalau begini
benar-benar berat. Uang sama sekali bukan masalah bagi Wafa. Dari
gerak-geriknya juga terlihat jelas bahwa Wafa bukanlah perempuan yang senang
bermain-main dengan laki-laki. Wafa begitu santun baik dalam tutur kata maupun
tingkah laku. Lalu apa yang bisa dia
tawarkan? Tidak mungkin dia menawarkan cinta. Tidak akan ada wanita yang
percaya jika seorang Kagendra Mahawirya masih memiliki rasa cinta.
Namun, walaupun masing-masing mengalami kegalauan dalam
hati, tidak ada satupun yang ingin menyerah saat ini. Mereka berusaha untuk
membuat keadaan menjadi senormal mungkin. Urusan selanjutnya akan dipikirkan
nanti.
Makan malam
berlalu tanpa sesuatu yang luar biasa. Wafa berusaha untuk tenang dan menikmati
makanan yang sudah bertahun-tahun tidak dimakannya. Dia lumayan kangen dengan
makanan seperti ini. Endra juga menikmati makanannya. Yang pasti dia menikmati
percakapan ringan dengan Wafa yang ternyata cukup berwawasan luas.
Setelah selesai
makan, Endra mengantarkan Wafa ke apartemennya.
“Aku nggak usah
masuk ya.. udah malem.” Endra berdiri di dekat mobilnya setelah membukakan
pintu mobil untuk Wafa.
“Iya.. kamu
ati-ati ya pulangnya.” Wafa menggangguk.
“Jangan lupa
mimpiin aku.” Endra mengedipkan matanya.
“Dasar buaya.”
“Udah gih masuk.
Kalau berdiri di sini terus nanti masuk angin.”
Tiba-tiba Wafa merasakan dorongan aneh di hatinya. Ia merasa
takut, tetapi dorongannya sangat kuat sehingga ia tidak mampu melawan. Dengan
sedikit ragu, Wafa mendekati Endra
dan mencium pipinya. Kemudian dia berlari masuk ke apartemennya meninggalkan
Endra yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
_____________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
_____________________________________________________
Prolog << Bab Sebelumnya Bab Selanjutnya >>
Beranda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar