Jumat, 11 Juli 2014

Perselingkuhan Terakhir BAB III



Bab III

“Ica kan? Apa kabar? Kamu cantik banget sekarang.”

“Ike ya? Ya ampun… udah lama banget nggak ketemu.” Wafa memeluk sahabat lamanya itu. Sudah lebih dari tiga tahun dia tidak berjumpa dengan Ike setelah sahabatnya itu menikah.

“Iya kok kebetulan banget sih bisa belanja bareng di sini.” Ike terlihat sedikit lebih gemuk. Disebelahnya ada seorang anak perempuan yang melihat keatas dengan pandangan yang ingin tahu.

“Ini anak kamu?” Wafa jongkok didepan anak itu. “Halo namanya siapa?” Anak itu tidak menjawab.

“Namanya Vini tante.” Ike memperkenalkan anaknya

“Ini tante Ica temen mama, salim sama tante.” Ike meminta anaknya dengan lembut. Terlihat sekali sisi keibuannya.

Vini melakukan perintah mamanya dengan malu-malu.

Untung sekali hari ini Wafa tidak sibuk sehingga ia memiliki banyak waktu luang untuk melepas rindu dengan sahabatnya. Mereka melanjutkan belanja sambil bercerita tentang kehidupan masing-masing.

“Jadi sekarang kamu pake nama Wafa?”

“Iya… namanya unik dan artinya kesetiaan. Bagus buat bisnis. Wafa tersenyum bangga. Semenjak berhasil membangun butiknya sendiri, kepercayaan diri Wafa terus meningkat. Sekarang dia bukan lagi gadis kampung yang sering menjadi bahan ledekan teman-teman di pabrik tempat dia bekerja.

“Bisnis woman emang beda ya. Nama aja harus ganti.”

“Aku nggak ganti nama. Itu kan emang nama aku. Cuma sekarang aku pake yang di belakang bukan yang depan.”

“Jadi aku harus panggil kamu Wafa juga?”

“Nggaklah.. kamu tetep bisa panggil aku Ica. Asal jangan Misha”

Raut wajah Ike langsung memperlihatkan tanda tanya. “Kenapa?”

“Gitu deh.” Wafa berusaha untuk menghindar. Ia bukannya mau menutupi kenyataan hidupnya dari sahabatnya itu, tapi dengan adanya Vini, Wafa merasa tidak nyaman untuk bercerita karena Vini masih terlalu kecil untuk mendengarkan cerita seperti itu.

Setelah berbelanja, Vini mengajak mamanya ke taman bermain. Ike membiarkan anaknya bermain dan meneruskan obrolan dengan Wafa. Dengan begini, Wafa lebih leluasa untuk bercerita.

“Kamu masih nikah sama orang itu?” Waktu Wafa menikah, Ike tidak percaya jika sahabatnya itu mau melakukan hal yang baginya kurang masuk akal. Saat ini, Ike lebih tidak percaya lagi karena sahabatnya ternyata  masih terikat pernikahan itu.

“Iya.” Wafa mengangguk dengan lemah.

“Kenapa nggak cerai aja? Kamu sekarang kan udah bisa berdiri sendiri?”

Wafa menggelengkan kepalanya. “Dia nggak bisa. Bapaknya nggak bolehin dia cerai sampai sepuluh tahun pernikahan.”

“Aneh banget sih?” Ike benar-benar merasa kasihan pada sahabatnya yang terjerumus dalam pernikahan super aneh seperti ini.

“Ya gitu deh.”

“Tapi kamu kan punya hak untuk hidup bahagia dan menikah dengan lelaki normal.”

“Aku bahagia kok.” Wafa berusaha tersenyum.

“Bahagia itu nggak bisa dinilai sama uang.”

“Makanya aku berusaha mengejar kebahagiaan aku.” Kali ini senyuman Wafa penuh arti.

Wafa menceritakan rencananya pada Ike yang terus saja menggeleng-gelengkan kepalanya. Ike terheran-heran dengan mendengar rencana gila sahabatnya. “Kamu gila ya.. trus tiga harinya kapan?”

“Hari ini, nanti malem aku mau diner sama dia.” Wafa bersemangat.

“Ya Allah.” Ike kembali menggelengkan kepalanya.

“Seru ya hidup aku?” Wafa tertawa lepas.

“Aku jadi pengen tahu kayak apa sih dia?”

“Emang kamu nggak pernah nonton TV?”

“Apa hubungannya? Emang dia artis? Bukannya dia pengusaha ya?”

“Kagendra Mahawirya.” Wafa berkata pelan tapi tegas.

“Selingkuhannya model itu? Itu dia?” Ike terbelalak dan semakin tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Wafa hanya menganggukkan kepala.

“Kamu nikah sama laki-laki macem itu?”

“Begitulah.”

“Ya ampun Ca.. kamu tuh kasian banget sih.” Ike memegang tangan Wafa untuk memberikan dukungan moral.

“Makanya aku harus melakukan sesuatu.”

“Kamu yang sabar ya… “ Ike hanya bisa berempati dengan sahabat baiknya.

***

Pertemuan dengan Ike menambah semangat Wafa. Malam ini dia memilih dress hitam selutut dan memilih perhiasan kecil tapi cantik. Makeupnya pun sederhana. Dia tidak ingin terlihat berlebihan dan berusaha menjadi dirinya sendiri. Pengalaman dengan baju ketat sudah memberinya pelajaran bahwa menjadi orang lain hanya akan membuatnya hilang kendali.

Saat Endra menjemputnya, Wafa tidak bisa menahan kekagumannya. Tubuh yang gagah dengan balutan jas hitam membuat Endra terlihat begitu lelaki. Semua yang ada ditubuh Endra tidak ada yang murah sehingga orang yang melihatnya pasti tahu bahwa laki-laki ini bukan orang sembarangan. Namun, yang paling mahal dari sosok Endra adalah pesona diri yang luar biasa sebagai laki-laki yang memiliki kuasa.

Pesona yang ditebarkan Endra memang luar biasa sampai-sampai mobil mewah yang memiliki jok empuk dilapisi kulit asli tidak bisa membuat Wafa merasa nyaman. Namun, Wafa adalah perempuan dengan harga diri sehingga dia tetap berusaha keras untuk duduk tenang disepanjang perjalanan.

Wafa dan Endra sampai di sebuah restoran mewah. Saat memasuki restoran itu, Wafa merasa terbuai.  Suasananya benar-benar romantis. Dekorasinya bergaya Eropa kuno. Seorang pemain piano memainkan lagu klasik dan ada cahaya lilin di setiap meja. Yang makan di tempat itu adalah orang-orang kelas atas yang berpenampilan sangat menarik dan sangat menjaga sopan santun di meja. Tidak ada seorangpun yang berbicara keras.

“Kamu cantik malam ini.” Kedua mata Endra menatap lembut wajah Wafa.

 “Sekarang udah nggak jamannya ngegombal.”

“Tapi jauh di dalam lubuk hati, perempuan selalu bahagia saat digombali.” Endra pun melemparkan senyum yang mematikan.

“Susah ya kalau bicara sama playboy kelas paus.”

“Aku lebih suka hiu. Lebih lincah dan serangannya mematikan.”

Wafa hanya bisa menarik nafas.

Mereka duduk di meja yang telah dipesan Endra. Wafa mengambil menu yang ada di meja. Mereka memesan makanan dan minuman yang semuanya merupakan menu Eropa.

“Wine?” Endra menawarkan.

Aku nggak minum alkohol.”

“Bagus.. aku juga nggak minum.”

Wafa menampakkan raut yang tidak percaya.

“Alkohol tuh haram.” Endra menjawab pertanyaan yang tak terucap dari Wafa.

“Hari gini kamu bicara haram?”

“Iya.. dosa tau kalau minum alkohol.”

Emang yang kamu lakuin ini nggak haram?” Bukan hanya nada bicaranya, namun raut muka Wafa juga terlihat sinis.

Endra tau pasti apa yang dibicarakan Wafa. “Dimana haramnya?”, dia bertanya.

“Selingkuh itu haram.”

Endra tersenyum dan berusaha mempertahankan diri. “Pertama. Aku nggak selingkuh.”

Wafa tersenyum kecut mendengar kata-kata Endra.

“Selingkuh itu kalau kita curang sama pasangan kita. Aku nggak curang. Semua istri aku tau kalau aku suka mencari wanita baru. Mereka tidak keberatan dengan itu.” Endra berkata dengan santainya.

Emosi Wafa melonjak. Dia tidak percaya bisa mendengar kata-kata seperti itu. Tapi dia harus bisa meredam emosi kalau tidak mau rencananya gagal. Dia harus lebih pintar dari Endra. Setelah menarik nafas dalam, Wafa berusaha untuk melanjutkan permainan. “Kedua?”

“Kedua apanya?” Endra melihat Wafa dengan pandangan tidak mengerti.

“Tadi kamu bilang pertama, berarti ada yang kedua.” Wafa menguatkan diri karena tidak mungkin jika permainan ini harus terhenti di sini dengan kekalahannya.

“Kedua….  “ Endra menjadi salah tingkah. Ia lupa apa yang kedua.

Wafa diam menunggu jawaban Endra.

“Aku nggak pernah tidurin perempuan sebelum nikahin mereka.” Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Endra tanpa bisa dicegah.

Wafa benar-benar ingin muntah. Kali ini dia tidak bisa menahan emosinya lagi.

“Kamu emang bejat ya…” Wafa berdiri, mengambil tasnya, dan segera melangkah pergi.

“Bodoh!” Endra memarahi dirinya sendiri. Dia tidak tahu mengapa dia bisa sebodoh itu dan berbicara tanpa berfikir. Wafa benar-benar membuatnya hilang kontrol.

Endra segera mengejar Wafa.

“Fa.. tunggu.” Dengan badannya yang atletis, tidak sulit baginya untuk mengejar Wafa. Endra memegang tangan Wafa untuk menghentikannya. “Maaf aku nggak bermaksud… Aku kelepasan ngomong tadi…”

Wafa tidak bisa menghentikan air mata yang keluar dari matanya dan hanya bisa menangis tanpa kata-kata.

“Aku nggak tau kenapa, tapi kamu bener-bener bikin aku gila sampai nggak bisa mikir.” Endra berusaha untuk membuat Wafa menatapnya. “Sejak pertama kali ketemu kamu, aku langsung tertarik sama kamu. Makanya aku berusaha untuk dapetin kamu walaupun kamu bukan tipe aku.”

Pengakuan Endra membuat Wafa terkejut yang dengan reflek langsung menatap Endra. “Maksudnya?” Kali ini Wafa membuka mulutnya sambil gemetar.

“Kamu itu perempuan yang kuat dan mapan. Aku nggak bisa tawarin uang sama kamu.”

“Hehh? Emang aku matre?”

“Justru karena kamu bukan matre, makanya aku nggak tahu harus gimana sama kamu.”

“Aku semakin nggak ngerti deh.”

Endra berpikir sebentar. Dia harus mempersiapkan kata-kata yang benar agar Wafa tidak salah paham. “Kamu tau kan kalau aku punya istri lebih dari satu?”

Wafa mengangguk.

“Waktu aku bertemu mereka pertama kali, mereka itu dalam keadaan yang membutuhkan uang banyak. Jadi, aku dengan mudah menawarkan uang aku untuk mendapatkan mereka. Tapi kamu beda sama mereka, aku jadi nggak ngerti apa yang harus aku tawarkan supaya kamu mau sama aku.”

Dada Wafa terasa sesak. Apa yang terjadi padanya dahulu sama seperti apa yang terjadi pada istri-istri Endra yang lain. Ia juga menikahi Endra karena uang. Jika saja Endra tahu siapa dirinya, pasti Endra sangat marah saat ini.

“Sudahlah.. kita nggak usah ngebahas hal yang nggak penting. Pokoknya aku suka sama kamu dan kamu juga suka kan sama aku? Kamu nggak bisa sembunyiin itu. Pandangan mata kamu…., gerak tubuh kamu…”

Wafa salah tingkah. Endra benar-benar bisa membaca hatinya. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Wafa jika dia akan terperangkap dalam permainan hati yang sulit seperti ini.

“Kita jalan aja dulu. Kita liat apa yang akan terjadi nanti.” Endra berusaha untuk meyakinkan Wafa untuk menjalin hubungan dengannya.

“Enggak tau ah.” Wafa benar-benar ragu untuk melanjutkan rencananya. Sepertinya Kesara benar bahwa bukannya Endra yang jatuh cinta padanya, tetapi justru dia yang lebih dahulu bertekuk lutut dihadapan Endra.

“Udahlah, nggak usah ngelak lagi. Ikutin aja perasaan kamu. Kamu senengkan ketemu aku?”

“Tapi aku nggak sebejat kamu.” Wafa kembali berjalan menjauh. Ia berusaha menghindar dari kenyataan.

“Tapi kamu dateng kesini tanpa paksaan padahal kamu udah tau aku gimana.” Endra berteriak.

“Aku...” Langkah Wafa terhenti.

“Kamu tau bener apa yang aku mau dan kamu tau bener keadaan aku seperti apa.”

Kali ini Endra memang benar. Sejak awal Wafa sudah tahu apa yang akan dihadapinya. Wafa tau pasti apa diinginkan Endra dan hampir semua orang di negara ini juga tahu seperti apa Endra. Cukup satu skandal dengan selebritis dan terbongkarlah semuanya. Tapi bagaimana mungkin dia melanjutkan permainan ini jika belum apa-apa Endra sudah berhasil menguasai keadaan?

“Udah dong jangan nangis gitu.” Endra menyesal telah membuat perempuan yang disukainya menangis. Endra berusaha menghapus air mata Wafa dan kemudian memeluknya.

Pelukan Endra terasa hangat. Ini pertama kalinya Wafa dipeluk oleh suaminya. Entah mengapa Wafa merasa begitu tenang dan terlindungi. Kemarahan dan kegundahannya langsung hilang.

Di lain pihak, Endra merasakan sesuatu yang berbeda. Dia merasa harus melindungi Wafa. Perempuan ini terlihat kuat tetapi rapuh. Perempuan ini pintar tapi lugu.

Keduanya melepaskan pelukan dan menjadi salah tingkah. Selama beberapa saat, tidak ada satu kata pun yang terucap dan tidak ada satupun gerakan dari keduanya.

“Kita makan di tempat lain aja yukk.. yang santai gitu?” Endra memecahkan keheningan.

Wafa tidak menjawab pertanyaan Endra. Otaknya masih kosong.. tidak bisa berpikir.

“Gimana kalau pecel ayam pinggir jalan?” Endra ingin tahu apakah Wafa adalah perempuan seperti yang dia pikirkan.

Hanya anggukan yang bisa dilakukan Wafa untuk menjawab pertanyaan Endra. Sebenarnya dia ingin sekali berlari sejauh-jauhnya, tetapi ada sesuatu di dalam hatinya yang mencegahnya untuk melakukan itu.

***

Mereka memasuki warung pecel ayam lesehan. Wafa sedikit kikuk. Dulu tempat seperti ini adalah tempat kesukaannya. Tapi, setelah dia memasuki dunia high-class, dia tidak pernah menginjakkan kaki lagi di warung pinggir jalan. Dia memang bekerja keras untuk bisa masuk ke dunia kelas atas sehingga berusaha melupakan masa lalunya. Dia berpikir apakah aturannya masih sama seperti waktu dulu atau sekarang dia harus memakai sopan-santun saat makan di tempat seperti ini. Terlebih lagi dia bersama dengan Endra. Jangan sampai Endra tahu siapa dia sebenarnya.

Endra memperhatikan tingkah Wafa yang kikuk. Sepertinya Wafa memang perempuan dari kelas atas yang tidak pernah makan di tempat seperti ini. Kalau begini benar-benar berat. Uang sama sekali bukan masalah bagi Wafa. Dari gerak-geriknya juga terlihat jelas bahwa Wafa bukanlah perempuan yang senang bermain-main dengan laki-laki. Wafa begitu santun baik dalam tutur kata maupun tingkah laku. Lalu apa yang bisa dia tawarkan? Tidak mungkin dia menawarkan cinta. Tidak akan ada wanita yang percaya jika seorang Kagendra Mahawirya masih memiliki rasa cinta.

Namun, walaupun masing-masing mengalami kegalauan dalam hati, tidak ada satupun yang ingin menyerah saat ini. Mereka berusaha untuk membuat keadaan menjadi senormal mungkin. Urusan selanjutnya akan dipikirkan nanti.

Makan malam berlalu tanpa sesuatu yang luar biasa. Wafa berusaha untuk tenang dan menikmati makanan yang sudah bertahun-tahun tidak dimakannya. Dia lumayan kangen dengan makanan seperti ini. Endra juga menikmati makanannya. Yang pasti dia menikmati percakapan ringan dengan Wafa yang ternyata cukup berwawasan luas.

Setelah selesai makan, Endra mengantarkan Wafa ke apartemennya.

“Aku nggak usah masuk ya.. udah malem.” Endra berdiri di dekat mobilnya setelah membukakan pintu mobil untuk Wafa.

“Iya.. kamu ati-ati ya pulangnya.” Wafa menggangguk.

“Jangan lupa mimpiin aku.” Endra mengedipkan matanya.

“Dasar buaya.”

“Udah gih masuk. Kalau berdiri di sini terus nanti masuk angin.”

Tiba-tiba Wafa merasakan dorongan aneh di hatinya. Ia merasa takut, tetapi dorongannya sangat kuat sehingga ia tidak mampu melawan. Dengan sedikit ragu, Wafa mendekati Endra dan mencium pipinya. Kemudian dia berlari masuk ke apartemennya meninggalkan Endra yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
_____________________________________________________

Prolog                  << Bab Sebelumnya            Bab Selanjutnya >>


Beranda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar